Share

Luka di Balik Senyum Istriku
Luka di Balik Senyum Istriku
Penulis: Sheila FR

1. Membawa Calon Madu Untuk Najma

"Waalaikumsalam, Abah." 

Najma, istriku, membukakan pintu untukku sambil menjawab salamku. Namun, senyumnya berubah sesaat menjadi kebingungan kala melihat sosok wanita di belakangku. Itu hanya terjadi sepersekian detik. 

Karena setelahnya, Najma kembali tersenyum sambil menggeser tubuhnya agar kami bisa masuk. "Silakan masuk, Mbak…?"

"Saya Salwa, Mbak." Wanita di belakangku kini memperkenalkan dirinya pada istriku.

Jujur, aku sedikit ketakutan membawa Salwa ke rumah ini, tapi karena permintaan Najma kala itu, aku pun coba beranikan diri.

Namun, senyum di wajah Najma tidak berubah. Dengan lembut, ia bahkan berkata, "Baik, Mbak Salwa, silahkan masuk."

Hatiku sedikit tenang. 

Aku pun melangkah menuju kamarku untuk meletakkan tas dan jas, sebelum aku menjelaskan semua kepada Najma.

Tapi, istriku itu sungguh luar biasa memahamiku. 

Diambilnya barang-barangku dan tersenyum. "Sini, biar umma yang bawakan tas dan jasnya, Abah."

"Terima kasih, Umma."

Istriku mengangguk menanggapi perkataanku. Kemudian, dia melangkah menuju kamar kami. 

Aku pun mengikuti langkahnya menuju kamar.

Namun, baru saja aku masuk, Najma telah keluar. Sepertinya, ia lakukan untuk menemani Salwa.

"Umma," panggilku sambil memegang tangannya. 

"Ya, Abah?" 

"Maafkan, Abah." 

Segera kutarik Najma ke dalam pelukanku. Sungguh, bukan niatanku untuk melukai hatinya seperti ini. 

Istriku mengangguk. "Tak apa, Abah. Tak ada yang perlu dimaafkan, ini takdir."

Lagi–senyuman yang indah terukir di bibirnya–membuat diri ini seakan merasa begitu bersalah. 

"Umma mau buatkan minuman dulu untuk tamu kita,” ucapnya lagi, “Abah, mandilah. Umma sudah siapkan air hangat untuk Abah."

"Baiklah, Umma."

Aku pun segera membersihkan tubuhku.

Tidak butuh waktu lama untuk selesai, aku pun mengenakan pakaian lengkap, lalu melangkah menuju ruang tamu, tempat istri dan calon istriku berada. 

Aku tak mendengar perbincangan mereka sama sekali. 

Keduanya tampak diam–tak ada yang memulai pembicaraan. 

Segera kulangkahkan kaki ini dan duduk di samping Najma, sambil menggenggam tangannya. 

Namun, dengan lembut, dia berusaha melepaskan tangannya dariku.

Alisku terangkat, tapi Najma hanya mengangguk.

"Ya, sudah. Berhubung Mas Hamdan sudah selesai mandinya, jadi silakan bila ada yang ingin kalian sampaikan." Istriku itu pun membuka suaranya. Dia terlihat begitu tenang tanpa beban membuat hatiku sedikit perih.

"Umma, perkenalkan dia Salwa,” ucapku menahan grogi, “wanita yang ayah ceritakan beberapa hari yang lalu."

Jujur, aku tak tahu apa yang harus kusampaikan kepada istriku ini. Kulirik Salwa dari ujung mata yang hanya menunduk memilih ujung jilbabnya saja. 

"Abah beneran siap untuk berpoligami? Apakah abah masih ingat tentang hukum-hukum poligami?"

Lagi, istriku bertanya membuatku seketika mengangguk.

"InsyaAllah abah siap, Umma. Abah masih mengingatnya dan InsyaAllah Abah akan mengamalkannya."

"Baiklah Abah, jika memang Abah sudah yakin," putusnya cepat lalu seketika menatap Salwa.

"Mbak, apakah mbak sudah siap menjadi istri kedua suami saya dan menjadi adik madu untuk saya?"

"InsyaAllah, Mbak," ucap Salwa.

Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari istriku. 

Air mukanya sungguh tenang, seperti tak ada emosi di sana, pun amarah, serta rasa benci di wajah cantiknya. 

Hanya senyuman yang menghiasi wajah bidadariku ini. 

Sungguh, bukan aku tak lagi mencintainya, sehingga aku memilih untuk menduakannya. Namun, hati ini tak bisa aku kendalikan saat aku mengenal Salwa. 

Kala itu, saat aku memantau proyek pembangunan hotel di kawasan Jakarta Utara, sementara Salwa merupakan pemilik kedai kopi yang ada tepat di depan proyek milikku. 

Aku yang sering membeli kopi miliknya membuat aku memiliki perasaan yang aneh terhadapnya. 

Dia wanita sholehah. 

Tak pernah sekalipun kulihat, ia melepas jilbab yang ia kenakan. Padahal, seringkali matahari begitu terik di sana. Warungnya pun ramai pelanggan karena ia tak hanya menjual kopi, melainkan juga menjual gorengan, serta nasi dengan lauk sederhana. 

Sosoknya membuatku mengingat istriku–Najma. 

Istri Sholehahku yang tak pernah membuka auratnya di hadapan lelaki yang bukan muhrimnya. 

Meski awalnya aku mengira ini kekaguman semata karena Salwa mirip dengan Najma, tapi lama-kelamaan, dia selalu menghantui pikiranku. Bahkan, ketika aku sedang bersama Najma. 

Aku pun berusaha menepis pikiran itu, berusaha menghilangkan Salwa dari pikiranku. 

Tapi, semakin aku berusaha keras melupakannya, justru dia semakin menghantui tidurku. 

Jadi, aku sampai tak pernah lagi membeli kopi di sana demi menghalau semakin besarnya perasaan ini. Juga, demi menjaga kesetiaanku kepada istriku. 

Aku selalu melaksanakan sujud malam untuk meminta kepada Allah agar menjaga perasaanku hanya untuk istriku. Namun, wanita pemilik kedai kopi itu semakin menguasai pikiranku. 

Aku semakin gelisah dibuatnya. 

Aku butuh nasihat. 

Aku butuh wejangan kata-kata indah yang bisa menyejukkan hati dari istriku, tapi aku tak berani mengatakannya kepadanya. 

Bagaimana jika istriku terluka karena perasaanku yang mulai bercabang? 

Hingga suatu malam, aku tak tahu bahwa istriku mendengar segala curhatanku kepada sang pemilik hati, kepada sang maha pembolak-balik hati. 

Hingga saat aku selesai berdoa dan memohon, aku membalikkan badanku dan aku melihat istriku tengah terduduk di belakangku sambil memandangku lagi dengan senyuman yang tak pernah luntur di wajahnya. 

"Abah tak mau cerita kepada Umma?" tanyanya malam itu membuat aku ketakutan sekaligus merasa begitu bersalah. 

"Umma, se-sejak kapan Bunda ada di sini?"

Istri yang tak pernah menentang perintahku tersebut, tersenyum lembut. "Sejak Abah berdoa."

"Ma-maafkan Abah, Umma," gugupku.

"Minta maaf untuk apa, Abah?"

"Maaf, karena tak bisa mengendalikan perasaan Abah. Maaf sudah membagi perasaan ini, maafkan Abah, Umma."

Dia pun mengangguk. "Lantas, apa yang akan Abah lakukan selanjutnya?"

"Abh akan berusaha menghapus rasa ini, Umma. Abah janji, Abah tak akan menduakan Umma."

"Benarkah Abah?"

"Benar, Umma. Abah tak mau menyakiti Umma, aku akan berusaha menjadikan Umma satu-satunya bidadari Abah."

"Jika perasaan itu tetap ada bagaimana?"

Aku terdiam sebelum akhirnya kembali berbicara, "Bantu Abah untuk menghilangkan perasaan ini."

"InsyaaAllah, Abah."

Kala itu, ia tersenyum sembari mengangguk dan kami berpelukan lama sekali.

Sejak itu, aku kembali berusaha menghapus perasaan ini dengan cara meluangkan lebih banyak waktu bersama istriku. 

Kuajak dirinya jalan-jalan, bahkan keluar negeri untuk berbulan madu kembali mengenang masa-masa awal pernikahan dulu. 

Namun, setahun berlalu, aku masih gagal. 

Najma yang menyadari itu pun, akhirnya memintaku untuk membawa Salwa ke rumah. Bahkan, ia telah meminta ibuku untuk melamar Salwa untukku. 

Kutolak keras permintaannya itu, tapi Najma memaksa karena ia tak mau diriku terus berzina fikiran karena terus memikirkan wanita yang bukan mahramnya.

"Jadi kapan pernikahannya akan diselenggarakan?" 

Pertanyaan Najma membuyarkan lamunanku. 

Dengan cepat, aku pun menjawab, "Belum dipikirkan, Umma."

"Lebih cepatm lebih baik, Abah. Gimana kalau lima belas hari lagi?"

Deg!

Usulan Najma membuat aku dan Salwa kompak menatap wanita bak malaikat ini.

"Umma, jangan terlalu cepat."

"Tak apa, Abah. Agar Umma segera ada temannya di rumah ini," senyumnya lagi.

"Umma!" sentakku tanpa sadar, tetapi ia seolah mengabaikan penolakanku.

Ditatapnya Salwa dengan kehangatan. "Adikku, apakah kamu siap jika menikah dua pekan lagi?"

"Saya terserah, Mas Hamdan, Mbak," jawab Salwa dengan rona merah muda pipinya. 

Melihat itu, gegas Najma memalingkan wajahnya lalu menatap diriku. 

"Bagaimana dengan Abah?"

Aku pun menghela napas panjang. "Terserah Umma sajalah."

"Oh, iya Abah, nikahin Salwa secara negara juga, ya. Jangan lupa daftarkan pernikahan kalian di KUA, agar kelak kalau kalian punya anak ada status yang jelas bagi anak kalian."

Aku mematung.

Membahas soal anak, memang cukup sensitif untuk kami.

Selama enam tahun menikah, kami memang masih belum memiliki anak. Namun, bukan itu alasan aku mencintai wanita lain. Sungguh, perasaan ini datang begitu saja tanpa bisa aku mengendalikannya.

‘Ya Allah, apakah ini jalan yang harus hamba tempuh?’

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Harma Putri
laki" yg tdk setia,nanti ada balasannya buat kamu,tdk ada wanita yg mau d duain
goodnovel comment avatar
Marwah Cacabila
harap harap cemas ya allah aku ngga mau nanti ada yg tersakiti
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Wooow Kuasa ALLAH kalah sama nafsu Abah kereeeen thor boleh ikut perkumpulan ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status