Share

Bab 3

Seulas senyum terukir di wajah Marwa melihat anaknya yang tertidur lelap. Panas tubuh Arum telah turun, pun terlihat lebih segar, tidak pucat seperti pagi tadi.

Mata bulatnya mengarah ke sebuah jam yang diletakkan di atas nakas. Pukul dua belas. Wajahnya menegang, sudah waktunya makan siang. Sang suami akan marah jika makanan belum tersaji, apalagi ada mertuanya, bisa dobel ia diomeli.

Gegas Marwa meletakkan anaknya di kasur dan memberi penjagaan dengan beberapa bantal di pinggir ranjang, melangkah keluar kamar dan berjalan perlahan menuju ruang tamu, hendak bertanya mau dibelikan lauk apa untuk makan siang. Saat ini, ia belum sempat memasak.

Langkahnya terhenti tatkala sayup terdengar pembicaraan sang mertua dengan suaminya. Ia mundur kembali dan bersembunyi di balik tembok pemisah antara kamar dan ruang tamu.

"Penyakitan?" lirih Marwa.

Ada perasaan tidak suka ketika mendengar ibu mertuanya mengatakan tak ingin cucu-cucunya nanti penyakitan.

"Apa maksudnya? Apakah ibu menganggap setiap anak yang kejang akan menjadi penyakitan atau dikira terkena penyakit epilepsi?" gumamnya.

Marwa menggeleng dengan wajah heran. Kok, bisa-bisanya berpikiran seperti itu. Tidak semua anak yang memgalami kejang itu berarti terkena epilepsi. Lagipula dulu, kakaknya memang sering mengalami kejang, tetapi sesudahnya terlihat sehat dan tumbuh berkembang seperti anak pada umumnya. Hanya musibah terjadi di saat berusia delapan tahun, sang kakak meninggal karena tenggelam, terpleset ketika sedang bermain di pinggir danau.

"Astagfirulloh!"

Marwa membulatkan mata dengan mulut ternganga mendengar ucapan perempuan yang sedang bersama suaminya. Jadi selama ini ibu mertuanya yang menyuruh Galih membatasi keuangan. Terlalu!

"Jangan kencang-kencang, Bu! Nanti Marwa dengar!"

Suaminya berbisik kepada ibunya, tetapi masih terdengar oleh Marwa yang sedang syok di balik tembok. Ia tahu sang ibu mertua kurang suka dengan kehadirannya di keluarga mereka, tetapi tidak terpikirkan sampai mempengaruhi begitu rupa.

Ternyata, perlakuan suaminya sebab perintah sang ibu dan itu sangat mencekik kesaharian keluarga kecil mereka.

"Ga mungkin, palingan juga ia ketiduran. Dasar pemalas! Udah jam segini belum ada makanan apapun!"

"Arum, kan, lagi sakit, Bu. Jadi, Marwa belum sempat masak."

"Halah, anak dijadikan alasan. Ibu dulu bisa, kok, menghandle semua."

"Ya udah, nanti biar Galih aja yang belikan di warung Mpo Nani."

"Ga usah! Kamu itu udah dibilangin juga. Nyiapin makanan itu urusan perempuan! Kamu tugasnya cari nafkah! Titik. Jangan mau dijadikan babu di rumah sendiri!"

Marwa melongo mendengar ucapan perempuan yang sedang mendoktrin anaknya. Masa membantu istri dibilang jadi babu. Ia menghela napas, tertunduk lesu. Ibu mertuannya bagai duri dalam daging di rumah tangganya. Pantas saja sikap suaminya berubah setelah menikah. Namun, Marwa sadar ia harus kuat, demi anaknya.

Tubuh tinggi semampainya ditegakkan, kemudian sekali lagi menghembuskan napas menenangkan diri yang sempat tersulut emosi ketika mendengar untaian kalimat tajam mengenai dirinya. Setidaknya, Marwa merasa lebih lega ketika sang suami terdengar membelanya. Hal yang jarang sekali dilakukan. Entah apa yang sedang merasuki hati suaminya. Namun, hal itu membuat hatinya berbunga.

Ia kemudian melangkah, berpura-pura baru datang dan berbaur dalam obrolan menanyakan menu makan siang yang diinginkan.

*****

"Kamu itu harus melawan, Marwa!" saran Sela yang terlihat gemas dengan sahabatnya yang terlalu pasrah.

Ia datang untuk menjenguk Arum setelah mendengar insiden yang terjadi tadi pagi.

"Aku tahu melawan suami itu dosa! Tapi, kan, suamimu sendiri dzolim sama kamu! Apalagi ternyata dia kek boneka. Di atur-atur ibunya mau aja," lanjutnya.

"Imam macam apa kaya gitu," sungutnya lagi.

Sela menghenyakkan tubuhnya kembali di kursi teras depan. Tadi, mendengar sahabatmya menceritakan mengenai mertua dan suaminya membuat ia geram dan refleks berdiri.

Ingin rasanya perempuan yang kini tinggal di kota itu melabrak Galih, sayangnya lelaki yang merupakan teman main kecilnya dulu sedang pergi mengantar pulang sang ibu. Namun, kewarasan meredam niatnya. Karena akan menimbulkan masalah baru bagi Marwa. Kini, dia hanya bisa menguatkan sahabat yang sudah dianggap sebagai adik sendiri. Berbagi pengalaman hidupnya.

"Jangan seperti aku Marwa!"

Tangan lentiknya mengambil sebuah benda berwarna putih berukuran panjang kecil dari sebuah kotak, kemudjan ia menaruhnya dalam himpitan mulut. Lihai satu tangannya mengambil pemantik dan menyalakannya kemudian membakar rokok yang sudah bertengger di mulut.

Begitulah Sela jika emosi, hawanya terasa panas dan sulit berpikir dengan bijak. Apalagi melihat orang yang sangat peduli dengannya dulu tengah mengalami hal yang pernah dialaminya. Diperlakukan semena mena oleh suami dan keluarganya.

"Lihat! Aku seperti ini karena mereka!" ujar Sela.

Wajahnya yang cantik oleh polesan make up tebal, rambut pirang terurai indah, pakaian yang ketat memperlihatkan beberapa bagian lekuk tubuhnya, bahkan ia menggunakan baju yang sedikit terbuka dengan rok yang panjangnnya jauh di atas lutut. Belum lagi ia merokok. Lengkap sudah image buruk melekat dalam dirinya.

Penampilan seperti itu terpaksa dilakukan Sela demi bertahan hidup dengan kedua anaknya yang masih kecil. Mantan suaminya tak memberikan apapun pasca mengusir sebab kehadiran orang ketiga di rumah tangganya.

Tak peduli tudingan orang yang mengatakan ia perempuan murahan bahkan diduga menjajakan tubuhnya demi memenuhi kebutuhan. Sela tetap menjalankan pekarjaan itu. Saat ini, hanya itu yang bisa dilakukan karena tak memiliki keahlian apapun.

Lulusan SD membuatnya sulit diterima bekerja di manapun, belum lagi label janda yang melekat, membuat sesama perempuan takut menerimanya walaupun bekerja hanya sebagai pembantu. Khawatir para suaminya tergoda karena parasnya. Namun, kecantikan yang melekat di wajahnya juga membawa keberuntungan tersendiri. Seorang pengusaha kaya menjadikannya sebagai wanita simpanan.

"Setidaknya Marwa, jangan diam saja ketika kamu dihina atau dituduh yang bukan-bukan! Kamu harus membuat pembelaan jika dirasa tuduhan itu tak benar. Jadi, bukan melawan hanya menjelaskan keadaan yang sebenarnya."

Kembali perempuan yang saat ini lebih tenang itu mengisap rokok. Kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya membuat Marwa terbatuk-batuk.

"Eh, Maaf." Sela mengibas ngibas asap di udara agar segera berlalu.

"Ga apa,Sel," sahut Marwa, "apa aku bisa?"

Marwa menerawang kehidupan tiga tahun ini, ia memang banyak mengalah, karena tak ingin menjadi istri durhaka, juga demi mempertahankan rumah tangganya.

Bertahun-tahun mendapat hinaan bahkan ucapan tajam dari suami dan ibu mertua membuat Marwa jadi lebih pendiam dan takut salah juga tertekan. Hatinya sakit, tapi hanya bisa menangis dalam diam.

"Kamu pasti bisa! Kamu harus berani dan ceria seperti dulu! Tunjukkan dirimu yang sebenarnya. Bukan untuk melawan, tapi pembelaan!" tegas Sela.

"Satu hal lagi Marwa, mandirilah secara finansial!"

Sela meletakkan dua gepok lembaran berwarna merah di atas meja. Marwa membelalak melihat ke tumpukan uang, kemudian beralih menatap sahabatnya hendak berkata-kata. Namun, Sela berbicara lebih dulu.

"Pakailah! Ini ada dua juta. Cobalah memulai usaha secara online!" saran Sela.

"Satu hal lagi, tulisanmu bagus. Cerbung yang kamu buat sangat menarik. Cobalah menulis di platform menulis yang bisa menghasilkan uang. Siapa tahu ada peruntungan di sana."

Sela tersenyum sekilas melihat Marwa yang berkaca-kaca. Sudut matanya pun sudah berembun, tetapi ia tahan mencoba tegar. Seorang Sela pantang menangis di hadapan orang lain, meskipun sahabatnya sendiri.

"Makasih, Sela," balas Marwa.

Sela mengangguk kemudian berdiri hendak pamit dan melangkah keluar menuju mobilnya diikuti Marwa yang mengantar.

"Ingat Marwa! Kamu harus sukses, supaya uangku segera balik hahaha ...," canda Sela yang sudah berada di belakang setir mobil.

Marwa pun tersenyum lebar di balik kaca mobil yang terbuka setengah. Ada harapan baru dalam hidupnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status