Prang!!!
Suara hantaman antara cangkir keramik dan lantai menimbulkan suara gaduh. Teh hangat beraroma chamomile yang harusnya dinikmati dengan tenang malah tercecer dan terbuang sia-sia karena ditolak mentah-mentah oleh seorang tuan muda yang dianggap gila.
"PERGI KALIAN SEMUA!!!" pekik Tuan muda yang berpenampilan lusuh itu. Rambutnya panjang dan acak-acakan. Sorot matanya tajam bagai bilah pedang yang siap mengambil nyawa lawannya. Ditambah suasana kamar yang begitu gelap, membuatnya semakin terlihat menyeramkan.
Beberapa pelayan wanita berseragam tampak ketakutan. Salah satu dari mereka ada yang memunguti cangkir dan ada pula yang membersihkan air teh yang tumpah.
Setelah melakukan tugasnya, para pelayan itu langsung terburu-buru keluar meninggalkan si tuan muda gila itu sendiri. Ada perasaan lega ketika mereka sudah menjauh dari kamar yang mencekam itu.
"Aku sungguh takut sekali, Tuan Muda Zidan sekarang sungguh menyeramkan," ucap salah satu pelayan yang baru keluar dari kamar tuan muda yang bernama lengkap Zidan Mahendra.
"Dulu dia tidak seperti itu, dia sangat ramah kepada siapa saja yang ada di kediaman ini," sahut salah seorang pelayan yang lain.
"Tuan muda Zidan mulai bersikap seperti orang depresi semenjak kematian tunangannya. Padahal dia tampan dan kaya raya, pasti mudah untuk mendapatkan penggantinya. Kenapa malah berakhir menyedihkan seperti itu?"
Perbincangan antar pelayan itu didengar oleh Bertha yang merupakan kepala pelayan di kediaman keluarga Mahendra. Wanita bertubuh gempal dan pendek itu tidak menyukai jika ada yang bergosip mengenai tuan muda pewaris tunggal Blue Moon Grup itu.
"Apa kalian tidak punya kerjaan lain selain bergosip?!" bentak Bertha.
Para pelayan tersebut terkesiap karena baru menyadari kehadiran kepala pelayan yang dikenal galak itu. Mereka saling beradu pandang dan mimik wajah untuk menyalahkan satu sama lain.
"Maaf, Bu!" ucap para pelayan itu secara bersamaan.
***
Blue Moon Grup.
Ruang Presiden Direktur.
Seorang pria paruh baya tampak duduk di kursi kebesarannya. Kedua netranya menatap lurus jendela besar dari ruangannya yang berada di lantai empat puluh lima. Pria itu adalah Tuan Seto Mahendra—ayah dari Zidan. Raut wajah pria tua itu terlihat sangat sendu dan menyimpan kesedihan yang mendalam.
"Harus pakai cara apalagi agar Zidan bisa sembuh dari depresinya? Aku sudah tidak tahu lagi," isaknya sambil meraup wajah. "Tuhan! Mengapa Engkau berikan cobaan yang begitu berat untuk hamba?" keluhnya kemudian dengan nada suara lirih.
Tok-tok-tok!
Terlihat seorang pria muda tampan berumur tiga puluhan memasuki ruangan kerja Tuan Seto. Pria yang merupakan asisten pribadi orang terkaya nomor dua di Asia itu memberikan salam kepada atasannya dengan menundukkan setengah badannya.
"Tuan ... malam ini jam tujuh tepat ada jadwal rapat dengan Paradise Enterprise di hotel Hilton," ucap Harry memberi laporan jadwal.
"Baiklah ... kalau saja anakku tidak sakit, mungkin aku tidak perlu menghadiri rapat itu sendiri. Sesungguhnya aku sudah lelah dan butuh beristirahat dari pekerjaan yang berat ini," sahut Tuan Seto.
Harry hanya diam karena bingung harus bagaimana menanggapinya. Ia juga merasa kasihan dengan Tuan Seto karena memiliki satu anak laki-laki, tetapi malah depresi.
"Kalau anakku tak kunjung sembuh, aku akan menyerahkan kepengurusan perusahaan kepadamu, Nak Harry," tutur Tuan Seto spontan sembari menepuk pundak kiri Harry pelan.
Harry langsung menundukkan kepalanya. "Saya tidak pantas menerima hal itu, Tuan!"
"Ha-ha-ha! Nak Harry ... selama hampir enam tahun kamu bekerja denganku, aku sudah bisa menilai bahwa kamu memiliki pribadi yang baik. Dari sekian banyak karyawanku, hanya kamu yang aku percayai dan memiliki kejujuran yang tinggi," puji Tuan Seto.
Harry menjadi tidak enak hati mendengar pujian dari Tuan Seto. "Suatu kehormatan bagi saya jika Anda bilang begitu."
"Bersikaplah santai, kamu sudah kuanggap sebagai putraku sendiri karena kamu adalah sahabat Zidan sedari kecil," tanggap Tuan Seto sambil tersenyum.
"Terima kasih, Tuan." Harry menundukkan kepalanya seraya pamit dari hadapan Tuan Seto.
Pria yang merupakan asisten pribadi Tuan Seto itu merasa sangat khawatir dengan kondisi psikis Zidan yang merupakan sahabatnya sedari kecil. Ia juga lah yang membantu Tuan Seto untuk mencari tempat-tempat pengobatan alternatif selain dokter dengan harapan Zidan sembuh.
"Kenapa kamu begitu bodoh, Zidan? Wanita itu sudah mati, untuk apa kamu meratapinya begitu dalam hingga depresi. Apa kamu tidak kasihan dengan ayahmu dan mendiang ibumu?" gumam Harry.
***
Seminggu kemudian...
Hari ini adalah hari peringatan dua tahun mendiang istri Tuan Seto. Nyonya Viona yang merupakan istri Tuan Seto, meninggal karena sakit kanker payudara yang dideritanya. Istrinya itu meninggal saat sedang melakukan operasi pengangkatan payudaranya. Belum habis lara atas meninggalnya sang istri, ia harus menderita lagi karena depresi sang putra semata wayangnya.
"Sebelum ke makam, kita sebaiknya membeli sebuket bunga dulu," ucap Tuan Seto.
"Baik, Tuan!" sahut Harry.
Harry membawa Tuan Seto ke tempat para pedagang bunga dan tanaman hias menjajakan dagangannya. Ada salah satu tempat yang memang khusus berjajar toko bunga dan tanaman hias sehingga pelanggan bisa memilih sesuka hati toko yang ingin dikunjungi.
Mobil di parkir tepat di depan salah satu toko bunga. Tempat berlokasi dekat dengan pemakaman itu tampak terlihat asri karena banyak tanaman hias yang dijajakan di sepanjang jalan.
"Tuan ingin turun atau saya saja yang membelinya?" tanya Harry.
"Kamu saja, belikan satu buket bunga aster berwarna putih," perintah Tuan Seto.
"Baik, Tuan!" Harry langsung turun dari mobil untuk membelikan pesanan atasannya tersebut.
***
Tuan Seto tampak sangat serius memainkan benda pipih yang ada ditangannya."
"Harry lama sekali, sebenarnya ap—" ucapan Tuan Seto terhenti saat melihat sosok gadis yang terlihat sangat akrab dalam ingatannya sedang bersitegang dengan Harry.
"Shakira?" lirih Tuan Seto sambil memicingkan matanya.
Tuan Seto tampak terburu-buru menuruni mobil mewah Mercedes Benz Maybach S560 hitam miliknya. Pria itu tampak bahagia karena merasa mendapatkan sebuah jawaban dari doa-doanya selama ini. Ia berlari ke arah gadis yang ia sebut bernama Shakira tadi.
"Shakira! Kamu masih hidup?" teriak Tuan Seto dengan mata berkaca-kaca.
Gadis itu menautkan kedua alisnya, ia bingung dan heran. "Kenapa Bapak dan Tuan ini memanggil saya dengan nama Shakira?" tanyanya sembari mengedarkan pandangan secara bergantian ke arah Tuan Seto dan Harry.
"Karena kamu memang Shakira, 'kan?! Jangan mengelak lagi!" Harry terlihat begitu emosional. Ia mengepal erat tangan kanannya. Urat-urat berwarna kehijauan dilehernya pun tercetak sangat jelas.
Tuan Seto menyentuh tangan Harry dan memberikan kode tatapan. Harry yang mengerti pun beranjak mundur dan memberi ruang kepada atasannya itu untuk bisa bicara lebih dekat dengan gadis yang mereka sebut Shakira.
"Kamu kemana saja, Nak?! Zidan menunggumu sampai dia menjadi depresi!" lirih Tuan Seto sembari memegang erat kedua pundak gadis yang masih terlihat bingung itu.
"Ma-maaf, Pak ... tapi nama saya Kia, bukan Shakira. Saya juga tidak mengenal kalian berdua. Mungkin kalian salah orang," jawab gadis itu sedikit canggung.
"Kamu tidak sedang bercanda, 'kan?" tanya Tuan Seto memastikan kembali.
Gadis cantik itu menggeleng penuh keyakinan. "Tidak, Pak."
Selama hidupnya, Tuan Seto sudah sering kali bertemu dengan banyak orang. Kehidupannya sebagai pebisnis tentu saja mengharuskannya untuk bisa mengenal karakteristik rekannya. Maka dari itu, ia paham ketika orang itu jujur atau tidak. Ia mengetahui bahwa gadis yang di hadapannya itu tidak berbohong.
Tuan Seto hanya bisa menarik napasnya saat mendengar jawaban dari gadis itu. Namun, kemiripan wajah gadis itu dengan mendiang calon menantunya bagai pinang dibelah dua.'Aku harus melakukan sesuatu untuk kesembuhan putraku', tekad Tuan Seto dalam hati."Siapa namamu tadi, Nak?" tanya Tuan Seto.Gadis itu tampak menelan saliva-nya sembari mengedarkan pandangan ke arah Tuan Seto dan Harry bergantian. Ia sedikit gemetar saat matanya bertatapan dengan Harry karena pria itu memandangnya tajam bak sedang mengintimidasi."Na-nama saya Vanilla Kiara atau biasa dipanggil Kia.""Perkenalkan saya Seto Mahendra, saya adalah Presiden Direktur Blue Moon Grup. Kamu pernah mendengar nama perusahaan itu, 'kan?" Tuan Seto memberikan kartu namanya kepada gadis yang bernama Kia itu.Kia mengambil kartu nama tersebut dan hanya mengangguk cepat. Rasa takut Kia kepada Harry terlihat jelas oleh Tuan Seto.
Hari itu pertama kalinya Kia diajak ke kediaman Tuan Seto Mahendra. Kediaman pengusaha kaya yang hartanya bahkan tidak akan habis sampai tujuh turunan. Gadis itu awalnya ragu, tetapi akhirnya ia menyetujui untuk membantu Tuan Seto.Mata gadis berambut cokelat itu dimanjakan oleh bangunan mewah klasik di kediaman utama keluarga itu. Baru saja sampai, ia sudah disambut oleh para pelayan yang berbaris di depan pintu masuk utama rumah tersebut.Ada beberapa pelayan yang menatap ke arah Kia sembari berbisik. Gadis itu mengerutkan kening karena tidak tahu apa yang para pelayan itu bicarakan tentangnya. Kia mencoba mengecek penampilannya dengan melihat apa yang ia kenakan dari atas ke bawah. Namun, ia merasa kalau penampilannya baik-baik saja.Pada akhirnya ia sadar, mungkin saja para pelayan itu memperhatikan wajahnya yang digadang-gadang sangat mirip dengan mantan calon nyonya muda di kediaman ini. Ia jadi makin penasaran, semirip
Kia akhirnya berhasil melewati pertemuan pertama dengan Zidan. Ia merasa sangat lega sekali saat bisa menghadapi pria yang menakutkan itu. Dalam hatinya, ia berharap bisa melewati hari-hari selanjutnya dengan lancar. Kia berjalan menuju halaman kediaman mewah keluarga Mahendra. Di sana ternyata sudah ada Harry yang menunggunya. Sosok pria yang ia takuti itu malah ditugaskan oleh Tuan Seto untuk mengantar jemput saat ia menjalankan tugas. Harry mengeryitkan dahinya saat melihat kedua sisi pipi Kia sudah dibalut dengan beberapa plester. Kira-kira ada sepuluh plester yang masing-masing ada lima di setiap sisi pipi gadis itu. "Pasti pekerjaan Zidan," tebak Harry tepat sasaran. Kia tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya. "Kamu harus bersabar. Zidan sangat mencintai Shakira, tapi sebenarnya wanita itu tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Zidan saja yang bodoh," ujar Harry sa
Byur!Seseorang melompat ke dalam kolam renang dan dengan cepat segera menarik Kia naik ke tepian kolam. Ternyata sosok yang menolong gadis itu adalah Harry, sedangkan Zidan hanya terlihat menonton kejadian itu."Sadarlah!" teriak Harry khawatir sambil menepuk-nepuk perlahan pipi Kia.Kia tak sadarkan diri dan sepertinya kehabisan napas. Harry menekan bagian dada Kia untuk mengeluarkan air yang terperangkap dalam tubuh gadis malang itu."Apa yang kamu lakukan?! Kenapa diam saja? Dia dalam bahaya!" teriak Harry. Matanya melotot ke arah Zidan dan sekejap mata pandangannya beralih kepada Kia kembali.'Malang sekali gadis ini, seharusnya dia tidak usah menerima tawaran Tuan Seto jika harus tersiksa," batin Harry. Ia merasa kasihan dengan Kia.Tiba-tiba Zidan menepuk pundak Harry dan sedikit menariknya untuk menjauh dari Kia. "Minggir!" perintahnya.Dengan cepat Harry me
'Tolong jangan mendekat dan jangan sentuh aku!' ucap Kia dalam hati. Ia menunduk dan tak berani menatap wajah Zidan."Kenapa kamu takut sekali?" tanya Zidan. Pria itu kini sudah berdiri di hadapan Kia.Kia hanya diam, ia tak mau menjawab atau menatap Zidan.Zidan mengesah kasar melihat reaksi Kia, ia lalu mengatakan, "Bantu gosok punggungku. Mungkin di sana sudah banyak daki yang menempel."Mendengar ucapan Zidan, Kia langsung mengangkat kepalanya. Namun, matanya terfokus pada dada bidang dan perut sixpack milik Zidan.'Dia sedang depresi dan setahun belakangan ini mengurung diri di kamar. Apa dia sempat membentuk tubuhnya menjadi sebagus itu?' ba
Suasana haru masih tercipta di antara Kia dan Zidan. Entah mengapa, gadis itu merasa nyaman berada dalam pelukan pria yang disebut depresi itu. Rasanya ia tidak ingin melepaskannya, tetapi rasa yang mengganjal karena kebohongan, membuatnya perlahan mengendurkan tangannya."Kamu mandilah, nanti aku akan memotong rambutmu," ucap Kia. Ia sedikit melangkah mundur dari tubuh Zidan."Kamu tidak mau menemani aku mandi?" tanya Zidan yang sontak membuat Kia menjadi tersipu malu."Tentu tidak boleh! Aku akan keluar." Kia langsung berlari kecil menuju pintu keluar.Zidan tersenyum samar melihat punggung Kia yang mulai menghilang dari balik pintu."Kenapa kamu lebih m
Zidan tengah bersiap untuk dirapikan rambutnya oleh Kia. Pria itu sudah duduk mantap di depan sebuah cermin besar yang berada di kolam spa tersebut. Kali ini lampu penerangan dipasang, suasana mencekam karena temaramnya pencahayaan pun sudah tidak terasa. Ruangan tersebut terlihat terang benderang.Kia yang sudah siap memegang gunting dan sisir tampak menghela napasnya, ia bahkan beberapa kali mengedipkan kelopak matanya agar bisa menghilangkan rasa grogi.'Apakah aku bisa melakukan ini? Sehari-hari aku hanya tahu memangkas tanaman, baru kali ini aku akan memangkas rambut seseorang,' batin Kia resah."Apa lagi yang kamu tunggu?" tanya Zidan yang sontak membuat Kia terkejut."Baiklah! Aku akan coba sekarang,
Pikiran Zidan menerawang mengingat kejadian tadi siang. Ia duduk sendiri menatap langit malam dari balkon kamarnya sembari memikirkan banyak hal. Pria yang kini berusia dua puluh delapan tahun itu tampak resah. "Shakira banyak berubah semenjak menghilang. Sebenarnya apa yang dia lakukan selama satu tahun belakangan ini? Kenapa dia berbohong kepadaku?" gumam Zidan. Ingatan Zidan menerawang ke waktu yang lebih lampau, tepatnya satu tahun yang lalu. *** Berita kecelakaan pesawat yang membawa tunangannya terbang ke Turki membuatnya panik setengah mati. Shakira memang sudah pamit kepada Zidan untuk berlibur ke negara itu. Pada awalnya ia tidak menyetujui keputusan Shakira, t