Share

2. Bidadari Tak Bersayap

"Mbak, aku mohon jangan terlalu cepat mengambil keputusan, aku ingin mas Hamdan kembali memikirkan keputusannya, karena sejujurnya aku pun enggan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Mbak dan mas Hamdan. Bagaimana juga dengan pandangan orang-orang tentangku, Mbak?" Tutur Salwa dengan rasa tak enak hati.

 

"Aku tidak terlalu cepat mengambil keputusan, adikku. Aku sudah memikirkan ini sejak setahun yang lalu. Ini takdir kita untuk menjadi istri-istri dari satu orang suami," Kata Najma menatap yang kulihat sednag menatap menatap kosong ke depan.  "Tak usah hiraukan perkataan orang, InsyaaAllah Mbak siap melindungi kamu jika mereka berbuat dzalim kepadamu," Pandangannya kembali beralih kepada Salwa disertai seulas senyum yang terlihat begitu tulus.

 

Saat ini, Aku sengaja meninggalkan mereka berdua untuk saling berbicara, karena Aku tak mau akhirnya terjadi pertikaian antara mereka, walaupun pertikaian itu tak bisa dihindari, karena dalam rumah tangga tak 'kan luput dari yang namanya masalah. Aku duduk di ruang tengah agar aku bisa mendengar apa saja yang mereka bicarakan. Sesekali mengintip mereka ketika tak lagi terdengar suara obrolan.

 

"Mbak, sungguh mulia hatimu. Maaf, maafkan aku yang telah menjadi duri dalam rumah tangga, Mbak. Maaf aku telah menciptakan luka di hati Mbak!" Salwa menunduk dengan kedua tangannya menggenggam tangan Najma.

 

"Jangan terlalu memujiku, aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan."

 

"Mbak, aku mohon, aku mundur saja, aku tak ingin merusak kebahagian wanita sebaik mbak," Kini Salwa menatap Najma dengan linangan air mata. 

"Tidak, teruskan saja rencana ini. Lagian jika kamu mundur, apakah kamu yakin mas Hamdan bisa menghapus perasaannya buat kamu? Tidak akan, adikku. Karena aku tahu bagaimana selama setahun ini ia berusaha menghapus perasaannya kepadamu, tapi semua itu sia-sia. Aku yakin mas Hamdan itu suami yang setia, dia berusaha semampu yang ia bisa untuk menghapus perasaannya kepadamu demi kesetiannya kepadaku, tapi Allah menakdirkan hatinya untuk mencintai lebih dari satu wanita. Kita sebagai hamba Allah tak bisa menolak takdir itu, adikku."

Memang Najma mengucapkan itu dengan tenang, tapi begitu jelas terdengar gurat luka pada setiap kalimatnya. 

"Mbak, sungguh aku merasakan bagaimana terlukanya engkau selama setahun ini mengetahui suamimu mencintai wanita lain, jika aku jadi kamu, aku tak akan sanggup, Mbak."

"Adikku, seperti apapun badai yang menimpa kita, jika kita selalu mengingat Allah dan berusaha mendekatkan diri kepada_Nya, insyaaAllah, Allah akan melapangkan hati kita."

 

"Mbak, aku nggak mau menikah dengan mas Hamdan, Mbak. Aku tak sanggup melukai wanita berhati malaikat seperti, Mbak," Berulang kali Salwa menggelengka kepalanya dengan air mata yang berderai di pipinya.

 

"Aku ikhlas, Wallahi aku ikhlas, adikku."

Najma terlihat berusaha menenangkan Salwa.

Ya Allah, dari tanah bagian mana engkau menciptakan wanita se mulia Najma ya Allah. Sungguh beruntung aku memiliki istri seperti dia. Jahatkah aku bila aku menduakannya? Jahatkah aku bila menyakiti hatinya dengan mencintai wanita lain?

"Bolehkah aku memelukmu, Mbak?" Tanya Salwa.

"Kemarilah!"

Aku kembali mengintip kedua wanita yang sama-sama mengisi hatiku ini. Mereka berpelukan layaknya seorang kakak dan adik. Aku melihat, Salwa menangis di pelukan Najma. Entah apa yang di pikirkan wanita yang telah mencuri hatiku itu? InsyaaAllah Salwa juga wanita yang sholehah. Sebelum aku dan ibu datang untuk melamarnya, aku mencari informasi tentangnya kepada warga sekitaran sana. Alhamdulillah, komentar para tetangga sekitaran rumah Salwa semuanya positif, tak ada perangai buruk yang mereka lontarkan tentang Salwa, bahkan kata mereka, selain menjaga kedai, pada malam harinya Salwa akan mengajari anak-anak dari tetangga sekitar mengaji di musholla.

Ibuku awalnya tak setuju dan teramat marah saat mengetahui aku mencintai wanita lain dan saat Najma meminta ibu untuk melamar perempuan itu. Namun, setelah Najma menjelaskan semuanya akhirnya dengan berat hati ibu setuju. Walaupun butuh beberapa waktu untuk meyakinkannya.

  "Bagaimana pandangan orang kepada ibu, jika kamu menikah lagi? Ibu takut mereka berfikir ibu gagal mendidik kamu, ibu takut mereka mengira ibu yang memintamu menikah lagi. Ibu takut di anggap mertua yang dzolim kepada Najma," kata ibu kala itu sambil menangis karena mendapat kabar aku yang mencintai wanita lain.

"Ibu, Najma yang akan katakan kepada orang jika ini bukan salah ibu. Ibu nggak salah sama sekali, ini permintaan Najma, Bu. Ibu adalah mertua terbaik yang Najma punya. Kita tak usah dengarkan perkataan orang lain, Bu," kata Najma kala itu berusaha menenangkan hati ibu.

"Kamu wanita yang begitu baik, Nak. Entah kenapa putra ibu dengan teganya mencintai wanita lain, padahal di sisinya ada wanita yang begitu mulia. Dimana dia simpan otaknya sehingga tak berpikir dengan benar."

 

Masih terbayang tangisan ibu kala itu yang begitu merasa tak berguna sebagai orang ibu yang menurutnya telah gagal mendidik putranya. Beliau begitu menyayangkan akan diriku yang menyimpan rasa pada wanita lain. 

"Ibu, Mas Hamdan tak salah, ini takdir untuk rumah tangga kita, Bu. Mas Hamdan sudah berusaha melupakan wanita itu selama setahun ini, tapi tak bisa, Bu. Allah sudah mentakdirkan Mas Hamdan untuk tak hanya mencintaiku, tapi juga wanita itu. Aku tak ingin mas Hamdan terus zina fikiran karena memikirkan wanita yang bukan mahramnya, Bu."

 

Aku yang hendak menikah lagi, tapi Najma lah yang berusaha meyakinkan ibu bahwa ini adalah takdirnya. Seolah wanita itu tak merasakan luka sama sekali. Begitu pandainya Najma menyembunyikan apa yang dia rasakan dari orang lain. 

"Kamu akan terluka, Nak. Jika membiarkan suamimu menikah lagi," kata ibu menatap penuh iba kepada istriku.

"Luka itu pasti ada, Bu. Namun Najma punya Allah yang akan selalu menguatkan Najma. InsyaaAllah Najma akan ikhlas, Bu. Percayalah pada Najma, Bu." Senyuman itu tak pernah luntur dari wajah istriku. Entah seluas apa hati yang di milikinya, sehingga dia begitu lapang menerima takdir ini.

 

"Pernikahan kalian baru enam tahun, tapi sudah ada perempuan lain yang akan memasuki rumah tangga kalian," ibu menangis terisak di pelukan menantunya.

"Abah, mari makan dulu, aku sudah masak banyak untuk kita semua," Najma menyentuh pundakku membuat aku membuka mata dan tersadar dari lamunanku. Najma sudah berada di belakangku diikuti Salwa yang menundukkan pandangannya.

 

 

"Mari, kalian sudah selesai mengonbrolnya?" Tanyaku kepada kedua wanita yang ada di hadapanku.

"Sudah, Abah." jawab Najma.

Sedangkan Salwa ia hanya menunduk tak berani menatapku. Bahkan tadi saat aku menjemputnya dan mengatakan jika istriku ingin bertemu dengannya, ia hanya menatapku sekali. Ia menolak ikut karena hanya berdua denganku, tapi aku memaksanya dan memintanya duduk di jok belakang jika memang merasa risih.

"Ya sudah, yuk!"

Kami bertiga menuju meja makan, di sana sudah terhidang berbagai jenis lauk-pauk yang menggugah selera karena memang masakan istriku sangat menggiurkan. Kami makan dalam diam tanpa adanya percakapan.

Ya Allah, akankah kita akan tetap akur saat bersatu nanti? Aku takut jika istri-istriku kelak akan sering berselisih faham dan saling terluka karena cemburu. Bagaimana aku akan menghadapinya jika hari itu tiba, ya Allah?

*****

"Umma, bagaimana perasaan Umma saat ini?" Tanyaku kepada istriku yang kini sedang tiduran di dada bidangku.

Tadi selesai makan malam, aku dan Najma mengantar Salwa pulang. Awalnya Najma hanya memintaku untuk mengantar Salwa, tapi Salwa memaksa Najma untuk turut serta mengantarnya karena ia tak mau hanya berduaan saja denganku.

"Umma baik-baik saja, Abah,"

"Umma, tolong jangan jawab seperti itu terus, Umm. Abah tahu bahwa hati Umma sedang tidak baik-baik saja."

"Jika boleh jujur, Umma iri kepadanya, Abah. Dia wanita yang begitu sholehah, beruntung abah mendapatkan istri sepertinya."

Tatapan mata itu, aku tahu betul tatapan itu. Tatapan mata ketika hati tak lagi tenang. Tatapannya menyiratkan luka dan putus asa. 

"Umma, jangan iri kepadanya, karena Umma tak kalah Sholehahnya dari dia. Kamu keberuntungan Abah, Umma. Mari batalkan pernikahan ini, Umma. Sungguh Abah tak ingin menyakiti Umma, Abah sangat mencintaimu, Umma."

 

Seketika aku begitu ingin membatalkan niatanku untuk menikahi Salwa. Aku ingin menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk yang tak akan terjadi di dunia nyata. Tuhan, ampuni Aku!

"Jangan, Abah. Jangan memberi harapan palsu kepada Salwa, sudah Umma katakan Umma tidak apa-apa. Umma ikhlas Abah menikah lagi,"

"Kita pindah ya dari sini, kalau perlu kita tinggal bersama Abi dan Umi di Jawa timur,"

Abi dan Umi merupakan orang tua dari Najma, mereka merupakan pemilik pesantren terbesar di Jawa timur, lebih tepatnya di kota Malang, bahkan banyak orang dari luar pulau menjadi santri di pesantren Abi dan Umi.

"Tidak, Abah. Jangan lari dari masalah, mari kita hadapi sama-sama. Jalan keluar satu-satunya adalah dengan Abah menikah dengannya,"

"Sayang, Abi dan Umi adalah orang tua yang sangat berhasil mendidik putrinya sehingga memiliki jiwa bak malaikat dan cantik bak bidadari."

Namun, istriku hanya menggeleng, "Jangan berlebihan, Abah!"

 

 

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Harma Putri
iya saya jg dak suka ceritanya masak ada wanita seperti itu,kita ini manusia nabi,d zaman nabi aja ada istri nabi yg dak suka dbpoligami..dak lanjut bacanya bikin bosan,tujuan baca kan utk senang" jg la ini terlalu d buat" ceritanya
goodnovel comment avatar
Nina Susanti
Adoh br ampe sini da ga suka ama critanya... ga lanjutt
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
ga tau ya ga suka banget karakter perempuannya....hhhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status