Share

Enam

Tak membuang waktu Marni segera memanggil Tanti dan berbicara padanya di dapur berdua saja, sementara Emak disuruhnya tuk menemani Dara dan Teh Sari di depan.

"Tan, langsung saja, ya, bibi mau nanya, kamu tahu bapak dari bayi yang dilahirkan Dara?" tanya Marni dengan memperhatikan wajahnya dengan seksama.

Tanti tampak gugup, ia memaikan jemarinya dan menunduk. 

"Tidak, Bi, jika tahu sudah Tanti beri tahu dari dulu!" serunya.

Ah ... lagi-lagi Marni merasa dibuat geram dengan tingkah bocah di depannya, menanyai Dara ... hanya diam seribu bahasa. Vina, banyak berkelit, dan kini Tanti. Marni yakin dia tahu sesuatu. Namun seperti ketakutan tuk berbicara padanya.

"Tan, jangan takut, bibi gak akan bilang siapa-siapa. Atau gini deh, kamu tahu gak siapa saja lelaki yang dekat dengan Dara? Bibi memang selalu bersama saat di pasar, tapi setelah di rumah 'kan kebanyakan tidurnya di rumah Nenek kalian, iya 'kan?" 

"Tapi 'kan gantian Bi ..., gak selalu bersama. Kalau  Dara yang nginep Tanti enggak," jawabnya yakin.

Marni sudah tak bisa berpikir lagi cara merayu Tanti dan akhirnya ia biarkan saja dia pergi tanpa bertanya lagi.

Lalu, tak lama Vina kembali menghampiri dan memberitahu bahwa dirinya telah menghubungi Ivan yang katanya akan datang nanti sore bersama bapaknya. Mau tak mau rencana pernikahan yang telah matang akan diadakan dua minggu lagi kini harus dibicarakan kembali.

"Bu, hampir siang ini sudah jam sebelas, sebaiknya Ibu makan dulu. Tadi A Deni beliin makanan dan lauk buat kita makan!" seru vina.

Namun, bukannya lapar, kini perasaan Marni tak karuan meski raganya lemas rasa ingin tahu bapak dari anaknya Dara dengan segera sudah tak terkira.

"Oya vin, ibu sampai lupa dengan urusan bayi dan hal lainnya. Untung ada kamu, terima kasih Vina, ibu tak tahu jika kamu tidak ada," ucapnya pada Vina.

"Makasih, Maaf. Itu terus kata-kata ibu dari semalam. Alhamdulillah kita punya saudara yang pengertian Bu, dari semalan Wa Sari ikut membantu mengurus bayi, bahkan teh Tari dan suaminya sigap mengurus segala keperluannya seperti membeli susu, diapers dan lain-lain. Mak Eem yang memberi perintah pada A Deni tuk membeli ini itu. Dia sih senang mengingat istrinya Teh Tari juga tengah hamil besar itung-itung lagi belajar katanya," jelas Vina pada sang ibu.

"Loh uangnya dari mana, Vin?"

"Dara yang beri Bu, mungkin uang pemberian calon mertuanya kemarin," tutur Vina.

Benar, Marni beruntung dikelilingi orang-orang yang perduli padanya. Jujur saja peristiwa semalam membuatnya tak karuan hingga kini. Bagaimana tidak? Dara melahirkan tiba-tiba dengan proses tak biasa, bahkan Marni baru menyadari, saat keluar sang bayi langsung terpisah dari ari-ari, tanpa harus dipotong dahulu tali penyambungnya. Juga Dara yang seperti mengeluarkan kotoran saja setelah melahirkan membuatnya bergidik ngeri. Namun, benar kata Mak Eem semalam, ia tengah menghadapi kejadian yang awalnya dilakukan atas hasutan setan, sungguh mengerikan.

Setelah memaksakan bersantap siang demi memiliki tenaga, Marni pun menemui Dara di ruang tengah yang ditemani Emak, Dan Teh Tuti juga tanti. Sementara Teh Sari telah pulang kerumah sepertinya, dan Mak Eem ijin pulang dahulu setelah selesai mengurusi bayi dan memastikan keadaan Dara baik-baik saja. 

"Assalamuallaikum ... " sapa seseorang di luar rumah.

Pintu depan memang segaja sudah di tutup rapat oleh Vina, karena lelah oleh para tetangga yang tak henti mendatangi rumah ini tuk melihat bayi Dara yang di lahirkan tiba-tiba. Saat Marni membuka pintu ternyata Juragan Heri yang menyapa, dia adalah orang terkaya di kampung ini, seorang pemilik beberapa usaha di pasar tempat Marni berjualan, dia memiliki beberapa kios perabotan, sayuran, dan juga pemilik usaha ayam potong ternama disini.

"Juragan ,... masuk Juragan," sambutnya mempersilahkan dan membuka pintu lebar-lebar.

"Kang Midun, tolong turunkan barang bawaan saya dari mobil dan serahkan pada Ceu Marni!" perintahnya pada supir pribadi yang mendampinginya.

Sang supir mengiayakan lalu menurunkan barang-barang yang ternyata tak sedikit. Ada perlengkapan bayi secara lengkap di sana, hingga kasur dan hal-hal kecil seperti sarung tangan dan lain-lain ia bawakan. Ada juga makanan dan buah-buahan yang banyak. Aku sampai terheran-heran menyaksikan ini semua.

"Maaf Juragan, ini semua untuk kami?" tanyaku heran.

"Iya Marni, di pasar ,berita soal Dara yang melahirkan tengah hangat jadi perbincangan. Setiap aku melangkah yang jadi pembicaraan adalah kejadian ini, saya prihatin Marni. Sebagai tetangga satu kampung walau berbeda RT, tentu aku peduli padamu dan keluarga."

"Pasti kalian butuh barang-barang ini semua 'kan Marni?" tanyanya kemudian.

Marni tak heran, mengingat dia seorang yang dermawan di kampung ini. Tak ia sangka saat mendapat musibah memalukan seperti ini dia masih mau peduli juga ternyata. Lalu Marni dan Juragan heri berbincang sebentar, dia pun berpamitan tuk pulang.

"Siapa yang datang, Bu? Barang-barang sebanyak ini siapa yang membawakan?" tanya Vina yang baru saja selesai mencuci perabotan di dapur.

"Juragan Heri, Vin," jawab ibunya datar.

"Hah, Juragan Heri?" tanggapnya seakan tak percaya. Vina langsung melirik adiknya Dara.

"Kenapa kaget begitu tanggapanmu Vin?" tanya Marni heran.

"Ah, tidak, Bu. Hanya heran saja dia baik banget bawain barang sebanyak ini," tuturnya.

Mungkin Vina belum tahu jika memang Juragan Heri seorang yang Dermawan di kampung ini.

Siang mulai beranjak senja dan kini mereka tengah menanti kedatangan Ivan dan Bapaknya. Emak, Teh Tuti dan Tanti juga sudah pulang kerumahnya masing-masing. Dan kini tinggal Marni dan ketiga anaknya beserta seorang bayi yang belum mereka kasih nama.

Marni merebahkan diri di samping bayi kecil yang kini telah terbungkus rapih oleh bedongan, dan aromanya sungguh wangi khas bayi, membuatnya bangkit kembali dan ingin menggendongnya.

"Kasihan kamu nak, terlahir dengan cara yang tak wajar seperti ini. Bahkan hingga kini aku belum tahu siapa Bapakmu?" lirihnya seraya memandangnya. Bayi itu begitu cantik seperti Dara ibunya.

Lalu ia lihat Dara berjalan menuju pintu dan membukanya. Ternyata Ivan sudah ada di halaman, mungkin ia telah mengirim pesan agar Dara keluar menemuinya. Mereka tampak berbincang sebentar, kemudian memasuki rumah ini. 

"Loh mana Bapakmu, Van?" tanya Marni saat menyambutnya. Ivan menciumi punggung tangannya dengan takjim, dia memang pemuda yang dikenal sopan dan berwibawa meski usianya masih dua puluh satu tahun.

"Nanti, Bu, nyusul," jawabnya seraya tersenyum.

Dia pun duduk di samping Marni dan memandangi bayi yang ada di pangkuannya. 

"Sudah diberi nama?" tanyanya memecah kecanggungan.

"Belum Van," jawab Marni.

"Bu, boleh saya gendong dan mengadzaninya?" 

Seketika Marni terhenyak luar biasa, bahkan bayi ini belum diadzani saat lahir tadi malam.

" Astagfirullah iya, Van, bayi ini belum di adzanin," ucapnya panik.

"Sudah, Bu, tadi sama A Deni," sela Dara.

Marni pun mengembuskan napas kasar tanda lega ....

"Maklum, Van, ini terjadi mendadak membuat ibu tak waras menghadapinya," ucapnya merasa buruk.

Kemudian ia serahkan bayi itu pada Ivan. Terlihat ia memandanginya lekat, lalu bulir bening mulai keluar dari mata tajamnya.

"Jangan takut, Bu, meski aku bukan Bapaknya tapi aku akan tetap menikahi Dara dan menjadi bapak dari bayi ini."

Bersambung ....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status