"Kenapa masih berdiri disitu? Kamu nggak dengar apa kata Ibu, ya? Minggir, Najwa!" ucap Bu Jannah ketus."Siapa yang mengizinkan Ibu dan Mas Bian masuk?""Ya, nggak ada. Kenapa juga harus minta izin? Ini kan, rumah Ibu dan Bian juga," jawab Bu Jannah."Ini rumah saya, Bu! Bukan rumah Ibu dan juga Mas Bian. Ngerti?""Walaupun rumah ini dibangun sama Kakek kamu, tapi tetap saja Ibu dan Bian juga punya hak. Bukankah, kami ini mertua dan juga suami kamu?"Hah! Najwa benar-benar merasa speechless. Ada ya, spesies langka seperti kedua manusia ini dimuka bumi?"Saya sudah menggugat cerai Mas Bian, Bu! Jadi, kami sudah tidak bisa tinggal serumah lagi.""Bian menolak gugatan perceraian itu. Jadi, tidak akan pernah ada perpisahan diantara kalian. Paham?""Biar nanti pengadilan agama saja yang menentukan, Bu!"Bu Jannah menghela napas kasar. Najwa memang sangat keras dan tegas. Persis, seperti deskripsi Bian saat hendak berangkat tadi."Kata talak itu, adanya pada suami. Jadi, hakim pengadilan ag
"Mereka udah pada pergi, Bi?" tanya Najwa saat Bi Iroh kembali masuk ke dalam."Alhamdulillah, sudah, Mbak. Tadi, udah ta' usir," jawab Bi Iroh dengan bangganya."Bagus, kalau begitu. Terimakasih banyak, ya, Bi. Besok-besok, kalau mereka datang lagi pas saya nggak ada, langsung usir aja. Nggak usah dikasih hati.""Baik, Mbak," angguk Bi Iroh patuh. "Tapi, Mbak... memangnya, mereka siapa?"Najwa menghela napas panjang. "Mereka calon mantan suami dan mertua saya, Bi.""Oh, gitu," Bi Iroh manggut-manggut. "Wajar sih, kalau Mbak Najwa ngusir mereka. Wong, mulut mereka berdua pada kayak mercon kalau lagi ngomong. Kayak manusia yang nggak pernah diajari sopan-santun. Terutama, Ibu mertua Mbak Najwa itu, tuh! Sudah duduk di kursi roda begitu, tapi masih aja, mulutnya nggak bisa disaring kalau lagi ngomong.""Mereka memang kayak gitu, Bi. Makanya, saya memutuskan untuk terlepas dari mereka.""Harus itu, Mbak! Sebagai wanita yang mandiri, seharusnya Mbak Najwa nggak perlu tuh, miara benalu kay
Pagi-pagi sekali, Najwa sudah siap untuk berangkat ke pengadilan agama. Hari ini merupakan agenda sidang kedua perceraian antara dirinya dan juga Bian.Diparkiran pengadilan agama, Najwa kembali bertemu dengan Bian. Namun, kali ini lelaki itu tak sendiri. Dia terlihat membawa serta sang Ibu bersamanya."Najwa!" panggil Bian seraya mendorong kursi roda sang Ibu mendekati Najwa."Ada apa?" tanya Najwa datar. Dia melipat kedua tangannya didepan dada, sembari berdiri dengan tegak disamping mobil gagahnya."Mobil siapa ini? Apa mobil kamu, Wa?" celetuk Bu Jannah dengan tatapan berbinar-binar."Alhamdulillah, Bu," sahut Najwa. "Ini memang mobil saya.""Bagus sekali. Pasti, menyenangkan kalau mobil ini kita bawa jalan-jalan ke rumah saudara kita, Bian." Bu Jannah mendongak menatap putranya. "Mereka pasti akan sangat menghargai kita dan memuji-muji kamu."Bian nyengir. Merasa agak malu gara-gara perkataan sang Ibu. Sementara, Najwa tampak melongo. Dia tak menyangka, Bu Jannah akan berucap sep
Stok sabar Najwa sepertinya sudah hampir habis dalam menghadapi kelakuan ajaib calon mantan suaminya. Namun, dia tetap merasa puas melihat Bian yang kini terlihat begitu menyedihkan.Keangkuhan pria itu telah tumbang. Kini, yang tersisa hanya reruntuhan kesombongan yang berusaha dia bangkitkan kembali namun sudah terlalu sulit.Nyatanya, pilihan untuk mendua bukannya membawa sejahtera namun justru memberi sengsara. Menyesal pun juga percuma. Semua sudah terlanjur terjadi dan tak bisa ditarik kembali.*"Hari ini kamu temenin kakak ke acara ulangtahun Deva, ya!" ajak Halimah begitu semua pekerjaan telah rampung diselesaikan."Deva?" Najwa mengangkat kedua alisnya. Merasa tak asing dengan nama itu namun dia lupa pernah mendengarnya dimana."Masa' kamu lupa, sih? Itu loh, sepupu kakak yang tinggalnya di Singapura.""Maksud Kakak, sepupu yang dulu sempat kuliah di universitas kita tapi malah di DO?" ceplos Najwa yang seketika menutup rapat mulutnya."Iya," angguk Halimah. "Kamu masih inga
"Pernah tahu soal kamu," jawab Deva dengan cepat sambil melotot ke arah Halimah."Oh ya?""I-iya," angguk Deva kaku. "Kamu kan salah satu mahasiswi paling berprestasi di universitas kita dulu. Wajar, kalau hampir semua mahasiswa termasuk aku kenal kamu."Najwa mengangguk paham. Dulu, dirinya memang cukup terkenal ditempatnya menimba ilmu. Bahkan, beberapa lawan jenis termasuk senior-senior di kampus, sempat ada yang mengutarakan perasaan padanya namun ditolak.Salah satunya, sahabat dekat Deva waktu itu."Oh iya, kado aku mana, Kak?" tagih Deva pada Halimah. Dia sebenarnya hanya mengalihkan pembicaraan.Seketika, alis Halimah berkerut."Kado? Tumben, kamu nanyain kado?""Emangnya, salah?" tanya Deva balik. "Aku kan memang lagi ulangtahun. Wajar dong, kalau aku minta kado.""Yah, tapi Kakak lupa bawa, Dev. Gimana, dong?"Deva berdecak. Wajah tampannya terlihat masam."Jadi, Kak Halimah ke sini, murni cuma mau numpang makan doang?"Uhuk!!!Lagi-lagi, Najwa tersedak. Namun, kali ini buka
[Nggak mau, ya? Ya udah kalau gitu.]Suara Dika terdengar kecewa berat. Salma yang mendengar itu pun seketika panik."Tu-tunggu... jangan ditutup dulu!"[Apalagi?]"Aku ada, kok," jawab Salma dengan suara setengah berbisik. Jangan sampai sang Ibu mendengar suaranya.[Beneran?]Kini, suara pria itu terdengar begitu bahagia."Iya. Tapi, kalau aku pinjemin, kamu bakalan ganti, kan?"[Ya, jelas dong, Sayang!] jawab Dika mantap dari seberang sana. [... Asal kamu tahu, Beib! Rumah Bapak sama Ibu terkena proyek jalan tol. Bapak sama Ibuku akan dapat uang 2 M sebagai ganti rugi dari pihak pengembang. Jadi, soal uang, kamu nggak usah khawatir! Bulan depan, uangnya pasti aku ganti semua, kok. Termasuk, yang seratus juta itu.]"Kenapa kamu baru bilang sekarang, Sayang?" tanya Salma dengan mata berbinar. Ingin rasanya berteriak, namun takut sang Ibu dengar.[Sebenarnya... orangtuaku nggak merestui hubungan kita, Sayang. Mereka berniat menjodohkan aku dengan perempuan lain setelah resmi bercerai d
"Yah, berarti aku terlambat lagi dong, Kak!" kata Deva yang tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya."Ya, bisa dibilang... begitu."Deva tersenyum. Dadanya terasa sesak saat sekali lagi, cinta itu gagal dia raih."Permisi!" ucap Najwa saat memasuki ruangan. Dia membawa nampan berisi dua cangkir teh dan satu piring kecil berisi beberapa jenis cookies. Tentunya, itu cookies kesukaan Deva yang memang sangat pilih-pilih jika soal makanan."Terimakasih," kata Deva saat Najwa meletakkan secangkir teh dihadapannya.Najwa hanya mengangguk. Tersenyum singkat, lalu memberikan teh yang satu lagi untuk Halimah."Makasih ya, Wa!" Halimah turut mengucapkan terimakasih."Sama-sama, Bu!" angguk Najwa sebelum undur diri.Hampir satu jam lamanya, hingga Deva akhirnya keluar dari ruangan tersebut. Tak lupa, pria itu singgah di meja Najwa dan memberikan sesuatu yang seketika membuat bola mata Najwa tampak berbinar."Pak Deva? I-ini? Ini saputangan saya?" tanya Najwa takjub.Dia pikir, saputangan dengan de
Najwa mulai merasa takut. Tingkah Bian benar-benar terlihat ganjil malam ini."Kita sudah hampir bercerai, Mas! Minggu depan, adalah sidang terakhir kita dan waktunya kamu menjatuhkan talak untuk aku.""Apa kamu bilang? Bercerai?" Lelaki itu tertawa sumbang. "jangan bercanda! Hubungan kita baik-baik aja, Wa! Tapi, kenapa kamu malah bahas soal perceraian?""Mas yang jangan bercanda!" sergah Najwa. "Jangan pura-pura lupa ingatan, Mas!"Najwa berbalik. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah daripada harus meladeni Bian terlalu lama."Wa, tunggu!" cegah Bian sambil menahan pergelangan tangan Najwa."Apa lagi, Mas?" tanya Najwa muak."Aku nggak mau cerai! Sampai mati pun, aku nggak akan pernah lepasin kamu!"Cengkraman tangan pria itu kian mengerat. Najwa bahkan mulai merasa kesakitan akibat ulah Bian."Mas, sakit!!!" desis Najwa sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman Bian. Tulang pergelangan tangannya terasa hampir remuk."Katakan, kalau kamu nggak akan pernah bercerai dari Mas