Share

6. Suara Hati Najma

Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.

Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya.

Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja.

 "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat."

Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat.

"Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin.

"Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar.

Setibanya di rumah, kami segera turun dari taksi yang tadi membawa kami pulang. Ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul di posko dekat dengan rumahku.

"Neng Najma, kok sudah pulang?" tanya Bu Wati.

"Iya, Bu. Mau bantu umi dan Abi siap-siap karena besok pagi mau pulang."

"Nggak nunggu Mas Hamdannya selesai dulu, Neng?" tanya Bu Sinta

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bu Sinta. Namun, ketenanganku itu malah dibalas dengan gosip oleh mereka.

"Nggak kuat kali lihat suaminya bersanding dengan wanita lain," bisik seorang ibu-ibu yang masih mampu aku dengar.

"Mungkin karena nggak hamil-hamil juga makanya si Hamdan cari lagi," ucap yang lain tanpa memikirkan perasaanku yang begitu terluka akan perkataannya.

"Huss, jangan ngomong begitu, nggak baik!"

Aku yang masih menunggu Abi mengambil kembaliannya dari supir taksi mendengar ibu-ibu di belakangku membicarakan diriku. Aku berusaha mengabaikan saja ucapan mereka.

"Emm, Neng Najma, boleh tanya nggak?" Seseibu tiba-tiba memanggilku, hingga menbuatku menolehkan kepalaku kepadanya.

"Silakan, Bu."

"Udah isi apa belom?" tanyaya menatap serius ke arahku.

"Doakan saja, ya," kataku dengan seulas senyum yang ku sunggingkan.

"Iya, Neng, tapi kayaknya makin susah deh," ujarnya, tapi sesaat kemudian ibu itu menutup mulutnya.

"Kenapa, Bu?" tanyaku berusaha tenang.

"Soalnya udah ada yang baru," balasnya.

"Astagfirullah, ya Allah," gumamku tanpa sadar. Namun, mereka hanya senyum-senyum saja.

"Ya sudah, kami masuk dulu ya ibu-ibu, mari, assalamualaikum," ucap umi tiba-tiba. Ia segera menghampiriku dan berpamitan kepada ibu-ibu tersebut tanpa memberikan waktu untu seseibu bicara. Padahal, tadi tampak seseorang sudah hampir membuka mulutnya yang terpaksa ia tutup lagi.

"Waalaikumsalam," balas mereka sebagai gantinya.

Tanpa basa-basi, Umi segera menarik tanganku meninggalkan ibu-ibu itu dan segera memasuki rumah. Beliau mengusap-usap punggungku berusaha menenangkan diriku.

"Najma nggak apa-apa, Umi. Najma baik-baik saja," ucapnya.

"Nak, sepandai-pandainya kamu menyembunyikan perasaanmu di hadapan semua orang, tapi kamu tak bisa menyembunyikannya dari umi, Nak. Umi tahu apa yang kamu rasakan."

Umi pun menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, hati ibu mana yang tak terluka ketika melihat anaknya diduakan?   

"Terima kasih umi sudah mengerti perasaan Najma," ucapku, "doakan Najma umi agar Najma tetap baik-baik saja."

"Selalu, sayang. Doa umi selalu menyertaimu. Jadilah putri Abi dan Umi yang kuat, yang pantang menyerah." Umi tersenyum tapi air matanya menetes di pipi  yang sudah mulai terlihat keriputnya.

"InsyaaAllah, Umi."

Umi mengangguk, "Jadilah wanita yang memiliki kesabaran dan keikhlasan seluas samudera. Jika kau ikhlas, ridho dan sabar, InsyaaAllah syurga Allah akan kau dapatkan, Putriku."

"Aamiin, doakan Najma umi agar bisa seperti itu."

"Tentu, Nak. Ya sudah, sekarang mandilah, kita sholat berjamaah bersama Abi di musholla, sudah lama kau tak ikut berjamaah bersama umi dan Abi."

Umi mengapus jejak air matanya meskipun air mata itu kembali menetes dan terus menetes. Sebenarnya, aku tak tahan melihat melihat umi menangisi nasibku, tapi sebisa mungkin aku berusaha kuat agar umi tak semakin sedih dan kepikiran akan nasibku. 

"Baiklah, Umi. Najma mandi dulu," pamitku.

******

Selesai sholat berjamaah, aku dan umi memutuskan untuk memasak buat makan malam nanti. Sudah lama juga rasanya aku tidak masak berdua seperti ini bersama umi. Terasa indah sekali kebersamaan kami saat ini. Terasa seperti dulu---saat aku masih belum menikah dan menjadi putri abi dan umi satu-satunya.

"Umi mau nggak malam ini tidur bareng Najma?" tanyaku pada umi saat kami duduk santai di ruang keluarga.

"Kenapa harus tidur sama Umi?"

"Najma kangen pengen di peluk Umi kalau tidur." ujarku yang memang merindukan dekapan hangat sang ibu ketika tidur, akupun ingin mencari ketenangan hati dalam pelukan umi. 

"Terus Abi tidurnya sama siapa?"

"Ih, Abi, masak nggak mau ngalah sih sama anak sendiri!?" Aku pura-pura cemberut menatap Abi

"Kamu udah besar, udah punya suami nggak usah lagi manja minta tidur sama Umi, Umi tidurnya sudah ada Abi."

'Punya suami, tapi suamiku sedang menikmati malam pengantin dengan istri mudanya,'

Dan pada akhirnya, aku hanya tidur seorang diri di kamar ini, tidur sendirian sebagai kali pertama setelah aku menikah dengan mas Hamdan. Mungkin, seterusnya aku akan sering tidur seorang diri di kamar bernuansa biru donker ini. Ah, aku tak apa, aku baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja.

Aku sudah mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan ini sejak setahun yang lalu, agar aku siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada. Namun, seberapapun aku menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang telah aku pikirkan, nyatanya aku tak se-siap itu. Aku sakit,  dan aku tak menyangka kalau pada kenyataannya rasanya sungguh teramat sangat menyakitkan.

Tak apa!

Aku baik-baik saja!

Ikhlas belum tentu tak ada luka, tapi jika kita menerima luka dengan ikhlas, InsyaaAllah kita bisa menghadapinya dengan tenang.

"Ya, aku akan baik-baik saja dan akan tetap seperti ini," lirihku.

"Allah, bantu aku untuk selalu kuat selalu terlihat kuat di hadapan siapapun."

Dia memang pernah mengajak berjuang untuk membantunya melupakan semua perasaan itu, dan itu sedikit mengobati lukaku. Namun, takdir berkata lain, perasaan itu tetap utuh hingga aku menyerah untuk membantunya menghapus perasaannya. Dalam setiap sujud siang dan malam, aku selalu meminta kepada sang Khalik, agar cintanya hanya untukku, tapi Allah rasanya tak mengabulkan doaku, Allah tetapkan perasaan itu mungkin untuk menguji keimanan serta kesetiaan kami. 

Hingga pada akhirnya, aku mengalah, aku memintanya untuk menikahi wanita itu. Menjadikannya adik maduku mungkin bisa membuat suamiku merasa bahagia.

Aku melakukan ini atas nama cinta, aku mencintainya sehingga aku rela melakukan ini untuknya. 

Cinta dan luka, mungkin itu yang aku rasakan. Aku terluka karena mencintainya, tapi sudah ku katakan aku baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja. Aku sudah berdamai dengan luka ini, aku tak ingin memiliki dendam karena luka ini. Aku tak ingin luka ini menjadi panghalang untuk baktiku kepada suamiku. 

Tak ada rasa benci untuknya maupun untuk istri barunya, aku ikhlas dan ridho. Aku harap rumah tangga kami baik-baik saja, hidup dalam rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah.

Aku melirik jam yang bertengger di atas nakas, jam dua dini hari, ternyata selama ini aku susah memejamkan mataku, aku bangkit menuju kamar mandi untuk melaksanakan sholat tahajjud, meminta untuk semakin di tingkatkan rasa sabar dan ikhlas di hati ini. Hujan mengguyur bumi malam ini, entah sejak kapan aku tak menyadarinya. Angin kencang membuat tirai-tirai kamarku beterbangan seiring dengan suara derasnya air hujan yang tak kunjung reda. 

Dinginnya malam serta dinginnya hujan merasuki tubuhku menebus pori-pori kulit ini. Begitu dingin dan hampir membuatku menggigil. Aku tak pedulikan dinginnya malam ini, aku tetap melanjutkan langkah menuju kamar mandi untuk berwudhu, setelahnya aku segera menggelar sajadah dan mengenakan mukenah berharap mukenah ini bisa menjadi penghangat bagi tubuh yang kedinginan ini.

"Ya Allah, beri hambamu ini ketegaran hati."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
munafik juga ternyata
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
ceritamu memuakkan thor !!! mimpimu ketinggian sehingga keliatan tolol ceritanya,
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
penulisnya terlalu tinggi halunya sehingga sanggup menciptakan karakter hokohnya g punya akal waras dan hati yg munafik. cerita sampah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status