Share

4. Kekurangan Alara

"Alara, dimana Mas?"

"Sekolah,"

Diva mengerutkan kening heran, "Sekolah?"

"Kok Mas, bolehin sekolah?"

"Anak itu tidak boleh membolos," kata Ghibran.

"Mas,--"

"Diva, sudah." Ghibran menutup laptopnya. Pandangannya tertuju pada istrinya yang duduk di sebelah Ghibran.

"Kemarin sudah membolos, dan hari ini ingin membolos lagi? Mau jadi apa nanti? Biarkan dia sekolah." Ghibran bangkit setelah berkata pada istrinya.

Diva mengikuti dari belakang, "Mas, Alara pasti capek. Setidaknya biarkan Alara libur sekolah dua hari."

"Jangan terlalu memanjakan anak itu!"

"Mas,--"

Ghibran mengangkat tangannya, seketika Diva berhenti berbicara. Ia melihat Ghibran yang berdiri dengan raut wajah marah.

"Saya tidak ingin membahas masalah ini, Diva."

Suaminya terlalu keras kepala, dan Diva tidak bisa membujuk suaminya dalam hal ini. Pria itu pergi dari kamar selepas mengatakan untuk tidak membahas putrinya sendiri.

Diva berjalan pelan menuju ranjang, duduk di kasurnya. Diva meraih ponsel miliknya yang tergeletak sejak tadi pagi. Jam digital di ponselnya menunjukkan pukul sepuluh, itu artinya Alara akan pulang sebentar lagi.

Rasa sakit dan nyeri pada tubuhnya sudah mulai berkurang. Baiklah, jika suaminya sendiri bersikeras meminta Alara sekolah. Maka, Diva sendiri yang akan menjemput putri cantiknya itu dari sekolah.

Bersiap sebentar, Diva memakai setelan gamis berwarna abu-abu dengan kerudung senada. Ketika berada di halaman, seorang pria paruh baya menghentikan langkah Diva.

"Nyonya mau kemana?"

"Saya mau ke sekolah Pak, jemput Alara."

Pria paruh baya itu mengangguk, "Mari Nyonya, saya antar saja."

Diva menatap ragu, pria paruh baya itu berusaha meyakinkan Diva. "Mari Nyonya, lagi pula Tuan memerintahkan saya untuk melayani Nyonya."

"Baik Pak, mari antar saya ke sekolah."

Pria paruh baya yang Diva ketahui sopir pribadi keluarga Alfarizi itu melayaninya dengan baik. Meski umurnya tak lagi muda, namun pembawaan sopan dan ramah membuat Diva tak sulit berinteraksi.

"Biasanya yang jemput Nona, itu hanya saya, Nyonya. Makanya tadi saya kaget Nyonya mau keluar, dan kebetulan saya juga mau ke sekolahnya Nona."

"Memangnya Mas Ghibran tidak menjemput Alara ya, Pak?"

"Bisa di hitung jari, Nyonya. Tuan selalu sibuk di kantor."

"Begitu ya?" Diva tampak berpikir, "Pak Iman tau banyak soal suami saya ternyata."

Pak Iman, sopir pribadi keluarga Ghibran itu tertawa renyah. Giginya yang tak tapi itu terlihat begitu tawanya keluar. Apalagi keriput di matanya di gerus usia, semakin memperjelas umur Pak Iman tak muda lagi.

"Saya sudah mengabdikan diri sejak saya berumur tiga puluh tahun, Nyonya. Bahkan hingga saya memiliki cucu, saya masih ingin bekerja di keluarga Pak Ghibran."

Diva mengangguk antusias, ia mendengarkan setiap cerita yang mengalir dari Pak Iman. "Mas Ghibran orangnya kaku, ya Pak?"

"Ya, begitulah. Semenjak mantan istrinya meminta pisah, dan rumah tangga Pak Ghibran berantakan, Pak Ghibran lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor. Jadi, dulu hanya mantan istrinya Pak Ghibran yang berada di rumah."

"Memang kalo boleh tau, Mas Ghibran bercerai kenapa ya, Pak?" Diva bertanya dengan penuh penasaran.

"Duh, maaf Nyonya. Jika masalah seperti itu, lebih baik Nyonya bertanya langsung dengan Pak Ghibran. Saya takutnya akan ada salah paham ketika saya yang menyampaikan."

Diva tersenyum mengerti, "Tidak masalah Pak Iman. Maaf, tadi Diva terbawa suasana."

"Tidak apa Nyonya, justru saya senang memiliki Nyonya yang baik seperti Nyonya Diva. Mantan istri Pak Ghibran dulu, orangnya sombong."

Diva hanya mengulas senyum tipis, ada banyak banyak sekali informasi yang belum ia ketahui dari pria yang kini sudah berstatus suaminya sendiri. Semuanya masih terasa abu, Diva sulit meraba masa lalu apa yang dimiliki oleh suaminya.

Ghibran terlalu tertutup dan misterius di matanya. Bahkan, tanpa basa basi pria itu melamarnya tanpa adegan romantis seperti yang Diva inginkan. Bukannya Diva menuntut, tapi Diva tetaplah seorang perempuan yang memiliki mimpi indah di kisah cintanya.

Mobil berjalan dengan kecepatan normal, tak terasa sekolah Alara sudah tiba di depan mata. Sekolah TK tempat dimana Alara belajar sekaligus tempatnya bekerja. Masih segar di ingatannya awal mula pertemuan Alara dengannya dua bulan lalu.

Tepat di taman bermain samping kelas, Alara dengan langkah pelan dan malu-malu mendatangainya. Memanggil dirinya "Bunda" sama halnya dengan anak-anak yang Diva asuh. Diva sendiri tidak menyangka, panggilan "Bunda" yang Alara maksud adalah menjadi ibu sambung bagi gadis kecil itu.

"Bunda!"

Seruan itu membuat Diva menoleh, ia berpikir kelas Alara telah usai. Namun, panggilan itu berasa dari anak-anak asuhnya yang kini bersama salah seorang guru lain sedang beraktivitas di taman bermain. Beberapa anak-anak yang mengenal Diva berseru dengan melambaikan tangan. Diva senang hati membalasnya.

Yoyo, seorang anak berusia lima tahun berlari begitu lucu menuju Diva yang berdiri di depan sekolah. Anak kecil itu langsung saja memeluk kaki Diva.

"Bunda!"

"Yoyo, kamu kok di sini? Ikut sama yang lain ya?"

Yoyo menggeleng, "Bunda kok tidak di kelas hari ini? Kenapa?"

"Bunda juga ada di depan sekolah, kenapa tidak masuk?"

"Kenapa baju Bunda berbeda dengan baju Bunda Nora?"

Diva tersenyum mendengar pertanyaan menuntut lucu dari Yoyo. Di elusnya rambut halus Yoyo, lantas Diva menyamakan tingginya dengan tinggi Yoyo.

"Bunda mengambil cuti beberapa hari, Minggu depan Bunda sudah masuk dan kembali mengajar lagi. Jadi, Yoyo tidak boleh bersedih. Lagi pula, Bunda Nora mengajar di kelas terlihat asyik sekali!" Diva memberi pengertian perlahan.

Yoyo menggeleng, "Tapi tidak seasyik Bunda Diva! Yoyo suka Bunda Diva!"

"Yoyo... Bermain dan belajar bersama Bunda siapa pun itu sama saja."

"Tidak sama! Yoyo suka Bunda Diva! Pokoknya Yoyo tidak mau sekolah jika tidak dengan Bunda Diva!"

"Yoyo..."

"Bunda Diva, Bundanya Alara."

Suara lucu itu membuat Yoyo melepaskan pelukannya pada kaki Diva. Yoyo menoleh, dan menatap Alara sengit.

"Alara apaan sih? Bunda Diva Bundanya semua, bukan Bunda kamu!"

"Tapi Bunda Diva, Bundanya Alara bukan Bunda Yoyo!" Teriak Alara tidak terima.

Yoyo yang terlampau kesal dengan cepat berlari ke arah Alara dan mendorongnya hingga Alara terjatuh. Alara yang tidak sempat menghindar merasakan tubuhnya menghantam ubin halaman sekolah. Kejadian itu begitu cepat membuat Diva tak sempat mencegah Yoyo agar tidak melukai Alara.

"ALARA!"

Diva berlari berusaha membantu Alara yang matanya sudah berkaca. Yoyo yang melihat guru kesayangannya membantu Alara merasa tidak senang. Hingga kalimat kekesalan keluar begitu saja.

"Alara anak cacat! Menyusahkan Bunda Diva! Lihat! Bahkan untuk berdiri saja kamu tidak bisa!" Teriak Yoyo terlampau kesal.

"Yoyo!" Tegur Diva.

"Bunda kenapa belain Alara? Karena Papanya kaya, Alara bisa sekolah di sekolah umum! Seharusnya Alara pantas bersekolah di sekolah khusus anak cacat!"

Betapa sakit hati Alara ketika teman-temannya mengejek fisik. Alara melihat sebelah kaki kirinya yang terlihat berbeda dengan kaki kanan. Tampak lebih kecil dan tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Tatapan kesedihan terpatri di wajahnya.

"Yoyo! Diam!"

"Bunda bentak Yoyo?" Tanya Yoyo dengan mata yang berkaca-kaca.

"Yoyo, kamu sudah keterlaluan dengan teman kamu sendiri. Siapa yang mengajari seperti itu? Bunda merasa tidak pernah mengajari Yoyo seperti itu." Diva berkata dengan tegas.

"Itu salah Alara! Alara bilang Bunda adalah Bundanya Alara saja. Padahal Bunda adalah Bundanya semua. Bukan Bunda Alara!"

Beberapa guru bahkan anak-anak keluar ke gerbang depan. Perdebatan antara Yoyo dan Alara terlihat seru bagi mereka. Beberapa guru memerintahkan wali kelas pendamping membawa anak-anak masuk kelas. Pertengkaran ini tidak baik di saksikan oleh anak-anak.

"Jika Alara tidak mau jatuh, lebih baik Alara bersekolah di sekolah khusus! Bukan sekolah umum seperti ini!"

"Yoyo!"

"Bu, sudah... Biar saya yang urus Yoyo, lebih baik Bu Diva obatin luka Alara di UKS sekolah." Bu Nora menepuk pundak Diva.

Diva baru menyadari siku dan telapak tangan Alara terluka, lantas ia mengangguk, "Terima kasih, Bu."

"Ayo sayang, kita obatin luka kamu dulu ya..." Diva menggendong Alara.

Meski berat Diva tetap berusaha menggendong Alara ke UKS. Sementara Yoyo, Diva serahkan kepada Bu Nora sebagai wali pendamping kelas sementara saat Diva mengambil cuti pernikahannya. Samar-samar suara teriakan Yoyo terdengar, anak kecil itu mengamuk karena Diva memilih menolong Alara dari pada dirinya.

Sementara Alara, gadis kecil itu masih terdiam dengan pandangan kosong. Diva berdoa semoga Alara baik-baik saja, bukan hanya fisik tetapi mental Alara. Perkataan Yoyo sungguh keterlaluan, Diva tidak menyangka Yoyo akan mengatakan hal kasar kepada Alara hanya karena panggilan "Bunda". Setiap sekolah taman kanak-kanak, adalah hal lumrah jika para guru membiasakan memanggil Bunda dari pada Ibu Guru.

Tapi pada kenyataannya, beberapa anak-anak salah menafsirkan maksud dan selalu menganggap bahwa guru pendamping kelas adalah orang tua mereka bukan orang tua anak kelas lain. Seperti halnya Yoyo yang menganggap Diva adalah Bundanya ketika Alara bermaksud memberi tau, bahwa Diva memang Bunda Alara. Bukan hanya seorang guru, namun juga seorang ibu.

***

Setelah pulang sekolah, Alara lebih banyak diam dari pada berceloteh ria seperti biasanya. Diva selalu menemani Alara, meski tak ada respon dari gadis kecil tersebut. Diva takut, ucapan Yoyo melekat di pikiran Alara dan membuat Alara kepikiran. Oleh karenya, Diva memiliki ide agar mengajak Alara menemaninya memasak atau membuat kue. Anak itu pasti senang.

"Alara," panggil Diva lembut, tak ada respon dari Alara. Pandangan gadis itu masih sama, kosong.

"Bunda panggil Alara, kok Alara diam? Tidak baik loh, mengabaikan panggilan orang tua."

"Maaf Bunda." Ucap Alara menunduk.

"Iya Sayang, Bunda maafkan Alara." Diva memeluk Alara, mengusap rambutnya pelan.

"Alara kenapa bersedih? Mau bermain sama Bunda? Atau menemani Bunda bikin kue? Kue buatan Bunda enak loh." Bujuk Diva sabar.

"Alara tidak mau merepotkan Bunda."

Mendengar jawaban Alara membuat Diva mengernyitkan kening heran, "Kenapa merepotkan Bunda? Kan Bunda yang meminta Alara untuk menemani Bunda?"

Alara menggeleng, "Alara tidak mau menjadi beban Bunda. Bahkan untuk berjalan saja, Alara tidak bisa. Benar kata Yoyo, Alara seharusnya tidak bersekolah di sekolah umum. Alara tidak ingin merepotkan Papa dengan meminta jemput setiap pulang sekolah. Alara seharusnya bisa bersepeda sendiri, tapi Alara tidak bisa."

Diva memeluk Alara, gadis kecil itu menangis terisak kencang di dada Diva. Memejamkan mata, Diva menenangkan Alara dengan usapan lembut di punggungnya.

"Alara, jangan seperti itu. Alara tidak boleh berkata buruk tentang Alara." Diva menyingkirkan anak rambut Alara yang menutupi wajah manis gadis itu.

"Apapun yang Alara miliki sekarang adalah titipan Allah. Jika Alara berkata buruk, maka Allah akan sedih. Allah sayang sama Alara, dan Allah percaya Alara bisa menjaga pemberian Allah dengan baik. Salah satu pemberian Allah adalah kekurangan Alara."

"Tapi kaki Alara berbeda, kaki Alara tidak bisa membuat Alara berlari. Bahkan berjalan saja, Alara harus pelan-pelan karena kaki Alara tidak bisa membantu Alara berjalan dengan baik seperti teman-teman Alara." Ungkap Alara sedih melihat kakinya yang berbeda sebelah.

"Bahkan Papa tidak mau menggendong Alara seperti Bunda menggendong Alara ketika Alara terjatuh karena Yoyo."

Hatinya merasakan kesedihan luar biasa mendengar pengakuan Alara. Menggeleng, Diva tidak boleh menunjukkan kerapuhan di depan Alara. Ia harus kuat dan membuat Alara ikut kuat bersamanya.

"Alara percaya sama Bunda?"

Alara mendongak, lalu mengangguk dengan matanya yang berkaca.

"Jadi Alara harus percaya sama Allah, jika Allah itu yakin bahwa Alara mampu menjaga pemberian Allah pada Alara. Semua manusia memiliki kekurangan, tidak ada yang sempurna."

"Tapi kaki Alara,--"

"Kaki Alara adalah sepasang kaki yang indah pemberian Allah untuk Alara. Jadi, Allah mempercayakan sepasang kaki ini agar Alara jaga. Jangan membuat Allah bersedih karena Alara menyalahkan diri Alara."

"Alara berjanji untuk tidak bersedih lagi?" Diva mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan Alara. Gadis kecil itu pun mengangguk lalu menelusupkan kepalanya ke dalam pelukan Diva.

"Baiklah, kalau begitu... Bagaimana jika Alara membantu Bunda membuat kue? Pasti Papa senang jika Alara membuatkan kue untuk Papa." Ajak Diva, berharap mengurangi kesedihan Alara.

Dan Alara merespon dengan anggukan kepala. "Alara mau membuat kue bersama Bunda."

"Yuk!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status