Share

Mengikuti Kata Aisyah

"Aisyah sama Naufal mana?"

Rey baru saja sampai di taman yang sudah mereka janjikan. Biasanya kalau ada waktu senggang mereka akan mengajak untuk kumpul. Maklum, mereka semua selain punya kesibukan sebagai mahasiswa, mereka juga sibuk bekerja sampingan. Arfan bekerja sebagai penjaga toko milik orang tua Dimas, karena orang tua Dimas termasuk orang tua yang berkecukupan sehingga memiliki beberapa toko. Makanya Arfan bisa bekerja sebagai penjaga toko milik orang tua Dimas. Biasanya Dimas juga akan menemani Arfan untuk menjaga tokonya agar dia tidak terlalu kesepian karena harus menjaga toko sendirian. Sekarang yang pengangguran itu hanya Rey sendiri, Naufal dan Aisyah bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah islam yang tidak jauh dari kampus mereka. 

"Lu tahu lah, ini malam jumat. Suami istri nggak bakal keluar rumah kalau malam jumat gini," sahut Dimas sambil terkekeh kecil yang dibarengi anggukan oleh Arfan. 

"Sunnah rasul mereka," sambung Arfan masih dengan tawanya.

Rey hanya menggelengkan kepalanya, kalau Naufal dan Aisyah ada diantara mereka. Pasti mereka berdua sudah dimakan habis oleh Aisyah yang kapan saja bisa berubah menjadi macam betina yang menyeramkan. 

Rey duduk diantara keduanya, dia tadi juga sudah sempat membeli minuman di mini market seperti perintah teman-temannya itu. Mereka tidak tahu saja kalau Rey saat ini harus berhemat karena uang hasil jual motornya bisa saja cepat habis. Rey juga harus segera menemukan pekerjaan baru agar dia tidak perlu takut akan keberlangsungan hidupnya. Dia juga merasa tidak nyaman jika terus-terusan menyusahkan Naufal dan Aisyah. Dalam tiga bulan ini Rey sudah tiga kali pinjam uang untuk membayar kosannya. Walaupun mereka merasa tidak keberatan, tetap saja ada rasa tidak nyaman dalam diri Rey.

"Lu berangkat naik apa, Rey?"

"Ojol," sahutnya sambil meminum minuman yang tadi dia beli. Sedangkan dua botol lainnya sudah pindah tangan pada dua orang di sampingnya itu.

"Motor lu?"

"Jangan pura-pura lupa, Rey kan udah nggak ada motor, Fan." Dimas menjitak kepala Arfan yang sepertinya sengklek karena harus lupa kalau Rey itu sudah tidak punya motor lagi. Jadi, kemana-mana Rey harus menaiki angkutan umum atau kalau tidak pake ojek online. 

"Ah, iya. Pikun gua."

"Dasar oon! Mau-maunya mengakui diri sendiri pikun lu, Fan," kekeh Rey tidak percaya dengan tingkat otak sahabatnya itu. 

"Emangnya lu belum dapet pekerjaan lagi, Rey? Emang lu nggak malu gitu minjem terus sama Naufal dan Aisyah untuk uang kos lu. Bukan apa-apa, mereka kan pasti juga punya kebutuhan sendiri," ucap Dimas lebih serius. 

Arfan juga menatap Rey, percakapan mereka menjadi lebih serius dari sebelumnya. Rey juga meletakkan minumannya itu. Bukan Rey tidak punya perasaan malu dan sebagainya pada kedua sahabatnya, Naufal dan Aisyah. Hanya saja sampai saat ini Rey masih belum menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, ya selama ini Rey sudah biasa bekerja sebagai pelayan di sebuah cafe. Dia ingin mendapatkan pekerjaan seperti itu lagi, tapi nyatanya itu tidak mudah bagi Rey.  Sudah banyak surat lamaran kerja yang dia kirim dan berakhir dengan penolakan. Rey juga sampai menjual motor matic yang dia beli dari hasil menabungnya selama enam tahun itu. Dia gunakan hasil jual motornya itu untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari selama menjadi pengangguran.

"Ya, gimana, Dim. Gua juga nggak ada uang untuk bayar kosan karena sampe sekarang gua masih menganggur. Untungnya biaya kuliah gua ditanggung pihak kampus karena keenceran otak gua. Kalau bukan karena itu, mungkin gua udah dikeluarin dari kampus karena nggak bisa bayar."

"Kalau lu kerja sama gua jaga toko orang tuanya Dimas gimana?" tanya Arfan. 

"Gua udah sering ngomong ini sama Rey, cuma Rey maunya kan dapet pekerjaan yang sesuai dengan pekerjaan dia sebelumnya," timpal Dimas. 

Rey menarik napasnya kasar, ini pembahasan yang selalu bikin otaknya panas. Pengangguran nyatanya membuat Rey banyak berpikir saat ini. Dia memang sudah sering kali ditawari oleh Dimas untuk bekerja menjaga toko seperti Arfan, hanya saja Rey merasa itu bukan kemampuannya. "Gua harap masih ada cafe ataupun restoran yang mau jadiin gua karyawannya."

"Kalau lu telat mulu kerjanya mana ada yang mau Rey."

Rey memonyongkan mulutnya sambil tangan ingin memukuli Arfan yang sudah bicara kelewat jujur. 

"Kan itu kenyataannya Rey," sambung Dimas. "Sebenarnya kalau lu jaga toko milik bokap nyokap gua, lu kan bisa buka kapan aja itu toko. Lu bisa kerja satu toko sama Arfan dan pulangnya lu bisa diantar Arfan."

"Betul tuh, hemat biaya kan."

"Iya juga sih. Gua pikir-pikir dulu aja deh. Dan soal gua yang selalu ngerepotin Naufal dan Aisyah, saat ini gua nggak bisa berbuat apa-apa. Sebisa mungkin kalau mereka butuh bantuan gua, gua pasti bakal bantuin mereka."

....

Naufal tidak habis pikir dengan apa yang ada di otak istrinya itu. Saat ini istrinya sedang berusaha meyakinkan Naufal untuk mengikuti apa yang sedang istrinya itu rencanakan. Dan menurut Naufal itu sangat gila, apa mungkin Aisyah melakulan hal ini semua karena dia sudah sangat tertekan dengan apa yang orang tua Naufal lakukan padanya. Sehingga pikirkan semacam itu bisa dengan liarnya muncul dalam otak istrinya itu. 

Sejak kepulangan mereka kemarin dari rumah sakit. Aisyah tidak berhentinya membahas soal pernikahan Naufal dengan perempuan lain dan itu cukup membuat Naufal sangat mauk. Karena dia sendiri masih ingin berusaha dengan istrinya itu. Dia tidak akan mudah untuk menyerah. 

"Aku tahu siapa orang yang bisa kamu nikahi tanpa perlu adanya cinta, Fal, " ucap Aisyah dengan binar mata yang tidak dapat dimengerti oleh Naufal. 

Mereka saat ini sedang duduk di atas ranjang, harusnya mereka saat ini melakukan ritual suami istri. Tetapi Aisyah malah menyia-nyiakan momen itu dengan dia yang tidak hentinya membahas siapa yang harus Naufal nikahi. 

"Syah, kamu pasti sedang lelah. Kita istirahat saja ya," Naufal berusaha untuk mengalihkan pembahasan.

"Nggak, Fal. Aku nggak lagi lelah, aku lagi nyusun rencana untuk kehidupan kita ke depan. Kamu boleh menikah lagi, Fal. Tapi dengan permainanku," Aisyah berucap dengan mantap.

"Sudahlah, Syah. Jangan bahas itu lagi, kita pasti bisa buktikan kepada Umi dan Abi kalau dalam waktu tiga bulan ini kamu bisa hamil. Aku yakin itu," Naufal masih tetap dengan keyakinannya dan berharap Aisyah mau berhenti membahas soal Naufal yang harus menikah lagi. 

Aisyah menggeleng, "Fal, ikuti kemauanku. Ini yang lebih baik. Kamu menikah dengan wanita pilihanku, tapi pernikahannya harus dirahasiakan. Baik itu dari orang tuamu dan dari orang-orang dekat kita."

Naufal memicingkan matanya, curiga dengan apa yang ada di dalam pikiran istrinya. Akan tetapi dia tidak bisa membaca apa yang ada dalam otak istrinya itu. "Apa yang sedang kamu rencanakan?" akhirnya dengan penasaran Naufal menanyakan apa yang sedang Aisyah rencanakan. Bukan karena dia tertarik dengan apa yang Aisyah itu rencanakan, dia hanya penasaran saja. 

"Sini." Aisyah semakin mendekatkan dirinya pada Naufal, dipeganngnya tangan Naufal dengan erat. "Aku tahu ini tidak akan mudah untuk kita lalui, tapi aku tidak yakin tiga bulan ini aku bisa hamil."

"Bisa," potong Naufal. 

"Dengarkan aku dulu," lanjut Aisyah. "Aku punya rencana. Kamu boleh menikah dengan wanita lain asal wanita itu adalah wanita pilihanku. Aku yang akan carikan untukmu. Jadi, kamu dengan wanita itu akan menikah dalam waktu dekat ini. Kamu tidak boleh mencintainya dan dia juga tidak boleh mencintaimu. Kalian akan menikah secara diam-diam, kalau dalam waktu tiga bulan ini dia hamil.  Maka, katakan pada Umi dan Abi kalau aku yang hamil. Selama dia hamil, maka aku juga akan pura-pura hamil. Aku yang akan carikan wanita untukmu. Wanita yang sekiranya tidak akan jatuh cinta padamu dan tidak membuatmu jatuh cinta padanya. Setelah melahirkan, kamu boleh tinggalkan dia."

"Gila!  Ini sangat gila, Aisyah. Tidak akan ada yang mau untuk melakukan hal itu dan itu rencana yang sangat gila."

Naufal sangat tidak habis pikir dengan apa yang sedang istrinya itu rencanakan. Apalagi, tidak akan ada seorang wanita yang mau diperlakukan seperti itu. Pernikahan bukan main-main, dan Naufal tidak akan mau melakukan sampai kapanpun.

"Bukan, aku bukan gila. Ini rencana yang terbaik untuk pernikahan kita ke depan," sahut Aisyah masih dengan mantap. 

Naufal melepas tangan istrinya itu dengan kasar. Naufal berdiri membelakangi istrinya, ini tidak boleh terjadi. "Lagipula tidak ada wanita yang mau dirinya menjadi korban keegoisan kamu, Syah."

"Ada, pasti ada.  Aku sudah dapatkan siapa yang cocok untuk kamu nikahi dan aku yakin dia tidak akan menolaknya. Dia pasti mau melakukannya untuk kita."

Naufal menoleh dan melihat istrinya yang tersenyum penuh makna. "Siapa?"

"Nanti kamu juga akan tahu. Tugasmu adalah mengikuti kemauanku ini."

....

"Tasya, sudah lebih dari satu bulan kamu itu tidak mengabari ibu. Kamu juga tidak datang untuk mengajarkan karate pada adik-adik kamu di sini. Kamu baik-baik saja kan?" suara itu membuat Rey tersenyum di pagi hari. Ini adalah suara yang paling Rey rindukan. Suara dari Ibu Aminah, ibu panti sekaligus ibu bagi Rey dan anak-anak panti yang lain. 

Ah, iya. Ternyata Rey lupa untuk mengabari Ibu Aminah kalau bulan ini jadwal kuliahnya sangat padat sehingga dia tidak dapat datang ke panti untuk mengajari anak-anak di sana karate. Rey jago karate karena sejak SMP dia suka ikut ekstrakurikuler di sekolahnya. Dan dia memilih karate sebagai ekstrakurikuler kesukaannya. 

"Hehe ... Maaf Bu Rey lupa untuk memberi kabar kalau Rey lagi padat sekali jadwal kuliahnya."

"Padat atau kamu sibuk pacaran?" goda Ibu Aminah dari sebrang sana. Rey benar-benar berterima kasih pada penemu ponsel karena dengan jarak jauh dia bisa mendengar suara orang yang sangat dia rindukan seperti sekarang ini. 

Rey terkekeh dengan pertanyaan Ibu Aminah itu, "Memang jadwal kuliah Rey yang padat, Bu."

"Ibu tidak suka kamu menyebut namamu dengan sebutan Rey, kamu itu Tasya bukan Rey," sahut ibu panti dengan sewot. 

Ibu Aminah awalnya sangat terkejut melihat perubahan dari Rey. Saat pertama kali datang ke panti setelah dia keluar, Ibu Aminah tidak mengenali Rey yang saat itu sudah mengganti penampilannya menjadi seperti laki-laki. Bahkan dua gunung di dadanya menjadi rata. Saat Rey mengakui bahwa itu dirinya, Ibu Aminah sangat terkejut dan bertanya kemana hilangnya dua gunung Rey itu. Karena dua gunung itu benar-benar rata, tidak terlihat sama sekali. 

"Rey ataupun Tasya itu sama saja. Reyna Anastasya itu masih namaku, Bu," ucap Rey masih kekeh untuk memanggil dirinya Rey bukan Tasya. 

"Sudahlah, bicara sama kamu ibu tidak akan pernah menang. Ibu hanya ingin mengingatkan sama kamu kalau kamu harus bisa jaga diri kamu sendiri. Kamu itu perempuan, jangan sampai ada laki-laki yang menyakitimu."

"Iya, Bu. Nasehat ibu pasti Rey ingat."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status