Share

5. Menyembunyikan Rahasia

Tujuh bulan berlalu. Selama itu, aku sudah membiasakan diri memasang bantal di depan perutku agar aku terlihat tengah hamil.

Memang bukan hal yang mudah. Tak pernah kepikiran sama sekali, jika ternyata aku tak hanya harus membohongi kedua orangtuaku dan juga orangtuanya Mas Ilham, tapi juga banyak orang.

Seperti teman-temannya ibu dan ayahnya Mas Ilham, teman-teman kantornya Mas Ilham, teman-temanku dan pegawai butik ku, dan juga banyak orang. Rasanya aku ingin mengulang waktu dan tidak membiarkan semua ini terjadi.

Seperti kemarin saat syukuran empat bulanan dan tujuh bulanan. Banyak orang yang mengira jika aku tengah hamil. Sungguh, aku merasa sangat berdosa sekali. Tapi, Mas Ilham juga pernah berjanji jika dia akan mengungkapkan semua ini di waktu yang tepat.

Kali ini, aku baru saja pulang ke rumah setelah dari butik. Aku turun dari mobil setelah memarkirkan mobil di bagasi mobil yang ada di rumah. Karena merasa risih, aku sengaja tidak memakai bantal itu.

Aku hendak melangkah ke arah pintu rumah, namun di depan pintu rumah yang sudah terbuka, aku lihat Mas Ilham nampak panik dan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Ia terlihat memberikan isyarat.

"Ada apa, Mas ?" tanyaku heran.

"Sel, pakai bantal kamu, Sel. Ada ibu, Sel. Cepetan!" ucap Mas Ilham pelan. Rasanya jantungku seakan mau copot. Degupan jantungku begitu keras sampai terasa olehku sendiri. Tak pernah menyangka jika ibu mertuaku akan datang ke rumah.

"Ilham! Sela udah datang, Ham ?"

Terdengar suara ibunya Mas Ilham dari dalam rumah. Aku lihat ke arah pintu, ibu terlihat mau keluar.

Dengan cepat aku buru-buru kembali ke bagasi dan masuk ke mobil. Seperti yang aku lakukan selama berbulan-bulan ini, terpaksa aku harus kembali memasang bantal itu diperut ku. Tadi, aku menyimpannya di kursi belakang.

Aku menghela nafas.

"Astaga.. sampai kapan aku harus kayak gini terus ? Maafkan aku ya Allah, semoga engkau memaafkan kesalahanku atas perbuatanku ini." Gumamku dalam mobil sambil menutup bajuku setelah selesai memasang bantal itu di depan perutku.

Setelah selesai, aku keluar sambil memegang perutku yang sudah terlihat buncit. Aku kembali menuju pintu rumah. Ibu dan Mas Ilham masih ada di depan pintu rumah. Mereka sepertinya masih menungguku sejak tadi.

"Assalamualaikum, Bu."

"Wa'alaikum salam," jawab Ibu dengan tatapan heran.

"Sela, Ilham bilang kamu ke butik ?"

"Iya, Bu. Sela habis dari butik," jawabku sambil mengulum senyum dan menyalami tangan ibu. Lalu, aku menyalami Mas Ilham.

"Ilham, kok kamu gak larang Sela, Sih ?! 'kan sudah ibu bilang, Sela gak boleh terlalu kecapean!" ucap ibu pada Mas Ilham.

Mas Ilham hanya menggaruk kepalanya. Ia terlihat kebingungan.

"Sela yang salah kok, Bu. Sela sendiri yang ingin pergi ke butik untuk ingin mengetahui keadaan butik. Mas Ilham sudah melarang Sela, tapi Sela tetap ngotot untuk ingin pergi ke butik. Sela cuman bosan aja kalo di rumah terus, Bu."

Selama ini, aku memang jarang ke butik. Semenjak aku pura-pura hamil, ibu terasa begitu semakin perhatian.

Apalagi, disaat sudah berbulan-bulan ini. Disaat aku harus berpura-pura hamil seolah wanita yang tengah hamil tujuh bulan, ibu benar-benar terasa lebih ketat padaku daripada sebelumnya.

"Haduh.. Sela.. ibu itu gak mau kamu sama cucu ibu kenapa-kenapa. Apalagi, kamu nyetir mobil sendiri. Nanti, kamu pakai supir aja ya kalo mau jalan-jalan ?"

"Enggak usah, Bu. Aku agak kurang nyaman kalo pake supir. Sela lebih suka nyetir mobil sendiri."

"Tapi 'kan ibu takut nanti kamu kecapean, Nak ?"

"Ibu tenang saja, ya ? Sela pasti akan baik-baik aja, Kok. Sela akan berusaha untuk tidak terlalu kecapean."

"Udah, Bu. Sela 'kan baru pulang, masa sudah ibu marahi ?" ucap Mas Ilham yang sepertinya berusaha agar ibu tidak banyak berbicara kembali.

"Abisnya ibu khawatir sekali sama Sela dan Cucu ibu, Ham. Sela 'kan usia kehamilannya sudah besar. Kamu yang suaminya kok kayaknya biasa-biasa saja ? Kamu ini gimana, Sih ?! Emangnya kamu gak takut kalo Istri dan anak kamu kenapa-kenapa ?"

Lagi-lagi Mas Ilham menggaruk kepalanya. Ia terlihat kebingungan.

"Eu-- bukan begitu, Bu. Tapi, Ilham cuma yakin aja kalo Sela bisa jaga diri, Bu."

"Udah, Bu, Mas. Sela minta ma-af ya, Bu ? Lain kali, Sela akan berusaha untuk gak pergi-pergian lagi seperti sekarang."

Setelah itu, ibu tak lagi mempermasalahkan. Kami masuk ke dalam rumah. Katanya, ibu akan menginap disini karena ayah mertuaku tengah ada tugas ke luar kota.

Maklum saja, ibu hanya punya suami dan Mas Ilham---anak satu-satunya. Ibu mertuaku selalu merasa kesepian karena di rumahnya hanya ada asisten rumah tangga.

Dari awal menikah, aku dan Mas Ilham sudah memilih pisah rumah dari kedua orangtua kami. Mas Ilham sudah membeli rumah di saat kami masih pacaran. Ia sudah merencanakan rumah yang kami tinggali saat ini untuk rumah kami berdua setelah kami menikah.

Saat masih pacaran, Mas Ilham sudah menabung dari hasil kerjanya sebagai salah satu staf di sebuah perusahaan yang cukup besar untuk membeli rumah yang cukup mewah ini.

*****

Malam ini, di dalam kamar, Aku menyamping dan menatap pada Mas Ilham yang ada di sampingku. Ia juga belum tidur dan terlihat tengah menatap langit-langit kamar.

"Mas ?"

"Hem ?" tanyanya sambil menoleh padaku. "Kenapa, sayang ?"

"Semenjak aku pura-pura hamil, apalagi setelah berbulan-bulan ini, ibu jadi terasa terlalu overprotektif sama aku, Mas. Ibu kamu sampai sering menginap hanya untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku takut, Mas.." lirihku.

Kemudian Mas Ilham mengelus rambutku dan menatap ku begitu lekat.

"Takut kenapa, Sayang ?"

"Nanti disaat waktunya lahiran. Aku harus bagaimana, Mas ? Keluarga aku dan keluarga kamu pasti ingin menemani aku lahiran ?"

"Aku juga sudah memikirkan hal ini. Aku berencana untuk beralasan pergi bersama kamu ke luar kota. Kita bilang saja, jika kamu sudah melahirkan. Dan datang-datang kesini, kita sudah membawa anak dari Ayu itu. Cuma itu cara agar tidak ada yang tahu rahasia kita ini."

"Berarti sebentar lagi ya, Mas ? Sekarang, Ayu 'kan sudah hamil delapan bulan. Itu artinya, aku harus bilang lahiran disaat usia kehamilan ke delapan bulan ?"

"Iya, Sayang. Kita bilang saja bayinya prematur. Pokoknya, aku akan urus semua ini. Kamu gak usah khawatir, ya ?" ucap Mas Ilham. Ia lalu mencium keningku.

"Aku kangen kita memadu kasih lagi. Udah beberapa hari kita enggak melakukannya lagi. Lebih baik malam ini kita senang-senang, ya ? Kita lupakan dulu masalah ini ?"

Aku memejamkan mata cukup lama. Memberikan tanda bahwa aku mengiyakan ucapan Mas Ilham. Sudah menjadi kewajiban ku untuk melakukan hubungan suami-istri bersamanya.

Meskipun, aku tahu, aku tidak bisa hamil. Tapi, bagaimanapun juga Mas Ilham adalah suamiku. Aku sudah berkewajiban untuk menjadi pemuas nafsunya.

Mas Ilham pun langsung kembali mencium keningku dan lalu mencumbui bibirku. Kami pun melakukan hubungan suami istri itu.

Entah sampai kapan aku masih bisa bersamanya lagi. Jika sampai rahasia ini terbongkar, mungkin saja aku akan kembali disuruh pisah oleh ibu dan ayah mertuaku.

Untuk saat ini, aku hanya berusaha menghargai waktu ku bersama Mas Ilham. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik sebagai istri untuk Mas Ilham disaat masih bisa bersamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status