Share

3. Hari Pertama Sebagai Suami Istri

"Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan."

"Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran.

"Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"

Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya.

"Tidak masalah," jawab Ghibran.

"Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin.

"Dan Alara?"

Perkataan Diva membuat Ghibran menoleh, pria itu menatap istrinya lekat-lekat. Telinganya terasa kurang nyaman mendengar nama putrinya di sebut dalam pembicaraan keduanya.

"Saya tau, kamu mengerti situasi keluarga saya." Ucap Ghibran sembari mendekatkan wajahnya.

Ghibran mengakui bahwasanya Diva memiliki wajah manis dan enak di pandang. Bibirnya yang tipis membuat Ghibran merasa panas. Sudah empat tahun lamanya Ghibran berpuasa, dan kini di suguhkan perempuan sah tepat di depan matanya membuat Ghibran tidak bisa menahan gejolak gairahnya.

Dibelainya lembut pipi istrinya, tatapannya intens menelusuri setiap jengkal wajah Diva. Keningnya yang tak terlalu lebar, alisnya yang berbentuk simetris meski tak terlalu tebal. Sepasang matanya sipit, menatap dirinya terpaku. Dengan bulu mata yang tipis, Ghibran yakin istrinya ini pasti terasa risih ketika memakai bulu mata palsu yang tadi menghiasi kelopak matanya.

"Mata mu memerah," Ghibran menyentuh kelopak mata Diva, "--Pasti karena acara tadi."

Diva gugup mendapat sentuhan pertama kali dari suaminya. Mengalihkan pandangan ke bawah, Diva mengusap kelopak matanya. Namun, Ghibran mencegah perbuatan istrinya.

Digenggamnya tangan Diva, terasa kecil dan hangat. Diva semakin terpaku pada perlakuan Ghibran, jantungnya bertalu-talu hingga terasa sesak.

"Mas..."

"Ak--aku, aku kayaknya ngantuk,"

Ghibran menaikkan salah satu alisnya, "Sungguh? Tapi kamu yang mengajakku untuk meminum kopi bersama. Tiba-tiba mengantuk?"

Diva mengangguk gugup, "Aku mau tidur dulu ya, Mas."

Bangkit dari sofa di balkon, Diva berjalan memasuki kamar. Baru saja ia akan membuka pintu kaca yang menghubungkan balkon dan kamar, tangan besar nan kekar mencegahnya. Mencengkram pergelangan tangan Diva dan menariknya hingga Diva terperangkap dalam pelukan Ghibran.

"Mas..."

Kedua tangannya seketika menahan dada Ghibran, jarak antara keduanya sangat dekat. Sepasang lengan pria itu mendekap tubuhnya erat.

"Jantung mu berdetak begitu cepat." Kata Ghibran.

"Mas,--"

"Kamu capek?" Bisik Ghibran di telinga Diva.

Tubuhnya terasa lemas karena pria yang berstatus suaminya, Diva bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya. Otaknya tak mampu mencerna setiap kata yang Ghibran ucapkan.

"Saya akan menghubungi Mama untuk menjaga dia,"

"Malam ini, kamu milik saya."

Seketika Diva tak dapat mengerti kalimat terakhir dari Ghibran yang ia ucapkan. Pikirannya kosong, ia hanya menatap apa yang suaminya lakukan padanya.

"Ak--aku,--"

"Percaya sama saya, saya adalah suami kamu. Tidak mungkin suami kamu menyakiti kamu, Diva. Percaya sama saya."

Setelahnya yang Diva lakukan adalah meletakkan kepercayaannya pada suaminya, Ghibran Batsya Alfarizi.

***

Gorden yang masih tertutup menghalangi sinar matahari yang ingin masuk kamar. Suasana gelap masih terasa, tak mengganggu pasangan yang bergelung dengan satu selimut yang sama.

Setelah subuh, keduanya membersihkan diri dan menjalankan kewajiban sebagai umat muslim, Ghibran dengan halusnya meminta istrinya untuk tetap terjaga bersamanya. Kembali mengulang kegiatan malam yang sudah lama Ghibran tahan.

Setelah istrinya tertidur, karena ulah Ghibran. Pria yang kini berstatus suami itu tak dapat memejamkan matanya, ia menatap wajah Diva yang kelelahan. Begitu pulas tertidur, meski Ghibran ganggu.

Ghibran sendiri tidak tahu apa yang membuatnya percaya pada gadis bernama Diva. Sosoknya yang lembut dan sopan, membuat Ghibran sedikit melihat sosok Diva sebagai seorang wanita. Hingga Ghibran dengan berani dan tanpa ragu melamar Diva untuk menjadi istrinya.

Meski karena putrinya, Ghibran tak akan menampik hal tersebut. Karena nyatanya, Ghibran memang menyukai Diva sejak pertama kali ia melihat gadis itu ketika mengajar bersama anak-anak di taman depan sekolah ketika menjemput putrinya.

"Saya tidak tahu, apa yang kamu lakukan sehingga saya bisa mempercayai kamu untuk hadir di hidup saya, Diva."

"Meski saya belum memiliki perasaan pada mu, tapi kamu telah berhasil membuat pusat pandangan saya selalu tertuju pada mu."

"Sekeras apapun pikiran saya dalam kehidupan rumah tangga kita nanti, saya percaya kamu bisa mengimbangi saya."

"Sebesar apapun masalah kita nanti, saya tidak akan pernah melepaskan kamu, Diva. Sekuat apapun kamu berlari, saya akan mencari dan membawa mu kembali. Suka tidak suka, itu adalah sisi egois saya."

"Karena kamu telah memasuki kehidupan saya, Diva. Kamu tidak akan pernah bisa lepas dari saya."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Ghibran mencium bibir istrinya sekilas. Kemudian pria itu bangkit dari atas kasur dan membersihkan dirinya. Ia membiarkan Diva melanjutkan dunia mimpinya yang membuat wanita itu begitu lelap.

Keluar kamar mandi dengan penampilan yang segar, Ghibran masih menemukan istrinya terlelap di atas ranjang dengan selimut yang membungkus tubuhnya seperti kepompong. Tak ingin mengganggu, Ghibran membereskan kopernya. Melihat koper milik Diva yang berukuran kecil, Ghibran heran.

Apakah barang milik istrinya sedikit? Mencoba membuka, Ghibran membereskan koper milik Diva. Memasukkan baju-baju kotor dalam satu tempat. Ghibran akan meminta pelayan kamar hotel membereskan dan mencuci semua baju keduanya yang kotor.

Suara ketukan di pintu terdengar, memanggil nama Ghibran dan Diva secara bergantian. Mendekati pintu, Ghibran memutar kunci dan pintu terbuka.

"Mama?"

Melihat Mamanya yang ternyata si pengetuk pintu, Ghibran segera berdiri di luar kamar dan menutup pintu kamarnya.

Mama Ratih--Ibu Ghibran datang dengan Alara di gendongan. Gadis kecil itu tampak habis menangis terlihat dari matanya yang sembab.

Tanpa bertanya Ghibran tau, putrinya mencari Diva.

"Alara menangis sejak ia terbangun berada di kamar Mama, terus saja memanggil Diva. Mama tidak bisa melakukan apa-apa, selain membawanya kemari," jelas Mama Ratih.

"Diva lagi istirahat Ma, Ghibran minta Mama jaga dia ya,"

"Ghibran,--"

"Bunda..."

Rengekan Alara di gedongan Mamanya adalah hal yang tak ingin Ghibran dengar. Menghela napas, Ghibran tak ingin bocah kecil itu mengganggu istrinya. Diva baru saja tidur pukul setengah tujuh pagi, dan sekarang harus bangun karena rengekan Alara? Tentu saja Ghibran tak akan membiarkannya.

"Jangan menangis." Ucap Ghibran pada putrinya.

Seketika rengekan Alara terhenti, sepasang manik matanya masih berkaca-kaca. Wajahnya memerah dengan ingus yang keluar dari hidungnya.

"Mau Bunda, Papa..." Alara berkata dengan sesenggukan, meski sisa tangis masih ada. Bocah kecil itu sekuat tenaga menahan isak tangis karena takut pada Papanya.

"Nanti saja Alara, sekarang Bunda sedang istirahat. Bunda capek, biarkan Bunda tidur."

"Alara tidak akan mengganggu Bunda, Alara akan menunggunya."

"Alara harus sekolah, tidak ada acara bolos sekolah karena menunggu Bunda. Sekarang Alara pulang sama Oma, dan mandi. Mbok Iyul akan membantu Alara bersiap, nanti biar supir yang antar ke sekolah."

Perintah Papanya mutlak harus Alara turuti, tak ada kata absen. Bahkan kemarin pun, Alara bisa ikut dalam acara pernikahan orang tuanya berkat bantuan Oma yang memaksa Ghibran agar Alara menyaksikan pernikahan orang tuanya.

"Tapi Pa,--"

"Alara!"

Seketika itu pula, Alara terdiam. Gadis kecil itu menatap Papanya dengan mata yang semakin berkaca. Papanya benci melihat Alara menangis, namun Papanya yang membuat Alara menangis.

Mama Ratih yang menyaksikan putranya yang marah seketika melerai, "Ghibran!" Tegur Mama Ratih.

"Alara masih kecil, jangan dibentak."

"Kalau begitu, Mama bisa bawa Alara pulang. Nanti Ghibran dan Diva akan check out hotel ketika istri Ghibran sudah bangun."

Ghibran menutup pintu kamarnya, mengabaikan Mamanya yang memanggil - manggil nama Ghibran. Tanpa memedulikan Mamanya, Ghibran melirik ke atas kasur. Diva masih tidur terlelap, seakan istrinya itu tidak terganggu dengan keributan yang baru saja terjadi.

Tak ada kegiatan membolos bagi Ghibran, pria gila kerja itu menerapkan hal tersebut kepada putrinya sendiri. Jika Alara masih kuat untuk berjalan meski gadis itu sakit sekali pun, maka Ghibran akan menyuruh Alara untuk berangkat sekolah.

Itulah Ghibran dengan segala sikap keras kepala dan egoisnya yang semenjak perceraian dengan mantan istrinya empat tahun silam.

"Mas?"

Ghibran menoleh mendengar suara serak Diva menyapa gendang telinganya. Pria itu menghampiri istrinya yang baru bangun tidur.

"Sudah bangun?"

Diva mengangguk, masih mencengkram erat selimut. Ia baru menyadari ketelanjangannya, padahal seingatnya ia memakai baju sebelum tidur subuh tadi.

"Mas yang melakukannya, Mas pikir akan lebih baik jika tanpa baju."

"Mas!"

Ghibran tersenyum miring melihat istrinya yang panik, "Mas! Kembaliin baju Diva!"

"Tidak mandi saja?"

"Diva bisa sendiri, Mas."

"Saya bisa membantu,"

"Mas..." Kata Diva memelas, sungguh suaminya ini benar-benar membuat Diva malu.

Menyodorkan kemeja miliknya, Diva menerima dengan bingung. "Kenapa kemeja Mas Ghibran kasih ke Diva?"

"Biar mudah saja. Lagi pula, baju yang kamu bawa, gamis semua." Jelas Ghibran.

Diva baru ingat akan hal tersebut, "Terima kasih Mas."

Baru saja Diva akan memakai kemeja milik suaminya, ia menatap Ghibran yang juga menatapnya dengan menyender di tembok samping kamar mandi.

"Mas kenapa menatap Diva seperti itu? Bisa Mas Ghibran keluar saja?"

"Untuk apa saya keluar? Saya sudah melihat semuanya, juga menyentuhnya."

"Mas! Diva malu!"

"Kenapa malu? Saya bisa membantu jika kamu kesulitan ke kamar mandi."

"Diva bisa jalan sendiri."

"Yakin?"

Sebenarnya Diva tidak yakin, namun meminta bantuan suaminya Diva akan merasa sangat malu. Sebelum subuh tadi, suaminya lah yang membantunya ke kamar mandi. Bahkan ia dan Ghibran mandi bersama, dalam artian benar-benar mandi tanpa melakukan apapun.

Setelah membersihkan diri dan Ghibran mengajak Diva sholat berjamaah dengan dirinya sebagai imam. Baru lah, Ghibran kembali meminta haknya pada Diva. Meski Diva menolak secara halus, Ghibran memiliki seribu cara agar ia tak bisa menolak.

"Akhh!"

"Mas!"

Diva terkejut begitu tubuhnya melayang dengan selimut yang masih membalut. Ghibran mengangkat tubuhnya ke kamar mandi, mendudukkan Diva di closet.

"Sekarang kamu bisa mandi, saya tunggu di luar. Kamu bisa panggil saya jika butuh bantuan,"

Diva mengangguk, "Iya Mas, terima kasih."

"Sama-sama,"

"Dan saya, tidak akan meminta maaf untuk apa yang telah terjadi pada mu pagi ini."

Ghibran keluar kamar mandi dengan mencuri satu kecupan di kening Diva. Perempuan itu terpaku dengan apa yang suaminya lakukan. Perlakukan Ghibran begitu manis, meski sebelum menikah pria itu dingin padanya.

"Mas Ghibran kenapa berubah jadi manis gini sih! Diva kan meleleh jadinya!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status