“Kalau begitu, kenapa kamu tadi setuju menikah denganku? Berarti, kau bodoh?”
Arvan kini ikut mencondongkan wajahnya. Tak lupa, dia menaruh jarinya di dahi Aeri. “Dan, tolong berhentilah mengumpat!”
“Sayangnya, kenyataannya memang seperti itu. Aku tadi terlanjur berbuat bodoh. Tapi, aku tidak mau rugi.”
Aeri lantas menatap tajam Arvan.
Semenjak tadi, dia sebenarnya ingin memukul pria di depannya itu. Dia tidak suka pada Arvan yang menganggap enteng sebuah pernikahan. Apalagi di situasinya, Aeri sama sekali tidak diuntungkan.
Untuk ‘Aeri’ sebelumnya, Arvan mungkin menjanjikan uang. Tapi, Aeri asli sudah punya banyak uang. Dia juga tidak butuh title istri seorang anak konglomerat.
Hanya saja, karena sudah terlanjur menikah, maka pernikahan ini layak untuk dipertahankan.
Bagi Aeri, pernikahan itu hanya satu kali!
Satu kali dia menikah.
Satu kali juga dia punya Mama Mertua Menyebalkan.
******
Aeri kini berdiri di balkon sambil menghisap rokok meski masih memakai cadar.
Perutnya sebenarnya sudah keroncongan karena perdebatannya dengan Arvan tadi—belum juga menemui titik terang.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar Arvan diketuk.
Dengan cepat, Aeri mematikan rokoknya dan melihat Arvan yang menuju pintu.
“Tuan, makan malam sudah siap. Ibu Anda juga sudah menunggu,” ucap Bibi pembantu sambil melirik ke arah pasangan pengantin baru itu.
Arvan pun mengangguk dan dengan cepat menyuruh Aeri segera berganti baju, sementara laki-laki itu pergi lebih dulu tanpa menunggunya.
Saat Aeri sampai di ruang makan, ternyata semua orang masih belum makan. Bahkan, mama mertuanya bahkan menatapnya dengan tatapan benci.
“Kenapa kamu baru datang? Kamu kira kamu adalah nyonya di rumah ini? Seharusnya, sebagai menantu kamu sadar diri, sudah tidak punya sopan santun, jalan juga lelet! Kalau kamu nggak mau makan, bilang! Biar orang lain tidak perlu menunggu lama.”
Aeri mengernyitkan dahinya bingung. Memang selama apa mama mertuanya itu menunggu dia datang?
Padahal, Aeri merasa dia tidak selama itu.
Ingin rasanya dia berkata kasar.
Tidak ada angin apa dia tiba-tiba dimarahi tidak jelas begini.
Begitu Aeri melihat pada Arvan, ‘suaminya’ itu malah memalingkan wajah seakan mengabaikannya.
“Sialan,” umpat Aeri lirih yang masih bisa didengar oleh Alvin, adik Arvan.
Alvin–yang berada di dekatnya–sontak melirik pada kakak iparnya itu.
Dia menyadari bahwa Aeri hampir memutar bola matanya malas, tapi tidak jadi.
“Kalau mau makan cepat duduk, ngapain masih berdiri lama di situ? Dasar perempuan tidak jelas! Menyesal aku membiarkan Arvan menikah denganmu.”
“Ma,” tegur suaminya, menyuruh istrinya itu untuk diam.
“Apa? Papa mau membelanya?!”
Bukannya diam, Rullistya malah semakin kesal.
Aeri yang menyadari itu berdecak kesal dan memutar bola matanya.
“Denger ocehan Mak Lampir gini, bikin nggak selera makan lama-lama.”
Tanpa disadari, Aeri tidak menahan kata-katanya.
Semua orang di tempat itu menoleh ke arahnya.
Brak!
Rulistya menggebrak meja lalu berteriak marah. “Apa kamu bilang tadi, coba ulangi?!”
Aeri lantas tersenyum–tidak mau memperpanjang masalah ini.
“Maaf, tapi gak ada siaran ulang. Kalau ucapanku gak jelas, berarti kuping Anda yang bermasalah.”
Arvan diam-diam menepuk dahinya melihat kelakuan Aeri yang berani bersikap kasar di hadapan Mamanya.
Sementara ayah Arvan hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah menantunya itu.Hanya Alvin yang merasa terhibur dengan apa yang kakak iparnya lakukan.
Apalagi, saat Kakak iparnya pergi meninggalkan Mamanya yang semakin marah-marah dibuatnya.
“Arvan! Lihat kelakuan istrimu itu! Berani-beraninya dia begitu ke mama? Dasar perempuan kasar!”
*******
Mengingat kembali kejadian tadi, membuat Aeri merasa lega. Setidaknya, dia sudah membalas Ibu Mertuanya itu.
“Tidak bisakah kamu sedikit menghormati mama, Ri?”
Tanpa menoleh, Aeri sudah tahu siapa yang datang.
“Tidak bisa.”
Kembali, Aeri menghisap rokoknya dan membuat udara di balkon dipenuhi asap rokok.
“Hah….” Arvan menghela napas, “Padahal, dulu kamu tidak sekasar ini. Kamu juga angat baik pada orang tua.”
“Lah, mamamu aja nggak baik gitu, ngapain aku baik padanya.” Aeri berbalik, “apalagi anaknya juga sama seperti mamanya.”
“Jadi kamu tidak suka padaku?”
“Menurutmu?” tanya Aeri balik.
“Lalu kenapa kamu mau aku ajak menikah hari ini?”
“Oh, iya! Kita baru nikah tadi, kan? Kenapa rasanya seperti bertahun-tahun aku menikah? Apa gara-gara punya mertua, umurku rasanya jadi bertambah?” ucap Aeri mengalihkan pembicaraan.
Mendengar itu, Arvan menatap “istrinya” dalam. “Ri … please! Tolong serius.”
“Terserah.” Aeri lalu mematikan bara api rokoknya ke baju Arvan dan meninggalkan laki-laki itu di balkon.
Saat pergi, dia tidak menyadari ada seseorang yang semenjak tadi mendengar percakapannya dan Arvan.
Orang itu tersenyum, sebelum menemui Arvan di balkon.
********
“Istrimu benar-benar perempuan yang menarik.”
Suara dari belakang membuat Arvan memutar bola mata malas. “Sialan! Apanya yang menarik dari perempuan tidak tahu diri itu?”
Bugh!
Sebuah pukulan mendarat di pipi Arvan.
“Apa seperti itu bicaramu pada Papa Arvan?”
Melihat papanya, Arvan seketika sadar apa yang sudah dia katakan.
“Pa, maafkan Arvan. Aku tidak bermaksud bicara seperti tadi pada papa.”
Senopati, papa Arvan, lantas memegang pundak Arvan dan menatap putranya itu tajam.
Arvan terkejut. Awalnya, ia akan menolak untuk bicara dengan menggunakan alasan akan bekerja esok hari.
Tapi, Senopati semakin kencang mencengkram pundaknya. “Sepertinya, banyak hal yang harus kita bicarakan, terutama mengenai identitas Aeri.”
Berbeda dengan Arvan yang tidak bisa tertidur nyenyak, maka berbeda halnya dengan Aeri. Selimut hangat yang menyelimutinya membuat Aeri tidak mau beranjak dari sana, hingga sesuatu tiba-tiba memeluknya yang masih terbungkus selimut.“Hei, Arvan! Aku kan sudah bilang kalau kamu tidak juga bangun pagi-pagi aku akan memelukmu seperti ini.”Aeri terkejut mendengar suara perempuan sangat indah.Dalam hati, ia membatin bahwa perempuan yang memeluknya ini pasti adalah perempuan cantik. “Ayo, Arvan! Bangun! Mau sampai kapan hah kamu terus tidur begini?” Suara indah itu kini terdengar manja. Rasanya, seperti memiliki adik perempuan.Rasanya sangat menyenangkan mendengar suara indah perempuan pagi-pagi begini.“Tante Rullis menyuruhku membangunkanmu. Ayo, dong bangun!”Mendengar nama mertuanya disebut, Aeri seketika malas. Tapi, Aeri penasaran. Siapa perempuan ini? Dan mengapa si makla menyuruh perempuan itu membangunkan putranya? Apa mertuanya itu lupa kalau putranya itu sudah punya istri?
“Apa salahnya Frisya masuk ke kamarmu? Kalian kan sudah kenal sejak lama? Mama juga hanya menyuruhnya untuk membangunkanmu, itu saja! Karena kamu dan istrimu yang tidak tahu diri itu belum juga bangun, makanya mama menyuruh Frisya,” cecar Rullistya tanpa jeda, “lalu istrimu juga! Pagi-pagi, bukannya sudah bangun, malah masih tidur! Bagaimana bisa orang seperti itu menjadi menantuku?”Rullistya memegang lehernya yang tegang. Dia benci menantunya itu dan kesal dengan anaknya yang memilih perempuan seperti itu.“Tante … tenanglah! Tidak baik tante marah-marah begini. Bagaimana kalau tekanan darah tante naik lagi?” Frisya mencoba menenangkan Rullistya.Melihat bagaimana Frisya bersikap baik dihadapan Mamanya, membuat Arvan muak. Dia pun memalingkan wajah dari pemandangan menjijikan itu. Dia tidak mengerti bagaimana mamanya bahkan Idris menyukai perempuan ini?Insting Arvan mengatakan bahwa Frisya tidaklah “sebaik” yang dia tunjukkan.“Bagaimana Tante tidak marah, Sya? Perempuan kasar ti
Arvan masih berusaha menutupi tubuh Aeri dengan badannya. Namun, Aeri justru mendorong Arvan ke samping.“Apa sih? Memang ada yang salah dengan pakaianku? Sudah, minggir, dong! Gerah tahu.” Perempuan itu bahkan melepas jaket yang ia pakai.“Tapi, kerudungmu?” “Mulai sekarang, aku tidak mau pakai kerudung!” Perkataan Aeri membuat semua orang kembali terkejut. Dia lalu melirik pada mama mertuanya yang membuka mulutnya lebar-lebar. “Daripada nanti ada yang nyindir-nyindir kerudungan, tapi tingkahnya seperti setan. Mending, aku lepas saja kerudungku. Kasihan citra kerudung jadi rusak gara-gara orang seperti itu, kan?”“Kamu!” Rullistya hendak menghampiri Aeri yang terang-terangan menyindirnya. Tapi, beruntung Senopati menahannya. “Kamu menyindirku?!” teriak Rullistya lagi.Aeri hanya diam, tetapi dia menatap balik mertuanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut.“Sudahlah, ma! Soal kerudung, itu terserah Aeri mau memakainya apa tidak. Lebih baik sekarang, kita selesaikan masalah h
Arika mengernyitkan alisnya. “Bukannya kamu bilang kamu sudah diusir?”Aeri sontak mengangguk. Sebenarnya, bukan hanya dia saja yang diusir, tapi Arvan juga.“Iya, tapi aku tidak diusir sendirian. Suamiku juga diusir.”Aeri tiba-tiba mengingat ucapan ayah mertuanya. Mungkin, lebih tepatnya dia dan Arvan disuruh pindah rumah.“Aeri, akan pergi dari rumah ini! Tidak, dia memang harus pergi bersama Arvan. Bagaimanapun, mereka sudah menikah. Dia sudah seharusnya mereka hidup mandiri. Papa juga sudah menyiapkan rumah untuk mereka tempati,” ucap Senopati yang sang istri tidak terima dan kembali marah-marah.“Kenapa Arvan juga pergi? Apa papa mau mereka tinggal berdua saja? Tidak! Mama tidak setuju.”Sayangnya, keputusan Senopati tidak bisa diubah. Aeri dan Arvan tetap harus pindah dari rumah mereka.Aeri sendiri senang-senang saja jika disuruh pindah. Dengan begitu, dia tidak harus mendengar ocehan Rulistya setiap harinya. Arvan juga adalah suaminya, jadi jelas dia tidak masalah hanya tin
Setelah kemarin Aeri pingsan gara-gara melihat foto anak kecil itu. Aeri lalu menurunkan foto yang di frame besar itu dan menaruhnya di gudang. Tidak hanya foto itu saja, tapi semua foto yang ada juga dia pindah ke gudang.Arvan yang melihat kesibukan Aeri memindah foto-foto itu sama sekali tidak ada niatan untuk membantunya. Dia lebih suka disibukkan dengan laptop di depannya, daripada membantu Aeri yang kekeh ingin membersihkan sendiri rumah yang akan mereka tempati ini. Padahal Arvan sudah berniat memanggil jasa kebersihan, tapi Aeri menolak. Bahkan dari semalam setelah dia sadar dari pingsannya, Aeri sudah akan kembali ke rumah ini, butuh waktu lama bagi Arvan untuk menahan Aeri agar tidak pergi, dimana selain karena sudah malam, hotel tempat mereka bermalam juga jaraknya cukup jauh dari tempat calon rumah mereka itu.Di tambah lagi, dia juga khawatir dengan kondisi Aeri yang baru saja sadar dari pingsannya."Aeri, kamu gak apa-apa kan? Kenapa kamu bisa tiba-tiba pingsan lihat fot
Beres-beres rumah terasa lebih cepat waktu Arvan membantunya.Entah malaikat mana yang merasuki suaminya itu sampai dengan sendirinya mau berinisiatif membantu.Aeri menopang dagunya di atas gagang sapu, pandangannya tidak lepas menatap Arvan yang tengah membersihkan sarang laba-laba di atas lemari buffet."Kenapa?" Tanya Arvan yang sadar semenjak tadi ditatap oleh Aeri."Lama, kapan kamu selesai bersihin sarang laba-labanya, aku mau nyapu.""Sabar, sebentar lagi akan selesai.""Cih, tadi juga bilangnya sebentar lagi," gerutu Aeri, dia memutar bola matanya—jengah dengan ucapan sebentar lagi Arvan yang tidak kunjung selesai. "Tau gini, mending aku selesain sendiri saja bersih-bersihnya."Andaikan Arvan tega, dia juga tidak mau membantu Aeri bersih-bersih. Dia sebenarnya sudah kesal, semenjak tadi Aeri selalu menyuruhnya membersihkan ini itu, padahal dia belum selesai mengerjakan satu hal dia sudah disuruh mengerjakan hal yang lain."Kenapa juga aku tadi harus kasihan lihat kamu bersih
"Hai, Frisya!" Setelah kejadian hari itu, Aeri sama sekali tidak merasa canggung waktu kembali bertemu dengan Frisya, tidak seperti Frisya yang menatap Aeri waspada."Frisya aja nih yang disapa? Aku nggak Ri?" Idris yang datang bersama dengan Frisya bertanya seolah dia sedih Aeri menghiraukannya."Sorry, aku nggak lihat kamu juga datang," balas Aeri yang membuat wajah Idris menjadi masam."Asem!" Umpat laki-laki itu."Kalian berdua kesini ngapain?" Tanya Aeri, "terutama kamu Frisya, kamu kesini ada apa?" Tanya Aeri antuasias waktu bertanya ada Frisya.Tingkah Aeri yang seperti tertarik padanya membuat Frisya merasa tidak nyaman."Arvan bilang dia butuh bantuan untuk bersih-bersih rumah barunya, jadi aku kesini buat bantu kalian, dan kebetulan aku bertemu Frisya, dia juga ada keperluan dengan Arvan soal masalah pekerjaan," jelas Idris sembari matanya melihat ke sekeliling ruangan.Tadinya Idris kira akan mudah hanya bantu bersih-bersih rumah saja, tapi siapa sangka begitu melihat ruma
Seekor tikus yang tiba-tiba terbang ke arah Arvan dengan cepat berlari memanjat tembok dapur dan menghilang di celah langit-langit.Tubuh Arvan seketika membeku. Tikus adalah satu-satunya mahkluk dari kalangan hewan yang sangat dia benci. Satu tikus mungkin sudah pergi, tapi di dalam kulkas masih ada tikus-tikus yang lain, bahkan anak-anak tikus yang masih merah juga ada.Arvan tidak sempat menutup kembali pintu kulkas waktu satu dua tikus kembali kabur.Raut wajahnya masih bisa tenang, tapi matanya tidak lepas memperhatikan gerak gerik tikus-tikus itu yang kini malah semakin mendekat kearahnya.Seekor tikus sudah mendekati kakinya, saat Arvan akan menendang tikus itu, sayangnya tendangannya tidak kena. Tikus itu berhasil kabur.Sebelum tikus di dalam kulkas juga kabur, Arvan dengan keras menutup pintu kulkas.Saat Arvan akan pergi dari sana, tiba-tiba kakinya tidak sengaja menginjak tikus kecil.Cit ...cit ...cit Tikus itu bercicit, menggeliat kesakitan sebelum akhirnya berhasil l