Share

7. Lahiran prematur

Aku dan Mas Ilham masih di Villa selama satu bulan ini. Mas Ilham sudah memberi kabar pada kedua orangtuaku dan orangtuanya, jika aku telah lahiran secara prematur.

Ayu dan ibunya sudah pulang sejak satu minggu yang lalu. Bayinya Ayu kini sudah mulai aku rawat bersama Mas Ilham.

Kebohongan ini benar-benar sudah terlanjur.

Entah apa yang akan terjadi jika sampai banyak orang yang tahu akan pura-pura hamil ku selama ini. Juga akan anak Ayu yang kami sebutkan sebagai anak kandung ku dan Mas Ilham.

Apalagi, jika sampai ibunya Mas Ilham yang tahu, mungkin ibu mertuaku pasti akan menyuruh Mas Ilham untuk menceraikan ku.

Apalagi, yang paling bersikeras menginginkan Mas Ilham menceraikanku dan menikah lagi dengan perempuan lain adalah ibu.

Di tempat tidur, Mas Ilham memangku anak Ayu yang sekarang sudah menjadi anak kami berdua. Mas Ilham nampak begitu sayang pada anak yang kami beri nama Zahra itu.

Aku menyenderkan kepalaku di bahunya Mas Ilham sambil mengelus kepala bayi Ayu. Zahra tengah tertidur dipangkuan Mas Ilham.

"Akhirnya, sekarang aku bisa merasakan menjadi seorang ibu," ucapku.

"Iya, Sayang. Aku juga akan berusaha untuk menjadi ayah yang baik untuk Zahra. Meskipun Zahra bukan anak kandung ku, aku akan berusaha untuk sayang pada dia."

"Apa kamu tidak kepikiran untuk menikah lagi agar kamu bisa memiliki anak kandung sendiri, Mas ?"

"Kamu sudah berapa kali membicarakan hal ini, Sel. Sudah berapa kali juga aku bilang sama kamu, aku gak akan pernah mau menikah lagi. Udah, kamu jangan bahas ini lagi!"

Setelah mengucapkan itu, Mas Ilham mengecup keningku. Cup!

"Zahra udah tidur, aku pindahkan dia ke keranjang bayinya dulu, ya ?" ucap Mas Ilham yang lalu beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju keranjang bayi tempat tidur Zahra.

Berapa kali pun aku menyuruh Mas Ilham untuk menikah lagi, jawabnya tetap sama, ia tetap tidak mau.

Padahal, aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuknya. Aku akan berusaha rela untuk berbagi suami, yang penting Mas Ilham punya anak dari darah dagingnya sendiri.

Mas Ilham pun kembali lagi ke atas tempat tidur. Ia duduk sambil memegang kedua telapak tanganku dan menatap ku begitu lekat.

"Aku mohon Sela, kamu mengerti perasaan aku. Aku gak mau menikah lagi dengan perempuan lain. Aku gak peduli kamu gak bisa kasih aku anak. Aku gak peduli itu, Sel. Karena yang paling penting buat aku, aku bisa tetap bersama kamu."

Aku terdiam dan tidak mau melawannya lagi.

"Udah ya, kita sudah jauh-jauh menjalankan rahasia ini. Aku melakukan semua ini demi pernikahan kita, Sel. Aku melakukan semua ini agar ibu gak nyuruh aku lagi untuk menceraikan kamu. Aku mohon kamu jangan pernah menyuruh aku untuk menikah lagi hanya karena merasa bersalah karena kamu tidak bisa kasih aku anak," lanjutnya.

"Iya, Mas. Ma-af ya ? Aku terus-terusan membahas soal ini. Aku hanya ingin berusaha membuat kamu bahagia, Mas."

"Kebahagiaan aku sudah cukup dengan adanya kamu, Sel. Kita rawat Zahra sama-sama ya ? Karena Zahra, kita masih bisa bersama hingga sekarang."

"Kita sama-sama jaga rahasia ini. Aku yakin, jika ibu sampai tahu, ia pasti akan menyuruh aku menikah lagi atau bahkan ibu akan menyuruh aku untuk menceraikan kamu."

"Tapi, kita gak bisa untuk terus berbohong terus kayak gini, Mas. Bagaimanapun juga, kebohongan itu bukanlah hal baik. Aku takut, Mas.Aku takut hidup kita tidak akan baik-baik saja jika terus membohongi kedua orang tua kita seperti ini."

"Iya, Sayang. Aku masih butuh waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua ini. Aku berjanji sama kamu, aku akan ungkap rahasia ini suatu hari nanti."

"Udah ya, mendingan sekarang kita tidur. Kita besok 'kan juga mau pulang. Besok kita harus siap-siap mengatakan jika bayi itu anak kita," lanjut Mas Ilham.

Aku menghela nafas pasrah dan tak mau melawan lagi. Aku hanya berharap, semoga semuanya cepat berakhir. Aku sudah pasrah jika sampai Mas Ilham mesti menikah lagi.

*****

Aku dan Mas Ilham pulang ke rumah. Sambil memangku Zahra, aku turun dari mobil. Sampai saat di depan halaman rumah, aku lihat kedua orangtuaku dan orangtuanya Mas Ilham ada di depan pintu. Wajah mereka nampak berbinar melihat ke arah kami.

Mama dan ibu langsung datang menghampiriku dari arah pintu. Sedangkan, papa aku dan ayahnya Mas Ilham tetap terdiam di depan pintu sambil tersenyum.

"Ya Allah, cucuku, akhirnya sampai juga," ucap Ibu dengan tersenyum haru.

Ia langsung mengambil alih Zahra dari pangkuan ku. Aku lihat Mama mengelus rambut Zahra dan juga tersenyum terlihat penuh haru, terlihat bola matanya berkaca-kaca, mungkin Mama bahagia dengan kehadiran bayi itu.

Lagi-lagi, aku merasa sangat berdosa sekali telah membohongi banyak orang seperti ini.

"Kamu gimana keadaannya setelah melahirkan, Sel ?" tanya Mama sambil mengelus bahuku. Aku tersenyum menatapnya.

"Aku udah baik-baik aja, kok, Mam."

"Sayang banget, kamu dan Ilham baru kasih tau kita setelah kamu lahiran. Kamu juga gak bolehin ibu buat ke Villa kamu," ucap Ibu.

Kedua orang tua kami memang ingin menjenguk ku beberapa hari yang lalu begitu mendengar kabar jika aku sudah lahiran. Untungnya, Mas Ilham bersikeras untuk melarangnya dengan alasan jika aku butuh tenang dulu setelah melahirkan.

"Iya, Bu. Aku gak mau buat kalian semua khawatir dengan keadaan ku. Aku gak nyangka kalo aku akan melahirkan secara prematur," ucapku berbohong.

"Ilham juga minta maaf karena gak kasih tau ibu sama Mama, Ilham benar-benar panik dengan Sela yang melahirkan secara prematur. Aku sampai lupa buat ngabarin pas Sela lahiran." Tambah Mas Ilham yang sedari tadi berdiri sambil memegang koper.

Padahal, aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya melahirkan. Semoga saja Mama atau siapapun tidak ada yang curiga dengan keadaan ku yang tidak telah melahirkan ini.

"Yaudah, kalian langsung istirahat aja, ya ? Kalian pasti capek baru pulang. Bayinya biar sama Ibu dan Mama kamu aja yang asuh dulu. Ibu udah nunggu kalian datang dari kemarin-kemarin," ucap Ibu pada Aku dan Mas Ilham.

"Iya, Bu. Aku capek banget, kalo gitu aku sama Sela masuk dulu ke dalam rumah ya ?" ucap Mas Ilham.

"Iya, kalian masuk, gih."

Aku dan Mas Ilham menuju ke pintu rumah, kami menyempatkan untuk saling menyalami ayah kami masing-masing. Ayahnya Mas Ilham yang biasanya sangat sibuk, kata ibu beliau rela pulang dulu dari luar negeri untuk melihat bayi yang dia anggap cucunya itu.

*****

Di dalam kamar, Aku duduk di pinggir tempat tidur dengan keadaan yang begitu lelah. Aku capek berbohong terus seperti ini, aku sudah tidak sanggup lagi mesti membohongi banyak orang seperti ini.

Mas Ilham yang sudah menaruh koper, berjalan ke arahku dan langsung mengecup keningku. Cup!

"Kenapa lagi ?" tanyanya. Ia lalu duduk di sampingku.

"Aku capek, Mas. Aku udah gak sanggup lagi dengan semua ini. Bisa-bisa kita mesti berbohong seumur hidup demi menutupi rahasia ini. Sudahlah Mas, lebih baik kita jujur saja. Mungkin memang kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku rasa gak ada baiknya jika kita terus berbohong."

Meskipun aku tahu Mas Ilham tidak suka jika aku terus membahas hal ini, kali ini aku tidak peduli. Bagaimanapun caranya, aku ingin kebohongan ini cepat usai.

Mas Ilham terdengar menghembuskan nafas begitu kasar. Namun, tak lama dia langsung memelukku.

"Beri aku waktu, Sayang. Aku mengerti kamu capek dengan semua ini, maaf jika aku egois hanya karena tidak ingin kehilangan kamu."

"Aku juga gak mau kehilangan kamu, Mas. Tapi kebohongan itu gak pernah bisa dibenarkan. Kita gak bisa terus-terusan seperti ini," lirihku pelan karena telinga Mas Ilham begitu dekat dengan kepalaku disaat kami berpelukan seperti ini.

"Iya, aku mengerti. Aku akan berusaha mencari cara untuk menghentikan semua ini tanpa harus kehilangan kamu," ucap Mas Ilham dibalik pelukannya padaku.

"Baiklah, Mas. Maaf juga aku selalu mengeluh. Aku dukung usaha kamu, Mas. Aku harap semoga kita tetap bisa bersama."

Setelah itu Mas Ilham pun melepaskan pelukannya. Ia memegang kedua pipiku dengan menatapku begitu lekat, lalu ia kembali mencium keningku. Kali ini cukup lama. Aku pun memejamkan mata dan merasakan begitu sayang terhadapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status