Share

Bab 4

Kia akhirnya berhasil melewati pertemuan pertama dengan Zidan. Ia merasa sangat lega sekali saat bisa menghadapi pria yang menakutkan itu. Dalam hatinya, ia berharap bisa melewati hari-hari selanjutnya dengan lancar.

Kia berjalan menuju halaman kediaman mewah keluarga Mahendra. Di sana ternyata sudah ada Harry yang menunggunya. Sosok pria yang ia takuti itu malah ditugaskan oleh Tuan Seto untuk mengantar jemput saat ia menjalankan tugas.

Harry mengeryitkan dahinya saat melihat kedua sisi pipi Kia sudah dibalut dengan beberapa plester. Kira-kira ada sepuluh plester yang masing-masing ada lima di setiap sisi pipi gadis itu.

"Pasti pekerjaan Zidan," tebak Harry tepat sasaran.

Kia tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya.

"Kamu harus bersabar. Zidan sangat mencintai Shakira, tapi sebenarnya wanita itu tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Zidan saja yang bodoh," ujar Harry sambil berdecih.

Kia menatap Harry. Sepertinya gadis itu sedikit terusik dengan perkataan dari sahabat dekat Zidan. Ia menangkap sebuah sinyal kebencian dari Harry kepada sang tunangan asli tuan muda gila itu.

"Seharusnya Tuan tidak bicara begitu. Dia sudah meninggal, tidak baik dijelek-jelekkan seperti ini," tanggap Kia.

Harry terkekeh mendengar tanggapan Kia. Namun, ia merasa perkataan gadis itu ada benarnya juga. Untuk apa membicarakan orang yang sudah mati.

"Baiklah ... kamu akan ke rumah sakit, 'kan?" tanya Harry memastikan.

Kia hanya mengangguk.

"Masuklah! Besok jam satu siang, saya akan menjemputmu," perintah Harry sambil membuka pintu belakang mobil.

"Baik, Tuan ... terima kasih," sahut Kia. Ia melangkah masuk ke mobil.

"Jangan panggil saya Tuan, panggil saja Kakak atau Kak Harry," ucap Harry. Pria itu langsung menutup pintu mobil tanpa mendengar jawaban dari Kia terlebih dahulu.

Ternyata kebersamaan Kia dan Harry dilihat oleh Zidan dari dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Wajahnya terlihat datar tanpa ada ekspresi apapun. Entah apa yang ia pikirkan saat melihat itu.

Bukan hanya Zidan, Bertha yang merupakan kepala pelayan kediaman keluarga Mahendra pun diam-diam memperhatikan Kia dan Harry dari jauh. Wanita paruh baya itu memasang tampang masam saat memandang Kia. Sepertinya, ia tidak menyukai kehadiran Kia.

***

Keesokan harinya...

Kia kembali menjalani tugasnya. Sebelum memasuki kamar Zidan, ia mencoba mengingat apa yang harus ia lakukan pertama kali ke Zidan. Semalam sebelum pulang, Tuan Seto memberikannya daftar hal yang harus ia lakukan kepada Zidan.

Kia bertekad, dalam waktu kurang dari dua bulan ia dapat menyembuhkan luka hati Zidan. Paling tidak memberikannya semangat hidup untuk pria itu.

Suasana kamar itu masih sama seperti kemarin, gelap. Kia berinisiatif untuk membuka semua korden jendela yang tertutup rapat. Gadis itu berlari kecil dan mulai membuka semuanya sehingga sekarang kamar itu terlihat terang benderang.

"Kamu seharusnya jangan sering di dalam gelap," ujar Kia sambil menatap Zidan yang sedang duduk di kursi kayu yang berada di kamar itu.

"Kenapa kamu baru datang sekarang? Kamu tidak tau kalau aku begitu merindukanmu," tanggap Zidan sambil beranjak dan berjalan mendekati Kia.

Melihat Zidan yang mulai mendekat, sontak tubuh Kia gemetar. Ia tidak dapat mengendalikan tubuhnya saat itu. Kia memang sangat takut saat Zidan berusaha untuk dekat dengannya.

Kia menarik napas dalam-dalam dan berusaha bersikap sewajarnya. Meskipun tubuhnya gemetar hebat.

Saat ini Zidan sudah berdiri tepat di hadapan Kia. Pria itu menatap wajah Kia yang tak berani menatap matanya. Ekspresi wajahnya terlihat datar dan dingin padahal ia baru saja mengatakan rindu kepada Kia.

Zidan makin mendekat, bahkan kini ia mendekatkan wajahnya ke wajah Kia. Embusan napas Zidan pun sampai terasa menyentuh kulit wajah Kia sehingga membuat gadis itu lagi-lagi membeku.

"Tahan sebentar ... ini pasti akan sakit," ucap Zidan sambil melepaskan plester dari wajah Kia. Sorot matanya terlihat sangat dingin dan menusuk.

Kia memejamkan matanya lekat. Selain menahan rasa sakit, ia juga menahan rasa takut. Ia adalah gadis naif yang selalu mencoba setiap hal walaupun mungkin ia tidak nyaman. Menerima tawaran Tuan Seto untuk merawat Zidan adalah salah satunya.

Plester-plester itu sudah terlepas semua dari wajah Kia. Lecet-lecet di wajah mulusnya akibat perlakuan dari Zidan kemarin masih membekas jelas.

"Wajahmu yang cantik terluka. Pasti hatimu terasa sangat sakit dari pada luka lecet ini," ujar Zidan sambil mengolesi wajah Kia dengan salep untuk luka.

"Ti-tidak masalah ... luka lecet ini juga sebentar lagi akan sembuh," sahut Kia gugup.

"Kenapa tidak kamu buka sendiri plester-plester ini di rumah? Kamu pasti malu karena sepanjang hari berpenampilan aneh. Kamu jadi sangat penurut sekarang." Zidan menatap kedua mata Kia lekat sehingga membuat gadis itu makin terlihat seperti patung.

"Warna iris matamu berbeda, cokelat tua. Padahal aku lebih suka warna iris matamu yang hitam," ungkap Zidan tiba-tiba.

Tanpa sadar Kia membelalakkan matanya. Ternyata Zidan begitu detail dalam mengenali calon istrinya padahal ia masih dalam keadaan depresi. Kia berpikir kalau ia dalam masalah besar.

"Kamu pasti melakukan operasi untuk mendapatkan warna itu," celetuk Zidan.

"A-aku—"

"Aku ingin duduk di taman belakang, bisa temani aku sekarang?" Zidan memotong ucapan Kia yang belum selesai.

Kia akhirnya bisa bernapas lega. Ia tidak harus memikirkan alasan untuk menanggapi pernyataan Zidan.

***

Kia berjalan mengekor di belakang Zidan. Ia sedikit ragu untuk menyamai langkahnya dengan pria depresi itu. Selain itu, ia juga tidak tahu di mana letak taman belakang. Ia berpikir kalau dengan mengikuti Zidan, semuanya akan berjalan lancar.

"Kamu berencana berapa lama untuk tetap di belakangku?" Zidan menghentikan langkahnya sejenak.

"Aku hanya ingin melihat punggungmu! Punggungmu sangat indah," jawab Kia asal. Ia bahkan mengigit bibir bawahnya karena merasa janggal dengan jawabannya sendiri.

Zidan menoleh dan tersenyum tipis. Ia berjalan mendekati Kia dan meraih jari jemari gadis itu untuk digenggam.

"Aku rasa dengan berjalan berdampingan akan lebih baik," ujar Zidan.

Deg!

Kia begitu terkejut, ia hanya bisa mengikuti kemauan Zidan.

***

Mereka akhirnya sampai di taman belakang, suasananya terlihat asri dan hijau. Ada pula sebuah kolam renang besar yang berada di sana. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Kia. Ia terlihat sangat ketakutan bahkan tubuhnya bergetar lebih hebat sekarang.

Zidan menyadari perubahan sikap Kia. Pria itu mengerutkan kening dan tiba-tiba senyum simpul tersemat di bibirnya.

"Kamu pasti rindu melakukan hal ini, 'kan?!" Zidan menarik Kia berlari bersamanya ke arah kolam renang.

Napas Kia kian berat, tetapi tubuhnya hanya mengikuti Zidan yang menyeretnya. Kini mereka makin dekat dengan kolam renang.

Byur!

Zidan mendorong Kia ke kolam renang tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Kamu pasti sangat merindukan salah satu hobimu, yaitu berenang," ucap Zidan.

Sementara itu, Kia sudah hampir kehabisan napas di dalam kolam renang. Sekadar mengucapkan kata tolong saja ia tidak mampu. Samar-samar ia melihat Zidan yang hanya berdiri dan tersenyum ke arahnya tanpa melakukan apa-apa.

Makin lama Kia makin tenggelam. Matanya hampir tidak sanggup terbuka lagi dan sekarang perlahan mulai menutup. Namun, ia masih bisa melihat seseorang sedang berenang ke arahnya.

'Tolong aku! Aku takut! Aku masih ingin hidup,' batin Kia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status