Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.
Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya.Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja.
"Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat."
Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat.
"Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin.
"Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar.
Setibanya di rumah, kami segera turun dari taksi yang tadi membawa kami pulang. Ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul di posko dekat dengan rumahku.
"Neng Najma, kok sudah pulang?" tanya Bu Wati.
"Iya, Bu. Mau bantu umi dan Abi siap-siap karena besok pagi mau pulang."
"Nggak nunggu Mas Hamdannya selesai dulu, Neng?" tanya Bu Sinta
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bu Sinta. Namun, ketenanganku itu malah dibalas dengan gosip oleh mereka.
"Nggak kuat kali lihat suaminya bersanding dengan wanita lain," bisik seorang ibu-ibu yang masih mampu aku dengar.
"Mungkin karena nggak hamil-hamil juga makanya si Hamdan cari lagi," ucap yang lain tanpa memikirkan perasaanku yang begitu terluka akan perkataannya.
"Huss, jangan ngomong begitu, nggak baik!"
Aku yang masih menunggu Abi mengambil kembaliannya dari supir taksi mendengar ibu-ibu di belakangku membicarakan diriku. Aku berusaha mengabaikan saja ucapan mereka.
"Emm, Neng Najma, boleh tanya nggak?" Seseibu tiba-tiba memanggilku, hingga menbuatku menolehkan kepalaku kepadanya.
"Silakan, Bu."
"Udah isi apa belom?" tanyaya menatap serius ke arahku.
"Doakan saja, ya," kataku dengan seulas senyum yang ku sunggingkan.
"Iya, Neng, tapi kayaknya makin susah deh," ujarnya, tapi sesaat kemudian ibu itu menutup mulutnya.
"Kenapa, Bu?" tanyaku berusaha tenang.
"Soalnya udah ada yang baru," balasnya.
"Astagfirullah, ya Allah," gumamku tanpa sadar. Namun, mereka hanya senyum-senyum saja.
"Ya sudah, kami masuk dulu ya ibu-ibu, mari, assalamualaikum," ucap umi tiba-tiba. Ia segera menghampiriku dan berpamitan kepada ibu-ibu tersebut tanpa memberikan waktu untu seseibu bicara. Padahal, tadi tampak seseorang sudah hampir membuka mulutnya yang terpaksa ia tutup lagi.
"Waalaikumsalam," balas mereka sebagai gantinya.
Tanpa basa-basi, Umi segera menarik tanganku meninggalkan ibu-ibu itu dan segera memasuki rumah. Beliau mengusap-usap punggungku berusaha menenangkan diriku.
"Najma nggak apa-apa, Umi. Najma baik-baik saja," ucapnya.
"Nak, sepandai-pandainya kamu menyembunyikan perasaanmu di hadapan semua orang, tapi kamu tak bisa menyembunyikannya dari umi, Nak. Umi tahu apa yang kamu rasakan."
Umi pun menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, hati ibu mana yang tak terluka ketika melihat anaknya diduakan?
"Terima kasih umi sudah mengerti perasaan Najma," ucapku, "doakan Najma umi agar Najma tetap baik-baik saja."
"Selalu, sayang. Doa umi selalu menyertaimu. Jadilah putri Abi dan Umi yang kuat, yang pantang menyerah." Umi tersenyum tapi air matanya menetes di pipi yang sudah mulai terlihat keriputnya.
"InsyaaAllah, Umi."
Umi mengangguk, "Jadilah wanita yang memiliki kesabaran dan keikhlasan seluas samudera. Jika kau ikhlas, ridho dan sabar, InsyaaAllah syurga Allah akan kau dapatkan, Putriku."
"Aamiin, doakan Najma umi agar bisa seperti itu."
"Tentu, Nak. Ya sudah, sekarang mandilah, kita sholat berjamaah bersama Abi di musholla, sudah lama kau tak ikut berjamaah bersama umi dan Abi."
Umi mengapus jejak air matanya meskipun air mata itu kembali menetes dan terus menetes. Sebenarnya, aku tak tahan melihat melihat umi menangisi nasibku, tapi sebisa mungkin aku berusaha kuat agar umi tak semakin sedih dan kepikiran akan nasibku.
"Baiklah, Umi. Najma mandi dulu," pamitku.
******
Selesai sholat berjamaah, aku dan umi memutuskan untuk memasak buat makan malam nanti. Sudah lama juga rasanya aku tidak masak berdua seperti ini bersama umi. Terasa indah sekali kebersamaan kami saat ini. Terasa seperti dulu---saat aku masih belum menikah dan menjadi putri abi dan umi satu-satunya.
"Umi mau nggak malam ini tidur bareng Najma?" tanyaku pada umi saat kami duduk santai di ruang keluarga.
"Kenapa harus tidur sama Umi?"
"Najma kangen pengen di peluk Umi kalau tidur." ujarku yang memang merindukan dekapan hangat sang ibu ketika tidur, akupun ingin mencari ketenangan hati dalam pelukan umi.
"Terus Abi tidurnya sama siapa?"
"Ih, Abi, masak nggak mau ngalah sih sama anak sendiri!?" Aku pura-pura cemberut menatap Abi
"Kamu udah besar, udah punya suami nggak usah lagi manja minta tidur sama Umi, Umi tidurnya sudah ada Abi."
'Punya suami, tapi suamiku sedang menikmati malam pengantin dengan istri mudanya,'
Dan pada akhirnya, aku hanya tidur seorang diri di kamar ini, tidur sendirian sebagai kali pertama setelah aku menikah dengan mas Hamdan. Mungkin, seterusnya aku akan sering tidur seorang diri di kamar bernuansa biru donker ini. Ah, aku tak apa, aku baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja.
Aku sudah mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan ini sejak setahun yang lalu, agar aku siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada. Namun, seberapapun aku menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang telah aku pikirkan, nyatanya aku tak se-siap itu. Aku sakit, dan aku tak menyangka kalau pada kenyataannya rasanya sungguh teramat sangat menyakitkan.
Tak apa!
Aku baik-baik saja!
Ikhlas belum tentu tak ada luka, tapi jika kita menerima luka dengan ikhlas, InsyaaAllah kita bisa menghadapinya dengan tenang.
"Ya, aku akan baik-baik saja dan akan tetap seperti ini," lirihku.
"Allah, bantu aku untuk selalu kuat selalu terlihat kuat di hadapan siapapun."
Dia memang pernah mengajak berjuang untuk membantunya melupakan semua perasaan itu, dan itu sedikit mengobati lukaku. Namun, takdir berkata lain, perasaan itu tetap utuh hingga aku menyerah untuk membantunya menghapus perasaannya. Dalam setiap sujud siang dan malam, aku selalu meminta kepada sang Khalik, agar cintanya hanya untukku, tapi Allah rasanya tak mengabulkan doaku, Allah tetapkan perasaan itu mungkin untuk menguji keimanan serta kesetiaan kami.
Hingga pada akhirnya, aku mengalah, aku memintanya untuk menikahi wanita itu. Menjadikannya adik maduku mungkin bisa membuat suamiku merasa bahagia.
Aku melakukan ini atas nama cinta, aku mencintainya sehingga aku rela melakukan ini untuknya.
Cinta dan luka, mungkin itu yang aku rasakan. Aku terluka karena mencintainya, tapi sudah ku katakan aku baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja. Aku sudah berdamai dengan luka ini, aku tak ingin memiliki dendam karena luka ini. Aku tak ingin luka ini menjadi panghalang untuk baktiku kepada suamiku.
Tak ada rasa benci untuknya maupun untuk istri barunya, aku ikhlas dan ridho. Aku harap rumah tangga kami baik-baik saja, hidup dalam rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah.
Aku melirik jam yang bertengger di atas nakas, jam dua dini hari, ternyata selama ini aku susah memejamkan mataku, aku bangkit menuju kamar mandi untuk melaksanakan sholat tahajjud, meminta untuk semakin di tingkatkan rasa sabar dan ikhlas di hati ini. Hujan mengguyur bumi malam ini, entah sejak kapan aku tak menyadarinya. Angin kencang membuat tirai-tirai kamarku beterbangan seiring dengan suara derasnya air hujan yang tak kunjung reda.
Dinginnya malam serta dinginnya hujan merasuki tubuhku menebus pori-pori kulit ini. Begitu dingin dan hampir membuatku menggigil. Aku tak pedulikan dinginnya malam ini, aku tetap melanjutkan langkah menuju kamar mandi untuk berwudhu, setelahnya aku segera menggelar sajadah dan mengenakan mukenah berharap mukenah ini bisa menjadi penghangat bagi tubuh yang kedinginan ini.
"Ya Allah, beri hambamu ini ketegaran hati."
Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab
"Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per
"Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit
Wa'alaikum salam, Ibu."Kami menjawab salam wanita paruh baya yang telah melahirkan ku ke dunia ini."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Tanya ibu kepada istriku."Alhamdulillah sudah mendingan, Bu." jawab Najma sambil mencium tangan ibu."Ibu bahagia dan bersyukur banget denger kalian akan memberikan ibu cucu, selamat ya,""Alhamdulillah, Bu. Allah masih mempercayakan kami untuk dititipkan amanahnya." jawabku dengan penuh binar kebahagian."Ibu sama siapa kesini? Tahu dari mana kalau Najma ada disini?""Ibu sama ...""Assalamualaikum,"Kami kembali menoleh saat mendengar salam dari arah pintu, di sana istri mudaku dengan membawa parsel buah ditangannya. Wanita itu menghampiriku lalu mencium tanganku, setelahnya dia bercipika-cipiki dengan Najma."Aku turut bahagia, Mbak dengar kabar baik itu," "Terimakasih, Adikku.""Selamat ya, Mas, Mbak.""Iya, sekali lagi terimakasih.""Ini, ibu sama Salwa. Tadi ibu ke rumah kalian, mau bawakan pepes ikan tuna buat Najma, tapi kata Hanifah dari kemaren
Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur
"Ummi lagi masak apa?" tanyaku pada istri keduaku yang ku lihat sedang memotong bawang merah dan bawang putih."Astagfirullah, Abah. Bikin kaget saja!" Seketika Salwa menghentikan kegiatannya, laku mengusap dadanya karena kaget."Maaf, Ummi." Sesalku, "Ummi lagi masak apa?" tanyaku sambil melingkarkan tanganku pada kedua pinggulnya.Dia mengangguk,"Mau buat sup ayam." lalu Salwa berusaha melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan seperti ini Abah, nggak enak entar kalau di lihat ibu ataupun mbak Najma.""Oh, iya, ibu kemana?" aku bertanya lagi tanpa melepaskan pelukanku."Ibu lagi ke warung mau beli penyedap rasa katanya udah nggak ada.""Ummi, maafkan Abah ya, dari pagi Abah mengabaikan Ummi." ujarku sambil mencium pipinya."Nggak apa-apa, Abah. Ummi ngerti kok." jawabnya sambil menunduk menyembunyikan rona merah jambu di pipinya"Semoga disini juga segera tumbuh buah hati kita," kataku sambil mengusap perut rata Salwa."Aamiin,""Aamiin,"Setelah Salwa mengaminkan ucapa
Setelahnya aku pun pergi menuju rumah istri keduaku. Tak butuh waktu lama, hanya butuh waktu sekitaran lima menit untuk aku sampai di rumah Salwa. Saat tiba di persimpangan di depan rumah Salwa, aku melihat di sana terparkir sebuah mobil yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya.Seorang wanita paruh baya bersama seorang pemuda berdiri di depan pintu sedang menunjuk-nunjuk Salwa. Bahkan di sekitaran mereka ada beberapa ibu-ibu yang menontonnya. Ada apa ini? Aku memilih turun dari mobil dan mendekat ke arah mereka. Tampaknya tak ada yang menyadari kehadiranku, perlahan aku mulai mendengar perbincangan mereka"Jadi ini alasan kamu menolak anak saya? Di lamar bujang nggak mau, maunya nikah sama orang yang sudah beristri. Kamu itu tak ubahnya hanya seorang pelakor, Salwa!" Makian ibu-ibu itu membuat Salwa menunduk mungkin karena malu."Anak saya wanita baik-baik, bukan dia yang masuk ke rumah tangga orang, tapi orang itulah yang mengajak Salwa untuk masuk
Muhammad Hamdan Alfariki, lelaki tampan yang telah memikat hati ini. Seorang lelaki yang menjadi pelanggan di warung kopiku saat ia mendatangi sebuah pembangunan hotel tepat di seberang jalan depan warungku. Ada debar yang tak bisa ku jelaskan setiap kali bertemu dengannya. Beberapa kali kami sempat beradu pandang, tapi dengan cepat dia memutuskannya seolah sedang menjaga pandangan dan itu semakin membuatku kagum akan sosok dirinya.Tak pernah satu waktu sholat pun ia jalankan dengan terlambat. Setiap kali adzan berkumandang, ia segera menuju musholla yang tak jauh dari gedung yang ia pantau untuk melaksanakan sholat. Diam-diam aku selalu memperhatikan setiap kegiatannya.Entah keberanian dari mana, aku selalu menyelipkan namanya di setiap doaku, berharap dia akan menjadi imam buatku dan ayah dari anak-anakku kelak. Aku memintanya kepada Rabb-ku, berharap menyatukan kami dalam sebuah ikatan pernikahan.Hingga selama beberapa bulan ini, aku tak melihat kehadirannya memantau proyek yang