Share

6. Meminta Restu Alm. Ayah dan Ibu

"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran.

Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab.

"Saya tidak menyukai makanan manis."

Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue."

"Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut.

"Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain.

"Maksudnya?"

"Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan."

"Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?"

"Ya."

"Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'. Alara adalah anak Mas."

"Saya ambil kartu ATM untuk kamu dulu." Tanpa Diva duga, Mas Ghibran bangkit dari kursi.

Pria itu berjalan menuju kamar, meninggalkan Diva yang masih menatap suaminya dengan tatapan sendu. Setiap kali Diva membahas terkait Alara, suaminya selalu menghindar. Kerap kali acuh, bahkan marah hanya karena Alara.

Menghela napas panjang, Diva bertekad akan membuat keluarga ini harmonis. Ya, Diva akan berjuang untuk rumah tangganya. Diva akan membuat impian Alara menjadi kenyataan. Memiliki keluarga bahagia dan ceria.

Senyum yang tadi luntur, kini kembali terbit. Diva tidak boleh menyerah, ia hanya belum menemukan cara untuk menyatukan Mas Ghibran dan Alara. Maka dari itu, Diva akan berjuang sekuat tenaga.

Menyelesaikan makannya, Diva bangkit membersihkan meja makan. Mengambil piring bekas Mas Ghibran untuk ia bawa ke wastafel. Di sela mencuci ternyata Bu Iyul datang.

Wanita paruh baya itu terkejut melihat Diva mencuci piring.

"Ibu Diva, jangan dicuci! Biar saya saja." Bergegas Bi Iyul datang, berniat mengambil alih pekerjaan Diva.

Namun, Diva menolak, "Tidak apa Bi, lagi pula sudah mau selesai."

"Nanti kalau Pak Ghibran melihat, saya bisa di marahi." Panik Bi Iyul.

"Biar Diva yang bicara dengan Mas Ghibran Bi," balas Diva menenangkan.

"Lebih baik, Bi Iyul membantu Diva membereskan meja makan. Simpan kan makanan untuk Alara ya, Bi. Soalnya Diva tidak tega membangunkan Alara yang masih tidur. Jika nanti Alara bangun, biar Diva panaskan."

"Baik Bu Diva, Bi Iyul simpan di lemari atas."

"Terima kasih Bi."

"Sama-sama Bu."

Pekerjaannya selesai, bersamaan dengan kedatangan Mas Ghibran. Pria itu menghampiri Diva yang masih membelakanginya.

"Diva..." Panggilnya dengan nada pelan.

"Ya, Mas?" Diva berbalik.

"Jika sudah selesai, saya tunggu di teras belakang."

Diva mengangguk, "Sudah kok Mas, bareng Mas Ghibran aja." Mas Ghibran mengangguk, kemudian berjalan bersama menuju teras kebun belakang.

Keduanya duduk di kursi kayu, dengan meja bundar sebagai pembatas. Mas Ghibran menyodorkan sesuatu pada Diva.

"Ini, kartu ATM untuk kebutuhan rumah. Gunakan ini untuk membeli bahan makanan, perabot atau kebutuhan rumah lainnya." Diva menerimanya.

"Untuk gaji Bi Iyul dan Pak Iman, itu menjadi urusan saya, jadi kamu tidak perlu menggunakan uang yang berada di kartu ATM ini untuk membayar gaji mereka." Diva mengangguk mendengarkan.

"Ini untuk kebutuhannya. Entah sekolah, baju, mainan atau apapun yang dibutuhkan. Kamu bisa menggunakan kartu ini. Disini, semua tabungan serta jatah bulanannya ada."

"Untuk pin ATM, sudah saya chat ke nomor kamu. Bisa kamu cek sendiri."

"Iya Mas,"

"Jangan lupa untuk mengirimkan nomor rekening kamu. Setiap bulan saya akan memberikan jatah bulanan kamu langsung di ATM kamu. Itu untuk kebutuhan kamu sendiri, bisa untuk membeli baju, perhiasan, atau apapun yang kamu inginkan."

"Terima kasih Mas Ghibran." Ucap Diva tersenyum tulus. Meski Mas Ghibran selalu menghindari topik Alara, namun Mas Ghibran bertanggung jawab penuh pada Alara.

"Em, Mas Ghibran masih tetap mengijinkan Diva untuk mengajar kan?" Tanya Diva memastikan sekali lagi.

"Saya tidak melarang kamu mengajar. Jika kamu senang melakukannya, tidak masalah. Tapi, tetap saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya."

"Iya Mas, Diva paham. Diva hanya takut jika Mas Ghibran tidak memperbolehkan Diva bekerja."

"Tidak masalah." Diva mengangguk senang mendengarnya.

"Jika ada sesuatu, bilang pada saya. Saya akan berusaha memenuhi kebutuhan kamu sebagai istri saya." Tambah Mas Ghibran.

"Sebenarnya Diva mau,--" ucapan Diva terhenti karena ponsel Mas Ghibran yang berbunyi nyaring.

"Sebentar." Pamit Mas Ghibran pergi menerima panggilan.

Dari belakang, Diva bisa melihat punggung suaminya yang tegap. Posturnya yang proposional membuat Mas Ghibran menawan meski dari belakang. Parasnya yang tampan membuat pesona seorang Ghibran Batsya Alfarizi begitu nyaman di pandang.

"Saya ada urusan di kantor. Sebelum sore, saya usahakan pulang." Ucap Mas Ghibran berbalik mendekati istrinya.

"Mendadak sekali Mas? Diva kira, Mas sudah meminta cuti."

"Memang, tapi ada masalah. Dan harus segera saya selesaikan."

Diva mengangguk maklum, "Iya Mas, jangan lupa nanti sore ke makan Ayah dan Ibu."

"Iya, saya sudah berjanji."

"Saya pamit dulu, kamu istirahat saja di kamar. Assalamualaikum." Mas Ghibran menyempatkan mengecup kening Diva sebentar sebelum pergi ke kantor.

"Wa'alaikummussalam," jawab Diva mematung. Menyentuh kening yang baru saja di kecup singkat oleh suaminya.

"Mas Ghibran itu kayak es krim, dingin tapi manis." Diva terkekeh geli membayangkan sikap Mas Ghibran padanya selama ini.

***

Mas Ghibran menepati janjinya pada Diva. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor, pria itu pulang dan meminta Diva bersiap. Tentu saja, Diva bersemangat untuk bersiap tak lupa mengajak Alara ikut bersamanya.

Dan disini lah mereka sekarang, diantara kedua makam dengan nisan putih. Sembari menaburkan bunga sekar yang telah Diva bawa.

"Assalamualaikum Ayah, Ibu..."

Diva mengusap nisan ibunya, "Ibu, lihat siapa yang Diva bawa? Ini adalah Mas Ghibran, suami Diva."

Mas Ghibran ikut bersimpuh bersama istrinya, "Assalamualaikum Ayah dan Ibu mertua, saya Ghibran. Suami dari Diva, saya meminta maaf sebelumnya karena baru sempat datang sekaligus meminta restu meski saya sudah melangsungkan pernikahan."

Diva menoleh pada suaminya, "Ayah dan Ibu pasti mengerti dengan keadaan Mas Ghibran."

"Oh iya Ayah, Ibu... Perkenalkan, ini Alara. Anak Diva."

Alara menatap Bundanya dengan tatapan bingung, Diva mengelus rambut halus Alara. "Ini orang tua Bunda, yang sekarang sudah menjadi Kakek dan Nenek Alara."

"Kakek? Nenek?" Diva mengangguk.

"Halo Kakek! Halo Nenek! Ini Alara!" Ucap Alara bersemangat.

Diva tersenyum melihatnya, "Ayah, Ibu... Diva memohon, restui dan lindungi keluarga Diva dari atas sana. Semoga Allah senantiasa memberikan kenikmatan dan menempatkan Ayah Ibu disisi terbaik Allah."

"Aamiin. Kita beri Al-Fatihah bersama."

Mas Ghibran memimpin doa, memanjatkan pujian untuk kekasih Allah serta mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua Diva yang sudah tiada.

"Kita pulang."

Mas Ghibran mengajak Diva untuk bangkit dari makam. Di lihatnya mendung gelap menyelimuti. Mas Ghibran takut mereka akan kehujanan, lagi pun sebentar lagi adzan Magrib berkumandang.

"Iya Mas," Diva menoleh pada Alara. Gadis manis itu senantiasa ceria.

"Kita pulang yuk, Sayang." Alara mengangguk patuh.

Sebelum benar-benar meninggalkan makam kedua orang tuanya, Diva menoleh sesaat.

"Ayah, Ibu... Diva, Mas Ghibran dan Alara pamit ya. Nanti Diva usahakan untuk datang menengok Ayah dan Ibu."

***

Mami Mochi

Jangan lupa tinggalkan jejak sebagai tanda suka😘

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status