Share

Kontrak 365 Hari dengan CEO Arogan
Kontrak 365 Hari dengan CEO Arogan
Author: Sunny Afena

1. Tidak Pernah Sukarela

Kimi tak tahu semalam mimpi apa. Dia sama sekali tak punya firasat apapun bahwa hari ini akan menjadi hari paling memalukan di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, tadi pagi ia memulai hari dengan langkah ringan dan senyum sumringah karena momen bahagia yang terjadi kemarin.

Itu sebabnya, saat ini dia hanya duduk mematung dengan tatapan kosong karena seluruh saraf otaknya mendadak lumpuh, setelah minuman dingin di depannya direnggut oleh seseorang dan kemudian disiramkan ke atas kepalanya.

Dia tentu saja bisa merasakan suasana kafe yang seketika menjadi sehening pemakaman. Bahkan musik instrumen yang sejak tadi mengalun indah, kini seolah-olah berubah menjadi musik pengiring kematian.

Meski begitu, Kimi tak bisa merasakan sensasi dingin ketika butiran-butiran balok es menyentuh kulit kepalanya. Alih-alih merasa dingin, ia justru merasa sekujur tubuhnya memanas. Terutama di bagian wajah.

Ketika dia akhirnya bisa sedikit menggerakkan bola mata, Kimi melihat satu dari dua pria yang duduk di sudut sebelah kiri, sedang memandanginya dengan tatapan campuran antara rasa ingin tahu, iba, dan anehnya juga tampak seperti mencemooh. Dia yakin semua pengunjung Delgado Cafe pasti sedang melakukan hal yang sama seperti pria itu.

“Apa-apaan ini?” Suara sahabatnyalah yang menyadarkan Kimi dari guncangan syok akibat serangan yang tiba-tiba itu. Dia melayangkan pandang ke wajah Icha -sang Sahabat yang sejak tadi mendengarkannya bercerita- yang duduk di seberangnya, lalu mengikuti arah pandangnya ke sosok yang berdiri di dekat meja mereka.

Kimi memandangi si Penyerang, seorang wanita tinggi semampai yang sudah berani mengambil es kopinya, dan menuangkan minuman yang baru saja ia cicipi beberapa saat lalu itu ke atas kepalanya.

Mata Kimi bergerak mengamati setiap detail yang ada dalam diri wanita itu. Model rambutnya, tampilan makeup-nya, tas dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia memutar otak untuk mengingat kembali siapa gerangan wanita yang berpenampilan menawan namun berperilaku kasar terhadapnya ini.

“Kau pantas mendapatkannya,” desis perempuan yang masih menatapnya dengan mata penuh kebencian.

Berusaha keras untuk memulihkan diri dari kekagetannnya, Kimi mengembangkan dada untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya melalui mulut. “Aku yakin sekali kau salah menyerang orang, Nona, sebab aku tidak mengenalmu sama sekali.”

 Si Penyerang tampak mengeraskan rahang dan memicingkan kedua matanya. Pertanda yang semakin tak bagus bagi Kimi. Dengan gusar, wanita itu memasukkan tangan kanannya ke dalam tas kulit buaya, mengeluarkan beberapa lembar kertas glossy, lalu menyentakkannya di atas meja.

Reaksi Kimi seperti adegan opera sabun yang diputar dengan lambat. Awalnya, setelah mengusap dahi dari bekas siraman air kopi, dia meraih salah satu foto dengan mimik tak suka di wajah, lalu mengecek foto tersebut seraya mengernyitkan dahi, dan detik berikutnya kedua matanya terbelalak lebar.

Kimi langsung memalingkan wajah kepada penyerangnya. “Dari mana kau mendapatkan foto kami? Apakah kau menguntit? Karena aku tidak mengenalmu, jadi apakah kau menguntit kekasihku Willy?”

Rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Kimi, dijawab dengan tawa histeris dari perempuan yang mengenakan midi dress warna putih itu. Kimi dan Icha harus bersabar sampai dia puas melampiaskan tawa sinisnya.

Ketika berhenti tertawa, perempuan itu kembali menatap wajah Kimi dengan bengis. “Kekasihmu kau bilang? Asal kau tahu saja, Rambut Merah, Willy itu suamiku!” cetusnya dengan suara yang sengaja dikeraskan supaya seluruh pengunjung kafe mendengarnya.

Suara gumaman sontak memenuhi ruangan berkonsep klasik vintage itu. Membuat wajah Kimi semakin memerah dan kebingungan. Bagaimana mungkin? Willy mengaku sebagai pria lajang padanya. Dan mereka sama-sama serius menjalin hubungan asmara.

Bahkan kemarin sore, Willy mengajaknya melihat rumah di sebuah komplek perumahan, yang dikatakannya sebagai persiapan untuk kehidupan masa depan bagi mereka nanti jika sudah menikah. Itulah alasan Kimi malam ini bertemu dengan Icha. Untuk berbagi kebahagiaan yang ia rasakan, karena akhirnya menemukan pria yang ingin menikahi dirinya.

Kimi bahkan belum pulih dari keterkejutannya setelah mendengar informasi tersebut, ketika rambut merahnya lagi-lagi menjadi sasaran oleh keganasan prilaku wanita yang mengaku sebagai istri Willy itu. Teriakan kesakitan Kimi bercampur dengan suara-suara panik yang ada di dalam kafe, disusul dengan beberapa kursi yang berderit secara bersamaan.

Dan sebelum salah satu di antara mereka bisa melerai pertikaian antarperempuan itu, seorang pria yang baru saja menerobos pintu Delgado Cafe langsung mencengkeram tangan yang masih menjambak rambut Kimi dengan kuat.

Mata Kimi sedikit membola melihat kemunculan pria tersebut, seolah-olah lega karena penyelamatnya sudah datang dan akan menjernihkan masalah ini.

“Alexa, lepaskan dia! Kenapa kau bertingkah seperti ini? Itu semua tidak seperti yang kau pikirkan,” kata pria yang baru datang, seraya berkutat dengan tangan yang masih menjambak rambut Kimi.

Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, akhirnya rambut Kimi terbebas dari cengkeraman yang menyakitkan. Ia serta-merta berdiri tegak sambil menggelengkan kepala, untuk mengusir rasa sakit yang mendera kulit kepalanya.

“Kenapa, Willy? Kenapa kau berselingkuh dariku?” ratap perempuan itu dengan wajah yang mulai bersimbah air mata. “Apakah kau lebih mencintai perempuan dengan cat rambut norak sepertinya? Aku—”

“Sshh … Sayang, tenanglah!” ujar pria bernama Willy, sembari merengkuh kedua lengan istrinya dengan lembut. “Sungguh, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ayo kita pulang! Aku akan menjelaskan semuanya di—” Kata-katanya terpotong karena Alexa menepis tangannya.

“Aku tidak butuh penjelasan lagi, Willy. Kau sudah mengkhianatiku dengan menjalin hubungan dengannya. Kau—”

“Aku tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh, Sayang. Aku hanya sedang bosan karena belakangan ini kau terlalu sibuk dengan bisnis barumu.”

Pernyataan itu sontak membuat hati Kimi mencelos. Dia tak tahu perasaan mana tepatnya yang mendominasi dalam dirinya saat ini. Malu, sedih, kecewa dan marah bercampur menjadi gumpalan yang bergolak di dalam dadanya. Dan hal itu membuatnya ingin melakukan sesuatu.

Dengan api amarah yang menyelimuti dirinya, Kimi mengepalkan kedua tangan. Dan sebelum satu orang pun menyadari gerakannya, ia maju satu langkah, menarik tangan Willy hingga membuat pria tersebut berpaling padanya, lalu mendaratkan tinju di wajah suami Alexa.

Kimi tak menghiraukan pekikan kaget yang keluar dari mulut Alexa, Icha, atau pengunjung lain karena perbuatannya itu. Dia menghujamkan tatapannya ke sosok Willy yang terhuyung satu langkah karena pukulannya.

“Dasar berengsek! Kalau kau sedang bosan dengan perkawinanmu, seharusnya kau tidak menyeretku ke dalam—” Kimi tak sempat menyelesaikan ucapannya, karena Alexa lagi-lagi menjambak rambutnya. Dia berteriak kesakitan sembari berusaha melepaskan diri dari cengkeraman istri Willy.

Suara gaduh semakin riuh memenuhi kafe. Makian dan ancaman akan melaporkan Kimi ke polisi terlontar dari mulut Alexa. Hinga kemudian ….

“Lepaskan dia, Nyonya! Akan kuhitung sampai tiga. Jika kau tidak melepaskan nona berambut merah itu, aku akan membuat pengaduan resmi atas gangguan ini. Dan percayalah! Kau berada di posisi yang tidak menguntungkan karena kami semua menyaksikan kaulah yang pertama kali menyerangnya.”

Seorang pria yang mengenakan setelan serba gelap, yang beberapa saat lalu dilihat Kimi duduk di sudut kiri kafe sembari memberikan pandangan mencemooh, kini berdiri di antara kerumunan pengunjung yang mengitari para pelaku keributan. Suaranya seakan-akan menghipnotis Alexa, yang kemudian secara perlahan melepaskan Kimi.

Pria jangkung itu maju selangkah, sehingga ia kini berada di depan pengunjung lainnya. “Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Dan itu terjadi karena sikap pengecut dari suamimu sendiri. Jadi, jika aku jadi kau, aku akan lebih memilih menyiramkan es kopi itu pada suamimu sebelum menyerang nona berambut merah itu.”

Aura yang menguar dari lelaki dengan garis-garis wajah aristokrat tersebut, membuat seluruh pengunjung kafe terdiam. Dan sebelum mereka kembali bersuara, orang itu kembali melanjutkan ucapannya, kali ini lebih ditujukan kepada Kimi.

“Kau terlihat kacau sekali! Akan memalukan jika kau pulang dengan transportasi umum. Aku bisa mengantarmu, kalau kau mau.”

Layaknya terkena pengaruh hipnotis yang sangat kuat, Kimi buru-buru meraih tas kerjanya dan mengikuti langkah kaki pria itu ke luar Delgado. Di belakangnya, Icha yang masih kebingungan terpaksa berjalan cepat mengikuti sahabatnya.

Sesampainya di luar, laki-laki itu memimpin Kimi dan Icha menuju sedan hitam, di mana seorang pria lain yang tampilannya mengesankan umur setengah abad berdiri di sampingnya. Kimi ingat pria itu juga duduk di dalam kafe beberapa saat lalu, bersama orang yang akan memberinya tumpangan.

“Kita akan mengantar mereka pulang dulu, Rob.”

Pria yang kepalanya sudah ditumbuhi banyak uban itu menganggukkan kepala. “Baik, Tuan Hans.”

Setelah tanya jawab yang singkat mengenai alamat yang akan dituju, sedan hitam itu kemudian meluncur di jalan raya untuk mengantar Icha pulang lebih dulu. Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang menemani mereka bertiga.

Kimi masih larut dalam patah hatinya, sehingga dia tak berminat untuk menganalisa kendaraan yang ditumpanginya; satu hal yang selalu ia lakukan setiap kali berjumpa dengan pria kaya. Desain interior mobil yang futuristik tak bisa menghilangkan rasa sakit hatinya akibat sikap Willy.

Kimi juga masih belum sadar, ketika sedan itu akhirnya berhenti di depan sebuah gang komplek yang rumahnya padat tanpa halaman dan terkesan penuh sesak.

“Kau ingin kembali ke sana dan meninju pria itu lagi?”

Kata-kata yang dilontarkan dengan nada sarat akan kesinisan itu, menyentak lamunan Kimi. Dengan segera ia menyadari kesalahannya. “Maaf,” celetuknya seraya meraih handle pintu. “… dan terima kasih sudah mengantar—”

“Siapa bilang kau boleh keluar dari mobilku begitu saja?” Hans memutar tubuhnya ke belakang dan menatap wajah Kimi dengan bola matanya yang tajam. “Aku tidak pernah membantu seseorang dengan sukarela. Jadi, kau harus membayar kebaikanku, Nona.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status