Share

7. Mengantar Kepulangan Abi dan Umi

Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma.

Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya.

"Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian.

 "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." 

"Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan.

"Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Abi dan Umi, sedangkan mereka datang ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan kita," jawabku.

"Mas tak mau sarapan dulu?" tanyanya setelah menghela napas dengan pasrah.

"Mas keburu, Dik."

"Ya sudah kalau begitu, hati-hati, Mas."

"Iya, Mas pamit dulu, setelah ini mas akan kembali kesini, Assalamualaikum," balasku.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya.

Setelah mencium singkat kening istri mudaku, aku bergegas keluar dari kamar takut terlambat mengantar umi dan Abi.

"Ibu, Hamdan pulang dulu ke rumah Najma mau mengantarkan Abi dan Umi ke bandara." pamitku pada ibu yang tengah menyiapkan sarapan di dapur.

"Enggak sarapan dulu?" tanya ibu menghentikan kegiatannya lalu menoleh kepadaku.

"Nggak usah, Bu. Takut ketinggalan."

"Ya sudah, hati-hati, Le."

"Iya, Bu. Ya sudah, Hamdan berangkat, assalamualaikum," pamitku.

"Waalaikumsalam," salam Ibu kembali.

Setelah berpamitan kepada ibu, aku segera menuju mobil dan melajukannya meninggalkan  pekarangan rumah Salwa. Beruntung jalanan tak begitu ramai karena ini masih pagi buta, hanya jalanan saja yang sedikit licin dan berair karena semalam hujan turun dengan begitu derasnya.

Dua puluh menit kemudian, aku tiba di rumahku. Ada sebuah mobil taksi terparkir di depan gerbang rumah kami, beruntung aku tak terlambat untuk mengantar kedua mertuaku menuju bandara.

"Assalamualaikum," salamku sambil membuka pintu rumah

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka semua yang ada di ruang tamu tampak sedang mengecek barang milik Abi umi.

Najma menghampiriku lalu mengulurkan tangannya untuk salim kepadaku dengan seulas senyum yang begitu indah.

"Kok pulang sepagi ini, Abah?"

"Umma, Abah ingin ikut mengantar Abi dan Umi ke bandara," balasku.

"Abah, Umma sudah katakan kan kemaren, Umma sendiri yang akan mengantar Abi dan Umi. Bagaimana dengan Salwa?"

"Umma, tak mungkin Abah setega itu membiarkan Umma seorang diri mengantar Abi dan Umi ke bandara," balasku, "lagian, Salwa sudah ngizinin Abah."

"Ya sudah kalau gitu, yuk buruan berangkat."

"Emm, Abah. Abah sudah sarapan?"

"Belum, Umma," jawabku.

"Hari ini Umma nggak masak, kami semua juga belum sarapan, niatnya mau sarapan di kafe depan bandara."

"Baiklah, Umma."

Kami pun berangkat menuju bandara, Abi dan Umi tetap menggunakan taksi karena tak enak hati jika harus membatalkan begitu saja pesanan mereka. Sedangkan aku menggunakan mobil bersama Najma. Di pertengahan jalan, lalu lintas terhenti karena lampu merah, aku menatap lekat wajah istriku yang tampak berbeda. Mata itu, mata indah yang selalu memancarkan cahaya cinta itu, mata indah yang selalu memandangku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, mata itu tampak bengkak, kantung nadanya sedikit membesar.

Aku takut untuk menanyakannya, meskipun tanpa bertanya aku tahu mengapa istriku menangis hingga matanya menjadi bengkak seperti itu. Aku bukan lelaki yang tak peka, aku begitu peka akan perasaan istriku. Aku merasa begitu bersalah kepadanya semenjak Najma mengetahui tentang perasaanku yang mulai bercabang. Bahkan kini rasa bersalah itu semakin besar saat pernikahan keduaku berlangsung. Namun apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur, semoga aku bisa menjadi suami yang adil untuk kedua istriku. Semoga tak ada yang terdzolimi diantara keduanya.

Setibanya di bandara, kami mampir dulu ke kafe depan bandara untuk sarapan karena jam penerbangan Abi dan Umi masih empat puluh lima menit lagi. Selesai sarapan kami langsung mengantar Abi dan Umi ke depan pintu bandara.

"Jagalah putri Abi dengan baik, jika kamu tak sanggup lagi membahagiakan dia, Abi siap menerima kepulangannya." pesan Abi sebelum memasuki area bandara 

"InsyaaAllah Hamdan akan menjaga kebahagian Najma, dan akan selalu berusaha membuat putri Abi bahagia."

"Ingatlah, jangan sampai kamu mengumpulkan istri-istrimu dalam satu atap!"

"InsyaaAllah tidak akan, Abi."

"Baiklah kalau begitu, kami pamit, assalamualaikum," ucap ayah mertuaku.

"Waalaikumsalam," balas aku dan istriku serempak.

 Setelah memastikan pesawat yang di tumpangi kedua mertuaku itu sudah lepas landas, aku pun mengajak Najma pulang.

Namun, tiba-tiba, aku mendengar suara lirih dari sampingku.

"Umma, kenapa menangis?" tanyaku.

Tak kusangka, Najma segera mengusap kedua sudut netranya.

"Tidak apa-apa, Abah. Hanya saja Umma masih kangen sama umi dan Abi."

"Benarkah?"

"Iya Abah." 

"Ya sudah, kita pulang sekarang ya."

"Mari, Abah."

Kami pun pulang meninggalkan bandara.

Namun, aku ingin sedikit memiliki waktu luang dengan istriku yang sholeh ini. Jadi, kala melihat minimarket, kutepikan mobil di depannya.

"Umma, apakah ada yang mau Umma beli?" tanyaku. 

Hanya saja, Najma justru menggeleng. "Tidak usah, Abah. Umma mau langsung pulang saja, Umma belum sempat beres-beres rumah."

"Ya sudah kalau nggak ada, kita langsung pulang saja," balasku lesu.

Aku pun kembali melajukan mobilku membelah jalanan ibu kota yang lumayan macet, karena ini sudah waktunya jam beraktifitas.

Setibanya di rumah, aku mengikuti langkah istriku memasuki rumah kami.

Rumah ini entah mengapa terasa begitu sepi.

Setiap hari, Najma akan sendirian semenjak aku berangkat kerja hingga aku pulang. Istriku tak pernah keluar rumah jika tak ada keperluan, bahkan dia tak memiliki geng sosialita seperti kebanyakan para istri lainnya, Najma lebih betah di dalam rumah dan sesekali main bersama anak tetangga di depan rumah yang baru berusia dua tahun. 

Aku duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Najma menuju dapur.

"Abah, ini kopinya." Najma kembali setelah beberapa menit kemudian dengan membawa secangkir kopi untukku. 

"Terima kasih, Umma."

Najma duduk di sampingku sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku--hal yang selalu dia lakukan saat kami duduk berdua seperti ini.

 Menit demi menit berlalu, posisi kami masih sepeti tadi. Kami diam membisu tak ada obrolan di antara kami, hingga dering ponselku memecahkan keheningan diantara kami.

Najma bahkan sampai menegakkan posisi duduknya karena ponselku ada di saku celana sebelah kanan tempat Najma bersandar.

"Assalamualaikum, Mas." Terdengar suara dari seberang.

Ternyata, Salwa yang menelponku.

"Waalaikum salam, Dik. Ada apa?"

"Mas belum pulang?"

"Sebentar lagi mas kembali, ini mas masih berada di rumah Najma."

"Oh, ya sudah, Salwa cuma mau tanya itu saja, ya sudah Salwa tutup telponnya, salam buat mbak Najma," balasnya. 

"Baiklah, nanti mas sampaikan salammu."

"Assalamualaikum," salamnya.

"Waalaikumsalam."

Telepon pun berakhir. 

Aku segera menoleh pada Najma yang berada di sebelahku. "Umma, Salwa titip salam buat Umma."

"Waalaikum salam, salam balik buat adikku, Abah."

Istriku itu tampak mengangguk dan tersenyum.

Aku pun sedikit lega. Ini adalah senyum pertamanya setelah kulihat ia menangis kemarin.

Namun, kebahagiaanku ternyata singkat kala menyadari bahwa Salwa tengah menungguku saat ini.

"Umma, Abah pulang dulu ke rumah Salwa ya," ucapku akhirnya meski terasa begitu berat kala tengah nyaman bersama Najma. 

Mata Najma sedikit membelalak sebelum kembali mengangguk. "Ah, iya Abah. Silahkan! Maafkan Umma sudah menahan Abah disini dengan terus bersandar di bahu abah."

Istriku itu lalu bangkit dan menjauh dariku dengan raut wajah yang begitu sulit untuk kuartikan.

Deg!

Entah mengapa, rasa sakit itu datang lagi. 

"Tidak, tidak apa-apa, Umma tidak salah," ucapku cepat, "jangan berkata seperti itu. Abah masih tetap milik Umma."

Namun, Najma hanya tersenyum. "Pergilah Abah, Salwa pasti sudah menunggu."

"Iya, Umma. Jaga diri baik-baik dirumah selama nggak ada Abah," ucapku

"InsyaaAllah, Abah."

"Nanti malam, Abah akan ajak Salwa kesini untuk merundingkan waktu Abah bersama kalian."

"Jangan terlalu cepat, Abah. Nikmati dulu masa-masa pengantin baru kalian, Umma nggak apa-apa," pesannya.

Mendengar itu, aku segera membawa Najma ke dalam pelukanku lalu mengusap lembut kepalanya, serta mencium keningnya dengan begitu lama.

Sungguh, mulia sekali hati istriku ini.

Lama, aku terdiam sebelum teringat kembali bahwa ada istri baru yang menjadi tanggung jawabku.

"Abah pergi dulu, Assalamualaikum," pamitku.

"Hati-hati Abah, wa'alaikum salam," balasnya.

Dengan berat hati, aku meninggalkan istriku seorang diri di rumah selama beberapa hari ke depan.

Rumah yang tujuh tahun lalu aku bangun dengan hasil dari keringatku sendiri untuk istriku ini, terasa senyap mendadak.

"Ya Allah, tolong mampukan hambamu bertanggungjawab atas pilihan ini."

Komen (3)
goodnovel comment avatar
sulikah
Nama sok kuaast padahal hatinya rapuh kenapa harus menyakiti diri sendiri demi kebahagiaan orang lain se mulia apapun hati manusia klo sudah di duakan pasti merasa terkoyak yg sangat pedih......
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
laki-laki MUNAFIK sebentar lagi jadi DAJJAL
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
nggak percayq iklas laki cari selangkangan baru paling benci aku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status