Share

3. Yang Tidak Murah

Kimi memandangi Icha yang sedang membolak-balikkan kartu berwarna hitam bertuliskan nama lengkap Hans beserta jabatan dan nama perusahaannya. Dia menunggu dengan sabar komentar yang pasti akan keluar dari mulut sahabatnya.

“Apakah menurutmu ini asli, Kim?” ujar Icha seraya menyerahkan kembali kartu nama Hans ke tangan Kimi. “Maksudku, ada ‘kan cerita tentang manajer suatu agensi yang merekrut seorang talenta. Mereka memberikan kartu nama, lalu kita menghubunginya, dan semuanya berakhir dengan kita yang menyerahkan sejumlah uang.”

“Tapi di sana ada alamatnya,” bantah Kimi. “Kita bisa memastikannya dengan datang ke sana. Dia sendiri yang bilang begitu.”

Icha mempertimbangkan kata-kata teman kerjanya. Kemudian melanjutkan, “Baiklah. Katakan kartu nama ini memang benar adanya. Kalau kau pergi ke sana, bagaimana langkahmu selanjutnya? Apakah kau akan menerima tawaran itu? Melakukan pernikahan kontrak dengannya?”

Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Kimi justru hanya menghenyakkan dirinya ke belakang, bersandar pada kursi putarnya. Matanya menerawang ke pagar besi yang menjadi pembatas atrium yang ada di lantai dasar Five Star Mall.

Hanya ada beberapa pengunjung yang mendatangi toko furnitur mereka, dan ini sudah hampir jam makan siang. Kimi dan Icha sama-sama meninggalkan posisi mereka dan duduk di area bar karyawan, menanti kawan-kawan yang lain untuk makan siang bersama.

“Aku benar-benar ingin terbebas dari rumah itu dan semua penghuninya,” gumam Kimi seraya menyisirkan jemari di rambut merahnya. Dia membungkukkan badan dan menatap permukaan sepatu imitasi dari brand impiannya.

Tak lama kemudian, ia menegakkan punggungnya lagi dan menatap wajah sahabatnya dengan penuh harap. “Bisa jadi ‘kan kalau ini adalah kesempatan untukku?” ujarnya putus asa.

Icha membalas tatapannya dengan iba. Namun, ia pun kemudian menganggukkan kepala. “Ya, tak ada salahnya mencoba. Kalaupun itu memang benar, kerugian yang akan kau tanggung setahun lagi hanyalah menyandang status janda. Tapi masa bodoh dengan itu. Yang penting adalah kau punya cukup uang untuk modal hidup mandiri. Anggap saja ini sebuah pekerjaan yang agak unik, begitu ‘kan?”

Senyum Kimi tersungging di bibirnya yang seperti buah ceri. “Terima kasih, Icha. Sudah kuduga, kaulah yang selalu memahamiku.”

“Jadi, kapan kau akan ke sana?”

“Setelah makan siang.”

***

Kimi memandangi bangunan tiga lantai dengan desain kontemporer yang aneh, yang berdiri di area pusat kota. Ada sudut-sudut yang mencuat di bagian luar dan sangat kontras dengan dua balkon yang berbentuk setengah lingkaran. Orang lain mungkin akan menganggapnya sebagai seni arsitek, tapi Kimi jelas tak beranggapan begitu.

Wanita 28 tahun itu menyeberangi jalan raya dan menuju pos keamanan yang ada di bagian depan kantor Wira Property. Dia mendapati seorang pria sedang duduk di sana dan menyimak berita siang dari layar TV 21”, yang segera saja menyadari kedatangan dirinya.

“Selamat siang. Ada yang bisa kubantu, Nona?” sapa pria tua yang mengenakan setelan serba biru. Mata sipitnya mengamati penampilan Kimi dan terpaku cukup lama di bagian kepalanya. Reaksi yang selalu Kimi terima setiap kali berjumpa dengan orang baru. Cat rambut yang dipilihnya kali ini memang cukup mencolok.

“Hmm, aku ingin bertemu dengan Hans Bhara Wirawan.”

Penjaga tua itu memicingkan matanya hingga membentuk garis sabit. “Sudah ada janji?”

Kimi menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Tidak, tapi dia menyuruhku datang ke sini kalau aku perlu bicara dengannya.”

Dengan sigap pria tersebut keluar dari pos. “Ohh, kalau begitu silakan masuk saja ke dalam dan beritahu staf FO. Mereka akan menunjukkan ruangan bos.”

Setelah mendengar informasi yang ringkas itu, Kimi menganggukkan kepala dan hendak berlalu masuk ke gedung di depannya, ketika ia kemudian secara tiba-tiba berhenti dan kembali berpaling kepada petugas keamanan. “Anda sudah lama bekerja di sini?”

Pria tersebut membusungkan dadanya, seakan-akan ia hendak mengakui prestasi terbaiknya. “Dua puluh lima tahun, Nona. Aku mengabdi pada perusahaan ini sejak mereka merintis bisnisnya untuk pertama kali.”

Dengan ragu-ragu Kimi menimpali, “Kalau begitu, Anda pasti tahu orang seperti apa Hans Bhara Wirawan itu?”

“Tak ada kata lain yang bisa menggambarkan kepribadiannya, selain kata ‘tegas’. Dia selalu tegas dalam segala hal, Nona. Anda pasti akan segera mengetahuinya, jika sebentar lagi Anda bertemu dengan bos kami.”

Merasa sudah cukup mendengar penjelasan dari penjaga tua itu, Kimi pun mengucapkan terima kasih dan segera masuk ke dalam. Ia menghampiri meja resepsionis dan mengatakan hal yang kurang lebih sama seperti yang disampaikan di pos keamanan.

Staf penerima tamu melakukan panggilan sejenak, dan kemudian berkata kepada Kimi bahwa ia siap mengantarnya ke lantai 2. Tanpa banyak bicara, Kimi dan perempuan bercempol itu menaiki tangga, menyusuri koridor, dan melewati beberapa ruangan dengan jendela-jendela kaca yang besar.

Resepsionis itu berhenti di depan ruangan yang letaknya paling ujung dan memiliki pintu paling besar. Dia mengetuk sebanyak dua kali, lalu dengan gerakan yang sangat lembut membuka pintunya. Dia memberi isyarat pada Kimi untuk mengikutinya.

Mereka masuk ke dalam ruangan berukuran 7x10 yang didominasi oleh warna monokrom. Baik cat dinding maupun semua perabotnya. Dan di sisi sebelah kanan, hampir menyatu dengan dinding, Kimi melihat sosok pria yang kemarin malam mengajukan tawaran teraneh dalam hidupnya.

Hans sedang duduk di kursi putar dengan bundelan berkas di tangan kirinya. Dia terlihat sangat fokus dengan dokumen tersebut, sampai-sampai asistennya harus menghampiri mejanya dan berdeham untuk menyita perhatiannya.

“Tuan, dia sudah ada di sini,” gumam pria yang Kimi ingat sebagai sopir yang mengantarnya semalam.

Hans mendongak dan langsung melihat sosok Kimi yang berdiri di tengah ruangan. Setelah bosnya mengalihkan perhatian dari berkas di tangannya, si Asisten memberi isyarat pada staf penerima tamu untuk meninggalkan ruangan.

“Silakan duduk,” ucap asisten Hans pada Kimi. “Kita belum sempat berkenalan kemarin. Bagaimana kami harus memanggil Anda, Nona?”

“Kimi Adisti. Panggil saja Kimi.” Ketika menjawab, mata Kimi tak berhenti mengikuti sosok jangkung Hans yang mulai berdiri dan duduk di sofa tunggal yang ada di seberangnya.

“Baik, Nona Kimi. Nama saya Robert Kurniawan, Anda bisa memanggil saya Rob atau apapun yang Anda suka. Dan orang yang duduk di hadapan Anda adalah Tuan Hans, pimpinan dari perusahaan ini.” Rob melempar pandang sejenak ke arah atasannya, lalu melanjutkan, “Karena Anda akhirnya muncul di tempat ini, saya asumsikan bahwa Anda mungkin tertarik dengan tawaran Tuan Hans. Apakah benar begitu?”

Kimi mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. “Yah, sebenarnya ada beberapa syarat yang—”

“Apakah bonus yang kutawarkan kemarin masih kurang?” sela Hans tajam, kendati wajahnya tak menampakkan ekspresi apapun.

“Oh, ehh … itu, aku hanya—”

“Satu miliar?”

Kimi terlihat kesusahan untuk menelan ludah. Dengan gelisah dia mengalihkan pandangan ke arah Rob, yang menimpali kecemasannya hanya dengan senyuman dan anggukan kepala. Meskipun tampak ragu, tapi Kimi akhirnya berhasil kembali menatap Hans.

“Tapi … kau tidak akan macam-macam terhadapku, ‘kan?”

Gelak tawa Hans pecah di dalam ruang kerjanya. Dan sikapnya itu membuat Kimi mengerut, sehingga tubuh kecilnya terlihat melesak semakin dalam ke sofa.

“Jangan khawatir! Karaktermu memang sesuai dengan yang kuinginkan untuk tugas ini, tapi kau jelas sekali bukan tipeku. Tidak punya daya tarik. Paham?”

Diam-diam Kimi mengepalkan kedua tangannya. Dia ingin sekali memukul kepala Hans dengan salah satu plakat yang ada di ruangan itu. Kata-katanya sedikit mengusik harga diri Kimi sebagai seorang wanita sekaligus karyawan terbaik, yang tiap tahunnya selalu berhasil menjual furnitur paling banyak.

Bagaimana tidak? Kolega serta atasan Kimi saja, sudah lama mengakui bahwa ia memiliki apa yang mereka sebut sebagai daya tarik dan selalu sukses memikat para konsumen untuk melakukan transaksi jual beli. Dan sekarang ia mendengar seorang pria berkata tanpa basa-basi bahwa dirinya tak memiliki daya tarik. Sombong sekali!

Sambil berusaha untuk tetap terlihat tenang, Kimi bicara, “Baiklah, kalau begitu. Tapi keluargaku bukan sesuatu yang mudah untuk ditangani. Mereka—”

“Beritahu saja orang tuamu kalau ada seorang pria yang ingin menikahimu,” sela Hans tak sabar.

“Orang tuaku sudah meninggal.”

Hans dan Rob menatap Kimi lebih intens dan kemudian saling melempar pandang sejenak. “Well, kalau begitu apakah mungkin kau bisa menerima tugas ini? Karena meskipun hanya pernikahan kontrak, aku ingin semuanya terkesan nyata dan serius bagi orang lain,” ujar Hans yang mulai tampak ragu.

“Ohh, tentang itu aku pasti bisa melakukannya. Hanya saja masalahnya, bibiku mungkin akan sedikit mengganggumu. Dia bisa saja mengajukan permintaan yang agak berlebihan.”

 Hans tersenyum masam. “Uang, ya?”

Kimi menganggukkan kepala, seraya berkata, “Atau mungkin benda. Yang tidak murah.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status