Satu jam, dua jam, bahkan sudah lima jam suamiku tak kunjung datang. Berkali-kali aku membuang napas kasar, berharap bisa sedikit saja mengurangi sesak yang semakin menghimpit dada. Membuat ibu jadi geram dan memutuskan untuk menelpon mas Hamdan. Aku sudah melarangnya karena ini sudah malam, tapi ibu tetep kekeuh ingin menelpon anak semata wayangnya tersebut.Tak hanya aku yang menunggu, tapi masakan kesukaannya yang berada di atas meja tetap utuh tak tersentuh menunggu sang pemilik makanan datang untuk menghabiskannya."Assalamualaikum, Bu." sapa mas Hamdan di sebrang sana."Waalaikum salam," jawab ibu ketus."Kenapa, Bu?" tanya mas Hamdan dengan suara serak mungkin dia sudah tidur."Hamdan, kamu masih nanya kenapa ibu menelponmu?" kata ibu sedikit menaikkan nada suaranya.Aku mengelus lengan ibu guna meredam emosinya."Apakah Hamdan berbuat kesalahan?" Tak adakah dia merasa bersalah pada diri yang sudah berjam-jam menunggunya,
POV 3 "Jangan ulangi kesalahan kamu lagi, Hamdan! Kamu harus bisa menjaga perasaan istrimu. Jangan terlalu sering menyakiti Najma!" Ibu menunjuk-nunjuk Hamdan seiring tatapan tajam yang ibu layangkan kepada anak semata wayangnya tersebut pertanda ia begitu marah akan apa yang dilakukan sang putra. Setelahnya, ia menghela napas berat, "Beruntung Najma sudah mau menyatukan kamu dengan wanita yang sudah mengotori pikiranmu dan membuatmu tak bisa menjaga pandangan. Jangan karena keikhlasan Najma akan pernikahan keduamu ini, kamu jadi seenaknya mengabaikan istri pertamamu begitu saja. Bahkan kamu sampai tak pernah menghubunginya sama sekali," Ibu menggelengkan kepalanya dan berusaha mengatur nafasnya yang memburu, ia begitu marah kepada Hamdan karena sikapnya selama seminggu ini yang mengabaikan Najma dan berniat untuk tak pulang melebihi waktunya. Bukan maksud ibu untuk ikut campur akan urusan rumah tangga anaknya, tapi dia hanya tak mau nantinya sang anak yang menjalani poligami menjadi
Mobil yang dikemudikan Hamdan membelah jalanan yang tak begitu cerah karena sang mentari masih sembunyi di balik awan yang mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.Hamdan mengendarai mobilnya memasuki area supermarket dan memarkirkan mobilnya. Ia melihat Najma sedang duduk di sebuah kursi yang tersedia di teras supermarket dengan di temani satu cup ice cream rasa vanila kesukaannya. Ia mengumpulkan keberaniannya untuk bertemu Najma. Rasa bersalah yang begitu besar membuat Hamdan merasa begitu malu untuk bertemu sang istri. Setelah berkali-kali menarik dan membuang nafasnya dengan perlahan, Hamdan pun turun dari mobil dan mulai menghampiri istri pertamanya tersebut yang terlihat begitu menikmati ice cream yang ada di hadapannya."Assalamualaikum, Umma," salam Hamdan ketika menghampiri Najma dan duduk di kursi di seberang meja Najma."Waalaikum salam, Abah,""Si mbok kemana Umma?""Lagi di dalam, belum selesai belanjanya. Umma nggak di
"Abah, kapan kita akan pergi bulan madu? Ummi juga ingin merasakan pergi honeymoon bersama suami ummi,"Sore itu, setelah pulang dari kantor Hamdan mampir sebentar ke rumah Salwa guna untuk melihat kondisi istri mudanya tersebut. Terasa lega hatinya saat melihat Salwa sudah baik-baik saja dan sudah beraktifitas seperti biasanya."Ummi, jangan sekarang dulu, ya. Kondisi Umma Najma masih nggak memungkinkan untuk Abah tinggal jauh, kondisi kandungannya masih lemah. Bahkan kemaren sempat mengalami flek karena kelelahan. Abah tak ingin kejadian seperti itu terulang kembali, apalagi kemaren Abah tidak ada bersamanya." Hamdan mencoba meminta pengertian dari istri keduanya tersebut setelah terdiam cukup lama memikirkan ajakan sang istri, berharap Salwa mau mengerti.Salwa tampak kecewa mendengar jawaban sang suami. Padahal ia sangat menginginkan pergi berbulan madu bersama suami di saat awal pernikahan, seperti kebanyakan pasangan suami istri lainnya. Hamdan dapat melihat gurat kecewa di waja
"Kamu beneran Nak mau ke rumah istri pertama suamimu itu?" tanya ibu Salwa saat putrinya itu udah siap untuk pergi."Iya, Bu. Salwa mau memperjuangkan hak Salwa sebagai istri mas Hamdan. Salwa juga ingin bahagia seperti pasangan yang baru menikah lainnya, Bu."Setelah kepulangan Hamdan kemarin, Salwa memikirkan dengan penuh pertimbangan apa yang harus dia lakukan demi memperjuangkan hak miliknya. Dia sudah membulatkan tekad untuk mengunjungi kediaman Hamdan dengan istri pertamanya."Nak, berapa kali ibu bilang, Hamdan sudah berusaha untuk membahagiakan kamu. Dia suami yang baik, suami yang bertanggung jawab. Namun, keadaan kakak madumu yang tak memungkinkan untuk Hamdan membawamu berbulan madu, mengertilah, Nak." ibu Salwa masih berusaha menasehati putrinya yang di pikirnya terlalu egois tak memikirkan perasaan istri pertama suaminya. Ia takut kedatangan Salwa ke sana akan menimbulkan masalah baru yang akan membuat hubungan ketiganya tak baik-baik
Sebisa mungkin Najma menahan air matanya agar tak jatuh. Sungguh, perkataan adik madunya sangat menyakitkan hatinya."Mbak, ku harap kau bisa mengerti akan setiap perkataanku. Aku tahu, aku hanya istri kedua, tapi apa salah jika aku ingin menjalani pernikahan seperti pernikahan pada umumnya?"Salwa kembali membuka suaranya setelah terjadi keheningan yang cukup lama tercipta di antara mereka. Kata-kata itu semakin membuat Najma merasakan sesak pada dadanya."Menjalankan pernikahan pada umumnya? Maksud kamu yang setiap hari bisa selalu bersama mas Hamdan? Bisa menguasai dia sepenuhnya dan memusatkan perhatian dia sepenuhnya padamu, begitu? Apa kamu ingin aku mundur, Salwa? Apa kamu ingin aku menyerah dan kamu jadi satu-satunya istri seperti pernikahan orang-orang pada umumnya yang hanya ada satu istri dan satu suami?""Bukan itu maksudku, Mbak! Aku hanya ingin merasakan indahnya awal pernikahan dengan berbulan madu bersama mas Hamdan tanpa mas Hamdan yang merasa berat buat meninggalkanm
"Ingat, Hamdan bukan tak mau membawamu berbulan madu, tapi dia menunggu waktu yang tepat untuk membawamu bulan madu. Jika kalian pergi sekarang, bukan tidak mungkin kalian tak akan bahagia karena fikiran Hamdan selalu tertuju pada istri pertamanya yang sedang tidak baik-baik saja kandungannya."Salwa mencerna perkataan sang ibu, hatinya membenarkan apa yang diucapkan ibunya, bahwa tak mungkin Hamdan akan fokus pada bulan madu mereka karena memikirkan istri satunya yang sedang mengandung dan kondisi janin yang lemah."Cobalah petik hikmah di balik kejadian ini, jangan pikirkan sakitnya, tapi dampak setelahnya.""Terimakasih, Bu. Terimakasih sudah menjadi orang tua terhebat buat Salwa, maaf Salwa belum bisa bahagiakan ibu, maaf Salwa selalu buat ibu kecewa. Maaf Salwa tak pernah mendengarkan nasihat ibu. Salwa janji akan menjadi istri yang Sholehah buat suami Salwa dan juga adik yang baik buat madu Salwa.""Kamu putri ibu, Nak. Kamu satu-satunya yang ibu mi
"Abah, terimakasih sudah membawa ummi ke tempat yang begitu indah ini," Salwa duduk bersandar di bahu Hamdan sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh mereka. duduk di sebuah kursi panjang di halaman penginapan sambil menikmati indahnya laut yang berwarna biru membuat mata enggan melepas pandangan. "Semoga ummi bahagia," "Ummi sangat bahagia, Abah." "Mau berenang?" tawar Hamdan kepada istri yang saat ini tengah berada dalam pelukannya. "Nggak Abah, gini ajah." Hamdan sudah berusaha sekeras mungkin menolak permintaan Najma untuk membawa Salwa berbulan madu, bukan tak mau membawa, tapi Hamdan menundanya karena khawatir akan kondisi kandungan Najma yang lemah. Najma dengan gigih memaksa Hamdan untuk tetap pergi, dan terus mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Karena paksaan dari istri pertamanya, akhirnya Hamdan mau berangkat membawa Salwa bulan madu. Namun, meskipun begitu Hamdan tak mau seperti orang yang terpaksa menjalani bulan madu ini. Ia tak mau membuat istri k