Share

7. Ketegangan di Rumah

Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya.

Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.

Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini.

Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin.

Ting!

'Malam ini, saya pulang.'

Satu pesan masuk, muncul di layar notifnya. Senyum merekah terbesit begitu saja. Bergegas, Diva menyelesaikan pekerjaannya. Ia akan mengajak Alara untuk ke supermarket membeli bahan masakan.

Malam ini, suaminya pulang. Setelah dua Minggu lamanya berada di Bali. Diva akan menyambutnya bersama Alara.

'Mau dimasakkan apa?' Balas Diva.

'Apapun, saya ingin makan masakan kamu.'

'Oke, ayam goreng dengan cah jamur plus sambal cumi, gimana?'

'Boleh.'

'Diva dan Alara tunggu dirumah ya, Mas. Hati-hati pulangnya, jangan lupa nanti kabarin kalo udah otw.'

'Ya.'

Sebelum keluar dari pelataran TK, Diva menghubungi Pak Iman untuk menjemputnya. Tak lupa, Diva meminta Pak Iman mengajak Alara bersama. Agar Diva bisa langsung pergi ke supermarket dan memasak makanan untuk suaminya.

***

"Bunda, Papa nanti pulang jam berapa?"

"Alara udah kangen banget sama Papa."

"Kira-kira, Papa kangen tidak ya dengan Alara?"

Mendengar rentetan pertanyaan dari Alara, Diva tersenyum. Di hampirinya Alara yang kini duduk di sofa ruang tamu dengan tak sabar menunggu Papanya pulang.

"Jelas dong, Papa kangen."

"Alara juga kangen! Hihihi." Alara terkikik geli.

Bayangan dirinya berada dalam gendongan Papa membuat senyum semakin merekah. Alara tidak sabar menyambutnya pulang. Bahkan, di atas meja sudah ada kue brownies hasil buatannya bersama Bunda sore tadi. Rencananya Alara akan memberikan kue itu sebagai ucapan selamat datang.

Suara deru mobil memasuki pelataran rumah membuat Alara seketika gembira. Dengan riang ia turun dari sofa, membawa nampan berisi kue brownies untuk ia berikan pada Papa. Diva yang melihat antusiasme Alara tak kuasa menahan senyum bahagia.

"Pelan-pelan Alara, Papa pasti masuk rumah kok. Kita tunggu dulu ya,"

Kini, Alara dan Diva berdiri di depan pintu. Begitu pintu utama terbuka, nampak Mas Ghibran datang dengan menyeret koper disusul Pak Iman yang membawakan beberapa paper bag.

Diva menyambutnya dengan senyuman, "Selamat datang dirumah Mas."

"Selamat datang Papa!" Alara tak kalah heboh menyambut kepulangan Papanya.

Di salimnya tangan Mas Ghibran, pria itu membalas dengan kecupan mesra di kening istrinya. Mau tak mau, Mas Ghibran mengukir senyum mendapat sambutan hangat dari istrinya. Tak sulit mencintai Diva dengan kepribadian positif yang melekat pada perempuan itu.

Lantas Diva beralih menatap Alara, "Salim sama Papa dulu, Sayang."

Senyumnya luntur begitu Alara mendekat, mengambil tangan kanannya. Di ciumnya tangan besar itu dalam tangan mungilnya, Mas Ghibran bergeming. Tak bereaksi apapun, membiarkan Alara melakukan perintah istrinya meski rasanya Mas Ghibran ingin menolak.

"Papa! Alara kangeeen banget sama Papa!"

"Papa kangen tidak dengan Alara?"

Alara memeluk kedua kaki Mas Ghibran, melihat Alara yang antusias membuat Diva lagi-lagi tersenyum lembut. Berbeda dengan Mas Ghibran yang masih bergeming dalam diam.

"Saya capek, mau mandi." Ucap Mas Ghibran memandang lurus ke depan.

Melihat Papanya tak membalas pelukan, Alara melepaskan kedua tangannya. Kaki kecilnya yang tak sama membuat langkahnya terpincang-pincang saat mundur perlahan.

"Papa, tidak kangen Alara ya?"

"Pak Iman, tolong berikan paper bag itu pada istri saya." Titahnya pada Pak Iman yang sejak tadi berada di belakangnya.

"Baik Pak Ghibran," Pak Iman menyerahkan beberapa paper bag pada Diva.

"Kalau begitu, saya pamit pulang dulu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikummussalam."

"Saya ingin mandi, bisa bantu siapkan pakaian?" Mas Ghibran memandang Diva dengan tatapan tak terbaca.

"Saya tunggu di kamar."

Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Mas Ghibran melangkah pergi. Meninggalkan Alara yang saat ini diam dengan mata berkaca-kaca. Diva menghampiri Alara, menyamakan tingginya dengan gadis kecil yang saat ini sedang bersedih.

"Benar ya Bunda, Papa tidak sayang Alara?" Tanyanya.

Diva menggeleng, "Kata siapa? Papa sayang Alara kok. Alara kan putri kesayangan Papa."

"Tapi kenapa Papa diem pas Alara peluk? Papa juga tidak menjawab pertanyaan Alara."

Diva mencoba tersenyum meski hatinya teriris melihat pemandangan yang baru saja terjadi. "Sayang..."

"Dengerin Bunda ya, Papa itu sayang banget sama Alara. Maaf ya, Papa diem engga balas pertanyaan Alara karena Papa capek. Papa butuh istirahat, makanya Papa diem engga jawab pertanyaan Alara." Diva mencoba memberikan pengertian sesederhana mungkin.

"Jadi Papa capek? Makanya diem, enggak jawab pertanyaan Alara?" Tanya Alara polos.

Diva mengangguk, "Iya Sayang."

"Tapi, kenapa Bunda berbeda?" Kini Alara menatap Bundanya dengan penasaran.

"Bunda selalu ceria dan dengerin cerita Alara, padahal Bunda juga baru pulang ke rumah. Beda sama Papa yang selalu diem ketika Alara cerita. Padahal, Papa juga sering dirumah. Kalo dirumah terus kan, enggak capek. Iya kan, Bunda?"

Kali ini, Diva tak bisa menjawab pertanyaan Alara. Berusaha mengukir senyum manis, Diva bingung harus memberikan jawaban apalagi. Perlakuan Mas Ghibran benar-benar keterlaluan. Diva harus bicara dengan Mas Ghibran setelah ini.

"Alara Sayang, kita buka paper bag dari Papa, mau?" Diva mengayunkan paper bag yang ia terima dari Pak Iman. Mencoba mengalihkan pemikiran Alara tentang sikap Papanya.

Alara mengangguk senang, "Mau! Mau! Alara mau!"

Dengan perlahan, Diva menuntun Alara menuju sofa tak jauh dari mereka. Nampak Alara antusias dengan isi dari paper bag tersebut. Saat dibuka, isinya adalah makanan. Banyak sekali macamnya, berbeda bentuk dan warna yang cantik sekali.

"Woah, Alara mau cokelat ini! Alara mau!"

"Alara mau? Boleh, sini Bunda buka dulu."

Diva dengan senang hati menyuapi Alara. Anak kecil itu nampak bahagia, terlihat dari matanya yang bersinar-sinar. Saking asyiknya menikmati waktu bersama Alara, Diva tak menyadari sepasang mata menatap tajam ke mereka.

Dadanya bergemuruh melihat pemandangan tak jauh dari matanya. Sebelum masuk kamar, Mas Ghibran meminta Diva untuk menyiapkan pakaian. Namun, apa yang istrinya lakukan?

Bukannya melayani suami, malah asyik bergurau bersama anak itu.

Berbalik masuk kamar dengan perasaan jengkel, Mas Ghibran sengaja menutup pintu hingga suara berdebum terdengar hingga ke ruang tamu. Membuat Diva terhenyak sebentar, kemudian teringat sesuatu.

Diva menatap Alara yang asyik memakan cokelat, "Alara, Bunda masuk ke kamar dulu ya. Mau ngecek Papa dulu."

Alara mengangguk saja, karena saat ini apa yang ada di dalam genggaman tangannya nampak menarik. Membiarkan Bundanya pergi menemui Papanya.

Diva melangkah masuk ke dalam kamar perlahan, di lihatnya Mas Ghibran tak ada di kamar. Suara gemericik air di kamar mandi mengalihkan pandangan. Diva bergegas menyiapkan kaos pendek yang nyaman, serta celana training untuk Pak Bagas.

Suara decitan pintu kamar mandi terbuka mengalihkan kegiatannya, Diva berbalik. Melihat Mas Ghibran yang selesai mandi dengan kaos dan celana yang sudah terpasang. Pria itu menatapnya dengan tatapan datar, membuat Diva salah tingkah.

"Mas Ghibran,--" suaranya terhenti melihat tangan Mas Ghibran terangkat.

"Saya tidak ingin mendengar apapun, urusi saja anak itu." Potong Mas Ghibran melewati Diva.

Diva menatap nanar punggung tegap suaminya. Menghela napas panjang, Diva mengembalikan baju dan celana training ke dalam lemari. Menguatkan hati, Diva berjalan mendekati Mas Ghibran yang fokus pada layar tab nya.

"Diva minta maaf, semuanya salah Diva."

Hening. Tak ada sepatah kata pun. Mas Ghibran mengabaikan Diva. Rasanya sakit, ketika keberadaan kita tak dianggap.

"Mas Ghibran, Diva tidak bermaksud melupakan kewajiban Diva. Diva hanya,--"

"Tugas kamu hanya mengurus dan melayani saya sebagai suami kamu. Harus berapa kali saya katakan, Diva?!"

"Mas, Diva minta maaf..."

"Saya menikahi kamu untuk menjadikan kamu sebagai istri saya, bukan pengasuh anak itu."

"Mas, namanya Alara..."

"Malam ini saya keluar, ada pekerjaan. Jangan tunggu saya."

"Tapi Mas Ghibran belum makan, setidaknya makan dulu." Cegah Diva.

"Saya pergi."

Apa yang bisa Diva lakukan selain menatap sendu kepergian suaminya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status