Share

7. Jangan Asal Bicara!

Kimi secara diam-diam mencuri pandang ke arah kanan, di mana sosok Hans sedang duduk di sampingnya. Sementara mobil yang dikemudikan oleh Rob terus melaju melewati lampu-lampu jalan raya yang masih dipadati oleh lalu lintas malam.

Sejak keluar dari Mountain View Hotel 15 menit yang lalu, Hans sama sekali belum bicara. Bahkan ketika Kimi tersandung pintu lift dan hampir membuat pria tersebut ikut jatuh, kebungkamannya masih tetap bertahan.

Dan Kimi semakin yakin bahwa asumsinya benar belaka. Dia tak punya keraguan sedikit pun, tentang hati Hans saat ini. Acara pesta para eksekutif beberapa saat lalu, sudah cukup memberikan bukti.

Kimi masih ingat, setelah Jessy menyebut nama Desi, Hans -dengan mengemukakan alasan hendak menemui koleganya yang lain- segera menarik Kimi ke sudut lain yang lebih sepi. Menghindari kerumunan dan mulai mengunci mulutnya.

Kimi melalui 40 menit di sana dengan menjadi manekin. Para pria banyak meliriknya, tapi Hans memasang mimik sangar sehingga tak seorang pun berani mendekat. Dan Kimi bisa merasakan intensitas kesangarannya semakin meningkat, manakala acara inti yang berupa program lelang amal dimulai.

Tak perlu menunggu waktu lama, begitu karya seni berupa vas yang memiliki bentuk seperti kuncup bunga tulip dimenangkan oleh pria bernama Victor dengan nilai setengah miliar, dan kemudian pria tersebut mendapatkan hadiah tambahan berupa pelukan dan kecupan kebanggaan dari wanita bergaun peach, Hans langsung berdiri dan meninggalkan conference hall.

Kimi berlari kecil supaya bisa menyusulnya. Dan sewaktu mereka akhirnya berada di dalam lift, dia tak tahan lagi untuk membuka mulutnya. “Kenapa kau pergi begitu cepat? Kau bahkan belum melakukan penawaran apapun di sana. Apakah itu tidak akan berpengaruh pada reputasimu?” cerocosnya tanpa takut.

Hans seketika menoleh dengan tatapan sedingin bongkahan batu es. “Aku tidak butuh menawar barang yang berpotensi sebagai objek untuk cuci uang berbalut kegiatan sosial. Hanya orang-orang bodoh yang melakukannya.”

Kimi terdiam mendengar ujaran Hans yang jelas sekali mengandung kesinisan. Dia tak lagi bersuara hingga sekarang, ketika mobil yang mereka tumpangi mulai bergerak naik ke arah bukit di mana vila keluarga Hans berada.

Wanita tersebut sampai lupa pada kegelisahan yang sebelumnya ia rasakan karena akan bertemu dengan keluarga Hans. Dan sekarang, setelah ia mulai melihat barisan pohon-pohon cemara, Kimi mulai didera oleh rasa gugup lagi. Dia mulai celingukan ke kanan dan kiri jalan.

“Apakah mereka tahu kalau aku akan datang?” Saking pelannya suara Kimi, ucapannya sampai terdengar seperti cicitan tikus yang nyawanya seakan-akan sedang terancam.

Hans dan Rob saling melempar pandang sekilas melalui spion yang ada di dalam mobil. “Tidak, Nona,” jawab Rob singkat.

Kimi tampak bersusah payah menelan ludah. “Apakah akan ada banyak orang di sana?”

Pertanyaan itu langsung direspons dengan dengusan Hans. “Kalau tahu kau begitu penakut seperti ini, aku tidak akan memilihmu. Ini masih acara keluarga, belum lagi sebuah pernikahan, Lady,” ejek Hans seraya tersenyum sinis.

Kata-kata bernada merendahkan itu dalam sekejap mengusir kegelisahan Kimi. Sebagai gantinya, ia merasa tertantang untuk membalas cemoohan Hans. “Seolah-olah kau punya nyali besar saja.”

“Apa katamu?”

Kimi menolehkan kepalanya dan menatap wajah Hans dengan mata melebar. “Apa? Bukankah itu karena nyalimu yang ciut, sehingga kau memilih untuk pergi dari Mountain View lebih cepat? Omong kosong tentang acara cuci uang berkedok kegiatan sosial. Bilang saja kau takut bersaing dengan siapa itu tadi namanya … ahh, benar, laki-laki bernama Victor! Iya, ‘kan?”

Kimi tak tahu bahwa menyebut nama Victor bisa menimbulkan akibat yang cukup fatal dari dua pria yang ada di dalam mobil. Mereka bereaksi secara bersamaan.

Jika Hans langsung mencengkeram lengan Kimi dengan kasar, maka Rob secara refleks menginjak pedal rem, sehingga membuat dua penumpang di belakang sama-sama terdorong ke depan dan kepala mereka saling terbentur satu sama lain. Keduanya mengaduh kesakitan.

“Apa yang kau lakukan, Rob?” tegur Hans geram.

“Maaf, Tuan Hans, salahku.”

Sambil menggosok dahinya yang tadi terbentur dahi Kimi, Hans kembali membetulkan posisi duduknya. Begitu pula dengan Kimi. Keduanya sama-sama membuang muka ke arah jendela, ketika Rob kembali melajukan kendaraan.

Hanya berselang lima menit kemudian, mobil mereka memasuki sebuah vila berkonsep kontemporer. Mengingatkan Kimi akan gambar-gambar kondominium yang pernah dilihatnya di salah satu situs yang memuat tentang desain-desain suatu bangunan.

Deretan mobil-mobil mewah yang ada di pelataran semakin membuat tangan Kimi berkeringat. Dia menoleh ke arah Hans dan sadar bahwa pria tersebut tidak akan banyak menolongnya. Jadi, dia hanya bisa mencengkeram satu-satunya benda yang ada di tangan, yakni clutch usang hadiah ulang tahunnya dari Icha.

Meski begitu, ia tetap menarik tangan Hans ketika mereka akan memasuki bangunan berlantai tiga yang dinding luarnya didominasi warna abu-abu. “Apa mereka tahu tentang rencanamu?” tanyanya cemas.

Hans menatap wajah Kimi, lalu mengembuskan napas kesal. Perasaannya masih terganggu dengan kelancangan mulut wanita tersebut. Karena itu, ia hanya menjawabnya sekenanya saja, “Seperti yang kita lakukan saat menghadapi bibimu tempo hari, kau cukup duduk dan mendengarkan. Aku yang akan bicara.”

Masih dilputi keraguan, Kimi beralih memandang Rob. Sayangnya, pria tua itu juga tak banyak membantu. Dia hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum seperti biasanya. Membuat Kimi semakin terperosok dalam keputus-asaan.

Bersama-sama mereka masuk ke dalam vila. Suara orang yang mengobrol dengan antusias serta derai tawa langsung terdengar, begitu mereka melewati pintu. Beberapa pemuda melontarkan sapaan kepada Hans dan tersenyum penuh arti pada Kimi. Di belakang, Rob berbisik pada Kimi, menjelaskan tentang identitas para pemuda tersebut yang sebagian besar adalah sepupu Hans.

Mengabaikan teriakan-teriakan para sepupunya yang mempertanyakan jati diri Kimi, Hans terus saja masuk ke dalam, ke sebuah ruangan yang mirip aula berbentuk lingkaran dengan langit-langit berupa kubah dan penuh ukiran-ukiran rumit, benar-benar kontras dengan eksteriornya.

Kedatangan mereka bertiga membuat ruangan yang dipenuhi para sesepuh, seketika menjadi hening. Semua orang saling melempar pandang dan kemudian mengamati Kimi. Benar-benar menyelisik wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Dan sebelum siapapun membuat suara, Hans dengan lantang mengungkapkan keinginannya. “Ibu, ini adalah kekasihku. Namanya Kimi, dan aku ingin segera menikahinya.”

Pernyataan Hans serta-merta menimbulkan kegaduhan yang menggema di ruangan berkubah itu. Semua orang sibuk melontarkan komentar-komentar yang tak jelas ditangkap oleh telinga Kimi. Sampai kemudian seorang wanita paruh baya -dengan tubuh langsing dan memiliki raut wajah aristokrat seperti Hans- berdiri dan mendekati mereka.

Begitu mereka saling berhadapan, wanita itu menatap Kimi lekat-lekat, lalu bicara dengan cara yang sama persis seperti Hans, ketika pria itu hendak mengintimidasi seseorang. “Dia seperti gadis yang kau pilih secara acak di sebuah pesta, hanya untuk menggantikan posisi Desi. Kau pikir aku akan menyetujuinya? Jangan asal bicara, Hans!”

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status