Share

Kesuksesan Istri Berdaster
Kesuksesan Istri Berdaster
Penulis: Maya Har

Bab 1

"Mas, tolong pegangin Arum sebentar, ya. Aku mau mandi," ucap Marwa sambil menyerahkan bayi berusia dua tahun kepada suaminya. Marwa hendak menitipkan anaknya karena dirinya ingin melakukan hal lain.

"Apaan, sih! Suami baru pulang kerja, kok disuruh jaga anak!" ketus Galih tak memedulikan tubuh anak yang diserahkan.

"Arum demam, Mas, jadi rewel. Ga mau ditinggal sendirian. Tadi pun aku masak sama bersihkan rumah sambil gendong. Cuma kalau mandi, kan, ga mungkin dibawa," jelas perempuan berusia dua puluh empat tahun itu.

"Alasan aja, Kamu! Kan, bisa waktu Arum tidur terus kamu mandi," kesal Galih sambil melihat penampilan istrinya yang terlihat kucel. Selalu saja seperti itu ketika ia pulang kerja, menggunakan daster lusuh yang menurutnya tak enak dipandang mata, terlebih dalam keadaan belum mandi, membuat lengkap sudah pencemaran matanya. "Lagian kerjaanmu apa, sih, sampe mandi aja ga sempat," sungutnya lagi.

"Arum maunya digendong, Mas. Kalau ditaruh di ranjang, dia bakalan kebangun lagi. Mungkin lagi ngerasain ga enak di badannya." Marwa mencoba menjelaskan.

Tadinya ia berharap suaminya mau memegangi anak mereka sebentar saja, hanya untuk mandi. Bahkan ia pun sabar menunggu Galih untuk makan terlebih dahulu dan membersihkan diri. Namun, kenyataannya reaksinya selalu sama, menolak membantu. 

Sebenarnya ia pun agak malas meminta bantuan sang suami, karena kejadian seperti ini pernah terjadi. Waktu itu ia meminta tolong untuk bergantian menjaga Arum yang tidak mau tidur semalaman. Marwa hanya meminta waktu sejam untuk terlelap. Namun, sang suami justru memarahinya. Dibilang istri tidak pengertian karena suaminya besok akan bekerja malah disuruh begadang.

Padahal Marwa hanya meminta waktu sebentar untuk tidur karena tubuhnya lelah dan mengantuk, tetapi suaminya selalu keliatan tak suka jika diminta berbagi beban. Galih pernah berkata jika tugasnya mencari nafkah, sedangkan Marwa mengurus rumah dan mengasuh anak. 

Ah, andai Galih mau mendengar ceramah Ustaz Adi Hidayat, bahwa mengurus rumah bukan pekerjaam istri itu melainkan tugas sang suami, hanya saja jika istrinya tak keberatan atau kesulitan bisa menjadi ladang pahala. Namun, harus ada pengertian jika sang istri tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah, sang suami membantunya agar terasa lebih ringan atau mempekerjakan seseorang.

Beberapa kali selalu ditolak ketika meminta bantuan terkait apapun membuat perempuan berkulit putih itu memilih ntuk mengerjakan semuanya sendiri. Mengurangj perdebatan yang berakhir pertengkaran. Namun, kali ini ia sangat terpaksa karena tubuh yang lengket belum mandi sejak pagj. 

"Udahlah, aku mau nonton tivi. Kamu mandi aja kalau Arum dah tidur," ucap Galih sambil berlalu menuju ruang depan.

Marwa menghela napas pelan, meredam kecewa atas sikap suaminya. Selalu seperti ini. Ia merasa jika rumah tangganya tak seindah yang dibayangkan. Suami istri yang saling melengkapi, menopang ketika duka melanda, saling membantu dikala kesulitan, tertawa bersama dikala suka, tapi nyatanya ia tak merasakan hal itu, merasa seperti hidup sendiri.

Ketika suaminya pulang kerja, ia pun mendambakan bisa mengobrol bersama mengisahkan kejadian yang dialami seharian. Tetapi, suaminya tampak tak peduli bahkan lebih tertarik melihat acara tivi ketika Marwa mulai berceloteh kesehariannya. 

Beberapa kali tak ditanggapi, akhirnya Marwa pun memilih hanya menemani saja ketika menonton acara di layar datar itu. Mereka hanya akan mengobrol jika suaminya yang menghendaki seperti cerita mengenai kesulitan atau bebannya di luar juga hal lainnya. Ia akan selalu mendengarkan dengan seksama dan mengomentari menurut pendapatnya. Sayangnya suaminya tak bisa melakukan hal yang sama.

Hatinya terasa kosong. Kata orang ketika sudah menikah, setiap ada masalah akan menjadi terasa lebih ringan sebab ada dua kepala yang menyelesaikan. Kenyataannya, ia justru semakin merasakan berat, karena ketika ada masalah ia tak dapat menyelesaikan sendiri tanpa izin suami. 

Meminta tolong kepada suaminya pun, tetapi kurang ditanggapi bahkan kadang tak peduli. Seperti saat ini, hal sepele tapi sangat melukai hati. Melihat suaminya yang sudah terlena dengan acara televisi, Marwa memutuskan ke kamar mencoba menidurkan anaknya.

"Loh, Dek, kok belum ganti baju udah tiduran di kasur?" Galih menepuk pundak istrinya yang terlelap tidur di samping anak mereka. Hampir dua jam melihat melihat tayangan televisi, matanya mulai mengantuk dan beranjak ke kamar setelah mematikan televisi.

"Eh, maaf, Mas, aku ketiduran," jawab Marwa sambil menggerakan tubuhnya untuk duduk.

"Kamu gimana, sih, masih bau keringat udah tiduran di kasur. Kan, nanti jadi bau kasurnya," omel Galih sambil menyuruh istrinya segera turun dari ranjang. "Mandi sana! Mumpung Arum tidur!" perintahnya dengan wajah tak suka. "Suami pulang kerja bukannya dandan yang cantik, ini masih pakai dasteran mana bau bawang pula," sungutnya lagi membuat perempuan yang telah keluar kamar menitikkan air mata.

Setelah masuk kamar mandi dan menutup pintu, tubuhnya luruh dan menangis tertahan. Hatinya pedih, susah payah menekan rasa sakit, tetapi akhirnya tumpah ruah. Suaminyabseolah tak peka dengan keadaannya malah menambah beban luka yang semakin menganga dengan sikap dan perkataannya. 

Tidakkah lelaki yang dicintai itu mengerti kondisinya saat ini. Bukankah tadi ia sudah mengatakan jika anaknya sakit? Jangankan untuk mandi, sekedar makan pun Marwa mengalami kesulitan. Arum hanya mau digendong, diajak duduk pun ia akan menangis. Alhasil membuatnya makan sambil berdiri dan sambil mengayun-ayun dalam buaian.

Kalaupun sudah terlelap anak perempuannya itu tak mau diletakkan di ranjang, ia akan menangis kejer ketika tubuhnya mendarat di kasur. Entahlah, itu tak seperti biasanya. Mungkin sakit yang dirasakan lebih nyaman jika berada di gendongan sang ibu. 

Seharian ini pun, Marwa mencuci baju dan piring, memasak, menyapu dan mengepel juga menjemur sambil menggedong Marwa. Betapa sulitnya ia melakukan itu. Andai saja ia hanya fokus untuk merawat anaknya mungkin tak akan selelah seperti yang dirasakan saat ini. Sayangnya, mengingat kemarahan sang suami jika rumah berantakan membuat Marwa memaksa mengerjakan semua. 

Ia tahu Galih juga tidak suka jika ia kelihatan kucel dan bau keringat ketika menyambutnya pulang. Namun, hari ini kondisinya memang sulit. Jangankan untuk mandi, merebahkan badan saja tak bisa. 

Bukannya tak mau mau menyenangkan mata dengan tampilan diri ketika suaminya pulang bekerja dengan kelelahan yang menggelayut raga bahkan mungkin jiwa. 

Hanya saja, sejak memiliki anak, ia sering merasa kewalahan. Mengerjakan semua pekerjaan rumah sambil mengasuh, membuatnya tak punya waktu untuk berdandan. Pikirnya yang penting tubuhnya bersih dan tak bau keringat.

Bisa saja ia mempercantik diri, hanya saja itu artinya memakai uang untuk kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan uang yang diberikan suaminya hanya cukup untuk makan dan juga keperluan sang anak. Tentu saja Marwa lebih mengutamakan kebutuhan keluarga dan anak semata wayangnya. 

Suatu kali, pernah ia meminta dibelikan skincare untuk merawat wajah dan tubuhnya, tetapi suaminya mengatakan menyukainya apa adanya, lebih alami. Namun, belakangan ini Galih sering mempermasalahkan penampilannya.

"Marwa cepat mandinya! Arum nangis, nih!" teriak Galih. Marwa yang sedang menumpahkan asa terkesiap mendengar panggilan suaminya. Ia lalu bergegas membersihkan diri dan mengganti baju. Tak sempat mandi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status