Siang menjelang sore, kami masih beristirahat di ruang keluarga sebelum nanti sore hingga malam akan mengadakan resepsi. Kami sekeluarga duduk lesehan di lantai beralaskan karpet yang sengaja di gelar untuk acara ijab qobul tadi. Namun, bayang-bayang Najma menangis masih menghantuiku.
"Hamdan, jadilah suami yang adil bagi kedua istrimu, perlakukan mereka dengan sama. Jangan pernah bedakan mereka. Janganlah kamu membandingkan antara istrimu yang satu dengan istrimu yang lain," Abi membuka percakapan diantara kami dengan memberikan nasihat kepadaku yang akan aku dengar dan berusaha menjalankan nasihat Abi.
"Jangan pernah menegur satu istrimu di depan satu istrimu yang lain, karena itu bisa menimbulkan rasa iri, dengki, dendam bahkan sombong di hati istri-istri mu. Nasehati mereka dengan tutur kata yang baik, tegur mereka dengan kalimat yang bijak. Jangan memberitahukan kekurangan satu istrimu kepada istrimu yang lain. Jika ingin menegur, tegurlah saat kalian sedang berdua saja."
Abi menjeda ucapannya, beliau menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan memberikan nasihat kepada kami.
"Istri adalah pakaian bagi seorang suami, begitupun sebaliknya. Jadi sudah seharusnya dan sudah wajib bagi kalian untuk saling melindungi, menasehati dan menjaga. Jangan mengambil keputusan secara sepihak, musyawarahkan dulu bersama untuk mencapai keputusan yang sama-sama di setujui. Berilah mereka waktu untuk mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian carilah jalan tengahnya."
"Memiliki dua istri bukanlah hal yang mudah, tapi Abi harap kamu bisa adil dalam membagi waktu untuk mereka berdua. Berusahalah bersikap adil dalam segala hal."
"InsyaaAllah, Hamdan akan berusaha adil kepada istri-istri Hamdan, Abi," ucapku tenang.
Abi menatap anak mantunya satu persatu, lalu pandangannya berhenti pada Najma sembari berkata, "Najma, putriku. Sekarang engkau bukanlah satu-satunya istri Hamdan, ada Salwa yang akan engkau bagi suamimu dalam segala hal, baik lahir maupun batin. Perluaslah keikhlasanmu menerima adik madumu, terima dia dengan lapang dada." Abi menyeka sudut matanya bergantian.
"Ajari Salwa segala hal tentang suami kalian, tentang apa yang disukai maupun yang tidak disukai suami kalian. Nasehati jika dia salah, jangan sekali-kali menghakiminya. Meskipun engkau istri pertama janganlah merasa engkau lebih berhak segalanya atas diri Hamdan dan hartanya. Kedudukan kalian sama, status kalian sama, sama-sama istri Hamdan. Jadilah kakak yang baik buat adikmu." Abi tak bisa menyembunyikan tatapan sendunya kepada seorang putri yang sangat ia sayangi tersebut. Bahkan berkali-kali Abi menghapus cairan bening di sudut netranya.
'Maafkan Hamdan, Bi. Maaf karena Hamdan sudah membuat Abi bersedih,'
"InsyaaAllah, Abi." Najma menunduk, tak berani menatap wajah sang ayahanda yang begitu kentara akan kesedihannya.
Lalu kepada Salwa Abi juga memberikan petuahnya. Namun, sebelum beliau berkata, beliau menarik nafas terlebih dahulu, "Salwa, sebelumnya aku tak mengenal dirimu siapa, tapi karena Hamdan menikahimu, maka kini kau sudah kami anggap sebagai putri kami juga. Kamu disini sebagai istri kedua dari Hamdan, janganlah berkecil hati karena posisi itu, karena sejatinya kedudukan kalian itu sama. Janganlah sungkan untuk bertanya jika ada hal yang tak kamu fahami tentang suamimu kepada Najma. Jadilah kalian partner yang baik, yang saling mendukung, melindungi, menasehati dan saling menjaga."
"InsyaaAllah, terima kasih, paman," jawab Salwa
"Panggil Abi saja, seperti mereka memanggilku," pinta Abi kepada salwa
"Baik, Abi."
"Ya sudah, Abi mau langsung pulang. Akur-akurlah kalian," ucap Abi. Beliau dan Umi pun segera bangkit dan berpamitan kepada ibuku juga kepada ibu Salwa.
"Saya pulang duluan ya, Bu," pamit umi kepada ibuku.
"Nggak mau nunggu resepsi dulu Bu Nyai, pak Kyai?" tanya ibu.
Meskipun mereka sudah menjadi besan, tetap saja ibuku selalu memanggil umi dan Abah dengan sebutan Bu nyai dan pak Kyai, karena beliau begitu takdzim kepada kyai tersohor di Jawa timur tersebut.
Namun, keduanya tampak menggeleng, "Maaf ya, Bu, kita nggak bisa nunggu sampai acara selesai. Kami harus segera kembali ke Jawa timur, nggak bisa lama-lama meninggalkan pesantren."
"Baiklah. Bu Nyai, Pak Kyai, sekali lagi saya benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi kini. Maafkan anak saya yang sudah menyakiti putri kalian," ini adalah permintaan maaf dari ibu kepada Umi dan Abi untuk kesekian kalinya. Meskipun Umi sudah mengatakan tak apa, tapi tetap saja ibu merasa begitu bersalah dan begitu malu kepada besannya karena diriku.
"Bu besan, sudah berapa kali saya katakan saya dan keluarga insyaallah ikhlas sebagaimana Najma yang ikhlas akan semua ini. Mungkin ini adalah takdir anak-anak kita. Kita doakan saja agar mereka senantiasa selalu bahagia." ujar Umi sambil mengelus lengan ibu.
"Saya tetap merasa malu kepada njenengan, Bu Nyai."
"Sudah, tak usah di pikirin. Saya pamit dulu ya,"
"Iya, hati-hati, Bu Nyai, pak Kyai." balas ibuku sembari mengangguk.
"Iya, mari, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kami lantas mengantarkan Abi dan Umi sampai teras rumah. Mereka akan pulang ke rumahku menggunakan taksi yang sudah Najma pesankan untuk mereka.
"Abah, Umma juga mau pulang bersama Abi dan ummi."
Lantas aku menolehkan kepalaku ke arah wanitaku yang ada di samping kananku ini.
"Kenapa harus ikut pulang Umma?" tanyaku.
"Abah, Umma mau bantu umi dan Abi buat siap-siap, besok pagi mereka sudah mau pulang."
"Umma, tak bisakah di sini sampai malam nanti?"
"Maaf, Abah," kata istriku sambil tersenyum manis.
'Sadarlah Hamdan! Istri mana yang sanggup melihat suaminya duduk di pelaminan bersama madunya. Sudah untung kamu diizinkan menikah lagi, jadi jangan ngelunjak!'
"Baiklah, hati-hati di jalan, InsyaaAllah besok pagi abah akan antar umi dan Abi ke bandara."
"Tak usah, Abah. Biar umma saja yang antar mereka, Abah di sini saja hingga beberapa hari kedepan," ucap Najma.
"Tapi, Umma ..."
"Abah, Salwa sudah menjadi istri Abah, dia pasti ingin merasakan momen-momen pengantin baru bersamamu dua empat jam full. Abah disini saja," potongnya, memberi pengertian.
Aku terdiam, lalu mengangguk, "Baiklah, Umma."
"Ya sudah, Umma pulang dulu," ucapnya.
Dia mencium tanganku dengan takdzim, kemudian aku mencium keningnya cukup lama sebagai tanda bahwa aku masih mencintainya dan akan selalu mencintainya.
Aku tak tahu apakah dia mengerti sinyalku. Yang jelas, Najma kemudian memeluk Salwa sambil berkata, "Berbahagialah adikku."
"Maafkan aku dan terimakasih, Mbak."
Terdengar balasan dari Salwa yang dibalas anggukan oleh Najma. Lagi-lagi, senyuman itu tak pernah luntur di wajahnya.
"Ibu, Najma pulang ya," pamitnya pada ibu yang berdiri di samping ibu Salwa.
"Hati-hati, Nak," pesan ibu kepada menantu pertamanya tersebut.
"InsyaaAllah, Bu."
"Ibu, Najma pulang, ya, titip mertua sama suami Najma, kalau Mas Hamdan jahatin Salwa marahin saja dia, kalau perlu ibu pukul." Najma melontarkan candaan ketika ia berpamitan kepada ibu dari Salwa.
"Iya, Nak, kamu ini bisa saja."
"Ya sudah, Najma pulang, assalamualaikum," ucapnya.
"Wa'alaikum salam," balas kami.
Dia memasuki taksi yang di dalamnya sudah ada Umi dan Abah. Kemudian dia membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya seiring taksi tersebut menjauh dan perlahan menghilang dari pandangan mata.
Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya. Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja. "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat." Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat. "Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin. "Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar. Setibanya
Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab
"Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per
"Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit
Wa'alaikum salam, Ibu."Kami menjawab salam wanita paruh baya yang telah melahirkan ku ke dunia ini."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Tanya ibu kepada istriku."Alhamdulillah sudah mendingan, Bu." jawab Najma sambil mencium tangan ibu."Ibu bahagia dan bersyukur banget denger kalian akan memberikan ibu cucu, selamat ya,""Alhamdulillah, Bu. Allah masih mempercayakan kami untuk dititipkan amanahnya." jawabku dengan penuh binar kebahagian."Ibu sama siapa kesini? Tahu dari mana kalau Najma ada disini?""Ibu sama ...""Assalamualaikum,"Kami kembali menoleh saat mendengar salam dari arah pintu, di sana istri mudaku dengan membawa parsel buah ditangannya. Wanita itu menghampiriku lalu mencium tanganku, setelahnya dia bercipika-cipiki dengan Najma."Aku turut bahagia, Mbak dengar kabar baik itu," "Terimakasih, Adikku.""Selamat ya, Mas, Mbak.""Iya, sekali lagi terimakasih.""Ini, ibu sama Salwa. Tadi ibu ke rumah kalian, mau bawakan pepes ikan tuna buat Najma, tapi kata Hanifah dari kemaren
Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur
"Ummi lagi masak apa?" tanyaku pada istri keduaku yang ku lihat sedang memotong bawang merah dan bawang putih."Astagfirullah, Abah. Bikin kaget saja!" Seketika Salwa menghentikan kegiatannya, laku mengusap dadanya karena kaget."Maaf, Ummi." Sesalku, "Ummi lagi masak apa?" tanyaku sambil melingkarkan tanganku pada kedua pinggulnya.Dia mengangguk,"Mau buat sup ayam." lalu Salwa berusaha melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan seperti ini Abah, nggak enak entar kalau di lihat ibu ataupun mbak Najma.""Oh, iya, ibu kemana?" aku bertanya lagi tanpa melepaskan pelukanku."Ibu lagi ke warung mau beli penyedap rasa katanya udah nggak ada.""Ummi, maafkan Abah ya, dari pagi Abah mengabaikan Ummi." ujarku sambil mencium pipinya."Nggak apa-apa, Abah. Ummi ngerti kok." jawabnya sambil menunduk menyembunyikan rona merah jambu di pipinya"Semoga disini juga segera tumbuh buah hati kita," kataku sambil mengusap perut rata Salwa."Aamiin,""Aamiin,"Setelah Salwa mengaminkan ucapa
Setelahnya aku pun pergi menuju rumah istri keduaku. Tak butuh waktu lama, hanya butuh waktu sekitaran lima menit untuk aku sampai di rumah Salwa. Saat tiba di persimpangan di depan rumah Salwa, aku melihat di sana terparkir sebuah mobil yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya.Seorang wanita paruh baya bersama seorang pemuda berdiri di depan pintu sedang menunjuk-nunjuk Salwa. Bahkan di sekitaran mereka ada beberapa ibu-ibu yang menontonnya. Ada apa ini? Aku memilih turun dari mobil dan mendekat ke arah mereka. Tampaknya tak ada yang menyadari kehadiranku, perlahan aku mulai mendengar perbincangan mereka"Jadi ini alasan kamu menolak anak saya? Di lamar bujang nggak mau, maunya nikah sama orang yang sudah beristri. Kamu itu tak ubahnya hanya seorang pelakor, Salwa!" Makian ibu-ibu itu membuat Salwa menunduk mungkin karena malu."Anak saya wanita baik-baik, bukan dia yang masuk ke rumah tangga orang, tapi orang itulah yang mengajak Salwa untuk masuk