Share

Rencana

Aisyah baru saja keluar dari perpustakaan bersama dengan Zahra temannya. Tadi dia inginnya mengajak Naufal dan teman-temannya yang lain untuk ke perpustakaan, tapi mereka pada menolak dan memilih pergi ke kantin. Naufal kalau sudah bersama mereka pasti jadi ikutan juga, jadi tidak mau diajak ke perpustakaan. Untungnya tadi ada Zahra yang mau Aisyah ajak ke perpustakaan, diapun tidak jadi sendirian. 

Di belokan depan perpustakaan Aisyah dan Zahra berpencar, Aisyah akan pergi ke kantin menyusul suami dan teman-temannya yang lain. Pasti mereka sedang melihat wanita-wanita yang ada di kantin. Jangan sampai Naufal ikutan dalam hal itu, dia tidak boleh melihat wanita lain.

"Kalian betah sekali di kantin," Aisyah duduk di samping Naufal yang kosong, di samping kirinya ada Rey yang sedang membahas hal tidak penting bersama dengan Dimas dan Arfan. 

"Kok cepet dari perpusnya?" tanya Naufal pada istrinya itu.

"Boong dia pasti, palingan dia nggak jadi ke perpusnya," sanggah Arfan yang langsung diberi tatapan mematikan oleh Aisyah. 

Arfan menelan salivanya kuat-kuat, sepertinya dia salah bercanda. Ketiga temannya yang lain hanya menahan tawa saja. 

"Daripada lu cuma nungguin kantin nggak jelas, bilang aja ke kantin cuma mau liat cewek-cewek biar bisa lu godain," balas Aisyah cukup sengit. 

"Enak aja, itu bukan gua. Gua cuma ngikut aja, tuh si Rey yang suka gitu."

Yang disebut namanya merasa tidak terima namanya dibawa-bawa, Naufal hanya tertawa kecil sambil menepuk-nepuk pundak Rey. "Udah terima aja, emang lu gitu kan?"

Mata Aisyah beralih menatap tajam pada Rey. Bukan, bukan karena tadi Naufal menepuk-nepuk Rey. Aisyah seperti itu pada Rey karena sudah sering kali Rey melakukan itu. Padahal dirinya itu juga seorang perempuan.

"Apaan?  Gua yang disalahkan."

"Apa tadi dia dapat sasaran cewek?" Telisik Aisyah curiga. Setiap Rey ke kantin, pasti selalu dapat satu cewek yang bakal jadi pusat perhatiannya. 

"Tadi aja dia liat sama cewek di depan itu, dia katanya seksi," tutur Dimas tanpa dosa. 

"Reyyyy!" teriak Aisyah kesal. 

Rey hanya menutup telinganya dari saking sudah terlanjur sering Aisyah meneriaki dirinya.  Rey heran saja, kenapa Naufal mau-maunya menikahi wanita macan seperti Aisyah.

....

"Syah, jangan diam gini," ucap Nuafal frustasi. 

Sepulang dari mengecek rahimnya dari rumah sakit Aisyah tidak bicara apa-apa. Dia akan menjadi seperti ini jika pulang dari rumah sakit mendapati dirinya yang belum juga hamil padahal kata dokter rahimnya sehat dan tidak ada masalah apa-apa. Ini memang baru seminggu berjalan dari peraturan yang Umi dan Abinya itu buat, akan tetapi bagi Aisyah waktu berjalan begitu cepat. Dia merasa tidak bisa memenuhi keinginan orang tua Naufal itu. 

"Kamu pasti bisa, Syah. Kita hanya perlu menunggu saja, lagi pula Umi memberi waktu tiga bulan. Dalam tiga bulan ini kamu pasti bisa hamil. Kita jangan putus doa dan usaha ya," Naufal berbicara dengan hati-hati karena dia tahu saat ini istrinya sangat tertekan dengan hal itu. 

Naufal mendekati istrinya yang duduk di lantai sambil bersandar pada sisi ranjangnya. Mata Aisyah menatap kosong ke arah depan, Naufal tidak ingin mengganggu Aisyah. Dia hanya ingin berada di dekat Aisyahnya.

"Sepertinya sampai saat itu tiba, aku tidak akan bisa hamil. Ini hanya tiga bulan, sedangkan aku sudah berusaha dari tiga tahun lebih."

Naufal tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini istrinya menjadi sangat pesimis seperti ini, padahal dirinya saja tidak pernah pesimis. Dia yakin ini hanya soal waktu saja, dia pasti bisa hamil. Karena apa yang dokternya katakan rahim istrinya itu baik-biak saja, tidak ada masalah. Mereka juga mengecek keadaan Naufal, siapa tahu yang bermasalah di sini adalah Naufal. Dan ternyata Naufal tidak ada masalah apapun, dia sehat. Ini yang membuat Naufal semakin yakin kalau ini hanya masalah waktu saja. 

"Aku yakin kamu pasti bisa, kita pasti bisa."

"Nggak, Fal. Waktu tiga bulan ini sangat singkat menurutku, dan aku tidak akan bisa memberikan apa yang mereka mau dalam waktu tiga bulan ini."

"Jangan bicara seperti itu!" Naufal semakin frustasi saja, dia mengacak rambutnya. 

"Umi menginginkan kamu menikahi wanita lain, kalau begitu aku turuti. Tapi harus dengan permainanku sendiri," ucap Aisyah sambil menatap tajam pada Naufal. 

Naufal tidak tahu apa yang akan istrinya ini lakukan, "Maksudnya?"

"Kamu ikuti saja apa yang aku mau, permainannya kita mulai dari sekarang!"

....

Rey bersiul sambil keluar dari dalam kamar mandi kosnya, dia sangat bersyukur karena dengan baik hati Aisyah dan Naufal mau meminjamkan uang untuknya membayar kosnya ini. Kalau bukan karena kebaikan mereka, Rey tidak tahu sekarang dia akan luntang-lantung di mana. 

Rey duduk di atas kasur kecil miliknya itu, ya hanya kasur kecil tanpa ranjang yang ada di kamar Rey. Sejak enam tahun lalu dirinya sudah terbiasa dengan hidupnya yang seperti itu. Memang seperti apa hidupnya sebelum itu? Bukannya sama saja? 

Rey atau lebih tepatnya Reyna Anastasya memilih keluar dari panti asuhan sejak dia lulus dari SMP. Ya, dirinya memang hanya anak dari panti asuhan yang tidak tahu siapa orang tuanya. Dia hanya punya Ibu Aminah,  Ibu Aminah adalah ibu pemilik panti. Ibu bagi semua anak-anak yang ada di sana, termasuk ibu bagi Rey.

Saat itu Rey tidak ingin lagi berada di panti asuhan, dia merasa perlu mencari jati dirinya di luar panti asuhan.  Karena dia tidak seberuntung yang lain yang mendapat orang tua asuh, Rey memutuskan untuk keluar dari panti asuhan untuk hidup di luar dan mencari jati dirinya sendiri. Awalnya Ibu Aminah tidak mengizinkannya, akan tetapi Rey selalu berusaha meyakinkan Ibu Aminah hingga dia mengizinkan Rey untuk hidup di luar. 

Rey saat itu yang memiliki sedikit bekal dari Ibu Aminah langsung mencari kos-kosan. Dan di sinilah dia berada, dia tidak pernah pindah kos sama sekali. Sejak saat itu, dia hidup sendiri di luaran. Sejak itu juga dia memilih mengubah penampilannya, dia memotong rambutnya dan mengganti semua pakaiannya dengan pakaian laki-laki. Dia Rey, bukan lagi Tasya seperti panggilannya dulu. Rey hanya akan memakai rok ketika ada di sekolah, karena peraturan sekolahnya yang tidak memperbolehkan siswi menggunakan celana. Sekarang, Rey bebas mengekspresikan apa saja yang dia inginkan. Sejak kuliah, dia tidak perlu lagi repot-repot memakai rok. 

Drrrttt ... Drrtttt ... Drrtt .... 

Ada panggilan masuk di ponsel Rey. Rey yang masih menyisir rambutnya tidak menghiraukan panggilan masuk itu, Rey tidak mau acara menyisir rambutnya ini diganggu. 

Hanya saja panggilan itu tidak pernah berhenti sama sekali, Rey dengan malas memencet tombol hijau dengan tetap menyisir rambutnya. Tidak lupa dia menyaringkan volume panggilannya agar lebih jelas. 

"Wooiii mony*t ... Ke mana aja dari tadi? Gua telpon sampe ribuan kali baru lu angkat."

"Apaan dah, baru juga sekali telpon udah bilang ribuan," ucap Rey sambil memutar bola matanya malas. 

"Sekali lu bilang? Kampret lu, ini udah yang kelima kali tahu."

"Ya terus lu mau apa?  Tadi gua baru abis mandi."

"Kita kumpul di taman malam nanti."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status