Share

Bab 2

Marwa mengerjapkan mata ketika merasakan pergerakan di samping tubuhnya.

"Ya Allah, Arum!" Matanya membelalak ketika melihat kedua kaki dan tangan anaknya menghentak-hentak dengan mata yang mendelik. Ia segera bangkit duduk dan meraih tubuh anaknya.

Galih yang mendengar jeritan istrinya juga terbangun dan beringsut menghampiri sang anak.

"Jangan digendong, Marwa, biarkan saja di atas tempat tidur. Miringkan tubuhnya!" perintah Galih ketika istrinya akan mengangkat tubuh Arum.

"Tapi, Mas ...."

"Lakukan saja!"

Meskipun tak tega, perempuan yang wajahnya dipenuhi kepanikan menuruti perkataan sang suami. Air matanya mengalir menatap putrinya yang kejang, sedangkan ia bingung harus berbuat apa. Ini pengalaman pertamanya. Namun, ketika manik hitamnya menatap mulut sang anak ia teringat tetangganya yang pernah mengalami hal serupa. Mulutnya dikasih sendok agar tidak menggigit lidahnya.

"Mau kemana?" tanya Galih melihat istrinya yang turun ranjang.

"Ambil sendok, Mas."

"Ga usah! Itu bisa membahayakan!" ujar Galih tegas. "Kamu jaga Arun dulu, aku siapkan motor buat ke klinik." Marwa memgangguk dan mendekati sang anak.

"Ayo!" ajak Galih

Dengan perlahan Arum mengambil tubuh Arum yang terasa sangat panas, kemudian menggendongnya dan membawa keluar rumah. Hatinya semakin berkedut melihat anaknya masih dalam kondisi yang sama. Air mata semakin bercucuran, tubuh gemetaran, sedangkan hati ketakutan dengan hal-hal buruk.

"Cepat naik!"

Beberapa tetangga mulai berkerumun melihat Galih yang tergesa-gesa dan Marwa yang menggendong Arum sambil menangis.

"Ya ampun anaknya kejang itu!"

"Duh, aturan mulutnya dikasih sendok biar lidahnya ga kegigit."

"Buruan cepat, Galih!"

"Eh, awas jangan deket-deket, takut kena air liur Arum!"

Suara-suara yang bergema hanya melintas di telinga tanpa siapa tahu yang berbicara diantara kerumunan orang. Marwa hanya fokus pada anaknya. Di saat seperti ini ada saja orang yang masih tega melukai hati. Perlahan ia menaiki motor dan melaju menuju klinik.

Sesampainya di klinik, suasana masih sepi bahkan petugas administrasinya masih tertidur. Galih melihat jam yang bertengger di tembok klinik. Pukul enam pagi.

Lelaki bertubuh kurus tinggi itu mengetuk kaca administrasi. Terlihat seorang perempuan yang tertidur dengan bantalan kedua tangannya yang terlipat di atas meja membuka mata.

"Suster, anak saya kejang." Bagian administrasi itu langsung terlonjak dan bergegas berdiri lalu berjalan cepat ke arah ruangan sebelah, memanggill dokter kemudian kembali dan meminta Galih membawa anaknya masuk.

"Kenapa bayinya?" tanya dokter jaga melihat dua orang masuk sambil menggedong bayi. Saat itu Arum sudah tidak memghentakkan kaki dan tangannya, bahkan balita itu sudah menangis.

"Kejang, Dok," jawab Galih.

"Langsung dibaringkan!" perintah dokter perempuan berjilbab putih. Ia memeriksa kemudian memberikan obat kejang melalui anus. Sesudahnya ia bertanya menggali informasi penyebab kejang. Sampai pada pertanyaan yang membuat jadi masalah di kemudian hari. "Apakah ada anggota keluarga lain yang pernah kejang?" tanya dokter.

"Memang kenapa, Dok?" tanya lelaki yang wajahnya masih terlihat tegang.

"Untuk mengetahui apakah ada riwayat keluarga yang suka kejang karena hal itu mempengaruhi," jelas Dokter.

Peralatan medis di klinik tidak memadai, sehingga tidak bisa memeriksa detail, sedangkan untuk mengetahu penyebab jelas kejang harus dicek di laboratorium, sehingga dokter yang diperkirakan berusia tiga puluhan bertanya hal itu menganalisa.

"Saya ga ada, Dok," jawab Galih kemudian melirik istrinya untuk menjawab.

"Saya ada, Dok. Ibu pernah bilang kalau kakak saya suka kejang, tapi orangnya sudah meninggal," jawab Marwa gugup, terlebih melihat suaminya yang terkesiap mendengar jawabannya. "Maaf, Dok, apakah Arum sudah baik-baik saja?"

"Saat ini sudah ga apa-apa, hanya saja kejang bisa sewaktu-waktu kembali. Terlebih ada riwayat keluarga yang kejang diiringi demam,' jelas dokter.

"Apa ada pencegahannya, Dok?" Marwa tampak cemas membayangkan jika hal tadi terjadi lagi.

"Jika demam, diperhatikkan saja karena kejang tidak terduga, tetapi jika badannya sudah terasa akan akan panas baru hangat gitu, sebaiknya langsung diberi obat penurun panas," jelas dokter

"Baik, Dok," ujar Marwa.

Setelah selesai bertanya hal-hal terkait jika kejang terjadi lagi, mereka undur diri kemudian membayar biaya penanganan. Setelahnya, Galih dan Marwa kembali ke rumah dengan membawa perasaan dan kekhawatiran masing-masing.

*****

"Ibu mah ga habis pikir, gimana, sih, Marwa jaga anak sampai bisa kejang gitu?" Atik bertanya pada putra sulungnya.

Ia baru saja menjenguk cucu pertamanya di kamar dan beranjak ke ruang tamu ketika Arum disusui ibunya.

"Ya, itu, sih ga ada yang tahu, Bu. Kan, kejadiannya juga tiba-tiba." Lelaki dengan rambut hitam lurus itu menjelaskan.

"Mungkin pas demam ga dikasih obat penurun panas kali," terka Atik.

"Dikasih, kok, Bu. Kemarin juga ditanya dokter, dan Marwa menjawab sudah." Atik tersenyum sinis dengan wajah tidak suka karena pembelaann sang anak pada istrinya.

"Bisa jadi udah telat, harusnya mah sebelum panas banget dikasihnya," tuduh perempuan paruh baya itu. Galih menatap sang ibu sambil menggedikkan bahu. Kalau soal itu dia juga tidak tahu.

"Dokter bilang karena ada faktor keturun- ...," ujar Galih yang terhenti karena Atik memotong ucapannya.

"Keluarga kita ga ada yang kejang kaya gitu!" tegas Atik dengan raut tidak senang. Galih mengangguk.

"Almarhum kakaknya Marwa pernah mengalami kejang." Atik membulatkan mata dengan mulut menganga. Sedetik kemudian tersenyum sinis.

Ia merasa di atas angin. Anaknya akan mudah dipengaruhi lagi. Selama ini ia tidak setuju jika Galih menikahi perempuan yang tidak sederajat dengannya. Hanya seorang anak cleaning servis dan gadis yang dicintai Galih juga cuma lulusan SMA yang bekerja sebagai kasir di supermarket bahan bangunan. Belum lagi Marwa memiliki satu adik lelaki yang masih sekolah menengah atas. Tentu saja hal ini membuat Atik khawatir jika anaknya akan menanggung biasa sekolah, sehingga ia terus meracuni pikiran Galih agar tidak terlalu bertekuk lutut terhadap istrinya.

"Wah, ga bener ini, kenapa ga bilang dari awal kalau keluarganya penyakitan!" Atik berusaha mengompori. Sebenarnya Ada kekhawatiran juga jika di keluarganya akan menjadi penyakitan.

"Udahlah, Bu, InsyaAllah ga apa-apa. Dokter juga udah kasih tahu caranya supaya keadaan itu ga balik lagi. Kalaupun terjadi lagi, setidaknya aku dan Marwa udah tahu untuk menanganinya." Helaan napas berat keluar dari mulut lelaki yang merasa jengah dengan ucapan sang ibu yang membuat pikirannya semakin kalut. Jauh di lubuk hatinya ia juga memiliki ketakutan yang sama, tetapi berusaha ditepis.

"Ya ga bisa gitu, dong, Galih, ibu ga mau kalau cucu-cucu ibu nantinya penyakitan semua," jelas Atik.

"InsyaAllah engga, Bu. Buktinya Marwa baik-baik saja. Ia ga pernah kejang sewaktu kecil." Atik mendengkus kesal. Tak terima dengan kenyataan yang ada.

"Perempuan itu emang ga becus ngapa napain. Ngurus anak satu aja sampai kek gitu," ujar Atik memanasi-manasi lagi sambil melirik anaknya. "Untunglah kamu nurut sama ibu supaya keuangan kamu yang atur dan membatasi pengeluaran rumah tangga, supaya istrimu ga enak enakan makan uangmu," jelasnya lagi tanpa menyadari ada sesorang di balik tembok yang terbelalak kaget mendengar ucapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status