Share

Bab 5

"Bu, jangan diambil semua!"

Atik tak memedulikan larangan perempuan yang tak disukainya. Tangannya terus saja memasukkan potongan ayam ke dalam plastik yang ditemukan di dapur. Setelah memastikan terikat rapat, ia mengambil kangkung tumis dan memindahkannya hingga tandas, tak ketinggalan sambal terasinya.

"Loh, Bu, nanti saya makan apa?"

Atik masik bergeming. Tak peduli. Ia masih kesal dengan perlawanan menantunya. Setelah selesai mengangkut semua, ia hendak bergegas keluar tanpa pamit.

"Tunggu!" perintah Marwa. Tak digubris dan Atik terus melangkah.

"Jika Ibu terus jalan, saya tidak mau masak!"

Langkahnya terhenti. Wajahnya memerah menahan amarah. Marwa kali ini benar-benar kelewatan. Sudah berani menyuruh bahkan menentang. Kini, ia pun diancam. Terlalu! Ia akan melaporkan kejadian ini kepada anak sulungnya, Gita.

"Halah kamu ini. Makin berani aja, ya. Makanan segini aja kamu ributkan. Ini buat Pandu sama Fitri. Ibu belum masak!"

Atik menengok dengan mulut mencebik.

"Nih, Ibu balikin kalau ga boleh!"

Meskipun terasa enggan, Atik menyeret kembali langkahnya ke arah meja makan. Gagal mengamankan uang belanjanya. Terpaksa ia harus beli sarapan untuk kedua adiknya Galih yang sedang libur kuliah.

"Bukan itu, Bu," ucap Marwa.

"Ibu jangan pulang dulu!" lanjutnya lagi.

Wajah yang dipenuhi kerutan semakin berkerut ketika mendengar ucapan Marwa. Ia hendak protes kepada menantu yang dianggapnya sudah durhaka itu.

Hatinya memanas, harga dirinya terluka sebagai mertua. Seharusnya sebagai menantu, apalagi yang tak diharapkan Marwa bisa mengambil hatinya. Namun, kini malah menentangnya.

"Kenapa kamu melarang saya pulang? Udah hebat kamu, ya?" sindir Atik tak suka diperintah-perintah.

Tatapannya beralih melihat penampilan Marwa, daster lusuh dengan rambut dikuncir sekenanya. Tak beda jauh dengan seorang pembantu. Bahkan mungkin lebih bagus si Irah yang bekerja di rumahnya. Atik tersenyum, senyum meremehkan. "Ibu rumah tangga tak berpenghasilan saja belagu!" batin Atik mencemooh.

"Saya ga melarang Ibu pulang. Saya cuma mau nitip Arum. Sedangkan, soal makanan. Ga apa-apa Ibu bawa saja."

"Loh, kok, dititipi Arum. Ibu kan juga repot di rumah."

"Saya ga bisa belanja bawa Arum, Bu. Selain berat kasihan Arum juga jadi kepanasan dan berdesak-desakan."

"Halah, kemarin kamu bisa-bisa aja, tuh. Arum juga kelihatan baik-baik saja habis kamu bawa ke pasar."

Marwa mendesah pelan tak habis pikir dengan jalan pikiran ibu suaminya ini. Jikalau ia tak suka dengannya minimal sayanglah kepada Arum. Seharusnya tak tega membiarkan cucunya itu dibawa ke pasar.

Kalau membeli hanya di luar tidak masalah, Namun ia harus ke dalam pasar yang terletak di ruang bawah tanah gedung, demi mendapatkan barang yang lebih fresh juga murah dan hal itu harus berdesak-desakan.

Justru ia menitip anaknya karena tak tega membayangkan Arum yang banjir keringat juga menangis karena kepanasan. Belum lagi belanjaan yang ia bawa sangat berat, sehingga terpaksa menyuruh kuli pasar untuk membawa ke depan sampai ke tempat ojek.

"Kemarin Arum nangis terus, Bu, disana. Kepanasan karena penuh orang."

"Haduh, ada aja alasan kamu, ya!" sinis Atik.

Khawatir mendapat ancaman lagi, Atik menuruti keinginan Marwa. Andai tak ada keperluan, tak sudi ia diperintah seperti itu. Setelahnya, ia akan membuat perhitungan. Biarlah saat ini Ia akan membawa Arum ke rumahnya. Toh, ada Fitri yang nanti menjaganya.

Sesampainya di rumah, Atik langsung menyerahkan Arum kepada anak ke-empatnya yang sedang bermain ponsel di kamar kemudian kembali ke ruang tamu, mengambil handphone di tas slempangnya, menekan nomor Gita sambil menghenyakkan tubuhnya di sofa. Hendak mengadukan sikap Marwa.

Sementara itu, Marwa mulai bergegas ke pasar membelanjakan semua keperluan yang akan dimasaknya untuk Arisan. Ia akan membeli sesuai dengan uang yang dikasih ibu mertuanya. Senyumnya berkembang, ia bukan hendak melawan melainkan mengurangi kesusahan hidupnya.

Betul kata Sela. Ia tak boleh diam saja diperlakukan semena-mena oleh keluarga suaminya, terutama ibu mertua dan kakak iparnya, Gita, juga suamimya.

Selama ini Marwa banyak mengalah, dan selalu ditindas karena diam saja. Banyak hal yang dikorbankan, termasuk sampai makan seadanya karena jatah belanja yang berkurang sebab permainan ibu mertuanya seperti saat ini. Meminta dimasakkan banyak, tetapi dengan uang sedikit, alhasil biasanya, ia harus menambahkan dengan uang masak bulanannya, agar sang ibu mertua tidak marah.

Kini, semuanya tak lagi sama. Ia tak mau bersusah diri lagi. Tak masalah jika ia harus memasak banyak, tetapi uangnya harus sesuai dengan permintaan. Jika tak sesuai Marwa akan memasak seadanya, sesuai dengan uang yang diberikan.

*****

"Apa-apan ini, Marwa!" teriak Atik ketika melihat hidangan di meja makannya.

Matanya melotot melihat porsi yang tidak sesuai dengan permintaannya. Kemudian tatapan tajam beralih ke Marwah. Amarahnya memuncak, terlebih ketika melihat jam di dinding, pukul tiga sore, tamu-tamunya akan mulai berdatangan. Sorot mata kebencian semakin menguar.

"Kamu mau mempermalukan saya, ya? Makanan segini mana cukup buat 40 orang?"

Suara keras Atik memancing anggota keluarga lainnya berdatangan ke meja makan.Sedangkan, Marwa hatinya sedikit dirasuki kekhawatiran. Baru kali ini melihat ibu mertuanya meledak-ledak. Namun, ia berusaha menenangkan debaran jantungnya.

Resiko ini sudah dipikirkan matang-matang, tetapi tetap saja terselip ketakutan ketika Atik terlihat murka. Marwa berusaha menenangkan hati, menghadapi yang sudah terjadi. Ia kembali mengingat perkataan sahabatnya bahwa dirinya bukan melawan, melainkan membela diri.

"Ada apa, sih?" tanya Noto kepada istrinya.

Lelaki paruh baya itu menatap bergantian antara istri dan anak menantunya. Tadi ia sedang memberikan makan ikan setelah pulang bekerja.

Mendengar teriakan sang istri membuatnya berjalan setengah berlari. Takut sesuatu hal buruk terjadi.

"Ini, nih, menantu tak tahu diuntung. Masa masak segini untuk 40 orang. Benar-benar keterlaluan!" Atik meluapkan emosinya.

"Mana cukup hidangan segini buat mereka makan nanti! Apa kata teman-temanku jika mereka kehabisan makanan? Benar-benar menantu kurang ajar!"

Dadanya kembang kempis, amarahnya semakin memuncak. Ia tak siap jika harus jadi gunjingan teman-temannya. Marwa harus diberi pelajaran!

"Apa benar begitu, Marwa?" tanya Noto di balas anggukan Marwa.

"Berarti kamu tahu Ibu minta dimasakkam untuk 40 orang?" Marwa kembali mengangguk.

"Lalu, kenapa kamu hanya memasak setengahnya?"

Atik tersentak mendengar pertanyaan sang suami, jika saja Marwa membuka suara dan menceritakan yang sebenarnya tentu saja ia yang akan mendapat kemarahan sang suami. Atik memelototi menantunya. Mencoba mengintimidasi agar tidak bicara.

"Ibu memberikan uangnya kurang, Pak, hanya 300 ribu," ucap Marwa.

Atik semakin membelalak mendengar jawaban Marwa. Sungguh menantunya ini mencari keributan, tak memedulikan ancamannya. Sedangkan kedua anaknya, Pandu dam Fitri menggeleng kepala dengan kelakuan sang ibu. Mereka kembali ke kamar masing masing, sudah tahu akar permasalahannya. Tentu sang ibu yang pertama kali berulah.

"Eh, Kamu!"

Semakin memerah wajah Atik, ia kemudian melangkah cepat menghampiri menantunya lalu meraih rambut sang menantu dan menariknya kencang. Marwa yang kaget refleks menahan tangan Atik agar rambutnga tidak kembali ditarik.

Melihat hal itu Noto segera menghampiri istrinya dan melerai genggaman tangan Atik di rambut Marwa.

"Ibu, apa-apan seperti itu?" tanya Noto.

"Ini, nih, menantu kurang ajar. Bisa-bisanya dia fitnah saya," kesal Atik yang berusaha maju, tetapi ditahan suaminya.

Sedangkan Marwa masih diam tak banyak bicara, rambutnya yang berantakan dirapikan sekilas dan sekenanya. Ia bukan tak mau membela diri, tetapi ada bapak mertuanya yang tentu saja tak akan membiarkan sang istri menyakitinya.

Marwa paham betul, meskipun Noto belum sepenuhnya menerima kehadirannya, tetapi lelaki berambut putih itu masih bijak dalam bersikap dan menyelesaikan sebuah masalah.

"Kalau Ibu tidak salah, kenapa harus harus marah dan menyerang Marwa!" telak Noto yang membuat Atik gelagapan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status