Berbeda dengan Arvan yang tidak bisa tertidur nyenyak, maka berbeda halnya dengan Aeri.
Selimut hangat yang menyelimutinya membuat Aeri tidak mau beranjak dari sana, hingga sesuatu tiba-tiba memeluknya yang masih terbungkus selimut.
“Hei, Arvan! Aku kan sudah bilang kalau kamu tidak juga bangun pagi-pagi aku akan memelukmu seperti ini.”
Aeri terkejut mendengar suara perempuan sangat indah.
Dalam hati, ia membatin bahwa perempuan yang memeluknya ini pasti adalah perempuan cantik.
“Ayo, Arvan! Bangun! Mau sampai kapan hah kamu terus tidur begini?” Suara indah itu kini terdengar manja. Rasanya, seperti memiliki adik perempuan.
Rasanya sangat menyenangkan mendengar suara indah perempuan pagi-pagi begini.
“Tante Rullis menyuruhku membangunkanmu. Ayo, dong bangun!”
Mendengar nama mertuanya disebut, Aeri seketika malas.
Tapi, Aeri penasaran. Siapa perempuan ini? Dan mengapa si makla menyuruh perempuan itu membangunkan putranya?Apa mertuanya itu lupa kalau putranya itu sudah punya istri?
Kalau tidak, apakah etis menyuruh perempuan lain datang ke kamar putranya yang sudah menikah?
“Cih, emang dasar Mak Lampir tuh ibu-ibu boomer,” batin Aeri kesal.
“Ehh, tunggu! Arvan, tubuhmu kok kurusan gini?”
Tangan perempuan itu tiba-tiba bergerak dan meraba tubuh Aeris; dari kepalanya lalu semakin turun. Bahkan, tangan perempuan itu tidak sengaja menyentuh dadanya.
Aeri lantas menutup mulutnya. Dia menahan diri untuk tidak tertawa karena geli.
“Arvan kamu sakit, ya? Padahal, baru satu minggu aku pergi. Tapi, berat badanmu kenapa menurun drastis begini?”
Aeri masih saja diam. Dia membiarkan perempuan itu salah mengira dirinya sebagai Arvan.
Rasanya menyenangkan bermain-main dengan perempuan itu. Aeri bahkan masih ingin melakukannya lebih lama. Tapi sayangnya, Arvan malah tiba-tiba datang.
“Frisya! Apa yang kamu lakukan di kamarku?”
“Arvan?!” Perempuan bernama Frisya itu tampak terkejut. “Kamu kok di sana? Lalu, siapa yang ada di sini?”
Frisya mungkin menunjuk padanya di luar selimut.
Tak lama, Aeri pun membuka selimut yang menutupinya.
Dan seperti yang dia duga, perempuan itu sangat cantik.
Tanpa sadar, Aeri menarik tangan Frisya agar dia bisa melihat lebih dekat wajah cantik itu. Sebagai fotografer, jelas dia peka dengan objek indah yang layak difoto.
“Girl! You look so sexy! Ini masih pagi dan membuatku ingin segera mengambil kameraku,” ucap Aeri berbinar.
Sementara itu, Frisya tampak terkejut dengan perkataan Aeri.
Tidak hanya terkejut, dia juga merinding.
Tak jauh dari sana, Arvan pun tertegun. Dia melupakan satu hal penting tentang Aeri. Perempuan itu mencintai orang-orang rupawan, seperti Frisya!
“I think I want a Kiss,” lirih Aeri tiba-tiba membuat Frisya berteriak.
“Arrgh!” Frisya pun berteriak. Tidak hanya itu, dia juga memukul wajah Aeri dan segera menjauh dari perempuan itu.
“Shit,” umpat Aeri, “aku kan hanya ingin ingin permen kiss.”
Dia memang biasa makan permen saat bangun tidur untuk menghilangkan asam di mulut. Tapi, Frisya sepertinya salah mengartikan pada kiss yang lain.
Aeri lantas duduk di atas tempat tidur sambil mengusap-usap wajahnya yang sakit.
Dia juga menatap Frisya yang bersembunyi di belakang Arvan.
“Untung cantik,” ucap Aeri malas.
Yang jika diartikan, Aeri tidak marah Frisya memukulnya.
Bagaimana bisa Aeri marah? Dia pecinta wajah cantik.
Hal sepenting ini, bagaimana bisa Arvan melupakannya?
*******
“Arvan! Istrimu itu benar-benar gila! Bagaimana bisa dia melecehkan Frisya di rumah mama? Pokoknya, mama tidak mau tahu! Mama mau perempuan itu keluar dari rumah ini.”
Aeri mengorek telinganya dengan jari manisnya.
Teriakan Rullistya dapat terdengar sampai depan rumah.
Padahal, mertuanya itu ada di ruang tengah.
Aeri masih memakan permen kissnya.
Pagi-pagi sekali, dengan hanya memakai tank top dengan dipadukan jaket dan celana pendek, Aeri keluar dari rumah.
Dia merenggangkan tangannya, menghirup udara pagi yang tercemar polusi.
Barulah Aeri menyadari bahwa perempuan yang dijodohkan dengan Arvan bernama Frisya.
“Jika benar perempuan cantik tadi yang dijodohkan dengannya, bagaimana bisa Arvan tidak mau dengan perempuan itu?” gumam Aeri bingung sambil memperhatikan rumah keluarga Arvan.
Rumah keluarga sang suami ini sangat besar. Di depan rumah ada kebun bunga, sementara untuk garasi penuh dengan mobil dan motor. Ada seorang pembantu yang tengah menyiram kebun bunga itu, dan di depan gerbang utama, dua satpam tengah bermain catur di posnya.
“Halo, semua!” sapa Aeri ramah melihat pegawai-pegawai di rumah ini.
Melihat Aeri yang dengan santai keluar rumah sambil menyapa mereka, semua menatapnya heran.
Mereka mungkin bertanya-tanya siapa dia, tapi Aeri tidak peduli.
Dia pun keluar dari rumah–terlalu malas mendengar mama mertuanya marah-marah pagi-pagi.
Lebih baik, dia olahraga saja.
******
Sementara itu, ketegangan masih berlanjut dalam rumah.
Rullistya terus saja mengomel. Emosinya menjadi-jadi karena orang yang ingin dimarahi, malah tak terlihat.
Jadi, wanita itu melimpahkan semua kepada Arvan.
Merasa lelah, Arvan yang sedari tadi diam pun menghela napas panjang.
Dia menatap ibunya dalam. “Tapi, mama juga salah. Kenapa mama membiarkan Frisya masuk ke kamar kami yang pengantin baru?”
“Apa salahnya Frisya masuk ke kamarmu? Kalian kan sudah kenal sejak lama? Mama juga hanya menyuruhnya untuk membangunkanmu, itu saja! Karena kamu dan istrimu yang tidak tahu diri itu belum juga bangun, makanya mama menyuruh Frisya,” cecar Rullistya tanpa jeda, “lalu istrimu juga! Pagi-pagi, bukannya sudah bangun, malah masih tidur! Bagaimana bisa orang seperti itu menjadi menantuku?”Rullistya memegang lehernya yang tegang. Dia benci menantunya itu dan kesal dengan anaknya yang memilih perempuan seperti itu.“Tante … tenanglah! Tidak baik tante marah-marah begini. Bagaimana kalau tekanan darah tante naik lagi?” Frisya mencoba menenangkan Rullistya.Melihat bagaimana Frisya bersikap baik dihadapan Mamanya, membuat Arvan muak. Dia pun memalingkan wajah dari pemandangan menjijikan itu. Dia tidak mengerti bagaimana mamanya bahkan Idris menyukai perempuan ini?Insting Arvan mengatakan bahwa Frisya tidaklah “sebaik” yang dia tunjukkan.“Bagaimana Tante tidak marah, Sya? Perempuan kasar ti
Arvan masih berusaha menutupi tubuh Aeri dengan badannya. Namun, Aeri justru mendorong Arvan ke samping.“Apa sih? Memang ada yang salah dengan pakaianku? Sudah, minggir, dong! Gerah tahu.” Perempuan itu bahkan melepas jaket yang ia pakai.“Tapi, kerudungmu?” “Mulai sekarang, aku tidak mau pakai kerudung!” Perkataan Aeri membuat semua orang kembali terkejut. Dia lalu melirik pada mama mertuanya yang membuka mulutnya lebar-lebar. “Daripada nanti ada yang nyindir-nyindir kerudungan, tapi tingkahnya seperti setan. Mending, aku lepas saja kerudungku. Kasihan citra kerudung jadi rusak gara-gara orang seperti itu, kan?”“Kamu!” Rullistya hendak menghampiri Aeri yang terang-terangan menyindirnya. Tapi, beruntung Senopati menahannya. “Kamu menyindirku?!” teriak Rullistya lagi.Aeri hanya diam, tetapi dia menatap balik mertuanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut.“Sudahlah, ma! Soal kerudung, itu terserah Aeri mau memakainya apa tidak. Lebih baik sekarang, kita selesaikan masalah h
Arika mengernyitkan alisnya. “Bukannya kamu bilang kamu sudah diusir?”Aeri sontak mengangguk. Sebenarnya, bukan hanya dia saja yang diusir, tapi Arvan juga.“Iya, tapi aku tidak diusir sendirian. Suamiku juga diusir.”Aeri tiba-tiba mengingat ucapan ayah mertuanya. Mungkin, lebih tepatnya dia dan Arvan disuruh pindah rumah.“Aeri, akan pergi dari rumah ini! Tidak, dia memang harus pergi bersama Arvan. Bagaimanapun, mereka sudah menikah. Dia sudah seharusnya mereka hidup mandiri. Papa juga sudah menyiapkan rumah untuk mereka tempati,” ucap Senopati yang sang istri tidak terima dan kembali marah-marah.“Kenapa Arvan juga pergi? Apa papa mau mereka tinggal berdua saja? Tidak! Mama tidak setuju.”Sayangnya, keputusan Senopati tidak bisa diubah. Aeri dan Arvan tetap harus pindah dari rumah mereka.Aeri sendiri senang-senang saja jika disuruh pindah. Dengan begitu, dia tidak harus mendengar ocehan Rulistya setiap harinya. Arvan juga adalah suaminya, jadi jelas dia tidak masalah hanya tin
Setelah kemarin Aeri pingsan gara-gara melihat foto anak kecil itu. Aeri lalu menurunkan foto yang di frame besar itu dan menaruhnya di gudang. Tidak hanya foto itu saja, tapi semua foto yang ada juga dia pindah ke gudang.Arvan yang melihat kesibukan Aeri memindah foto-foto itu sama sekali tidak ada niatan untuk membantunya. Dia lebih suka disibukkan dengan laptop di depannya, daripada membantu Aeri yang kekeh ingin membersihkan sendiri rumah yang akan mereka tempati ini. Padahal Arvan sudah berniat memanggil jasa kebersihan, tapi Aeri menolak. Bahkan dari semalam setelah dia sadar dari pingsannya, Aeri sudah akan kembali ke rumah ini, butuh waktu lama bagi Arvan untuk menahan Aeri agar tidak pergi, dimana selain karena sudah malam, hotel tempat mereka bermalam juga jaraknya cukup jauh dari tempat calon rumah mereka itu.Di tambah lagi, dia juga khawatir dengan kondisi Aeri yang baru saja sadar dari pingsannya."Aeri, kamu gak apa-apa kan? Kenapa kamu bisa tiba-tiba pingsan lihat fot
Beres-beres rumah terasa lebih cepat waktu Arvan membantunya.Entah malaikat mana yang merasuki suaminya itu sampai dengan sendirinya mau berinisiatif membantu.Aeri menopang dagunya di atas gagang sapu, pandangannya tidak lepas menatap Arvan yang tengah membersihkan sarang laba-laba di atas lemari buffet."Kenapa?" Tanya Arvan yang sadar semenjak tadi ditatap oleh Aeri."Lama, kapan kamu selesai bersihin sarang laba-labanya, aku mau nyapu.""Sabar, sebentar lagi akan selesai.""Cih, tadi juga bilangnya sebentar lagi," gerutu Aeri, dia memutar bola matanya—jengah dengan ucapan sebentar lagi Arvan yang tidak kunjung selesai. "Tau gini, mending aku selesain sendiri saja bersih-bersihnya."Andaikan Arvan tega, dia juga tidak mau membantu Aeri bersih-bersih. Dia sebenarnya sudah kesal, semenjak tadi Aeri selalu menyuruhnya membersihkan ini itu, padahal dia belum selesai mengerjakan satu hal dia sudah disuruh mengerjakan hal yang lain."Kenapa juga aku tadi harus kasihan lihat kamu bersih
"Hai, Frisya!" Setelah kejadian hari itu, Aeri sama sekali tidak merasa canggung waktu kembali bertemu dengan Frisya, tidak seperti Frisya yang menatap Aeri waspada."Frisya aja nih yang disapa? Aku nggak Ri?" Idris yang datang bersama dengan Frisya bertanya seolah dia sedih Aeri menghiraukannya."Sorry, aku nggak lihat kamu juga datang," balas Aeri yang membuat wajah Idris menjadi masam."Asem!" Umpat laki-laki itu."Kalian berdua kesini ngapain?" Tanya Aeri, "terutama kamu Frisya, kamu kesini ada apa?" Tanya Aeri antuasias waktu bertanya ada Frisya.Tingkah Aeri yang seperti tertarik padanya membuat Frisya merasa tidak nyaman."Arvan bilang dia butuh bantuan untuk bersih-bersih rumah barunya, jadi aku kesini buat bantu kalian, dan kebetulan aku bertemu Frisya, dia juga ada keperluan dengan Arvan soal masalah pekerjaan," jelas Idris sembari matanya melihat ke sekeliling ruangan.Tadinya Idris kira akan mudah hanya bantu bersih-bersih rumah saja, tapi siapa sangka begitu melihat ruma
Seekor tikus yang tiba-tiba terbang ke arah Arvan dengan cepat berlari memanjat tembok dapur dan menghilang di celah langit-langit.Tubuh Arvan seketika membeku. Tikus adalah satu-satunya mahkluk dari kalangan hewan yang sangat dia benci. Satu tikus mungkin sudah pergi, tapi di dalam kulkas masih ada tikus-tikus yang lain, bahkan anak-anak tikus yang masih merah juga ada.Arvan tidak sempat menutup kembali pintu kulkas waktu satu dua tikus kembali kabur.Raut wajahnya masih bisa tenang, tapi matanya tidak lepas memperhatikan gerak gerik tikus-tikus itu yang kini malah semakin mendekat kearahnya.Seekor tikus sudah mendekati kakinya, saat Arvan akan menendang tikus itu, sayangnya tendangannya tidak kena. Tikus itu berhasil kabur.Sebelum tikus di dalam kulkas juga kabur, Arvan dengan keras menutup pintu kulkas.Saat Arvan akan pergi dari sana, tiba-tiba kakinya tidak sengaja menginjak tikus kecil.Cit ...cit ...cit Tikus itu bercicit, menggeliat kesakitan sebelum akhirnya berhasil l
"Kenapa malah nanya sih, Ri. Sudah jelaslah karena kamu itu cemburu melihat Arvan memeluk perempuan lain. Sama kayak aku yang cemburu waktu dengar kalau Arvan memeluk dan bilang suka pada Frisya." Idris tersenyum kecut waktu mengatakannya."CK, aku tidak sengaja memeluknya. Kukira dia tadi Aeri."Frisya mengepal tangannya erat-erat, padahal dia tidak menganggap pelukan Arvan bukanlah ketidaksengajaan. Tapi mendengar Arvan yang berkata seperti itu membuatnya semakin benci pada Aeri.Pada perempuan yang sudah merebut Arvan darinya."Sepertinya hubunganmu dan Aeri sangat baik ya, Van?" Tanya Frisya, dia meremas ujung gaunnya di bawah meja sembari dia memaksa untuk tersenyum."Tentu, karena kami suami istri.""Oh iya, aku belum mengucap selamat atas pernikahan kalian. Selamat ya Arvan atas pernikahanmu dan Aeri." Ada jeda sejenak sebelum Frisya menyebut nama Aeri."Terimakasih atas ucapannya, Frisya." Aeri bicara lebih dulu, perempu