Share

2. Ghibran Batsya Alfarizi

Ghibran Batsya Alfarizi, pria matang berusia tiga puluh empat tahun yang menduda sejak berumur tiga puluh tahun. Empat tahun, Ghibran terbiasa mandiri dengan statusnya yang baru. Tak ada hal istimewa dari sosok Ghibran selain ia yang terkenal tegas dalam berbisnis.

Kekayaan yang melimpah, tampan, dan masih menduda menjadikan Ghibran pria yang di targetkan oleh beberapa karyawan di kantornya. Namun, Ghibran hanya menganggap semua itu adalah hiburan untuknya. Selagi kinerja mereka memuaskan, Ghibran membiarkan saja.

Hari ini, tepat di awal bulan Mei status yang Ghibran pegang empat tahun lalu ia lepas. Dalam balutan tuxedo hitam, kemeja putih dengan dasi kupu berwarna hitam, Ghibran begitu gagah mengucap akad dengan satu tarikan napas.

Kini, Ghibran kembali memulai kehidupannya bersama seorang wanita berhijab yang di pilihkan oleh Mama dan putri kecilnya. Ghibran sendiri masa bodo siapa wanita yang akan menjadi istrinya.

Lagi pula, siapa wanita yang tidak mau menikahi seorang duda berbuntut satu yang kaya?

Setiap wanita pasti berlomba-lomba ingin menjadi istri sang pengusaha kaya tersebut. Dan Ghibran sekali lagi tak ambil pusing, selama istrinya patuh dan melakukan kewajibannya sebagai istri untuk Ghibran. Ghibran tak masalah dengan imbalan yang istrinya minta suatu saat.

Ah, anak kecil itu? Putrinya sendiri? Iya, memang benar Alara adalah putri kandung Ghibran.

Namun, Ghibran tak pernah menganggap Alara sebagai putrinya. Ia selalu menitipkan Alara pada Mamanya. Bahkan Ghibran sendiri lupa nama panjang dari Alara.

Lucu bukan?

Ghibran adalah pengusaha sukses dan berjaya.

Tetapi, Ghibran bukanlah ayah yang baik untuk Alara.

"Ngapain pengantin baru di sini?" Suara itu menyadarkan Ghibran dari lamunannya.

Anan, pria berambut gondrong sedikit ikal itu duduk di kursi samping Ghibran. Menyalakan rokok dan menghisapnya pelan. Ghibran tidak terganggu, ah Ghibran adalah tipe cuek. Rasa peduli nya sangat minim, jadi jangan heran dengan sikap Ghibran ke depan.

Merasa tak mendapat jawaban, Anan kembali bersuara, "Harusnya Lo seneng sekarang, menikmati malam pengantin setelah empat tahun mendudua. Tapi malah terdampar di cafe seorang diri."

"Kenapa sih? Istri baru Lo galak?"

Di lihatnya Ghibran yang betah diam tanpa suara.

"Yaelah Bran! Jawab kenapa sih, omongan gue!"

Ghibran menghembuskan napas, "Untuk apa?"

"Apanya yang untuk apa?" Anan merasa bingung pada kalimat ambigu Ghibran.

"Untuk apa gue jawab omongan Lo?"

Anan merasa tertohok mendengar pertanyaan Ghibran padanya. Sahabatnya satu ini, sangat berbeda. Sulit di mengerti, tak mudah bagi Anan memahami apa yang Ghibran sampaikan.

"Malam pengantin tapi pengantinnya berasa sendiri, situ nikah apa main nikah-nikahan?" Sindir Anan dengan menyesap rokoknya.

"Berisik tuh mulut! Diem kek! Gue pusing!"

Anan melihat Ghibran merebahkan diri di kursi santai. Menutup mata dengan sebelah lengannya ia tumpukan di atas dahi. Rasanya lelah sekali hari ini. Para tamu berdatangan tak henti, padahal Ghibran hanya mengundang keluarga, teman dekat, dan rekan bisnis.

Selebihnya tamu Mama dan istrinya. Mengenai istri, Ghibran tak menyangka dirinya telah menikah. Menyandang status suami untuk kedua kali.

Pernikahan pertama yang berakhir di meja hijau membuat Ghibran menyandang status duda mapan dengan kekayaan melimpah lengkap satu anak manis nan cantik. Istrinya meminta Ghibran mengurus anak mereka karena kekurangan Alara.

Bahkan mantan istri Ghibran tak perlu repot-repot bertemu Alara setelah perceraiannya dengan Ghibran. Hingga sekarang, mantan istri Ghibran itu tak menampakkan wajahnya di depan putri mereka.

Membiarkan sosok Mama tenggelam dari waktu ke waktu. Hingga Alara yang membawanya pada sosok gadis cantik berhijab. Kata Alara, gadis itu adalah Bundanya.

"Papa!" Teriak Alara melambaikan tangannya antusias.

Akhir-akhir ini, Papanya mengantar sekolah dan menjemputnya ketika waktu pulang tiba. Alara sangat bahagia, meskipun Papanya diam ketika Alara bercerita. Berbeda dengan Neneknya yang sangat antusias menanggapi ocehan Alara mengenai sekolahnya.

Dari kejauhan, Ghibran melihat putrinya berbicara pada gadis muda berhijab. Mungkin guru sekolah Alara yang menemani anak-anak menunggu jemputan orang tua.

Sedikit kesusahan, Alara mencoba berlari menuju Papanya berada. Meski raut datar selalu Papanya tampilkan, bagi Alara kehadiran Papanya lebih dari sekedar cukup untuk gadis kecil itu.

Tak ada sambutan maupun pelukan untuk Alara. Hanya sikap acuh dan raut tak terbaca dari Papanya ketika mengantar dan menjemput Alara dari sekolah.

"Tadi, Alara pamit sama Bunda. Karena Papa sudah jemput Alara." Alara memulai ceritanya seperti biasa.

Melepaskan tasnya, lalu membuka resleting ransel berwarna pink itu dengan segera. "Lihat deh Pa! Bagus tidak?"

Alara menunjukkan buku gambar dengan gambar sebuah keluarga bahagia. Seorang pria dewasa tertulis "Papa" di atasnya. Lalu di sebelahnya, tertulis "Alara" dan terakhir, tergambar seorang perempuan memakai hijab dengan tulisan, "Bunda".

"Bunda yang mengajari Alara menggambar, bagus tidak?"

"Pa?" Tanya Alara kembali, karena Papanya yang diam tanpa melihat gambaran Alara.

"Iya, bagus." Kata Ghibran fokus menyetir.

Alara menunduk sedih, "Tapi Papa belum melihat gambar Alara..."

"Papa lagi fokus nyetir, Alara. Nanti saja Papa lihat di rumah."

Ghibran yang kala itu tak mengerti, mencoba mengacuhkan ocehan Alara. Namun, semakin lama ocehan Alara membuat Ghibran berpikir ulang.

Apa yang membuat Alara begitu menyukai gadis berhijab itu?

Ghibran termenung di kursi santai dekat kolam renang. Mengulang kembali ingatannya beberapa minggu lalu, tak menyangka kini ia telah kembali menikah dengan gadis pilihan putrinya. Dan desakan dari sang Mama yang membuat Ghibran tak ambil pusing untuk kembali melepas status duda.

"Istri Lo tuh gurunya Alara di sekolah?" Pertanyaan Anan membuat Ghibran menoleh pada sahabatnya yang asyik merokok.

"Hm, guru TK."

Anan mengangguk, "Trus setelah nikah sama Lo, masih Lo bolehin ngajar di sekolah TK?"

"Gue masih belum bahas persoalan ini. Lagi pula, gue gak mau terlalu mengekang istri gue." Ujar Ghibran membuka sepasang kelopak matanya.

"Istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi jadi guru TK? Padahal suaminya kaya raya. Tinggal duduk santai, uang aman masuk rekening." Celutuk Anan.

Ghibran membiarkan Anan berceloteh sendiri. Pria yang masih melajang di usianya kepala tiga itu, suka menilai perempuan dari sudut materi. Pria itu terlalu banyak di kelilingi wanita yang menyukai uangnya.

Pikirannya mengenai wanita matre membuat Anan semakin tak ingin menikah. Ketika Ghibran telah memiliki anak dan kembali menikah, Anan justru betah dengan status lajangnya. Sesekali Ghibran tau, jika Anan sesekali ingin menjadi pria pada umumnya. Menikah dan memiliki anak.

Sayangnya, Anan belum menemukan perempuan yang mampu mengubah pola pikirnya mengenai wanita matre. Jika Anan menemukan perempuan yang bisa membuat pikirannya terbuka, Ghibran jamin, sekuat apapun perempuan itu menjauh dari Anan. Anan pasti akan menemukannya lagi, tak akan pria itu lepas.

"Kelihatannya istri gue itu gadis polos, bukan tipe-tipe matre. Sekalipun dia gadis matre, gue gak masalah keluarin duit gue buat istri gue." Kata Ghibran santai.

Anan tersenyum miring, "Jangan percaya sama gadis polos, yang kelihatannya baik belum tentu baik. Mereka pasang pencitraan dengan begitu rapi di wajah cantik mereka."

Lantas Anan bangkit dari duduknya, menepuk pelan pundak Ghibran, "Inget sama mantan istri Lo." Ujar Anan pelan.

"Gue duluan." Anan berjalan menjauhi Ghibran.

Ghibran membiarkan Anan pergi setelah mengungkit kembali mantan istrinya. Tak ingin mengingat kenangan masa lalu dan perilaku istrinya dulu, Ghibran mengikuti jejak Anan meninggalkan kolam renang hotel.

***

Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, Ghibran belum kembali ke kamarnya.

Diva yang tadinya tidur bersama Alara terbangun karena teleponnya terus saja berbunyi. Ternyata Diva melupakan mode silent untuk ponselnya. Di lihatnya seluruh kamar, belum ada tanda-tanda Ghibran berada di kamar. Hanya dirinya dan Alara yang tidur di ranjang.

Beranjak turun dari peraduannya, Diva berjalan menuju kamar mandi. Ia membasuh wajahnya agar kembali segar sembari menunggu suaminya kembali.

Tepat ketika Diva membuka pintu kamar mandi, suara pintu kamar utama terbuka. Di ikuti Ghibran yang masuk ke dalam kamar. Sesaat Diva terkejut, namun ia berhasil menetralkan raut terkejut di wajahnya.

"Mas dari mana saja?" Pertanyaan itu spontan keluar dari bibirnya.

Ghibran sontak menatap Diva dalam diam. Dirinya sempat terkejut karena Diva belum tidur, justru menunggu dirinya.

"Belum tidur?"

Diva menggeleng, lantas mengangguk. Ghibran mengernyit bingung, apa maksudnya?

"Tadi aku udah tidur, trus kebangun karena lupa silent ponsel." Jelas Diva membuat Ghibran tak jadi berbunga.

Gibran kira, Diva menunggunya kembali. Namun, istrinya itu telah tidur dan terbangun bertepatan dengan Ghibran yang telah kembali. "Kembali lah tidur." Kata Ghibran berjalan menuju kopernya sembari melirik ranjang.

Disana terlihat Alara tidur dengan begitu nyaman dalam balutan selimut tebal. Ternyata istrinya memilih tidur bersama Alara. Entah mengapa Ghibran sedikit tidak rela.

Diva melihat raut kecewa Ghibran merasa tak enak hati. Apalagi terdapat Alara di ranjang, dan Ghibran meliriknya tak suka.

Yang Diva tau, hubungan antara papa dan anak ini tak berjalan baik. Dan kini, terlihat jelas sikap Ghibran pada putrinya sendiri.

"Mas..." Panggil Diva ketika Ghibran melewatinya.

"Mau menemani Diva mengobrol di balkon?" Tawar Diva pada suaminya.

Ghibran diam di tempatnya berdiri, Diva yang merasa Ghibran akan menolaknya pasrah, "Kalo Mas capek mau istirahat--"

"Baiklah." Sela Ghibran mengambil piyama di kopernya. Lalu melewati Diva yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Aku berganti baju dulu." Kata Ghibran.

"Tentu Mas, Diva tunggu."

Sembari menunggu suaminya selesai berganti pakaian, Diva keluar dari kamar. Berjalan menuju meja resepsionis untuk meminta dibuatkan dua cangkir kopi lengkap dengan camilan.

Setelah selesai, Diva berjalan kembali menuju kamarnya. Bersamaan dengan Diva yang membuka pintu, Ghibran telah membukanya terlebih dahulu.

"Dari mana?" Todong Ghibran setelah melihat istrinya di depan pintu kamar.

"Diva dari meja resepsionis, Mas. Minta dibuatkan dua cangkir kopi sekalian camilan."

"Lain kali jangan pergi tanpa pamit. Sekarang kamu sudah bersuami."

Seketika Diva merasa bersalah, "Diva minta maaf Mas, Diva salah."

"Masuk."

Diva menurut dan patuh pada suaminya. Ia diam merasa bersalah. Ghibran yang menyadari perubahan istrinya, menghela napas.

"Kemarilah." Perintah Ghibran agar Diva duduk menemaninya di balkon kamar mereka.

Diva mengikuti perintah suaminya, ia duduk di kursi balkon yang tersedia di sana. Mencoba duduk dengan santai. Kedua tangannya saling bertautan. Diva yang mengajak suaminya berbincang, justru Diva yang diam seribu bahasa.

Ghibran membiarkan hening menyelimuti mereka, sementara ia menunggu pesanan istrinya untuk diantarkan ke kamar mereka.

Bel kamar hotel berbunyi sekali, tak begitu nyaring membuat Alara terlelap di kasurnya. Ghibran menerima nampan berisi dua cangkir kopi dengan biskuit sebagai camilannya dari seorang pelayan hotel.

"Kopi mu." Ghibran memberikan secangkir kopi untuk Diva.

Diva menerimanya dalam diam, setelahnya Ghibran duduk di samping istrinya. "Banyak yang harus kita bicarakan. Tapi jika kamu lelah, bisa kita bicarakan lain kali."

"Malam ini, kita bisa mengobrol ringan sebelum tidur." Balas Diva tenang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status