Share

Bab 3. Selamanya

“Kalau begitu, kenapa kamu tadi setuju menikah denganku? Berarti, kau bodoh?” 

Arvan kini ikut mencondongkan wajahnya. Tak lupa, dia menaruh jarinya di dahi Aeri. “Dan, tolong berhentilah mengumpat!”

“Sayangnya, kenyataannya memang seperti itu. Aku tadi terlanjur berbuat bodoh. Tapi, aku tidak mau rugi.”

Aeri lantas menatap tajam Arvan. 

Semenjak tadi, dia sebenarnya ingin memukul pria di depannya itu. Dia tidak suka pada Arvan yang menganggap enteng sebuah pernikahan. Apalagi di situasinya, Aeri sama sekali tidak diuntungkan. 

Untuk ‘Aeri’ sebelumnya, Arvan mungkin menjanjikan uang. Tapi, Aeri asli sudah punya banyak uang. Dia juga tidak butuh title istri seorang anak konglomerat.

Hanya saja, karena sudah terlanjur menikah, maka pernikahan ini layak untuk dipertahankan. 

Bagi Aeri, pernikahan itu hanya satu kali!

Satu kali dia menikah.

Satu kali juga dia punya Mama Mertua Menyebalkan. 

******

Aeri kini berdiri di balkon sambil menghisap rokok meski masih memakai cadar. 

Perutnya sebenarnya sudah keroncongan karena perdebatannya dengan Arvan tadi—belum juga menemui titik terang. 

Tok! Tok! Tok!

Pintu kamar Arvan diketuk.

Dengan cepat, Aeri mematikan rokoknya dan melihat Arvan yang menuju pintu.

“Tuan, makan malam sudah siap. Ibu Anda juga sudah menunggu,” ucap Bibi pembantu sambil melirik ke arah pasangan pengantin baru itu.

Arvan pun mengangguk dan dengan cepat menyuruh Aeri segera berganti baju, sementara laki-laki itu pergi lebih dulu tanpa menunggunya.

Saat Aeri sampai di ruang makan, ternyata semua orang masih belum makan. Bahkan, mama mertuanya bahkan menatapnya dengan tatapan benci.

“Kenapa kamu baru datang? Kamu kira kamu adalah nyonya di rumah ini? Seharusnya, sebagai menantu kamu sadar diri, sudah tidak punya sopan santun, jalan juga lelet! Kalau kamu nggak mau makan, bilang! Biar orang lain tidak perlu menunggu lama.”

Aeri mengernyitkan dahinya bingung. Memang selama apa mama mertuanya itu menunggu dia datang?

Padahal, Aeri merasa dia tidak selama itu.

Ingin rasanya dia berkata kasar. 

Tidak ada angin apa dia tiba-tiba dimarahi tidak jelas begini.

Begitu Aeri melihat pada Arvan, ‘suaminya’ itu malah memalingkan wajah seakan mengabaikannya.

“Sialan,” umpat Aeri lirih yang masih bisa didengar oleh Alvin, adik Arvan.

Alvin–yang berada di dekatnya–sontak melirik pada kakak iparnya itu. 

Dia menyadari bahwa Aeri hampir memutar bola matanya malas, tapi tidak jadi.

“Kalau mau makan cepat duduk, ngapain masih berdiri lama di situ? Dasar perempuan tidak jelas! Menyesal aku membiarkan Arvan menikah denganmu.”

“Ma,” tegur suaminya, menyuruh istrinya itu untuk diam.

“Apa? Papa mau membelanya?!” 

Bukannya diam, Rullistya malah semakin kesal. 

Aeri yang menyadari itu berdecak kesal dan memutar bola matanya.

“Denger ocehan Mak Lampir gini, bikin nggak selera makan lama-lama.” 

Tanpa disadari, Aeri tidak menahan kata-katanya.

Semua orang di tempat itu menoleh ke arahnya. 

Brak!

Rulistya menggebrak meja lalu berteriak marah. “Apa kamu bilang tadi, coba ulangi?!” 

Aeri lantas tersenyum–tidak mau memperpanjang masalah ini.

“Maaf, tapi gak ada siaran ulang. Kalau ucapanku gak jelas, berarti kuping Anda yang bermasalah.”

Arvan diam-diam menepuk dahinya melihat kelakuan Aeri yang berani bersikap kasar di hadapan Mamanya.

Sementara ayah Arvan hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah menantunya itu. 

Hanya Alvin yang merasa terhibur dengan apa yang kakak iparnya lakukan. 

Apalagi, saat Kakak iparnya pergi meninggalkan Mamanya yang semakin marah-marah dibuatnya.

“Arvan! Lihat kelakuan istrimu itu! Berani-beraninya dia begitu ke mama? Dasar perempuan kasar!”

*******

Mengingat kembali kejadian tadi, membuat Aeri merasa lega. Setidaknya, dia sudah membalas Ibu Mertuanya itu.

“Tidak bisakah kamu sedikit menghormati mama, Ri?”

Tanpa menoleh, Aeri sudah tahu siapa yang datang.

“Tidak bisa.” 

Kembali, Aeri menghisap rokoknya dan membuat udara di balkon dipenuhi asap rokok.

“Hah….” Arvan menghela napas, “Padahal, dulu kamu tidak sekasar ini. Kamu juga angat baik pada orang tua.”

“Lah, mamamu aja nggak baik gitu, ngapain aku baik padanya.” Aeri berbalik, “apalagi anaknya juga sama seperti mamanya.”

“Jadi kamu tidak suka padaku?”

“Menurutmu?” tanya Aeri balik.

“Lalu kenapa kamu mau aku ajak menikah hari ini?”

“Oh, iya! Kita baru nikah tadi, kan? Kenapa rasanya seperti bertahun-tahun aku menikah? Apa gara-gara punya mertua, umurku rasanya jadi bertambah?” ucap Aeri mengalihkan pembicaraan.

Mendengar itu, Arvan menatap “istrinya” dalam. “Ri … please! Tolong serius.”

“Terserah.” Aeri lalu mematikan bara api rokoknya ke baju Arvan dan meninggalkan laki-laki itu di balkon.

Saat pergi, dia tidak menyadari ada seseorang yang semenjak tadi mendengar percakapannya dan Arvan. 

Orang itu tersenyum, sebelum menemui Arvan di balkon.

********

“Istrimu benar-benar perempuan yang menarik.”

Suara dari belakang membuat Arvan memutar bola mata malas. “Sialan! Apanya yang menarik dari perempuan tidak tahu diri itu?”

Bugh!

Sebuah pukulan mendarat di pipi Arvan.

“Apa seperti itu bicaramu pada Papa Arvan?”

Melihat papanya, Arvan seketika sadar apa yang sudah dia katakan.

“Pa, maafkan Arvan. Aku tidak bermaksud bicara seperti tadi pada papa.”

Senopati, papa Arvan, lantas memegang pundak Arvan dan menatap putranya itu tajam.

Arvan terkejut. Awalnya, ia akan menolak untuk bicara dengan menggunakan alasan akan bekerja esok hari.

Tapi, Senopati semakin kencang mencengkram pundaknya. “Sepertinya, banyak hal yang harus kita bicarakan, terutama mengenai identitas Aeri.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status