Share

2. Kesempatan

Matanya berkedip lemah, kala menatap pria yang duduk di depannya. Wajah Kimi memancarkan kepolosan yang murni karena ia benar-benar tak paham dengan kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Hans. “Membayar kebaikanmu?” Ia berdeham singkat, kemudian melanjutkan, “Kau ingin aku membayar ongkos untuk tumpangan mobilmu ini, ya? Baiklah, aku—”

Kimi menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka retsleting tas kerjanya, ketika tawa Hans meledak di dalam mobil yang penerangannya tak dinyalakan itu. “Aku tidak butuh uangmu,” tukas pria tersebut sesudah tawanya berhenti.

Kerutan di dahi Kimi semakin dalam. “Jadi?”

“Menikahlah denganku!”

Untuk beberapa saat keheningan menyergap kendaraan roda empat itu. Kimi dan Hans saling beradu pandang dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian Kimi tak bisa lagi menahan perasaan geli dan gilirannya tertawa terpingkal-pingkal.

Masih dengan tawa yang menderanya, ia mengedarkan pandangan berkeliling seolah ingin menemukan sesuatu. “Apa ini? Apakah aku sedang ada di dalam acara TV yang biasa mengerjai orang-orang? Di mana kameranya? Tunjukkan padaku!”

Hans dan pria yang duduk di balik kemudi saling melempar pandang sejenak. “Dia lebih tolol dari dugaanku,” gerutu Hans dengan muka masam. Dia kembali menatap Kimi, lalu berkata, “Kau tidak marah pada pria yang sudah membohongimu itu? Atau kau sudah terbiasa dipermainkan oleh pria?”

Tawa Kimi serta-merta berhenti. Dengan wajah merengut dia membalas, “Itu tidak ada hubungannya denganmu.”

“Yah, kalau kau begitu marah padanya, maka kau seharusnya membalas pria itu. Bukan dengan tinjumu, tentu saja. Kau bisa memanfaatkan peluang yang kuberikan. Dengan menikah denganku, kau bisa—”

Kalimat Hans terpotong, karena Kimi dengan berani membekap mulutnya dengan telapak tangan kanannya. “Berhenti dulu mengatakan hal tentang menikah, Tuan. Yang perlu ditekankan di sini adalah kita tidak saling kenal satu sama lain. Fakta bahwa kau sudah membantuku, aku sangat berterima kasih, tapi menikah denganmu?” Kimi menggelengkan kepalanya, menganggap bahwa pria di depannya sudah tak waras.

Hans menepis tangan Kimi dengan tak sabar. “Kau mungkin menganggap permintaanku ini sinting, tapi pikirkanlah baik-baik! Dengan menikah denganku, kau bisa membalaskan sakit hatimu. Karena aku yakin sekali, dalam segala hal aku jauh lebih baik dari pria itu.”

Kimi menyipitkan sebelah matanya. “Bagaimana denganmu? Apa yang akan kau dapatkan dengan menikah denganku?”

Sejenak, Hans hanya terdiam memandangi Kimi. Dia tentu saja punya alasan tersendiri mengajukan permintaan yang memang diakuinya terdengar sinting. Akan tetapi, dia merasa mungkin saja tak bisa menemukan calon lain yang seperti Kimi. Dia juga tak mungkin menggunakan salah satu teman perempuan yang sudah dikenalnya.

Karakter Kimi yang sempat ia lihat sekilas di kafe, sangat pas dengan kriteria yang dicarinya. Meskipun ini adalah pertama kalinya mereka bertemu, tapi ia yakin instingnya sebagai seorang pebisnis tidak akan salah.

Seraya mencebikkan bibir sensualnya, Hans lalu berkata, “Yah, kau kelihatannya wanita yang kuat. Kau bisa membantu untuk mengatasi masalahku. Jangan khawatir! Kau tentu akan mendapatkan sejumlah uang sebagai upah, jika bersedia melakukan semua perintahku nanti. Dan setelah kontrak kita berakhir, aku akan memberimu bonus minimal 750 juta. Akan kutambah, jika pekerjaanmu mengesankan. Bagaimana?”

Jika di awal tadi Kimi menganggap ajakan menikah sudah cukup gila, maka sekarang setelah mendengar angka uang yang lumayan itu, ia merasa semua adegan ini harus diakhiri dengan segera, karena sudah cukup hidupnya dipermainkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Tanpa berkata apapun lagi, Kimi menarik handle pintu dan keluar dari mobil Hans. Dia mendengar suara pintu lain yang ikut dibuka, lalu tak berapa lama kemudian pria tersebut menahan langkahnya dengan menangkap pergelangan tangannya.

“Pikirkanlah! Kesempatan seperti ini tidak akan datang padamu dua kali.”

Kimi mengembuskan napas putus asa. “Masalahnya, aku tidak pernah bermimpi akan melakukan pernikahan kontrak dengan orang asing. Itu sama seperti menggadaikan hidupku—”

“Dan kau tidak akan rugi apapun,” sergah Hans bersikukuh. “Aku janji. Kita tidak akan bersentuhan, jadi kau tidak harus mengandung anak dari orang yang tidak kau cintai. Selain itu ….” Hans memperhatikan tas dan sepatu Kimi sekilas, “kau tidak akan memakai barang imitasi, karena aku akan memastikan kau bisa menjangkau segalanya.”

Kimi menggigiti bibirnya. Keraguan sangat jelas terukir di wajahnya. Beberapa kali dia memandangi Hans dan mobilnya secara bergantian, seolah-olah ingin memastikan bahwa pria itu bukan penipu yang tengah menjebaknya dengan modus operandi menawarkan pekerjaan yang menggiurkan, tapi di akhir justru ia sendiri yang akan membayar mahal.

Setelah hampir satu menit berlalu tanpa suara, Kimi akhirnya berkata, “Ini bukan masalah sepele. Aku harus memikirkannya.”

Bahu Hans tampak sedikit mengendor, saat ia mengembuskan napas lega. Ia kemudian memasukkan tangan kanannya ke saku celana dan mengeluarkan dompet kulit berwarna hitam. Dari sana ia menarik sebuah kartu nama yang juga berwarna sama.

“Alamat kantorku. Kita bisa mendiskusikan semuanya di sana nanti. Sampai jumpa!” Tanpa menunggu Kimi membalas salamnya, Hans berbalik dan menghampiri sedan mewahnya. Meninggalkan Kimi berdiri sendirian di jalan sempit menuju tempat tinggalnya yang berupa rumah susun di ujung gang.

Setelah mobil Hans membaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya, Kimi membalikkan badan dan mulai menyusuri jalanan gang. Beberapa kali ia berpapasan dengan orang yang dikenalnya, yang kemudian menanyakan alasan kenapa penampilannya tampak berantakan dan kotor. Ia menjawab mereka hanya dengan cengiran dan senyum lebar.

Ketika ia akhirnya sampai di depan bangunan berlantai lima dengan banyak pintu dan palang jemuran yang mengganggu pemandangan, Kimi mendongakkan wajah. Selama beberapa saat, pandangannya terpaku pada objek yang ada di atas sana. Namun, tak lama kemudian ia memindahkan tatapannya ke langit yang hanya dihiasi sedikit bintang.

Sekarang, setelah ia sendirian, kekecewaan yang dirasakannya atas kebohongan Willy terasa begitu menyakitkan. Harapannya seolah direnggut dan dihancurkan begitu saja. Penantian yang cukup lama baginya karena ia benar-benar sudah lelah dan muak dengan segala aspek dalam hidupnya.

“Ma, Pa, aku capek,” bisiknya dengan pilu, disusul dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca.

Akan tetapi, secepat mata itu merembang, secepat itu pula Kimi mengusap air matanya. Dia tak ingin siapapun memergokinya menangis. Dan sebelum emosinya dikuasai oleh kesedihan yang lebih lanjut, Kimi bergegas menapaki anak tangga menuju huniannya yang ada di lantai dua.

Sebelum membuka pintu berwarna kuning itu, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di balik pintu.

Dan benar saja. Ketika Kimi masuk ke dalam rumah dan baru saja melepaskan pantovel dari kakinya, seorang wanita paruh baya dengan rambut kusut masai yang terurai, langsung mendamprat dirinya, “Kau sudah dapatkan uang itu? Dari tadi siang aku sudah menunggu. Kau mulai berani mengabaikan pesan—”

Kimi membungkam mulut wanita tersebut dengan menyodorkan sebuah amplop coklat yang sedikit menggembung. “Kali ini tolong benar-benar bayarkan uang ini kepada induk semang kita, Bibi. Kalau Bibi ingin berjudi atau mabuk-mabukan, setidaknya carilah sendiri uang untuk itu. Aku sudah cukup kesulitan memenuhi semua kebutuhan orang-orang di rumah ini.”

Bibi merebut amplop dari tangan Kimi dengan kasar. “Ya, ya. Kau makin lama makin mirip ibumu, banyak omong. Jangan jadi sepertinya kalau tidak ingin malapetaka—”

“Bibi!” seru Kimi menyela ucapan bibinya. Napasnya tersengal-sengal karena gemuruh amarah yang mulai menyulut emosinya lagi. “Jangan berani-berani Bibi menghina ibuku. Dia seribu kali lebih baik darimu.”

Tanpa memberi kesempatan bibinya untuk membalas kata-katanya, Kimi segera pergi menuju pintu kamar yang ada di belakang, menutupnya dengan kencang, lalu memutar anak kuncinya. Mengabaikan sang Bibi yang meneriakkan cacian tak keruan dari ruang duduk.

Dengan gusar, Kimi membanting tasnya di atas kasur yang sudah tipis. Dia juga menanggalkan kemejanya yang bau kopi dan hendak melemparnya ke keranjang pakaian kotor, ketika matanya melihat sesuatu meluncur jatuh dari saku baju.

Kimi terdiam mengamati kartu nama yang diberikan Hans beberapa saat lalu. Cahaya bulan di luar sana menyoroti permukaan kartu itu, sehingga membuatnya agak mengkilap.

Tadi ia tak sempat membaca tulisan yang tertera di sana. Dan kali ini bibirnya lamat-lamat bergerak membaca, “Hans Bhara Wirawan, CEO Wira Property.” Perlahan, Kimi membungkukkan badan untuk meraih kartu nama di lantai kamarnya itu. “Benarkah ini sebuah kesempatan?” gumamnya sedikit berharap.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status