Share

5. Pertemuan Pertama

"Enak ya?" Tanya Diva memandang Alara yang menjilat es krim seraya memejamkan matanya.

Tanpa menatap Bundanya, Alara mengangguk. "Heum!"

Diva tersenyum kecil, hatinya senang melihat binar bahagia terpancar kembali di mata Alara setelah pertengkaran dengan Yoyo beberapa saat lalu. Satu sisi, Diva khawatir dengan keadaan Yoyo yang tadi bersama Bu Nora. Disisi lain, Diva tidak bisa mengabaikan putrinya, Alara.

Ting!

Dentingan ponsel disusul getaran panjang membuat Diva tersentak. Membalikkan layar ponsel diatas meja, Diva melihat suaminya menelpon. Segera Diva menjawab panggilan dari Ghibran.

"Halo Mas, assalamualaikum."

"Wa'alaikummussalam, kamu dimana?" Tanya Ghibran tanpa basa basi.

"Ini Diva lagi diluar Mas, sama Al--"

"Pulang." Potong Ghibran sebelum Diva menyelesaikan kalimatnya.

"Mas, tapi Diva,--"

"Saya tunggu kamu dirumah."

Tanpa menunggu, Ghibran mematikan sambungan telepon. Membuat Diva lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Baru sehari mereka menjadi suami istri, Diva dibuat jengkel oleh sikap semena-mena Ghibran. Diva tak menduga, jika sikap cuek dan ketus Ghibran masih saja terbawa hingga mereka sudah menjadi suami istri, bahkan mereka semalam sudah--haahhh sudahlah.

Diva menengok Alara, putri kecilnya itu masih sibuk menjilat es krim. Di elusnya kepala Alara penuh kasih sayang, Diva kemudian berkata.

"Setelah ini, kita pulang ya."

Alara mendongak, "Papa nyuruh kita pulang ya, Bunda?"

Mau tak mau, Diva mengangguk. "Iya."

Tak ingin membuat Papanya menunggu, Alara segera bangkit. Membawa tas kresek kecil di genggaman tangan.

"Yuk Bunda, kita pulang. Kasihan Papa pasti sudah menunggu dirumah karena kita beli bahannya terlalu lama." Ajak Alara bangkit dari kursi depan toko bahan kue dengan sisa es krim yang masih bibirnya.

Diva mengangguk, menggandeng sebelah tangan Alara yang kosong. Seraya membawa mengambil paper bag besar berisi bahan-bahan kue. Menghampiri Pak Iman yang senantiasa sabar menunggu kedua majikannya.

"Pak Iman, kita pulang ya."

"Baik Nyonya. Silakan masuk." Dengan sigap Pak Iman membuka pintu belakang mobil.

Mobil dikemudikan Pak Iman dengan kecepatan sedang. Sebelah tangannya sibuk membelai rambut Alara yang dikepang dua. Entah siapa yang mengepang, mungkin Bi Iyul.

Matanya mengarah ke luar jendela, mengingat kembali nada suara suaminya yang begitu dingin. Diva tidak menyangka, pria itu cepat sekali berubah. Semalam Mas Ghibran bersikap amat sangat lembut. Bahkan Diva terbuai olehnya. Begitu lembut sentuhannya, suara Mas Ghibran manis memuji dirinya.

Oh, Diva melupakan satu hal. Bahkan tadi pagi, Mas Ghibran sepertinya juga badmood. Ya, bukan badmood karena kegiatan semalam. Namun, karena Diva membahas tentang Alara. Putri kecil Ghibran yang selalu di hindari oleh Papanya sendiri.

"Bunda..." Rengek Alara.

Diva menoleh, "Ya, Sayang?"

"Ngantuk,"

Diva tersenyum, "Tidur dulu, nanti Bunda bangunkan ketika sampai dirumah."

Tanpa menolak sedikit pun, Alara merebahkan kepalanya dipangkuan Diva. Memejamkan matanya, menikmati usapan lembut di rambutnya membuat kantuk kian menjemput untuk terlelap.

Diva tersenyum melihat Alara begitu nyaman tidur di pangkuannya, "Mimpi indah cantik."

***

"Kau mengulangi kesalahan lagi."

Satu kalimat dingin terdengar begitu Diva menutup pintu kamar Alara. Setelah Pak Iman menawarkan diri untuk menggendong Alara yang masih mengantuk. Diva memperbolehkan dan mengekor dari belakang. Begitu Diva keluar, sedikit terkejut mendapati suaminya bersandar di samping pintu kamar Alara.

"Harus kamu ingat Diva, saya adalah suami kamu. Kemana pun kamu pergi, harus seijin saya."

Menatapnya dengan tatapan tajam dan ekspresi datar. Diva menunduk sebentar, baru semalam suaminya bersikap manis sekarang sudah seperti macan yang mengamuk.

"Diva minta maaf, Mas." Katanya, "Diva ingin menjemput Alara di sekolah."

"Ada Pak Iman yang bisa menjemput anak itu." Mas Ghibran menekan dua kata terakhir.

Diva menatap suaminya nanar, "Mas, panggil namanya, Alara."

"Saya tidak ingin berdebat denganmu. Tidak ada kalimat mengulangi kesalahan yang sama." Putus Mas Ghibran pada istrinya.

"Diva minta maaf, Mas." Ulang Diva menyesal seraya menunduk, tak berani menatap suaminya saat ini. Tatapan Mas Ghibran seolah menghunusnya tajam.

Sedikit melunak, Mas Ghibran melangkah mendekat. Meraih tangan Diva, mengajak istrinya ke kamar. Diva senantiasa menunduk, saat ini Diva tidak bisa berkata.

Salahnya, Diva tidak mengatakan pada Mas Ghibran jika ia pergi menjemput Alara. Belum genap sehari dirinya menjadi istri Mas Ghibran, Diva merasa rumah tangganya begitu sulit ia jalani.

"Saya sudah meminta Bi Iyul untuk membeli bunga sekar, nanti sore kita ke makan orang tua mu." Ucap Mas Ghibran saat kami tiba di kamar.

Pandangannya sedikit terangkat, seulas senyum terbit di bibir Diva. "Terima kasih Mas, sudah mengabulkan permintaanku."

Giliran Mas Ghibran yang menatap wajah sumringah istrinya, "Saya minta maaf..."

"... seharusnya, saya datang sebelum hari akad untuk meminta restu kedua orang tuamu."

Melihat ekspresi Mas Ghibran yang mulai membaik, tidak semengerikan beberapa menit lalu membuat senyum Diva semakin merekah.

"Tidak apa-apa Mas, Diva sudah meminta ijin lebih dulu pada alm. Ayah dan Ibu. Menyampaikan jika Mas Ghibran berhalangan hadir. Lagi pun, satu Minggu sebelum hari akad, Mas Ghibran harus ke luar kota untuk menyelesaikan pekerjaan." Mas Ghibran merespon dengan anggukan kepala.

Melirik jam dinding, "Mas Ghibran sudah makan siang?"

"Belum,"

"Mau Diva masakkan makanan?" Tawar Diva antusias.

Sejenak Mas Ghibran menatap Diva lama, "Minta Bi Iyul buatkan makan siang, istirahatlah. Sore nanti kita harus ke makan orang tua mu."

"Tapi Diva,--"

"Saya tidak ingin kamu kelelahan, jadi jangan membatah." Sanggah Mas Ghibran tak ingin istrinya kelelahan.

Tanpa memaksa, Diva mengangguk, "Iya Mas, Diva bilang ke Bi Iyul dulu."

"Setelah mencari Bi Iyul segera kembali, bantu saya membersihkan diri." Tegas Mas Ghibran.

"Iya Mas,"

Diva melihat punggung suaminya menghilang di balik pintu kamar. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju dapur. Mencari Bi Iyul untuk membuatkan makan siang.

Setelah menikah, tentu baik buruknya Mas Ghibran belum Diva ketahui. Pertemuan pertama Diva dengan Mas Ghibran adalah saat dimana Mas Ghibran datang ke sekolah. Bukan untuk menjemput putrinya, melainkan untuk meminang Diva menjadi istrinya.

Kalian tahu? Bagaimana terkejutnya Diva mendengar lamaran dari orang tua muridnya. Tentu terkejut bukan? Bahkan Diva merasa tidak bisa berkata-kata.

Ingatannya kembali pada saat dirinya selesai mengajar. Memasuki ruang kantor yang disambut oleh sesosok tamu asing. Kata Bu Nora, tamu tersebut ingin bertemu dengannya.

"Anda, ingin bertemu saya?" Tanya Diva pada pria berjas rapi di sofa ruang tamu sekolah. Dirinya duduk di hadapan pria tersebut.

"Anda benar Bu Diva?" Diva mengangguk membenarkan.

"Iya, saya Bu Diva. Apakah ada perlu dengan saya? Saya rasa, saya tidak mengenal Anda."

"Apakah saya memiliki urusan dengan Anda?"

"Jika boleh, saya ingin membahasnya diluar sekolah." Ujar pria tersebut.

Diva mengangguk mengerti, "Saya meminta ijin pada Ibu Kepala Sekolah dulu."

"Silakan."

Dan berakhirlah mereka di coffee shop yang tak jauh dari sekolah. Sebenarnya, Diva bertanya-tanya. Ingatannya tidak menemukan tentang pria yang kini tengah menyesap kopi di hadapannya.

"Sebelumnya, perkenalkan dulu. Saya Ghibran Batsya Alfarizi."

"Saya Diva Arathea." Diva menyambut uluran tangan di depannya.

"Saya adalah orang tua dari Alara." Tambah Mas Ghibran.

"Alara?" Diva mencoba mengingat, "Ah, siswi TK A kecil?" Mas Ghibran mengangguk mengiyakan.

Diva mengernyit heran, "Sepertinya Bapak salah mencari orang, saya bukan penanggung jawab dari kelas Alara. Jadi, jika ada keperluan terkait Alara, Bapak seharusnya menemui Bu Linda selaku penanggung jawab kelas TK kecil." Jelas Diva.

"Saya ada keperluan dengan Anda, Bu Diva." Kata Mas Ghibran.

"Keperluan dengan saya?" Diva semakin tak mengerti.

"Sepertinya, saya tidak perlu berbasa-basi. Tujuan saya mencari Anda, karena saya melihat putri saya menyukai Anda."

Diva rasa, seluruh anak-anak di sekolah menyukai guru mereka. Jadi apa yang Ayah Alara ucapkan ini terdengar aneh.

"Itu adalah hal yang wajar karena semua anak-anak pasti menyukai guru,--"

"Saya berniat melamar Bu Diva untuk menjadi istri saya." Potong Mas Ghibran membuat Diva tak bisa mengendalikan ekspresi terkejutnya.

"Hah?! Is--istri?"

"Saya sudah menduda, dan saya juga mengetahui jika Anda saat ini belum menikah atau dekat dengan lelaki manapun. Jadi, saya ingin melamar Anda menjadi istri saya." Tegas Mas Ghibran membuat Diva kian melebarkan matanya terkejut.

Bagaimana bisa seperti ini! Baru mengenal dan langsung mengajak menikah!

Rasanya Diva ingin pingsan di tempat!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status