Seekor tikus yang tiba-tiba terbang ke arah Arvan dengan cepat berlari memanjat tembok dapur dan menghilang di celah langit-langit.Tubuh Arvan seketika membeku. Tikus adalah satu-satunya mahkluk dari kalangan hewan yang sangat dia benci. Satu tikus mungkin sudah pergi, tapi di dalam kulkas masih ada tikus-tikus yang lain, bahkan anak-anak tikus yang masih merah juga ada.Arvan tidak sempat menutup kembali pintu kulkas waktu satu dua tikus kembali kabur.Raut wajahnya masih bisa tenang, tapi matanya tidak lepas memperhatikan gerak gerik tikus-tikus itu yang kini malah semakin mendekat kearahnya.Seekor tikus sudah mendekati kakinya, saat Arvan akan menendang tikus itu, sayangnya tendangannya tidak kena. Tikus itu berhasil kabur.Sebelum tikus di dalam kulkas juga kabur, Arvan dengan keras menutup pintu kulkas.Saat Arvan akan pergi dari sana, tiba-tiba kakinya tidak sengaja menginjak tikus kecil.Cit ...cit ...cit Tikus itu bercicit, menggeliat kesakitan sebelum akhirnya berhasil l
"Kenapa malah nanya sih, Ri. Sudah jelaslah karena kamu itu cemburu melihat Arvan memeluk perempuan lain. Sama kayak aku yang cemburu waktu dengar kalau Arvan memeluk dan bilang suka pada Frisya." Idris tersenyum kecut waktu mengatakannya."CK, aku tidak sengaja memeluknya. Kukira dia tadi Aeri."Frisya mengepal tangannya erat-erat, padahal dia tidak menganggap pelukan Arvan bukanlah ketidaksengajaan. Tapi mendengar Arvan yang berkata seperti itu membuatnya semakin benci pada Aeri.Pada perempuan yang sudah merebut Arvan darinya."Sepertinya hubunganmu dan Aeri sangat baik ya, Van?" Tanya Frisya, dia meremas ujung gaunnya di bawah meja sembari dia memaksa untuk tersenyum."Tentu, karena kami suami istri.""Oh iya, aku belum mengucap selamat atas pernikahan kalian. Selamat ya Arvan atas pernikahanmu dan Aeri." Ada jeda sejenak sebelum Frisya menyebut nama Aeri."Terimakasih atas ucapannya, Frisya." Aeri bicara lebih dulu, perempu
Sembari menunggu rumah baru mereka selesai dibersihkan dan di renovasi. Arvan dan Aeri untuk sementara tinggal di hotel."Pokoknya aku nggak mau kita tinggal di kamar terpisah, titik." Aeri masih kekeh dengan keputusannya."Kita bahkan bukan suami istri sungguhan, untuk apa kita tinggal di kamar yang sama?""Tapi pernikahan kita sah, kan? Hanya kamu saja yang berpikir pernikahan kita palsu."Sebelumnya Arvan sudah memutuskan untuk tinggal di kamar terpisah selama di hotel. Tapi Aeri tidak mau, dia kekeh ingin mereka tinggal di kamar yang sama yang alhasil membuat keduanya kembali ribut."Aku tidak peduli apa tanggapanmu soal pernikahan kita, aku bahkan tidak akan pernah menganggapmu sebagai istriku."Mendengar perkataan Arvan, Aeri dengan sekuat tenaga meninju wajah Arvan hingga membuat sudut bibir laki-laki itu sedikit robek.Aeri lalu mencengkram kerah baju Arvan—mendekatkan kepalanya dengan kepala suaminya itu."Apa aku belum pernah b
Matahari sudah semakin tinggi, sudah hampir 2 jam Aeri menunggu kedatangan Idris."Hoaamm...."Cuaca yang cerah dan angin sepoi-sepoi membuat Aeri merasa ngantuk.Apalagi taman yang dia datangi sedang tidak ramai.Aeri menggerak-gerakkan kakinya, dia tidak henti melihat ke kanan kiri."Dia kapan sih sampainya?" Monolognya sambil mencoba menghubungi Idris.Angin kembali berhembus, tanpa sadar Aeri menutup matanya, dia yang sejak tadi mencoba menghilangkan rasa kantuknya, pada akhirnya tidak bisa melawan.Dia pun tertidur di bangku taman.Srak ...srak ...srakRasanya seperti mimpi saat samar-samar Aeri mendengar suara daun terinjak.Namun saat suara itu semakin dekat, Aeri tersadar kalau itu bukan mimpi. Dia sudah bangun, tapi karena malas, dia masih menutup matanya.Dia baru membuka mata saat merasa ada seseorang di dekatnya. Orang itu sama sekali tidak bicara, begitu merasakan orang itu semakin mendek
Tema pemotretan hari itu bernuansa awan-awan. Untuk mendukung pemotretan, digunakan banyak sekali kapas sesuai dengan permintaan kliennya.Pemotretan hari itu cukup berat bagi Aeri, selain karena masalahnya dengan Arvan, dia juga punya alergi dengan serat kapas.Berhati-hati saja dia masih merasakan gejala alerginya, ditambah dia yang tidak hati-hati dan terjatuh diatas tumpukan kapas, membuat alerginya malah kambuh.Akibatnya, dia pun tidak berhenti bersin-bersin, hidungnya juga mampet dan suaranya menjadi serak.Tapi beruntungnya, alerginya tidak bertahan lama dan 2 jam setelahnya, alerginya mereda.Meski sesekali dia masih bersin-bersin."Hatchimm, Arika!" Panggil Aeri, dia kembali ke studionya.Arika yang tengah bersih-bersih studio segera menemui Aeri."Kamu ngapain balik, masih banyak kapas di studio, pulang sana," usir Arika."Iya, nanti aku pulang kok, hatchim...." Aeri menyerahkan tas laptop pada Arika.
Suhu tubuh Aeri mencapai 38,3 derajat Celcius. Arvan mengganti kompres di dahi Aeri. "Halo paksu, apakah kamu tidak marah lagi dengan istrimu?" Dalam keadaan demam, Aeri masih sempat berbicara. Seolah tak merasakan sakit, wanita itu malah tersenyum padanya. "Bisa diam, tidak." Arvan belum sepenuhnya memaafkan Aeri atas kejadian kemarin. Dia juga tidak akan mau menjaga Aeri jika bukan karena dia harus. Aeri tiba-tiba tertawa, dia menyentuh wajah Arvan yang tangannya langsung disingkirkan, dia tidak menyerah, dia mengulangi perbuatannya hingga Arvan kesal. "Aeri, kamu tidak mendengar apa yang aku katakan padamu." Aeri mengernyit sesaat mendengar jepretan Arvan. "Tapi aku suka menyentuh Arvan, wajah Arvan dingin, tidak seperti wajahku, panas." Dia menyentuh wajahnya. “Jangan aneh-aneh, Ri.” Tiba-tiba Airi menangis. "Kenapa Arvan seperti itu, dia jahat sekali pada Aeri." Arvan tidak tahu harus bagaimana menanggapi Aeri. Ia bahkan heran dengan tingkah Aeri yang tidak biasa. "Ae
Aeri mengira laki-laki itu adalah Arvan."Van, aku minta maaf, kamu pasti marah ya sama aku.""Do, siapa perempuan itu, kamu selingkuh ya dariku."Laki-laki itu yang tiba-tiba dipeluk, menggeleng mendengar tuduhan pacarnya."Sumpah beb, aku nggak selingkuh kok, aku juga nggak tahu perempuan ini siapa."Laki-laki itu mencoba melepas pelukan Aeri, "mbak, tolong lepaskan. Ini saya bukan Arvan.""Arvan kok gitu sih?" Bukannya melepaskan, Aeri malah semakin memeluk erat laki-laki itu."Ri!" Arika menyusul Aeri, dia juga turut mencoba melepaskannya dari laki-laki itu. "Lepaskan dia, Ri. Jangan buat orang malu, deh.""Mbak, ini temannya mabuk ya?" Tanya laki-laki itu.Arika menarik lurus bibirnya, "enggak kok mas, teman saya ini lagi sakit."Kata 'sakit' yang Arika katakan terdengar ambigu. Laki-laki dan perempuan itu pada akhirnya menatap Aeri kasihan."Kok orang sakit dibiarkan lepas sih mbak? Tolong temannya ba
"Kita itu hanya sebatas teman, aku tidak bisa menganggapmu lebih dari itu.""Aku tidak mau menikahi Frisya.""Aku tidak mencintaimu."Kata-kata yang pernah Arvan katakan terlintas di benak Frisya. Dia di ruangannya menatap kearah jendela.Dia selalu bertanya-tanya, apa yang kurang darinya sampai Arvan tidak mencintainya, apa kurangnya dia daripada Aeri.Frisya meremas telapak tangannya. Dia membelai foto Arvan di ponselnya."Kenapa sih, Van. Kamu tidak mau sama aku?" Monolognya, "apa kelebihan Aeri sampai kamu menikahinya? Aku mencintaimu Arvan, sangat-sangat mencintaimu."Idris yang mendengar perkataan Frisya waktu dia masuk ke ruangan perempuan itu, hanya tersenyum pahit.Cinta segitiga ini sangat menyesakkan. Selama lima tahun dia yang mencintai perempuan itu, tapi cinta Frisya malah untuk Arvan."Hai, Sya," Idris menyapa Frisya yang sepertinya tidak sadar dengan kedatangannya.Dia menaruh buah dan bunga di nak