Tujuh bulan berlalu. Selama itu, aku sudah membiasakan diri memasang bantal di depan perutku agar aku terlihat tengah hamil.
Memang bukan hal yang mudah. Tak pernah kepikiran sama sekali, jika ternyata aku tak hanya harus membohongi kedua orangtuaku dan juga orangtuanya Mas Ilham, tapi juga banyak orang. Seperti teman-temannya ibu dan ayahnya Mas Ilham, teman-teman kantornya Mas Ilham, teman-temanku dan pegawai butik ku, dan juga banyak orang. Rasanya aku ingin mengulang waktu dan tidak membiarkan semua ini terjadi.Seperti kemarin saat syukuran empat bulanan dan tujuh bulanan. Banyak orang yang mengira jika aku tengah hamil. Sungguh, aku merasa sangat berdosa sekali. Tapi, Mas Ilham juga pernah berjanji jika dia akan mengungkapkan semua ini di waktu yang tepat.Kali ini, aku baru saja pulang ke rumah setelah dari butik. Aku turun dari mobil setelah memarkirkan mobil di bagasi mobil yang ada di rumah. Karena merasa risih, aku sengaja tidak memakai bantal itu.Aku hendak melangkah ke arah pintu rumah, namun di depan pintu rumah yang sudah terbuka, aku lihat Mas Ilham nampak panik dan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Ia terlihat memberikan isyarat."Ada apa, Mas ?" tanyaku heran."Sel, pakai bantal kamu, Sel. Ada ibu, Sel. Cepetan!" ucap Mas Ilham pelan. Rasanya jantungku seakan mau copot. Degupan jantungku begitu keras sampai terasa olehku sendiri. Tak pernah menyangka jika ibu mertuaku akan datang ke rumah."Ilham! Sela udah datang, Ham ?"Terdengar suara ibunya Mas Ilham dari dalam rumah. Aku lihat ke arah pintu, ibu terlihat mau keluar.Dengan cepat aku buru-buru kembali ke bagasi dan masuk ke mobil. Seperti yang aku lakukan selama berbulan-bulan ini, terpaksa aku harus kembali memasang bantal itu diperut ku. Tadi, aku menyimpannya di kursi belakang.Aku menghela nafas."Astaga.. sampai kapan aku harus kayak gini terus ? Maafkan aku ya Allah, semoga engkau memaafkan kesalahanku atas perbuatanku ini." Gumamku dalam mobil sambil menutup bajuku setelah selesai memasang bantal itu di depan perutku.Setelah selesai, aku keluar sambil memegang perutku yang sudah terlihat buncit. Aku kembali menuju pintu rumah. Ibu dan Mas Ilham masih ada di depan pintu rumah. Mereka sepertinya masih menungguku sejak tadi."Assalamualaikum, Bu.""Wa'alaikum salam," jawab Ibu dengan tatapan heran."Sela, Ilham bilang kamu ke butik ?""Iya, Bu. Sela habis dari butik," jawabku sambil mengulum senyum dan menyalami tangan ibu. Lalu, aku menyalami Mas Ilham."Ilham, kok kamu gak larang Sela, Sih ?! 'kan sudah ibu bilang, Sela gak boleh terlalu kecapean!" ucap ibu pada Mas Ilham.Mas Ilham hanya menggaruk kepalanya. Ia terlihat kebingungan."Sela yang salah kok, Bu. Sela sendiri yang ingin pergi ke butik untuk ingin mengetahui keadaan butik. Mas Ilham sudah melarang Sela, tapi Sela tetap ngotot untuk ingin pergi ke butik. Sela cuman bosan aja kalo di rumah terus, Bu."Selama ini, aku memang jarang ke butik. Semenjak aku pura-pura hamil, ibu terasa begitu semakin perhatian.Apalagi, disaat sudah berbulan-bulan ini. Disaat aku harus berpura-pura hamil seolah wanita yang tengah hamil tujuh bulan, ibu benar-benar terasa lebih ketat padaku daripada sebelumnya."Haduh.. Sela.. ibu itu gak mau kamu sama cucu ibu kenapa-kenapa. Apalagi, kamu nyetir mobil sendiri. Nanti, kamu pakai supir aja ya kalo mau jalan-jalan ?""Enggak usah, Bu. Aku agak kurang nyaman kalo pake supir. Sela lebih suka nyetir mobil sendiri.""Tapi 'kan ibu takut nanti kamu kecapean, Nak ?""Ibu tenang saja, ya ? Sela pasti akan baik-baik aja, Kok. Sela akan berusaha untuk tidak terlalu kecapean.""Udah, Bu. Sela 'kan baru pulang, masa sudah ibu marahi ?" ucap Mas Ilham yang sepertinya berusaha agar ibu tidak banyak berbicara kembali."Abisnya ibu khawatir sekali sama Sela dan Cucu ibu, Ham. Sela 'kan usia kehamilannya sudah besar. Kamu yang suaminya kok kayaknya biasa-biasa saja ? Kamu ini gimana, Sih ?! Emangnya kamu gak takut kalo Istri dan anak kamu kenapa-kenapa ?"Lagi-lagi Mas Ilham menggaruk kepalanya. Ia terlihat kebingungan."Eu-- bukan begitu, Bu. Tapi, Ilham cuma yakin aja kalo Sela bisa jaga diri, Bu.""Udah, Bu, Mas. Sela minta ma-af ya, Bu ? Lain kali, Sela akan berusaha untuk gak pergi-pergian lagi seperti sekarang."Setelah itu, ibu tak lagi mempermasalahkan. Kami masuk ke dalam rumah. Katanya, ibu akan menginap disini karena ayah mertuaku tengah ada tugas ke luar kota. Maklum saja, ibu hanya punya suami dan Mas Ilham---anak satu-satunya. Ibu mertuaku selalu merasa kesepian karena di rumahnya hanya ada asisten rumah tangga.Dari awal menikah, aku dan Mas Ilham sudah memilih pisah rumah dari kedua orangtua kami. Mas Ilham sudah membeli rumah di saat kami masih pacaran. Ia sudah merencanakan rumah yang kami tinggali saat ini untuk rumah kami berdua setelah kami menikah.Saat masih pacaran, Mas Ilham sudah menabung dari hasil kerjanya sebagai salah satu staf di sebuah perusahaan yang cukup besar untuk membeli rumah yang cukup mewah ini.*****Malam ini, di dalam kamar, Aku menyamping dan menatap pada Mas Ilham yang ada di sampingku. Ia juga belum tidur dan terlihat tengah menatap langit-langit kamar."Mas ?""Hem ?" tanyanya sambil menoleh padaku. "Kenapa, sayang ?""Semenjak aku pura-pura hamil, apalagi setelah berbulan-bulan ini, ibu jadi terasa terlalu overprotektif sama aku, Mas. Ibu kamu sampai sering menginap hanya untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku takut, Mas.." lirihku.Kemudian Mas Ilham mengelus rambutku dan menatap ku begitu lekat."Takut kenapa, Sayang ?""Nanti disaat waktunya lahiran. Aku harus bagaimana, Mas ? Keluarga aku dan keluarga kamu pasti ingin menemani aku lahiran ?""Aku juga sudah memikirkan hal ini. Aku berencana untuk beralasan pergi bersama kamu ke luar kota. Kita bilang saja, jika kamu sudah melahirkan. Dan datang-datang kesini, kita sudah membawa anak dari Ayu itu. Cuma itu cara agar tidak ada yang tahu rahasia kita ini.""Berarti sebentar lagi ya, Mas ? Sekarang, Ayu 'kan sudah hamil delapan bulan. Itu artinya, aku harus bilang lahiran disaat usia kehamilan ke delapan bulan ?""Iya, Sayang. Kita bilang saja bayinya prematur. Pokoknya, aku akan urus semua ini. Kamu gak usah khawatir, ya ?" ucap Mas Ilham. Ia lalu mencium keningku."Aku kangen kita memadu kasih lagi. Udah beberapa hari kita enggak melakukannya lagi. Lebih baik malam ini kita senang-senang, ya ? Kita lupakan dulu masalah ini ?"Aku memejamkan mata cukup lama. Memberikan tanda bahwa aku mengiyakan ucapan Mas Ilham. Sudah menjadi kewajiban ku untuk melakukan hubungan suami-istri bersamanya.Meskipun, aku tahu, aku tidak bisa hamil. Tapi, bagaimanapun juga Mas Ilham adalah suamiku. Aku sudah berkewajiban untuk menjadi pemuas nafsunya.Mas Ilham pun langsung kembali mencium keningku dan lalu mencumbui bibirku. Kami pun melakukan hubungan suami istri itu.Entah sampai kapan aku masih bisa bersamanya lagi. Jika sampai rahasia ini terbongkar, mungkin saja aku akan kembali disuruh pisah oleh ibu dan ayah mertuaku.Untuk saat ini, aku hanya berusaha menghargai waktu ku bersama Mas Ilham. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik sebagai istri untuk Mas Ilham disaat masih bisa bersamanya.Akhirnya, delapan bulan pun tiba. Waktu yang dinanti-nanti karena sebentar lagi anak Ayu akan segera lahir. Usia kehamilan Ayu saat ini sudah sembilan bulan. Saat aku dan Mas Ilham berkunjung ke rumahnya, Ayu mengatakan jika dari hasil laboratorium, hitungan kelahirannya tinggal dua minggu lagi. Dan untuk saat ini, aku dan Mas Ilham berencana untuk bepergian dengan alasan Mas Ilham ada kerjaan di luar kota. Ibunya Mas Ilham yang memang menjadi sering ke rumah bahkan sampai menginap, begitu menyayangkan rencana kepergian kami.Di depan pintu rumah, Mas Ilham sudah membawa koper karena kami memang berniat lama tinggal di luar kota sambil menunggu kelahiran Ayu. Saat ini aku dan Mas Ilham hendak pergi, namun ibu masih berusaha menahan."Sela.. kamu yakin mau ikut Ilham ke luar kota, Nak ? Usia kehamilan kamu 'kan sudah delapan bulan. Perut kamu sudah semakin besar dan semakin harus penuh penjagaan. Kamu disini aja ya, sama ibu ?""Maaf ya, Bu. Sela gak bisa jauh dari Mas Ilham. Untuk s
Aku dan Mas Ilham masih di Villa selama satu bulan ini. Mas Ilham sudah memberi kabar pada kedua orangtuaku dan orangtuanya, jika aku telah lahiran secara prematur. Ayu dan ibunya sudah pulang sejak satu minggu yang lalu. Bayinya Ayu kini sudah mulai aku rawat bersama Mas Ilham.Kebohongan ini benar-benar sudah terlanjur. Entah apa yang akan terjadi jika sampai banyak orang yang tahu akan pura-pura hamil ku selama ini. Juga akan anak Ayu yang kami sebutkan sebagai anak kandung ku dan Mas Ilham. Apalagi, jika sampai ibunya Mas Ilham yang tahu, mungkin ibu mertuaku pasti akan menyuruh Mas Ilham untuk menceraikan ku. Apalagi, yang paling bersikeras menginginkan Mas Ilham menceraikanku dan menikah lagi dengan perempuan lain adalah ibu.Di tempat tidur, Mas Ilham memangku anak Ayu yang sekarang sudah menjadi anak kami berdua. Mas Ilham nampak begitu sayang pada anak yang kami beri nama Zahra itu. Aku menyenderkan kepalaku di bahunya Mas Ilham sambil mengelus kepala bayi Ayu. Zahra ten
Beberapa minggu ini aku tidak pergi ke butik. Aku fokus untuk merawat Zahra di rumah. Rasanya, aku sudah merasa seperti seorang ibu berkat kehadiran Zahra. Aku terus memangku Zahra sambil memberinya susu formula. Tapi, kali ini Zahra terus menangis. Susu formula yang aku kasih juga terus terbuang kembali dari mulutnya.Aku benar-benar merasa panik dengan keadaan Zahra."Ya Allah, Zahra... Kamu kenapa, Nak ? Mamah jadi bingung kalo kamu nangis terus seperti ini.Karena sangat panik, aku memutuskan untuk menelpon Mas Ilham. Aku mengambil handphone-ku yang disimpan di atas laci kamar. Aku langsung menelpon Mas Ilham.Panggilan terhubung.[Ada apa, Sayang ? Aku lagi kerja] ucap Mas Ilham di balik telpon."Zahra, Mas. Zahra nangis terus, aku bingung mesti gimana. Di kasih susu formula juga terus dimuntahkan lagi."[Yaudah... Kamu lebih baik panggil dokter aja ke rumah ya, aku 'kan masih belum bisa pulang, Sayang.]Benar kata Mas Ilham, aku sampai tidak kepikiran saking paniknya."Iya, Mas
POV ILHAMAku baru pulang ke rumah setelah dari kantor. Saat membuka pintu rumah, aku lihat ibu tengah memangku Zahra. Ibu memang terlihat begitu sayang sekali pada Zahra. Sejak aku menikah dengan Sela, ibu selalu ingin cepat pulang cucu.Aku masuk dan mengucapkan salam, lalu menyalami tangan ibuku."Udah pulang kamu, Ham," tanya ibu. "Udah, Bu. Papah berangkat ke luar negeri lagi, Bu ?" "Iya, papah kamu sibuk terus. Katanya sekitar dua mingguan disana. Makannya ibu mau menginap disini.""Dua minggu, Bu ?" tanyaku menohok. Bukannya tidak memperbolehkan ibuku menginap, tapi aku takut jika rahasia yang selama ini ditutupi rapat-rapat, terbongkar. "Kenapa ? Kok kayaknya kamu kaget denger ibu mau menginap lama ?""Eu-- bukan begitu, Bu. Ilham cuma gak tega aja papah kerja sampai dua minggu di luar negeri," ucapku berbohong."Ah! kamu ini, kayak baru pertama kali ini aja kamu denger papah kamu ke luar negeri dalam waktu lama. Biasanya 'kan juga begini, Ham. Tapi, gak papalah, ibu jadi b
POV SELADi taman belakang rumah, aku tengah memberikan susu formula pada Zahra yang ada di kursi roda. Sesekali aku tersenyum melihat betapa lucunya dia. Zahra makin lama semakin gembul. Tubuhnya yang saat masih satu bulan, berbeda dengan yang sekarang setelah empat bulan. Ia semakin menggemaskan."Anak mamah cantik banget, sih. Pipinya juga makin tembem." Ucapku sambil memberikan susu formula dan mencubit pelan pipinya yang chubby.Tak lama handphone ku yang disimpan dimeja halaman berdering. Ada yang menelpon. Aku lihat sebentar siapa yang menelepon. Ternyata Ayu."Halo, Yu ? Kamu baik-baik saja ?" tanya ku karena takut Rio kembali menemuinya.[Rio datang ke butik, Bu. Ia sekarang a-ada di sebelah saya. Di-a sekarang mengancam saya, Bu.] Suara Ayu terdengar gugup dan ketakutan. Ternyata Rio tengah mengancamnya.[Heh, cepat kamu kasih uang padaku seratus juta. Jika tidak akan aku ambil anakku!] Deg! Jantungku berdebar begitu panik. Kini yang bersuara di balik telpon bukan Ayu, me
Satu minggu berlalu, Sela yang tengah mengasuh Zahra bersama Bu Tari--ibu mertuanya saling menoleh begitu ada yang mengetuk pintu rumah."Biar Sela saja yang bukakan pintunya, Bu.""Iya, Nak."Sela langsung beranjak dari sofa, ia berjalan untuk membuka pintu rumahnya. Dan ketika dia membuka pintu.Deg! Ia benar-benar merasa terkejut begitu melihat Rio yang sudah ada di teras depan rumahnya. Sejenak, Sela melihat ke arah dalam rumahnya, ia memastikan ibu mertuanya tidak melihat Rio."Ka-kamu, kamu ngapain kesini ?" tanya Sela yang ketakutan. Rio tertawa menyeringai. Ia senang melihat wanita di hadapannya takut kepada dirinya. "Jangan sok polos begitu, aku butuh uang.""Apa ? Uang ? Baru satu minggu yang lalu aku kasih kamu uang seratus juta. Apa sudah habis ?!" ucap Sela pelan."Yaiyalah.. kebutuhan ku banyak, aku ingin beli mobil. Uang yang kemarin udah masih kurang.""Aku gak akan beri kamu uang lagi! Aku bisa laporkan kamu ke polisi jika kamu terus memerasku."Rio terdiam dengan a
Bu Tari ingin ikut untuk mencari Zahra bersama Ilham dan Seka. Mereka bertiga pun pergi mencari Zahra. "Sepertinya kita mesti tanya ke Ayu, Sel. Ayu pasti tahu dimana Rio berada," ucap Ilham sambil menyetir mobil. Ibunya yang duduk dibelakang heran dengan pembicaraan Ilham."Siapa Rio, Ham ?"Sejenak, Ilham melihat ibunya dari yang dibelakang melalui kaca. Ia sampai lupa untuk tidak membahas soal Rio saat ada ibunya. Sela juga ikut panik mendengar pertanyaan ibunya."Eu-- ceritanya panjang, Bu. Nanti pasti akan aku jelaskan semuanya pada ibu, Ya ?"Sesampainya di rumah Ayu, tanpa basa-basi begitu datang bertemu dengan Ayu, Sela pun langsung menceritakan kejadiannya jika Zahra diculik."Apa, Bu ? Zahra diculik ?" tanya Ayu syock. Begitu juga dengan ibunya---Bu Ratna yang juga merasa syock cucunya di culik."Iya, Yu. Sepertinya, Rio juga takut keberadaannya diketahui polisi. Kemarin, Mas Ilham laporkan Rio ke polisi. Ia bahkan sampai sulit untuk dihubungi.""Kita yakin, Rio pasti yang
Rio lolos dari kejaran Ilham, ia keburu naik taksi dan tak terkejar. Bu Rita masih saja menangis di kursi dibelakang. Ayu yang ada disampingnya juga ikut merasa bersalah."Mas, lebih baik kita pulang saja ke rumah, keadaannya sedang kacau seperti ini. Kamu lihat ibu, ibu masih begitu syock. Masalah Rio kita serahkan ke polisi saja, ya ?" pinta Sela pada Ilham yang tengah menyetir mobil."Kamu benar, Sayang. Baiklah, kita pulang saja.""Yu, kamu ikut kita pulang ke rumah, ya ? Kita mesti sama-sama jelaskan semuanya pada ibu," ucap Sela."B-baik, Bu.""Bu, Ilham akan katakan yang sejujurnya pada ibu di hari ini juga, Bu," ucap Iham dengan penuh rasa bersalah.Ibunya tak mengatakan apapun. Ia masih memendam amarah dan rasa sedih yang mendalam.*****Sesampainya di rumah, semuanya langsung duduk di sofa ruang tamu."Jelaskan pada ibu Ilham! Apa yang sebenarnya terjadi ?!"Dengan penuh rasa bersalah, Ilham segera menghampiri ibunya. dia duduk bersimpuh dihadapan Ibunya."Ma-afkan aku, Bu.