Marwa menghentikan langkah sejenak, berdiri di depan sebuah gedung, mendongak dan memastikan tempat yang dituju sudah benar.
"Bismillah."
Kakinya terayun kembali dan tersenyum melihat Arum yang terlelap dalam buaian. Ia sudah menyiapkan beberapa camilan juga susu dan air putih untuk anaknya serta satu boneka untuk Arum bermain. Semoga Arum tidak rewel.
Pagi ini ia akan membuat rekening untuk melancarkan usaha onlinenya. Sebelumnya ia telah membaca dan bertanya kepada Sela seputar syarat dan cara pengajuannya. Ini
"Selamat pagi, Bu," sapa security.
"Pagi, Pak. Saya mau buka rekening."
"Silahkan ambil nomor dulu dan duduk di sebelah sana, menunggu dipanggil!"
"Iya, Pak. Terima kasih," ucapnya tersenyum dan melangkah ke tempat yang dituju, lalu duduk di sofa yang disediakan, menunggu antrian.
Sejenak, ia terpana melihat keadaan sekitarnya. Suasananya terasa nyaman untuk mereka yang bekerja di dalamnya. Melihat customer service yang sedang berbicara kepada seorang nasabah, membuatnya teringat akan keinginannya dulu. Bekerja di kantoran.
Rupanya, hidup harus memilih. Tak ingin membebankan ayahnya, tamat SMK ia memilih bekerja dan membantu membiayai sekolah sang adik. Biarlah, Ardha saja yang bersekolah tinggi, agar masa depan lelaki yang beda usia enam tahun di bawahnya itu bisa lebih baik. Lagipula, kelak tanggung jawabnya akan lebih besar ketika sudah menikah.
Awalnya, selama bekerja Marwa akan mengumpulkan uang untuk biaya kuliah dan melanjutkan pendidikannya, tetapi keasikan menerima uang setiap bulan membuat perempuan bermata bulat itu melupakan mimpinya. Sampai Galih datang dan meminta untuk menikah.
Ia menghela napas pelan, kedua sudut bibirnya yang tadi tertarik dengan wajah berseri, turun perlahan. Wajahnya terlihat suram. Ada sedikit penyesalan, ketika saat itu ia memutuskan berhenti bekerja.
Awalnya, Marwa hanya akan ingin mengabdikan diri sebagai istri dan dan ibu yang hanya di rumah saja. Sedangkan untuk ayah dan adiknya, ia akan mengumpulkan uang jajan yang diberikan Galih setiap bulan untuk keperluan pribadinya, di luar uang belanja.
Kenyataannya, uang jajan yang diberikan suaminya hanya diberikan Galih sampai tiga bulan usia pernikahan. Kata suaminya, uangnya mau ditabung untuk membeli rumah. Jadi, harus lebih berhemat.
Saat itu, Marwa mengajukan keberatan, karena terbayangkan olehnya tak bisa mengirim bulanan lagi kepada sang ayah. Namun, Galih yang tak suka diprotes, memasamkan muka dan membesarkan suara. Untuk pertama kalinya Marwa dibentak oleh Galih.
Ia terisak saat itu, suaminya telah berubah. Jika dari awal tahu keadaannya seperti ini tentu Marwa tak akan melepas pekerjaannya. Lagipula, kenapa Galih begitu mudah melupakan kesepakatan yang sudah dibicarakan sejak awal.
Padahal ia tak meminta suaminya memberikan jatah bulanan pada keluarganya, Marwa hanya meminta izin setengah uang jajannya akan ia berikan pada sang ayah. Saat itu Galih mendukung bahkan menambahi ketika berkunjung. Namun, kini suaminya itu serba membatasi.
Tidakkah Galih bisa berbicara terlebih dahulu, mendiskusikan yamg terbaik untuk masa depan keluarga kecil mereka tanpa menghancurkan rencana yang sudah tersusun oleh Marwa. Bukankah, langgengnya sebuah rumah tangga sebab lancarnya komunikasi pada pasangan?
Jika suami memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi, lambat laun bukankah akan menimbun kekesalan? Sebab, istri merasa tak dihargai dan tak dianggap keberadaannya. Kadang Marwa merasa dirinya bukanlah seorang istri melainkan seorang asisten rumah tangga, yang hanya harus menurut dengan keputusan yang sudah dibuat majikan dan mengikuti semua perintahnya.
Menelan kepahitan keputusan sepihak suaminya, ia mulai menyisihkan uang belanja untuk diberikan sekadarnya pada sang ayah. Keluarganya sendiri tak pernah menuntut Marwa untuk memberikan mereka bantuan, hanya saja ia tahu lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu masih menanggung beban cicilan pinjaman ketika alrmarhum ibunya sakit
Setelah setahun kemudian, keuangannya pun berubah lagi. Galih memotong uang belanja dengan alasan untuk membeli kebutuhan anak mereka yang baru lahir. Lagi-lagi Marwa berusaha bernegosiasi dengan suaminya, tetapi Galih tetap pada keputusannya. Hatinya bergemuruh, sedih bercampur luka.
Ia tak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusann soal keuangan. Sejauh mana tabungan untuk membeli rumah pun ia tak tahu. Kenapa harus jatah belanjanya yang berkurang, bukankah setiap tahun perusahaan tempat Galih bekerja mengalami kenaikan gaji? Kenapa tidak penambahan itu saja yang dialokasikan untuk membeli kebutuhan anaknya?
Bukannya Marwa tidak bersyukur, tetapi ia hanya meminta haknya sedikit. Ia sudah menerima jika tak diberi tambahan uang untuk jajan atau keperluan pribadinya. Namun, ketika uang belanja dikurangi, ia tak ada sumber lagi untuk menabung dan diberikan buat membantu sang ayah. Harapannya telah pupus. Salahkah ia sedikit membantu keluarganya?
"No 10!" Panggilan suara perempuan menyadarkan lamunan Marwa.
"Iya, Mbak," sahut Marwa sambil bangkit berdiri.
"Selamat siang, Ibu, ada yang bisa dibantu?"
"Saya mau buka rekening, Mbak."
"Sudah dibawa persyaratannya?"
"Sudah, ini, Mbak."
Marwa menyodorkan map berisi kartu keluarga dan KTP asli serta copyannya juga NPWP yang baru dibuatnya dua hari lalu.
"Baik, sekarang Ibu isi dulu formulir ini, ya!"
Marwa mengangguk dan mulai mengisi lembaran yang atasnya bertulisakan 'Formulir Rekening Dana Nasabah." Beruntung Arum masih terlelap sehingga ia lebih leluasa menulis.
Setelah melakukan serangkaian syarat dan ketentuan dalam membuka rekening baru, Marwa bernapas lega.
"Alhamdulillah," ucapnya ketika memegang buku tabungan beserta ATM BCA.
Setelah keluar dari Bank yang berada di sekitar Matraman itu ia berencana hendak ke pasar untuk membeli tiga potong dasternya yang sudah lusuh.
Setelah itu mampir ke warung bakso, yang tak jauh dari rumahnya. Saatnya ia memanjakan diri sekedar mengusir kepenatan dan kepedihan yang dialami. Inilah me time-nya. Sederhana tapi membuat bahagia.
Setelah memesan, Marwa memilih duduk paling belakang menghadap tembok, sedangkan anaknya didudukkan di sebelah.
"Bang, bakso dua, komplit," ujar seorang perempuan yang baru datang dan memilih duduk di belakang Marwa.
"Aku mau pesan ayam bakar sama oreg tempe udang ke Bu Atik, tapi katanya ga bisa."
Mendengar nama mertuanya disebut, Marwa tertegun.
"Kenapa ga bisa?"
"Katanya, sih, anaknya lagi sibuk. Jadi ga bisa bikin."
"Loh, emang yang bikin siapa?"
"Katanya, sih, si Gita."
Marwa semakin mengerutkan kening ketika mendengar nama kakak iparnya juga disebut. Berarti dugaannya benar 'Bu Atik' yang dimaksud mereka adalah mertuanya.
"Ya udah, pesan ke yang lain aja."
"Masalahnya, keluargaku cocok sama masakan anaknya Bu Atik. Apalagi oreg tempe udangnya. Beda, deh, dari yang lain. Makanya, jadi bingung mau pesan ke mana lagi?"
Kedua bibir Marwa melengkung mendengar pembicaraan kedua perempuan yang sepertinya teman ibu mertuanya. Hatinya melambung mendengar kejujuran kedua orang tersebut menilai masakan yang sebenarnya dibuat olehnya. Jadi, selama ini sang ibu mertua memanfaatkannya.
"Ya mau gimana lagi," ucap salah satu dari mereka.
"Lagian, Gita sibuk apaan, sih? Perasaan dia kerjanya di rumah aja?"
"Ya mana kutahu."
"Oh, ya, bisa jadi dia lagi sibuk belajar naik mobil."
"Wah, suamimya emang kerja dimana? Keren banget bisa beli mobil. Kalau udah mapan gitu kenapa masih jualan?"
"Eh, bukan suaminya yang belikan. Kemarin Bu Atik bilang, itu hadiah dari anaknya juga, siapa itu namanya? Yang cowok."
"Pandu?"
"Itu mah masih sekolah. Satu lagi."
"Oh, si Galih."
"Nah, itu."
Marwa membelalak dengan tubuh menegang mendengar pernyataan itu.
"Mas Galih membelikan Mbak Gita mobil!" batinnya dengan hati bergemuruh.
Terhina, itu yang dirasakan Marwa saat ini jika terbukti Galih membelikan kakaknya mobil. Bahkan, ia merasa terluka membayangkan suaminya membatasi setiap keuangan dengan alasan berhemat untuk membeli rumah. Nyatanya, justru suaminya dengan mudah mengeluarkan uang banyak untuk kakaknya. Perempuan yang matanya mulai berembun itu tidak masalah jika Galih memberikan hadiah atau membantu keluarganya, tetapi ia hanya berharap perlakuannya seimbang dan tidak membuat kesehariannya tercekik dengan jatah bulanan yang minim. "Ayo Marwa, kamu pasti bisa!" Semangatnya untuk diri sendiri. "Kamu bisa menghasilkan uang sendiri!" Gumamnya menyakinkan diri. "Kamu dan anakmu berhak bahagia, Marwa!" tekadnya. "Fokus ke depan, jangan pikirkan yang lain!" Hembusan napas dilepaskannya perlahan. Bukan saatnya untuk meratapi nasib, tetapi waktunya segera bangkit. Setelah menidurkan Arum di kamar, Marwa menghangatkan baso yang tadi dibawa pulang. Nafsu makannya menghilang ketika tadi di tukang baso ia
"Sial! Pada kemana, sih, orang-orang? Masa ga ada yang bisa nanganin problem di sana!" Galih memarahi supervisor yang berdiri kikuk di hadapannya.Beberapa klien memberikan komplen perihal jaringan internet mereka yang mati. Masalah yang terjadi secara bersamaan membuat beberapa karyawan di divisi network ke luar kantor untuk memeriksa keadaan di lapangan. "Semuanya pada keluar, Pak. Banyak yang mati juga." Jelas Ardi gugup."Coba telepon Joni, tanyain udah selesai belum? Kalau sudah suruh langsung ke Pantai Indah Kapuk. Ke rumah Pak Hariawan," titah Galih.Ardi yang masih gemetar langsung mengambil ponsel ketika mendapat tatapan tajam dari bosnya. Melakukan sesuai yang diperintahkan. Galih bekerja pada sebuah perusahaa swasta yang memberikan layanan jasa internet. Ia berada di divisi Network. Awalnya, ia bekerja sebagai karyawan yang mensupport masalah instalasi internet melalui komputer, membantu memperbaiki jaringan jika orang-orang di lapangan mendapat masalah.Kinerjanya yang b
"Maaf, Galih ga bisa Bu!" tegas Galik menolak permintaan sang ibu.Resah di hatinya semakin bertambah-tambah. Kemarin ia baru saja mengeluarkan uang banyak untuk membelikan ibunya mobil. Padahal ia pun sudah berusaha untuk menolak keinginan perempuan yang telah melahirkannya dengan sehalus dan selembut mungkin. Bukannya perhitungan, akan tetapi biaya mobil terlalu mahal dan akan menguras sebagian besar tabungannya. Jika dituruti, impiannya membeli rumah akan terundur lagi. Namun, ibunya mengancam dengan kelemahan yang ia miliki sehingga Galih memenuhi keinginan ibunya.Kini, sang Ibu meminta untuk mempekerjakan supir. Tentu saja itu masalah baru buatnya. Uang simpanannya telah berkurang banyak, dan kini ia harus mengeluarkan uang sejuta setiap bulan untuk menggaji orang yang diminta ibunya. Jika seperti ini, keinginan memiliki rumah sendiri akan sulit terwujud. Belum lagi, ia masih kesal mobil yang dengan berat hati dibelikannya itu dihadiahi kepada kakaknya. Sejak dulu ibunya tida
[Durhaka Kau, Marwa! Pergi keluar rumah tanpa izin suami!] Satu pesan terbaca yang dikirim Galih. Marwa menatap nanar ponsel yang masih menyala. Sesak di hatinya semakin bertambah. Kesedihan berbalut luka ditambah rasa bersalah yang menggelayut di dada. Suaminya sangat tidak peka. Pukul dua belas malam. Suasana di rumah duka tidak terlalu ramai, beberapa tetangga memutuskan pulang. Pagi nanti mereka akan kembali. Tinggallah hanya keluarga yang menunggui di rumah tiga petak yang dihuni ayah dan adiknya. Marwa duduk di samping pembaringan sang Ayah. Tubuhnya tersentak ketika teringat belum mengabari sang suami. Segera, ia mengambil ponsel, ingin mengabarkan tentang ayahnya yang telah berpulang. Namun, sebuah pesan dengan sebaris kata itu membuat tubuhnya menegang. Kenapa pula Galih harus marah? Padahal suaminya yang mengingkari janji. Ia pun sadar telah melakukan kesalahan. Setidaknya, cobalah Galih bertanya, bukan menghakimi. Akhirnya, Marwa mengabaikan pesan itu. Tak dibalas dan mem
Seminggu berlalu setelah kepergian sang ayah, Marwa masih berada di rumah orangtuanya. Selain untuk mengurusi acara tahlilan di tujuh hari pertama, ia juga ingin menenangkan diri."Marwa, besok pulang aje, ntar si Ardha biar Mpo yang liat-liatin. Kasihan laki Lu, ga enak juga, kan, kelamaan di sini," ujar Mpo Lela menghampiri Marwa yang masih terduduk di ruang tamu.Tadi mereka baru melaksanakam sedekah tujuh hari untuk ayah Marwa. Banyak yang hadir, mulai dari tetangga, rekan kerja ayahnya, teman-teman Ardha juga bebrapa teman Marwa. Noto, mertuanya sudah menghubungi dan meminta maaf tidak bisa hadir karena harus bertemu klien, tetapi digantikan oleh Pandu dan Fitri. Sedangkan Atik, tentu saja perempuan itu tidak akan datang jika tidak ada yang memaksa. Marwa tak memikirkannya.Suaminya sendiri tidak bisa hadir, katanya sedang ada pekerjaan mendadak. Entahlah, itu memang benar atau hanya alasan karena masih marah dengan sikapnya ketika di dapur itu."Ga tahulah, Mpok. Marwa masih pin
Sebuah bangunan berwarna cokelat tua dengan desain bernuansa alam menjadi pilihan Vika untuk menemui seseorang. Bukan tanpa alasan ia memilih cafe itu. Kenangan di sana bersama mantan kekasihnya dulu akan ia jadikan saksi sebagai upaya untuk merebut kembali hati lelakinya.Perempuan muda dengan dress selutut berwarna pink muda melangkah menuju tempat yang sudah dipesannya. Vika memilih tempat outdoor agar lebih leluasa berbicara, terlebih tempat itu membuatnya terkenang akan kebersamaannya dengan Galih."Kenapa di luar, sih!" protes Vika kala itu ketika Galih memilih duduk di tempat outdoor."Suka aja!" Sahut Galih"Aku kurang nyaman. Apalagi dekat kolam ikan," sebal Vika. Wajahnya kini telah bertekuk sempurna. Sejak awal ia mendambakan suasana yang romantis, di ruang tertutup dengan meja dipenuhi makanan ditambah lilin sebagai penerangnya. Tapi, kenyataannya Galih memilih Cafe dengan konsep terbuka. Sungguh sangat tidak romantis.Galih tersenyum simpul. Ia lupa memberitahu konsep te
Mencintai adalah kebahagiaan dicintai adalah anugerah. Hal inilah yang dirasakan Marwa saat ini. Perempuan bermata bulat itu menatap sang suami yang sedang serius memperhatikan laptop, melihat barang-barang yang ada dalam toko online miliknya."Em, Bagaimana kalau kamu menjual makanan yang diproduksi sendiri. Istri Mas, kan, jago masak," usul Galih."Boleh, juga. Kemarin aku juga sempat kepikiran seperti itu, cuma takut Mas Galih tidak mengizinkan," jawab Marwa."Tentu boleh, dong, hanya saja nanti Mas carikan orang untuk membantumu, supaya ga terlalu repot.""Oke, siap.""Kira-kira mau jual apa?""Untuk awalan, sepertinya makanan yang bisa tahan lama, Mas. Seperti kentang mustofa, abon, kering teri medan, dendeng dan beberapa lagi.""Owh oke, nanti Mas bantu memasarkan di kantor juga.""Jangan, Mas!""Kenapa?""Nanti Mas malu. Masa Manager jualan makanan?""Hahaha, bukan Mas yang jualan langsung. Tapi nanti dititip di koperasi.""Owalah, kirain."Keduanya kembali menelusuri beberapa
Marwa merutuki dirinya yang telah melakukan hal yang ceroboh. Kenapa pula ia harus merekam kelakuan iparnya, ditambah lagi memberitahukan kepada Dito seolah mengancam akan diberitahukan pada Gita. Ia juga menyesali kenapa harus memanggil nama ipar lelakinya itu."Semoga saja ga apa-apa," gumam Marwa kemudian memghembuskan napas agar lebih tenang dan mulai mengambil barang yang ia inginkan. Namun, langkahnya terhenti ketika membalikkaan badan seorang perempuan kurang bahan tengah menghadangnya."Lo, kenal Dito?" tanya perempuan yang tadi bersama kakak iparnya.Marwa bergeming sambil menatap heran."Lo budeg, ya?" maki perempuan itu.Keduaa mata Marwa membulat kemudian bertekuk tanda tidak suka. Ia memutar bola matanya. Menganggap perempuan di hadapan tak perlu diladeni. Marwa memilih untuk pergi dan tak menanggapi. Namun, lagi-lagi ia dihadang. Satu tangan perempuan itu menggaet lengan Marwa."Selain budeg ternyata Lo kurang ajar juga, ya. Diajak ngomong bukannya nyahut malah mau perg