Share

Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?
Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?
Penulis: Itha Sulfiana

Istri baru

"Najwa, kenalkan! Dia Salma. Adik madumu."

Bagai sebuah sembilu, kata-kata Bian sukses menusuk jantung Najwa. Belum kering luka hatinya setelah ditinggal pergi oleh sang Kakek untuk selamanya. Dan, kini pria kedua yang paling dia percaya justru memberi luka baru yang tak kalah sakit.

Madu?

Benarkah? Ini seperti mimpi disiang bolong. Berusaha untuk bangun, namun Najwa tak bisa. Berarti, semua memang nyata adanya.

"Ma-madu?"

Najwa rasanya ingin tertawa. Ingin pula berteriak kasar mengumpat pria yang telah dia anggap sebagai pelindung selama ini.

Namun, apa daya. Tenaganya benar-benar telah terkuras habis, setelah seminggu dia berada di desa untuk mengurus pemakaman dan pengajian untuk sang kakek tersayang yang baru saja berpulang kepada penciptanya.

Selama seminggu itu, Bian sama sekali tak pernah hadir dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Tak ada panggilan telepon untuk sekadar bertanya kabar apalagi berusaha menguatkan Najwa yang baru kehilangan separuh jiwanya.

Padahal, Bian tahu betul jika Kakek adalah satu-satunya keluarga Najwa yang tersisa. Dan, sekarang Najwa mengerti, kenapa Bian bisa berbuat setega itu. Rupanya, sudah ada wanita lain yang menjadi fokus utama Bian.

"Sejak kapan?" tanya Najwa dingin.

Tak ada gunanya menangis. Itu hanya akan menunjukkan bahwa dia lemah dihadapan pengkhianat itu.

"Enam bulan yang lalu." Lugas, lelaki tak berperasaan itu menjawab.

Jantung Najwa seolah di remas kuat. Sakit. Namun, sebisa mungkin dia bertahan dalam ketegaran.

"Kenapa baru bilang sekarang?" tanya Najwa dengan tangan yang terkepal erat. Netranya, menghunus tajam, ke arah lelaki yang selama ini telah begitu dia percaya dan dia jadikan raja.

Bian malah tertunduk. "Aku... Aku...," Dia terbata. Tak tahu harus menjawab apa.

"Baru punya nyali karena Kakek sudah tiada?"

Mas Bian tampak meneguk ludah. Perkataan Najwa memang ada benarnya.

Dia baru berani memperkenalkan Salma pada Najwa karena sosok yang paling dia takuti saat Najwa terluka, kini sudah tidak ada.

"Maaf, Najwa," lirih Bian sangat pelan.

"Bukannya, dia ini istri teman kamu, Mas? Bagaimana bisa, tiba-tiba perempuan ini menjadi istri keduamu?" tanya Najwa lagi.

Ya, dia ingat betul bahwa perempuan yang sekarang suaminya bawa adalah istri dari teman sekantor suaminya. Dia dan Salma pernah bertemu beberapa kali diacara kantornya Bian.

"Salma memang istrinya Ahmad. Tapi, satu tahun lalu, mereka bercerai. Dan, beberapa bulan kemudian, kami mulai dekat lalu memutuskan untuk menikah. Najwa... Mas harap, kamu bisa menerima kehadiran Salma di rumah ini."

Mata Najwa seketika membulat. Waraskah, suaminya? Tega sekali pria itu dengan sengaja menempatkan sumber luka Najwa didekatnya.

"Apa aku tak salah dengar, Mas? Menerima kehadiran dia di rumah ini?" ulang Najwa dengan senyum sinis.

"Iya, Sayang. Mas tak punya pilihan lain. Saat ini, Salma tak punya siapa-siapa lagi. Dia takut tinggal sendiri. Makanya, Mas bawa saja dia kemari. Mas tahu, kamu pasti bisa menerima Salma dengan baik di rumah ini, kan?"

"Kenapa Mas terlalu percaya diri?"

"Karena dulu, kamu juga bisa menerima kehadiran keluarga Mas yang lain dirumah ini."

Mendengar jawaban yang diutarakan Bian, Najwa kembali ingin sekali tertawa. Ya, dulu dia memang dengan senang hati menerima kehadiran Ibunda Bian di rumah ini.

Tak lama kemudian, adik perempuan Bian juga ikut pindah setelah dicerai suaminya karena ketahuan selingkuh dengan berondong SMA. Namun, kedatangan Salma tentu berbeda. Najwa tak bodoh hingga tak tahu apa maksud Salma ingin ikut tinggal di rumah ini.

"Maaf, Mas! Aku menolak! Silakan kamu bawa gundikmu, keluar dari sini!" usir Najwa dengan tegas.

"Najwa...,"

"Mas... Aku nggak mau pergi. Tolong, bujuk istri tuamu untuk menerima aku disini." Salma mulai merengek. Bergelayut manja dilengan Bian yang membuat Najwa semakin naik pitam.

"Haruskah kamu memperlihatkan sikap manjamu di hadapan ku? Kenapa? Apa ingin sekali pamer, kalau kamu sudah berhasil merebut suamiku seuntuhnya?"

Salma sontak tertunduk. Air matanya mengalir deras tanpa diminta. Ah, drama! Begitu, pikir Najwa.

"Maaf, Mbak! Maksudku tak seperti itu," ujar Salma membela diri.

"Lalu apa maksudmu? Belum cukup kau rebut suamiku, dan sekarang, kau juga ingin menguasai istanaku?"

"Tidak, Mbak! Sama sekali tidak. Mbak salah paham."

"Jangan berprasangka buruk pada Salma, Najwa! Dia perempuan baik. Tak pantas, kamu hina dia sesarkas itu!" Bian turut membela istri sirinya. Hal yang membuat luka hati Najwa semakin menganga lebar.

"Kalau dia memang baik, kenapa tega jadi pelakor?"

"Dia bukan pelakor!" balas Bian. "Aku dan Salma... sebenarnya sudah saling mencintai sejak lama. Hanya saja, saat itu aku terpaksa meninggalkan dia demi menikahi kamu karena dipaksa Bapak."

Ah, serangan untuk ke sekian kali, kembali Bian lancarkan. Saat ini, hati Najwa benar-benar sudah hancur tak berbentuk. Sakit. Sakit sekali.

Najwa dan Bian memang menikah karena perjodohan. Bapak Bian, yang kala itu masih bekerja sebagai pemasok sayuran kepada beberapa pedagang di pasar, berkenalan dengan Kakek Najwa yang merupakan seorang petani cabai, wortel dan beberapa sayuran lainnya.

Dari situ, Keduanya mulai akrab dan menjadi teman baik. Lalu, Bapak Bian tak sengaja melihat Najwa. Dari situ, ide perjodohan pun timbul dibenak Bapak Bian dan disetujui oleh Kakeknya Najwa.

Jadilah, Bian dan Najwa akhirnya menikah walau tanpa cinta. Meski Bian begitu dingin pada awalnya, namun lama kelamaan, lelaki itu akhirnya bisa menerima Najwa. Kebaikan dan ketulusan yang Najwa perlihatkan, ternyata ampuh mengetuk pintu hati Bian.

Namun, hari ini Najwa baru tahu jika namanya ternyata tak pernah terukir didalam hati sang suami.

Dia diperbolehkan masuk ke relung hati Bian, namun tak diperbolehkan untuk menetap.

"Jadi, Mas tidak pernah mencintaiku?" lirih Najwa dengan mata berkaca-kaca.

"Ya. Mas tidak pernah mencintai kamu. Cinta Mas, hanya untuk Salma."

Lihatlah! Wanita perebut itu mulai tersenyum lebar. Kemenangan, telah dia kantongi dengan telak. Lalu, bagaimana dengan Najwa? Ya, mungkin dia memang kalah. Tapi, menyerah? Tidak akan.

"Kalau begitu, ceraikan saja aku, Mas!" ucap Najwa datar.

Mata Bian seketika membulat sempurna. Kalimat itu, tak pernah dia sangka akan keluar dari mulut Najwa yang selama dua tahun terakhir, terlihat begitu mencintainya.

"Ngomong apa kamu, Najwa? Apa kamu pikir, kata cerai itu, main-main?" sergah Bian tak terima.

"Aku tidak sedang bermain-main. Aku serius! Talak aku!" pinta Najwa penuh ketegasan.

Bian nampak tersenyum meremehkan. Pria itu bahkan berkacak pinggang sambil memindai penampilan Najwa yang terlihat begitu kacau.

Wajahnya sembap. Kantung matanya menghitam. Bibirnya bahkan nampak pucat dan kering. Mungkin, Najwa kelelahan mengurus semua hal yang berkaitan dengan pemakaman sang Kakek tanpa adanya Bian disisinya.

"Kamu sedang lelah. Lebih baik istirahat saja. Nanti, kita bicarakan lagi, kalau pikiranmu sudah mulai terbuka. Dan, aku akan tetap pada keputusanku. Salma, akan tinggal disini mulai detik ini. Dengan, atau tanpa persetujuan dari kamu."

Bian merangkul sang istri kedua menuju ke kamar tamu. Najwa hanya bisa menatap nanar kedua manusia itu dengan tangan terkepal. Air mata yang sedari tadi dia tahan kini tumpah sudah.

Rasanya Najwa sudah hampir menyerah dengan cobaan hidup yang mendera. Belum kering makam sang Kakek, namun cobaan baru kini sudah datang menerpa.

"Kakek... Najwa rindu. Sekarang, Najwa harus apa? Najwa sendirian."

*

"Bian, Najwa mana, Nak?" tanya Bu Jannah, Ibu kandung Bian.

Sudah satu tahun, perempuan paruh baya itu mengalami kelumpuhan. Dan, sejak saat itu pula, Bu Jannah harus duduk di kursi roda.

"Di kamar, Bu. Mungkin, lagi istirahat," sahut Bian sambil meneruskan makan siangnya bersama Salma.

"Tolong panggilkan! Ibu mau buang air besar," titah Bu Jannah pada putranya.

"Baik, Bu!" angguk Bian patuh.

Selama ini, yang merawat Bu Jannah sepenuhnya memang Najwa. Walau selalu tak mendapatkan sambutan hangat dari sang Ibu mertua, namun selama ini Najwa tetap merawatnya dengan telaten atas nama bakti.

"Najwa!! Buka pintu!!! Ibu mau BAB. Tolong, kamu bantu dulu!" teriak Bian didepan kamar Najwa yang terkunci rapat.

"Najwa! Najwa! Kamu dengar, tidak? Tolong bantu Ibu dulu! Perawat yang kemarin bantuin Ibu, sudah ku suruh pulang, soalnya!" teriak Bian lagi disertai dengan ketukan pintu.

Didalam kamar, Najwa sengaja memasang earphone lalu menyetel musik kencang-kencang agar suara Bian tersamarkan. Untuk apa dia mengurus orangtua Bian? Toh, keberadaannya memang tak pernah dihargai, bukan?

Sekarang, Najwa tak ingin ikut campur lagi. Biarkan, Bian dan istri barunya yang mengurus Ibu mereka.

"Kamu terlalu meremehkan seorang Najwa, Mas! Kamu tidak pernah tahu jika cucu seorang Syamsul Adji telah diajarkan kuat sedari kecil. Kita lihat, sampai dimana cinta yang kamu agung-agungkan itu akan bertahan." Najwa tersenyum miring. Bersiap merencanakan sebuah langkah besar untuk membuat Bian menyesal.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andrisna Mahurumun Andrisna
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status