"Waalaikumsalam, Abah."
Najma, istriku, membukakan pintu untukku sambil menjawab salamku. Namun, senyumnya berubah sesaat menjadi kebingungan kala melihat sosok wanita di belakangku. Itu hanya terjadi sepersekian detik.
Karena setelahnya, Najma kembali tersenyum sambil menggeser tubuhnya agar kami bisa masuk. "Silakan masuk, Mbak…?"
"Saya Salwa, Mbak." Wanita di belakangku kini memperkenalkan dirinya pada istriku.
Jujur, aku sedikit ketakutan membawa Salwa ke rumah ini, tapi karena permintaan Najma kala itu, aku pun coba beranikan diri.
Namun, senyum di wajah Najma tidak berubah. Dengan lembut, ia bahkan berkata, "Baik, Mbak Salwa, silahkan masuk."
Hatiku sedikit tenang.
Aku pun melangkah menuju kamarku untuk meletakkan tas dan jas, sebelum aku menjelaskan semua kepada Najma.
Tapi, istriku itu sungguh luar biasa memahamiku.
Diambilnya barang-barangku dan tersenyum. "Sini, biar umma yang bawakan tas dan jasnya, Abah."
"Terima kasih, Umma."
Istriku mengangguk menanggapi perkataanku. Kemudian, dia melangkah menuju kamar kami.
Aku pun mengikuti langkahnya menuju kamar.
Namun, baru saja aku masuk, Najma telah keluar. Sepertinya, ia lakukan untuk menemani Salwa.
"Umma," panggilku sambil memegang tangannya.
"Ya, Abah?"
"Maafkan, Abah."
Segera kutarik Najma ke dalam pelukanku. Sungguh, bukan niatanku untuk melukai hatinya seperti ini.
Istriku mengangguk. "Tak apa, Abah. Tak ada yang perlu dimaafkan, ini takdir."
Lagi–senyuman yang indah terukir di bibirnya–membuat diri ini seakan merasa begitu bersalah.
"Umma mau buatkan minuman dulu untuk tamu kita,” ucapnya lagi, “Abah, mandilah. Umma sudah siapkan air hangat untuk Abah."
"Baiklah, Umma."
Aku pun segera membersihkan tubuhku.
Tidak butuh waktu lama untuk selesai, aku pun mengenakan pakaian lengkap, lalu melangkah menuju ruang tamu, tempat istri dan calon istriku berada.
Aku tak mendengar perbincangan mereka sama sekali.
Keduanya tampak diam–tak ada yang memulai pembicaraan.
Segera kulangkahkan kaki ini dan duduk di samping Najma, sambil menggenggam tangannya.
Namun, dengan lembut, dia berusaha melepaskan tangannya dariku.
Alisku terangkat, tapi Najma hanya mengangguk.
"Ya, sudah. Berhubung Mas Hamdan sudah selesai mandinya, jadi silakan bila ada yang ingin kalian sampaikan." Istriku itu pun membuka suaranya. Dia terlihat begitu tenang tanpa beban membuat hatiku sedikit perih.
"Umma, perkenalkan dia Salwa,” ucapku menahan grogi, “wanita yang ayah ceritakan beberapa hari yang lalu."
Jujur, aku tak tahu apa yang harus kusampaikan kepada istriku ini. Kulirik Salwa dari ujung mata yang hanya menunduk memilih ujung jilbabnya saja.
"Abah beneran siap untuk berpoligami? Apakah abah masih ingat tentang hukum-hukum poligami?"
Lagi, istriku bertanya membuatku seketika mengangguk.
"InsyaAllah abah siap, Umma. Abah masih mengingatnya dan InsyaAllah Abah akan mengamalkannya."
"Baiklah Abah, jika memang Abah sudah yakin," putusnya cepat lalu seketika menatap Salwa.
"Mbak, apakah mbak sudah siap menjadi istri kedua suami saya dan menjadi adik madu untuk saya?"
"InsyaAllah, Mbak," ucap Salwa.
Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari istriku.
Air mukanya sungguh tenang, seperti tak ada emosi di sana, pun amarah, serta rasa benci di wajah cantiknya.
Hanya senyuman yang menghiasi wajah bidadariku ini.
Sungguh, bukan aku tak lagi mencintainya, sehingga aku memilih untuk menduakannya. Namun, hati ini tak bisa aku kendalikan saat aku mengenal Salwa.
Kala itu, saat aku memantau proyek pembangunan hotel di kawasan Jakarta Utara, sementara Salwa merupakan pemilik kedai kopi yang ada tepat di depan proyek milikku.
Aku yang sering membeli kopi miliknya membuat aku memiliki perasaan yang aneh terhadapnya.
Dia wanita sholehah.
Tak pernah sekalipun kulihat, ia melepas jilbab yang ia kenakan. Padahal, seringkali matahari begitu terik di sana. Warungnya pun ramai pelanggan karena ia tak hanya menjual kopi, melainkan juga menjual gorengan, serta nasi dengan lauk sederhana.
Sosoknya membuatku mengingat istriku–Najma.
Istri Sholehahku yang tak pernah membuka auratnya di hadapan lelaki yang bukan muhrimnya.
Meski awalnya aku mengira ini kekaguman semata karena Salwa mirip dengan Najma, tapi lama-kelamaan, dia selalu menghantui pikiranku. Bahkan, ketika aku sedang bersama Najma.
Aku pun berusaha menepis pikiran itu, berusaha menghilangkan Salwa dari pikiranku.
Tapi, semakin aku berusaha keras melupakannya, justru dia semakin menghantui tidurku.
Jadi, aku sampai tak pernah lagi membeli kopi di sana demi menghalau semakin besarnya perasaan ini. Juga, demi menjaga kesetiaanku kepada istriku.
Aku selalu melaksanakan sujud malam untuk meminta kepada Allah agar menjaga perasaanku hanya untuk istriku. Namun, wanita pemilik kedai kopi itu semakin menguasai pikiranku.
Aku semakin gelisah dibuatnya.
Aku butuh nasihat.
Aku butuh wejangan kata-kata indah yang bisa menyejukkan hati dari istriku, tapi aku tak berani mengatakannya kepadanya.
Bagaimana jika istriku terluka karena perasaanku yang mulai bercabang?
Hingga suatu malam, aku tak tahu bahwa istriku mendengar segala curhatanku kepada sang pemilik hati, kepada sang maha pembolak-balik hati.
Hingga saat aku selesai berdoa dan memohon, aku membalikkan badanku dan aku melihat istriku tengah terduduk di belakangku sambil memandangku lagi dengan senyuman yang tak pernah luntur di wajahnya.
"Abah tak mau cerita kepada Umma?" tanyanya malam itu membuat aku ketakutan sekaligus merasa begitu bersalah.
"Umma, se-sejak kapan Bunda ada di sini?"
Istri yang tak pernah menentang perintahku tersebut, tersenyum lembut. "Sejak Abah berdoa."
"Ma-maafkan Abah, Umma," gugupku.
"Minta maaf untuk apa, Abah?"
"Maaf, karena tak bisa mengendalikan perasaan Abah. Maaf sudah membagi perasaan ini, maafkan Abah, Umma."
Dia pun mengangguk. "Lantas, apa yang akan Abah lakukan selanjutnya?"
"Abh akan berusaha menghapus rasa ini, Umma. Abah janji, Abah tak akan menduakan Umma."
"Benarkah Abah?"
"Benar, Umma. Abah tak mau menyakiti Umma, aku akan berusaha menjadikan Umma satu-satunya bidadari Abah."
"Jika perasaan itu tetap ada bagaimana?"
Aku terdiam sebelum akhirnya kembali berbicara, "Bantu Abah untuk menghilangkan perasaan ini."
"InsyaaAllah, Abah."
Kala itu, ia tersenyum sembari mengangguk dan kami berpelukan lama sekali.
Sejak itu, aku kembali berusaha menghapus perasaan ini dengan cara meluangkan lebih banyak waktu bersama istriku.
Kuajak dirinya jalan-jalan, bahkan keluar negeri untuk berbulan madu kembali mengenang masa-masa awal pernikahan dulu.
Namun, setahun berlalu, aku masih gagal.
Najma yang menyadari itu pun, akhirnya memintaku untuk membawa Salwa ke rumah. Bahkan, ia telah meminta ibuku untuk melamar Salwa untukku.
Kutolak keras permintaannya itu, tapi Najma memaksa karena ia tak mau diriku terus berzina fikiran karena terus memikirkan wanita yang bukan mahramnya.
"Jadi kapan pernikahannya akan diselenggarakan?"
Pertanyaan Najma membuyarkan lamunanku.
Dengan cepat, aku pun menjawab, "Belum dipikirkan, Umma."
"Lebih cepatm lebih baik, Abah. Gimana kalau lima belas hari lagi?"
Deg!
Usulan Najma membuat aku dan Salwa kompak menatap wanita bak malaikat ini.
"Umma, jangan terlalu cepat."
"Tak apa, Abah. Agar Umma segera ada temannya di rumah ini," senyumnya lagi.
"Umma!" sentakku tanpa sadar, tetapi ia seolah mengabaikan penolakanku.
Ditatapnya Salwa dengan kehangatan. "Adikku, apakah kamu siap jika menikah dua pekan lagi?"
"Saya terserah, Mas Hamdan, Mbak," jawab Salwa dengan rona merah muda pipinya.
Melihat itu, gegas Najma memalingkan wajahnya lalu menatap diriku.
"Bagaimana dengan Abah?"
Aku pun menghela napas panjang. "Terserah Umma sajalah."
"Oh, iya Abah, nikahin Salwa secara negara juga, ya. Jangan lupa daftarkan pernikahan kalian di KUA, agar kelak kalau kalian punya anak ada status yang jelas bagi anak kalian."
Aku mematung.
Membahas soal anak, memang cukup sensitif untuk kami.
Selama enam tahun menikah, kami memang masih belum memiliki anak. Namun, bukan itu alasan aku mencintai wanita lain. Sungguh, perasaan ini datang begitu saja tanpa bisa aku mengendalikannya.
‘Ya Allah, apakah ini jalan yang harus hamba tempuh?’
"Mbak, aku mohon jangan terlalu cepat mengambil keputusan, aku ingin mas Hamdan kembali memikirkan keputusannya, karena sejujurnya aku pun enggan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Mbak dan mas Hamdan. Bagaimana juga dengan pandangan orang-orang tentangku, Mbak?" Tutur Salwa dengan rasa tak enak hati."Aku tidak terlalu cepat mengambil keputusan, adikku. Aku sudah memikirkan ini sejak setahun yang lalu. Ini takdir kita untuk menjadi istri-istri dari satu orang suami," Kata Najma menatap yang kulihat sednag menatap menatap kosong ke depan. "Tak usah hiraukan perkataan orang, InsyaaAllah Mbak siap melindungi kamu jika mereka berbuat dzalim kepadamu," Pandangannya kembali beralih kepada Salwa disertai seulas senyum yang terlihat begitu tulus.Saat ini, Aku sengaja meninggalkan mereka berdua untuk saling berbicara, karena Aku tak mau akhirnya terjadi pertikaian antara mereka, walaupun pertikaian itu tak bisa dihindari, karena dalam rumah tangga tak 'kan luput dari yang namanya masal
Di rumahku kini sedang sibuk menyiapkan acara pernikahanku dengan Salwa yang akan diselenggarakan esok siang. Aku sangat merasa grogi, rasanya tak siap harus mengikrarkan janji suci untuk kedua kalinya dengan wanita yang berbeda.Acaranya akan diadakan di rumah Salwa.Di sini kami sibuk menyiapkan seserahan yang akan di bawa untuk Salwa. Ah, bukan kami. Lebih tepatnya, Najmalah yang paling sibuk menyiapkan semua seserahan yang akan kami bawa ke rumah calon madunya. Abi serta Ummi turut hadir di sini untuk menyaksikan menantunya ini menikah dengan wanita lain. Menyaksikan sang menantu yang akan memberikan madu untuk sang anak.Tadi pagi, saat Abi serta Ummi baru sampai, aku tak berani menatap wajah kedua mertuaku ini karena mereka terlihat begitu marah kepadaku. Aku tahu, dan sangat pantas jika Abi dan Ummi marah kepadaku karena aku telah menduakan putri mereka, putri yang begitu mereka sayangi, putri satu-satunya dari empat saudara yang ketiganya laki-laki semua. Najma merupakan put
.Happy Reading🌟🌟🌟🌟"Abah, setelah Salwa sah menjadi istrimu, setelah selesai acara perlakukanlah dia sebagaimana engkau memperlakukan diriku dahulu."Najma yang saat ini sedang memakaikan baju pengantin untukku menasehatiku agar aku melakukan hal yang sama kepada Salwa sebagaimana yang aku lakukan kepadanya dulu."InsyaaAllah, Umma."Tadi, pagi-pagi sekali Najma sudah berada di ruang setrika untuk melanjutkan menyetrika baju yang aku kenakan sekarang ini karena semalam belum selesai.Dia begitu telaten memakaikan baju serta memasang kancing pada kemejaku, tak lupa dia juga menyemprotkan parfum kepada beberapa bagian tubuhku. Setelahnya dia mengambil peci dengan warna putih dan memakaikannya di kepalaku, tentunya dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajah cantiknya.Pakaian serba putih kini sudah melekat sempurna di tubuhku. Begitupun dengan istriku, ia juga menggunakan gamis putih yang indah dan tak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Gamis putih yang bertaburan mutiara dari bagi
Siang menjelang sore, kami masih beristirahat di ruang keluarga sebelum nanti sore hingga malam akan mengadakan resepsi. Kami sekeluarga duduk lesehan di lantai beralaskan karpet yang sengaja di gelar untuk acara ijab qobul tadi. Namun, bayang-bayang Najma menangis masih menghantuiku. "Hamdan, jadilah suami yang adil bagi kedua istrimu, perlakukan mereka dengan sama. Jangan pernah bedakan mereka. Janganlah kamu membandingkan antara istrimu yang satu dengan istrimu yang lain," Abi membuka percakapan diantara kami dengan memberikan nasihat kepadaku yang akan aku dengar dan berusaha menjalankan nasihat Abi."Jangan pernah menegur satu istrimu di depan satu istrimu yang lain, karena itu bisa menimbulkan rasa iri, dengki, dendam bahkan sombong di hati istri-istri mu. Nasehati mereka dengan tutur kata yang baik, tegur mereka dengan kalimat yang bijak. Jangan memberitahukan kekurangan satu istrimu kepada istrimu yang lain. Jika ingin menegur, tegurlah saat kalian sedang berdua saja."Abi me
Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya. Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja. "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat." Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat. "Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin. "Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar. Setibanya
Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab
"Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per
"Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit