.Happy Reading๐๐๐๐
"Abah, setelah Salwa sah menjadi istrimu, setelah selesai acara perlakukanlah dia sebagaimana engkau memperlakukan diriku dahulu."
Najma yang saat ini sedang memakaikan baju pengantin untukku menasehatiku agar aku melakukan hal yang sama kepada Salwa sebagaimana yang aku lakukan kepadanya dulu.
"InsyaaAllah, Umma."
Tadi, pagi-pagi sekali Najma sudah berada di ruang setrika untuk melanjutkan menyetrika baju yang aku kenakan sekarang ini karena semalam belum selesai.
Dia begitu telaten memakaikan baju serta memasang kancing pada kemejaku, tak lupa dia juga menyemprotkan parfum kepada beberapa bagian tubuhku. Setelahnya dia mengambil peci dengan warna putih dan memakaikannya di kepalaku, tentunya dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajah cantiknya.
Pakaian serba putih kini sudah melekat sempurna di tubuhku. Begitupun dengan istriku, ia juga menggunakan gamis putih yang indah dan tak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Gamis putih yang bertaburan mutiara dari bagian pinggul hingga kaki serta bunga-bunga indah bertaburkan manik-manik di sepanjang pinggiran bagian bawah dan juga pada bagian pergelangan tangannya. Sungguh sangat cantik.
"Duduklah, Abah!" Pintanya sambil menuntunku menuju sofa yang ada di kamar kami. Aku menurut saja dengan segala perintahnya.
Dia mengambil sepatu dan berjongkok di hadapanku sambil memakaikan sepatu itu di kakiku, aku berusaha mencegahnya, tapi dia menolak dengan berkata, "Tak apa, Abah. Ini adalah bentuk bakti Umma kepada Abah."
Ya Allah, begitu mulianya istriku ini. Entah adakah kata di atas kata mulia yang pantas disandingkan untuk bidadariku ini?
"Umma, duduklah di sini!" Pintaku sambil menepuk sofa kosong di sebelahku. Dia pun menurut dan duduk di sampingku.
"Umma?"
"Iya, Abah?"
"Sekali lagi Abah mau tanya, Umma beneran ridho dipoligami? Umma ikhlas? Umma nggak apa-apa Abah menikah lagi?"
"Abah, sudah berkali-kali Abah bertanya seperti itu, Umma sangat ridho Abah, Umma ikhlas, Umma nggak apa-apa, Umma baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja. Percayalah Abah, ini semua demi kebaikan kita bersama," jawabnya dengan begitu mantap.
"Terima kasih atas kelapangan hatimu Umma, Abah akan tetap mencintai dan akan selalu mencintaimu." ujarku sembari menatap kedua matanya sebagai bukti bahwa aku bersungguh-sungguh dengan apa yang aku katakan.
"Umma percaya, Abah. Semoga rumah tangga yang akan kita bina bersama istri baru Abah menjadi rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warohmah,"
"Aamiin."
Aku memeluknya, mendekapnya dengan begitu erat untuk menenangkan hatiku ini. Karena jujur, aku merasa begitu gugup akan pernikahan yang sebentar lagi akan aku laksanakan.
"Abah, apakah Abah sudah hapal betul dengan kalimat ijab qobulnya?"
"InsyaaAllah sudah, Umma."
"Syukurlah kalau begitu, ya sudah Umma keluar dulu, mau melihat persiapan perlengkapan yang akan di bawah kerumah calon adik maduku,"
"Tidak usah, Umma. Di sini saja sama Abah, pasti keluarga yang lain sudah mempersiapkannya." aku melarangnya dan memintanya untuk tetap menemaniku di sini.
Keluarga besarku akan turut hadir menyaksikan pernikahan keduaku ini. Sebagian besar bahkan hampir seluruh keluargaku sangat menyayangkan aku yang akan menikah lagi dan menduakan wanita sebaik Najma. Namun, dengan keindahan tutur kata Najma dalam menjelaskan semua, mereka tidak lagi membahas hal itu. Meskipun mereka sudah bungkam, tetap saja mereka terlihat tak suka dengan keputusanku, karena setahuku mereka begitu sangat menyayangi Najma.
Setengah jam berlalu, ibuku mengabari kalau semua persiapan sudah lengkap dan waktunya kita untuk berangkat ke rumah mempelai wanita.
Kami sekeluarga pun berangkat menggunakan beberapa mobil, Abi dan ummi pun turut serta ikut menyaksikan menantunya ini menikahi wanita lain. Aku, Najma, Ibu, umi serta Abi berada dalam satu mobil dengan Abi yang menyetirnya.
Dalam perjalanan menuju rumah Salwa, kami diliputi keheningan, tak ada yang bersuara. Najma yang duduk di sampingku menggenggam tanganku dengan begitu erat dengan mulut berkomat-kamit melantunkan sholawat. Sesekali dia memejamkan matanya dan menghela nafas dengan panjang, kemudian dia tersenyum kearahku yang tengah memperhatikannya, seolah dia mengatakan
"Aku baik-baik saja."
Setibanya di rumah Salwa, kami di sambut dengan begitu hangat oleh keluarga calon istriku tersebut. Seserahan kami serahkan kepada pihak keluarga. Najma tak lagi ada di sampingku membuat aku semakin grogi, dadaku berdebar, berkali-kali ku lafadzkan kalimat bismillah, tapi tetap saja, itu tak mengurangi rasa grogi yang menyerangku sejak di rumah tadi.
Rumah minimalis dan tampak begitu sederhana inilah yang akan kami langsungkan ijab qobul. Tak besar, juga tak mewah tapi suasana yang asri membuat diri ini betah berada di sini.
Kami semua di persilahkan masuk oleh seorang paruh baya laki-laki yang ku ketahui sebagai pakde Salwa yang akan menjadi wali nikahnya karena ayah Salwa sudah berpulang ke Rahmatullah sejak enam belas tahun yang lalu. Sedangkan Najma, entah apa yang ia tanyakan kepada seorang ibu-ibu sehingga ibu-ibu itu mengantar Najma ke dalam menuju suatu ruangan mungkin tempat calon istriku.
Aku duduk di depan penghulu, keringat dingin mulai membanjiri wajahku.
"Sudah siap?" Tanya pak penghulu.
Sekilas aku melihat kearah ibu juga umi, kedua wanita itu terlihat mengeluarkan air matanya seiring dengan senyum yang seolah di paksakan mereka menganggukkan kepalanya kepadaku.
"InsyaaAllah siap, Pak," jawabku.
"Baiklah, saya persilahkan kepada bapak Akbar sebagai wali dari Saudi Salwa untuk menjabat tangan mempelai laki-laki."
Kemudian paman Akbar menjabat tanganku
"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Muhammad Hamdan Alfariki bin Almarhum Zulkifli dengan Salwa Nafisah binti almarhum Hussein dengan maskawin seperangkat alat sholat dan perhiasan dua puluh gram di bayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Salwa Nafisah binti almarhum Hussein dengan mas kawin tersebut, tunai!"
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah,"
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah karena acara ijab qobul sudah selesai di laksanakan dengan lancar dan khidmat.
"Sekarang silahkan kamu jemput istrimu untuk menandatangi surat nikah," ucapnya.
Aku bangkit dan perlahan menuju ruangan yang katanya kamar milik Salwa. Aku khawatir Najma juga ada di dalam, karena selama proses ijab qobul tadi dia sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.
Perlahan aku mengetuk pintu, aku mendengar percakapan di dalam dan aku sangat familiar dengan suara salah satu perempuan tersebut. Dia istriku yang sedang menyuruh adik madunya untuk membukakan pintu.
Rasa bahagia dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di hatiku. Bahagia karena akhirnya aku bisa menikahi Salwa, dan merasa bersalah karena telah menduakan istri sebaik Najma.
Pintu terbuka menampakkan seorang perempuan dengan balutan kebaya warna putih dan riasan wajah yang tampak natural membuat ia terlihat begitu cantik. Aku terbuai akan kecantikan Salwa, sepersekian detik aku memandangi wajah cantik yang beberapa menit ini sudah sah menjadi istriku.
"Assalamualaikum, Mas," sapanya padaku sambil mengulurkan tangannya.
Aku menerima uluran tangannya dan diapun mencium punggung tanganku dengan takdzim.
"Wa'alaikumsalam, Dik," balasku.
Kemudian aku mencium keningnya lumayan lama sambil menghirup aroma melati yang menjadi hiasan di atas kepala Salwa. Aku memeluk Salwa untuk pertama kalinya, dan saat itu pula kedua netraku menangkap wajah seseorang yang tersenyum kepadaku.
"Najma!"
Dia, istri pertamaku menyaksikan suaminya ini memeluk adik madunya. Dia tersenyum, tapi ada garis bening memanjang di pipinya yang berasal dari kedua matanya.
Najmaku menangis!
Tapi, air mata itu segera dihapusnya dengan jari lentiknya sebelum dia bangkit dan berlalu memasuki ruangan kecil yang kuyakini itu adalah kamar mandi.
Siang menjelang sore, kami masih beristirahat di ruang keluarga sebelum nanti sore hingga malam akan mengadakan resepsi. Kami sekeluarga duduk lesehan di lantai beralaskan karpet yang sengaja di gelar untuk acara ijab qobul tadi. Namun, bayang-bayang Najma menangis masih menghantuiku. "Hamdan, jadilah suami yang adil bagi kedua istrimu, perlakukan mereka dengan sama. Jangan pernah bedakan mereka. Janganlah kamu membandingkan antara istrimu yang satu dengan istrimu yang lain," Abi membuka percakapan diantara kami dengan memberikan nasihat kepadaku yang akan aku dengar dan berusaha menjalankan nasihat Abi."Jangan pernah menegur satu istrimu di depan satu istrimu yang lain, karena itu bisa menimbulkan rasa iri, dengki, dendam bahkan sombong di hati istri-istri mu. Nasehati mereka dengan tutur kata yang baik, tegur mereka dengan kalimat yang bijak. Jangan memberitahukan kekurangan satu istrimu kepada istrimu yang lain. Jika ingin menegur, tegurlah saat kalian sedang berdua saja."Abi me
Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya. Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja. "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat." Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat. "Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin. "Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar. Setibanya
Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab
"Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per
"Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit
Wa'alaikum salam, Ibu."Kami menjawab salam wanita paruh baya yang telah melahirkan ku ke dunia ini."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Tanya ibu kepada istriku."Alhamdulillah sudah mendingan, Bu." jawab Najma sambil mencium tangan ibu."Ibu bahagia dan bersyukur banget denger kalian akan memberikan ibu cucu, selamat ya,""Alhamdulillah, Bu. Allah masih mempercayakan kami untuk dititipkan amanahnya." jawabku dengan penuh binar kebahagian."Ibu sama siapa kesini? Tahu dari mana kalau Najma ada disini?""Ibu sama ...""Assalamualaikum,"Kami kembali menoleh saat mendengar salam dari arah pintu, di sana istri mudaku dengan membawa parsel buah ditangannya. Wanita itu menghampiriku lalu mencium tanganku, setelahnya dia bercipika-cipiki dengan Najma."Aku turut bahagia, Mbak dengar kabar baik itu," "Terimakasih, Adikku.""Selamat ya, Mas, Mbak.""Iya, sekali lagi terimakasih.""Ini, ibu sama Salwa. Tadi ibu ke rumah kalian, mau bawakan pepes ikan tuna buat Najma, tapi kata Hanifah dari kemaren
Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur
"Ummi lagi masak apa?" tanyaku pada istri keduaku yang ku lihat sedang memotong bawang merah dan bawang putih."Astagfirullah, Abah. Bikin kaget saja!" Seketika Salwa menghentikan kegiatannya, laku mengusap dadanya karena kaget."Maaf, Ummi." Sesalku, "Ummi lagi masak apa?" tanyaku sambil melingkarkan tanganku pada kedua pinggulnya.Dia mengangguk,"Mau buat sup ayam." lalu Salwa berusaha melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan seperti ini Abah, nggak enak entar kalau di lihat ibu ataupun mbak Najma.""Oh, iya, ibu kemana?" aku bertanya lagi tanpa melepaskan pelukanku."Ibu lagi ke warung mau beli penyedap rasa katanya udah nggak ada.""Ummi, maafkan Abah ya, dari pagi Abah mengabaikan Ummi." ujarku sambil mencium pipinya."Nggak apa-apa, Abah. Ummi ngerti kok." jawabnya sambil menunduk menyembunyikan rona merah jambu di pipinya"Semoga disini juga segera tumbuh buah hati kita," kataku sambil mengusap perut rata Salwa."Aamiin,""Aamiin,"Setelah Salwa mengaminkan ucapa