Share

Bab 6

Marwa menghentikan langkah sejenak, berdiri di depan sebuah gedung, mendongak dan memastikan tempat yang dituju sudah benar.

"Bismillah."

Kakinya terayun kembali dan tersenyum melihat Arum yang terlelap dalam buaian. Ia sudah menyiapkan beberapa camilan juga susu dan air putih untuk anaknya serta satu boneka untuk Arum bermain. Semoga Arum tidak rewel.

Pagi ini ia akan membuat rekening untuk melancarkan usaha onlinenya. Sebelumnya ia telah membaca dan bertanya kepada Sela seputar syarat dan cara pengajuannya. Ini

"Selamat pagi, Bu," sapa security.

"Pagi, Pak. Saya mau buka rekening."

"Silahkan ambil nomor dulu dan duduk di sebelah sana, menunggu dipanggil!"

"Iya, Pak. Terima kasih," ucapnya tersenyum dan melangkah ke tempat yang dituju, lalu duduk di sofa yang disediakan, menunggu antrian.

Sejenak, ia terpana melihat keadaan sekitarnya. Suasananya terasa nyaman untuk mereka yang bekerja di dalamnya. Melihat customer service yang sedang berbicara kepada seorang nasabah, membuatnya teringat akan keinginannya dulu. Bekerja di kantoran.

Rupanya, hidup harus memilih. Tak ingin membebankan ayahnya, tamat SMK ia memilih bekerja dan membantu membiayai sekolah sang adik. Biarlah, Ardha saja yang bersekolah tinggi, agar masa depan lelaki yang beda usia enam tahun di bawahnya itu bisa lebih baik. Lagipula, kelak tanggung jawabnya akan lebih besar ketika sudah menikah.

Awalnya, selama bekerja Marwa akan mengumpulkan uang untuk biaya kuliah dan melanjutkan pendidikannya, tetapi keasikan menerima uang setiap bulan membuat perempuan bermata bulat itu melupakan mimpinya. Sampai Galih datang dan meminta untuk menikah.

Ia menghela napas pelan, kedua sudut bibirnya yang tadi tertarik dengan wajah berseri, turun perlahan. Wajahnya terlihat suram. Ada sedikit penyesalan, ketika saat itu ia memutuskan berhenti bekerja. 

Awalnya, Marwa hanya akan ingin mengabdikan diri sebagai istri dan dan ibu yang hanya di rumah saja. Sedangkan untuk ayah dan adiknya, ia akan mengumpulkan uang jajan yang diberikan Galih setiap bulan untuk keperluan pribadinya, di luar uang belanja. 

Kenyataannya, uang jajan yang diberikan suaminya hanya diberikan Galih sampai tiga bulan usia pernikahan. Kata suaminya, uangnya mau ditabung untuk membeli rumah. Jadi, harus lebih berhemat.

Saat itu, Marwa mengajukan keberatan, karena terbayangkan olehnya tak bisa mengirim bulanan lagi kepada sang ayah. Namun, Galih yang tak suka diprotes, memasamkan muka dan membesarkan suara. Untuk pertama kalinya Marwa dibentak oleh Galih. 

Ia terisak saat itu, suaminya telah berubah. Jika dari awal tahu keadaannya seperti ini tentu Marwa tak akan melepas pekerjaannya. Lagipula, kenapa Galih begitu mudah melupakan kesepakatan yang sudah dibicarakan sejak awal. 

Padahal ia tak meminta suaminya memberikan jatah bulanan pada keluarganya, Marwa hanya meminta izin setengah uang jajannya akan ia berikan pada sang ayah. Saat itu Galih mendukung bahkan menambahi ketika berkunjung. Namun, kini suaminya itu serba membatasi.

Tidakkah Galih bisa berbicara terlebih dahulu, mendiskusikan yamg terbaik untuk masa depan keluarga kecil mereka tanpa menghancurkan rencana yang sudah tersusun oleh Marwa. Bukankah, langgengnya sebuah rumah tangga sebab lancarnya komunikasi pada pasangan? 

Jika suami memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi, lambat laun bukankah akan menimbun kekesalan? Sebab, istri merasa tak dihargai dan tak dianggap keberadaannya. Kadang Marwa merasa dirinya bukanlah seorang istri melainkan seorang asisten rumah tangga, yang hanya harus menurut dengan keputusan yang sudah dibuat majikan dan mengikuti semua perintahnya.

Menelan kepahitan keputusan sepihak suaminya, ia mulai menyisihkan uang belanja untuk diberikan sekadarnya pada sang ayah. Keluarganya sendiri tak pernah menuntut Marwa untuk memberikan mereka bantuan, hanya saja ia tahu lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu masih menanggung beban cicilan pinjaman ketika alrmarhum ibunya sakit 

Setelah setahun kemudian, keuangannya pun berubah lagi. Galih memotong uang belanja dengan alasan untuk membeli kebutuhan anak mereka yang baru lahir. Lagi-lagi Marwa berusaha bernegosiasi dengan suaminya, tetapi Galih tetap pada keputusannya. Hatinya bergemuruh, sedih bercampur luka.

Ia tak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusann soal keuangan. Sejauh mana tabungan untuk membeli rumah pun ia tak tahu. Kenapa harus jatah belanjanya yang berkurang, bukankah setiap tahun perusahaan tempat Galih bekerja mengalami kenaikan gaji? Kenapa tidak penambahan itu saja yang dialokasikan untuk membeli kebutuhan anaknya?

Bukannya Marwa tidak bersyukur, tetapi ia hanya meminta haknya sedikit. Ia sudah menerima jika tak diberi tambahan uang untuk jajan atau keperluan pribadinya. Namun, ketika uang belanja dikurangi, ia tak ada sumber lagi untuk menabung dan diberikan buat membantu sang ayah. Harapannya telah pupus. Salahkah ia sedikit membantu keluarganya?

"No 10!" Panggilan suara perempuan menyadarkan lamunan Marwa.

"Iya, Mbak," sahut Marwa sambil bangkit berdiri.

"Selamat siang, Ibu, ada yang bisa dibantu?"

"Saya mau buka rekening, Mbak."

"Sudah dibawa persyaratannya?"

"Sudah, ini, Mbak."

Marwa menyodorkan map berisi kartu keluarga dan KTP asli serta copyannya juga NPWP yang baru dibuatnya dua hari lalu. 

"Baik, sekarang Ibu isi dulu formulir ini, ya!" 

Marwa mengangguk dan mulai mengisi lembaran yang atasnya bertulisakan 'Formulir Rekening Dana Nasabah." Beruntung Arum masih terlelap sehingga ia lebih leluasa menulis.

Setelah melakukan serangkaian syarat dan ketentuan dalam membuka rekening baru, Marwa bernapas lega.

"Alhamdulillah," ucapnya ketika memegang buku tabungan beserta ATM BCA.

Setelah keluar dari Bank yang berada di sekitar Matraman itu ia berencana hendak ke pasar untuk membeli tiga potong dasternya yang sudah lusuh. 

Setelah itu mampir ke warung bakso, yang tak jauh dari rumahnya. Saatnya ia memanjakan diri sekedar mengusir kepenatan dan kepedihan yang dialami. Inilah me time-nya. Sederhana tapi membuat bahagia.

Setelah memesan, Marwa memilih duduk paling belakang menghadap tembok, sedangkan anaknya didudukkan di sebelah.

"Bang, bakso dua, komplit," ujar seorang perempuan yang baru datang dan memilih duduk di belakang Marwa. 

"Aku mau pesan ayam bakar sama oreg tempe udang ke Bu Atik, tapi katanya ga bisa."

Mendengar nama mertuanya disebut, Marwa tertegun. 

"Kenapa ga bisa?"

"Katanya, sih, anaknya lagi sibuk. Jadi ga bisa bikin."

"Loh, emang yang bikin siapa?"

"Katanya, sih, si Gita."

Marwa semakin mengerutkan kening ketika mendengar nama kakak iparnya juga disebut. Berarti dugaannya benar 'Bu Atik' yang dimaksud mereka adalah mertuanya.

"Ya udah, pesan ke yang lain aja."

"Masalahnya, keluargaku cocok sama masakan anaknya Bu Atik. Apalagi oreg tempe udangnya. Beda, deh, dari yang lain. Makanya, jadi bingung mau pesan ke mana lagi?"

Kedua bibir Marwa melengkung mendengar pembicaraan kedua perempuan yang sepertinya teman ibu mertuanya. Hatinya melambung mendengar kejujuran kedua orang tersebut menilai masakan yang sebenarnya dibuat olehnya. Jadi, selama ini sang ibu mertua memanfaatkannya. 

"Ya mau gimana lagi," ucap salah satu dari mereka.

"Lagian, Gita sibuk apaan, sih? Perasaan dia kerjanya di rumah aja?"

"Ya mana kutahu."

"Oh, ya, bisa jadi dia lagi sibuk belajar naik mobil." 

"Wah, suamimya emang kerja dimana? Keren banget bisa beli mobil. Kalau udah mapan gitu kenapa masih jualan?"

"Eh, bukan suaminya yang belikan. Kemarin Bu Atik bilang, itu hadiah dari anaknya juga, siapa itu namanya? Yang cowok."

"Pandu?"

"Itu mah masih sekolah. Satu lagi."

"Oh, si Galih."

"Nah, itu."

Marwa membelalak dengan tubuh menegang mendengar pernyataan itu.

"Mas Galih membelikan Mbak Gita mobil!" batinnya dengan hati bergemuruh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status