Najwa mulai merasa takut. Tingkah Bian benar-benar terlihat ganjil malam ini."Kita sudah hampir bercerai, Mas! Minggu depan, adalah sidang terakhir kita dan waktunya kamu menjatuhkan talak untuk aku.""Apa kamu bilang? Bercerai?" Lelaki itu tertawa sumbang. "jangan bercanda! Hubungan kita baik-baik aja, Wa! Tapi, kenapa kamu malah bahas soal perceraian?""Mas yang jangan bercanda!" sergah Najwa. "Jangan pura-pura lupa ingatan, Mas!"Najwa berbalik. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah daripada harus meladeni Bian terlalu lama."Wa, tunggu!" cegah Bian sambil menahan pergelangan tangan Najwa."Apa lagi, Mas?" tanya Najwa muak."Aku nggak mau cerai! Sampai mati pun, aku nggak akan pernah lepasin kamu!"Cengkraman tangan pria itu kian mengerat. Najwa bahkan mulai merasa kesakitan akibat ulah Bian."Mas, sakit!!!" desis Najwa sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman Bian. Tulang pergelangan tangannya terasa hampir remuk."Katakan, kalau kamu nggak akan pernah bercerai dari Mas
Perasaan Bu Jannah hancur tak karuan. Putra kebanggaan yang dulu dia manjakan dengan sepenuh hati kini malah tega menyakiti dirinya. Rasanya perih. Seluruh tulang Bu Jannah bagai dipaksa lepas satu per satu."Kamu jahat sama Ibu, Bian!" lirih Bu Jannah menangis.Di kamar sebelah, Bian menutup telinganya dengan bantal. Kesal sekali rasanya, mendengar tangisan sang Ibu yang menurutnya sangat menganggu."Argghhh!! Ibu bisa diem nggak, sih? Berisik!!!" bentak Bian sembari memukul dinding pembatas antara kamarnya dan kamar sang Ibu.Tak berselang lama, suara tangis itu perlahan reda. Bian menghela napas lega lalu tertidur tanpa rasa bersalah.*"Bian... tolong bersihkan Ibu dulu ya, Nak! Ibu benar-benar udah nggak nyaman," pinta Bu Jannah memelas saat kepala Bian menyembul di depan pintu kamarnya."Makanya, Ibu cepat sembuh, dong! Biar Ibu nggak nyusahin Bian lagi," ucap Bian ketus sembari masuk ke dalam kamar sang Ibu."Maafkan Ibu!" Bu Jannah tertunduk. Ia pasrah saja ketika Bian mulai m
"Bapak? Ibu?" lirih Najwa dengan perasaan bahagia."Ngapain orang itu harus datang sekarang, sih?" gumam Bian merasa kesal.Pak Haris dan Bu Dahlia lekas menghampiri Najwa. Mereka saling berpelukan demi melepas rindu yang sudah lama menggunung."Bapak sama Ibu kenapa datang nggak bilang-bilang, sih? Kan, Najwa bisa jemput di terminal," ucap Najwa begitu melepaskan pelukan dengan sang Ibu angkat."Ibu sama Bapak sengaja pengen kasih kejutan untuk kamu, Wa! Tapi... ternyata pas sampai sini, justru kami yang terkejut. Kok, manusia sampah ini masih ada disini?" tanya Pak Haris dengan lirikan sinis ke arah Bian."Bapak sama Ibu apa kabar?" tanya Bian basa-basi."Nggak usah sok akrab. Sebentar lagi, kamu bukan siapa-siapa lagi untuk putri kami," jawab Pak Haris ketus."Tapi, saya nggak mau cerai dari Najwa, Pak. Saya masih sangat mencintai dia.""Cinta Najwa atau cinta hartanya?" sindir Pak Haris telak."Tentu saja cinta Najwa-nya, Pak.""Kalau memang cinta, kenapa dulu mendua?"Skakmat!La
Hari yang dinanti-nanti Najwa akhirnya tiba. Hari ini, adalah sidang terakhir perceraiannya dengan Bian. Dengan didampingi oleh pengacara serta kedua orangtua angkatnya, Najwa dengan penuh percaya diri melangkah memasuki gedung tersebut. "Sepertinya, Bian tidak akan hadir hari ini," ucap Pak Haris saat hendak memasuki ruang pengadilan. "Bagus kalau Mas Bian nggak datang, Pak. Itu artinya, perceraian kami bisa diputuskan secara verstek. Dengan begitu, nggak akan banyak drama yang bisa menganggu jalannya persidangan nanti," timpal Najwa. Perempuan itu sangat bersyukur dengan ketidakhadiran mantan suaminya. Dengan begitu, sidang putusan perceraian mereka bisa diputuskan dengan cepat tanpa ada drama penolakan dari Bian. "Selamat, Mbak Najwa! Anda kini sudah resmi menyandang status baru." Pengacara yang selama ini mendampingi Najwa dalam sidang perceraiannya tampak tersenyum puas dengan hasil yang dikeluarkan pengadilan. "Terimakasih, Pak!" "Kalau begitu, saya permisi dulu! Masih ada
"Pokoknya, Mas nggak akan pernah menerima perceraian ini, Wa! Kamu selamanya akan tetap jadi istri Mas!" ucap Bian keras kepala.Kehilangan Najwa adalah kejatuhan paling rendah dalam hidupnya. Wanita itu adalah harapan terakhir yang tersisa untuk Bian bisa kembali hidup senang seperti dulu.Namun, jika sekarang Najwa benar-benar sudah lepas dari genggaman, itu artinya hidup Bian selamanya akan terus dipenuhi penderitaan."Kenapa susah sekali untuk kamu memaafkan aku, Wa? Padahal, aku sudah mengaku salah! Aku sudah bilang, kalau aku khilaf. Aku menyesal karena telah menyakiti kamu dengan menghadirkan Salma ditengah-tengah kita.""Dan aku juga sudah pernah bilang, Mas! Nggak ada gunanya menyesal! Karena selamanya, aku nggak akan pernah mau kembali lagi sama kamu!"Bian merasa sangat frustasi. Apalagi yang harus dia lakukan demi membuat Najwa kembali padanya?"Ayo, Pak, Bu! Kita pulang!" ajak Najwa pada kedua orangtuanya."
"Astaghfirullahaladzim!! Ibu kenapa?" tanya seorang wanita berhijab yang datang menghampiri Bu Jannah bersama suami dan anaknya."Huhuhu... Tolong Ibu, Nak! Ibu sepertinya ditinggalkan sama anak Ibu," jawab Bu Jannah."Ya Allah, kasihan sekali!" pekik suami wanita itu tertahan. "Memangnya, kenapa Ibu sampai ditinggal ditempat seperti ini?"Bu Jannah menggeleng. Hendak berterus terang, namun dia juga tak tega jika orang-orang ini nantinya malah memperkarakan Bian ke kantor polisi."Mungkin, anak Ibu lupa kalau Ibu masih ada disini, Nak!" jawabnya kemudian."Ibu hafal, alamat rumah Ibu?" tanya wanita itu lagi."Hafal," jawab Bu Jannah."Kalau begitu, Ibu beritahu saja dimana alamat rumah Ibu! Nanti, saya dan suami saya yang akan mengantarkan Ibu pulang.""Terimakasih, Nak! Terimakasih," timpal Bu Jannah lega.Akhirnya, dia tak jadi terlantar. Sebaliknya, mungkin hidupnya akan kembali enak setelah ini."Bu, apa benar, ini rumahnya?" tanya wanita itu pada Bu Jannah."Benar, Nak! Ini rumah
Najwa menghela napas panjang. Dia tahu, keputusannya menerima Bu Jannah malam ini dirumahnya, pasti akan menimbulkan keberatan disisi sang Ayah. "Bapak nggak setuju kalau perempuan tua yang licik itu ada disini, Nak!" ujar Pak Haris bersikeras. "Pak Haris! Tolong maafkan kesalahan saya di masa lalu! Demi Allah, saya menyesal telah berbuat jahat sama Najwa. Dan, sekarang saya sudah mendapatkan karmanya. Anak saya sendiri tega menyiksa bahkan membuang saya." Raungan pilu Bu Jannah kembali membahana. Namun, Pak Haris sama sekali tak tersentuh dengan isak tangis perempuan lumpuh itu. Hatinya sejak lama sudah mati untuk orang-orang yang tega memperlakukan Najwa dengan tidak adil. "Ibu lebih baik istirahat dulu! Nanti, biar Najwa yang bicara sama Bapak," ujar Najwa menengahi. "Terimakasih, Nak! Terimakasih! Kamu memang perempuan berhati malaikat!" puji Bu Jannah. Namun, ekspresi Najwa tampak biasa saja sa
"Nggak! Saya nggak mau pulang! Saya mau di sini!" teriak Bu Jannah histeris. Pak Haris, Bu Dahlia serta Najwa hanya bisa menggeleng pelan. Sementara, Bi Iroh terlihat sudah sangat kesal dengan kelakuan Bu Jannah yang sedari tadi terus saja memerintahnya dengan kalimat kasar. "Kamu nggak bisa mengusir Ibu dari sini, Wa! Ibu juga berhak tinggal di sini! Di rumah ini, ada hak Bian juga." "Hak Bian? Anda melantur, ya? Jelas-jelas, rumah ini dibeli oleh pakde Syamsul untuk Najwa!" sangkal Pak Haris sambil tertawa meremehkan. "Tapi... perabotan di rumah ini, pasti dibeli pakai uang anakku, kan? Nggak mungkin, selama dua tahun membina rumah tangga, Najwa tak pernah membeli sesuatu dengan uang milik anakku!" "Ah, Ibu benar. Memang, aku pernah membeli perabotan dengan menggunakan uang Mas Bian." Senyum penuh kepuasan terbit di wajah Bu Jannah. Dia yakin, jumlah perabotan yang dibeli menggunakan uang anaknya pasti lumayan banyak. "Ibu ingat rak piring kecil yang pernah di rusak Net