Dari dulu, aku memang terbiasa hidup sengsara. Sebagai yatim piatu, aku sudah melewati banyak hal dan ujian. Mulai dikucilkan teman-teman karena tak bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau sekadar makan bakso di kantin sekolah. Sering juga dihina karena tas bertahun-tahun belum ganti juga.
Caci maki seolah menjadi makanan sehari-hari. Mereka membenciku atas kemiskinan ini. Aku seolah sudah kebal mendengar cacian mereka, karena sering hutang di warung tetangga saat kehabisan duit.
Aku juga seakan sudah mati rasa, saat para tetangga justru asyik menontonku dari halaman rumah mereka, saat aku ditagih ibu RT karena dia butuh duit untuk membayar kuliah anaknya. Iya, dia menagihku karena ternyata rumah peninggalan bapak ini memang sudah digadaikan padanya.
Entah buat apa, aku pun tak tahu. Bahkan ibu juga sempat shock saat ibu RT membeberkan bukti gadainya.
Sepuluh juta bukan uang yang sedikit buat kami saat itu, karena itulah ibu mencicilnya tiap bulan demi rumah ini kembali jatuh ke tangan kami. Namun hingga ibu tiada, hutang gadai itu masih tersisa tujuh juta empat ratus rupiah.
Aku terbiasa mendapat panggilan si miskin, kere atau sejenisnya. Tak peduli, asalkan aku tak minta makan pada mereka. Pulang sekolah aku sibuk dengan jualan nasi pecel keliling, bukan aku yang memasak melainkan Mbah Painah. Aku sekadar menjualkan dengan upah di setiap bungkus yang terjual. Pulang dan habis jam lima sore itu sebuah keberuntungan, karena lebih sering sebelum isya baru habis tak bersisa.
Saat teman-teman asyik bermain dengan gadgetnya, aku sudah sibuk di jalanan untuk mengais rejeki. Saat teman asyik menceritakan film terbaru di bioskop, aku sibuk menghitung recehan yang sering diberikan cuma-cuma Mbah Painah untukku jajan cilok, katanya.
Begitulah hidupku yang berliku. Sungguh, yatim piatu sejak remaja itu tak mudah. Bapak pergi saat aku baru menginjak kelas lima sekolah dasar. Saat aku masih merasa belum puas mendapat pelukan dan kasih sayangnya. Sementara ibu pergi saat aku menginjak kelas dua bangku menengah pertama. Bayangkan saja bagaimana kacaunya hidupku saat itu, sedangkan sanak saudara aku tak punya. Mbah Painah lah yang sering membantu saat aku kelaparan dan benar-benar kehabisan stok makanan.
Kepergian bapak, tentu saja membuat roda ekonomi dalam keluarga kecilku berubah bahkan 180 derajat. Dulu aku memang bukan orang kaya, namun kecukupan. Bapak bekerja sebagai sopir pribadi pemilik sebuah pabrik oleh-oleh cukup ternama di kotaku, Semarang.
Pak Hermawan, namanya. Seorang pengusaha sukses yang begitu humble, merangkul, ramah pada semua orang apalagi karyawannya sendiri. Istrinya meninggal saat melahirkan anak ketiganya. Namun dia tak memiliki keinginan untuk menikah. Fokus membesarkan ketiga anaknya biar jadi orang sukses, katanya. Mbak Sania, Mas Hengky dan Mas Davin.
Pak Hermawan lah yang membiayai seluruh pengobatan bapak, saat dia kecelakaan dulu hingga bapak menghembuskan napas terakhirnya. Kepergian bapak otomatis membuat ibu beralih tugas menjadi tulang punggung keluarga. Dia bekerja sebagai tukang cuci setrika di tempat tetangga yang baru saja mendirikan usaha laundry-nya.
Tiga bulan setelah kepergian bapak, kudengar Pak Hermawan juga pamit pada ibu untuk pindah ke Jerman demi mengembangkan bisnisnya. Aku tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Pak Hermawan menghilang begitu saja tanpa kabar, hingga ibu pergi bahkan sampai saat ini.
"Arin, kamu gadis yang baik dan pintar. Bahkan di saat kamu membutuhkan uang untuk membayar hutang, kamu tak mengambil selembar pun uang yang kamu temukan," ucap Mas Feri tiba-tiba.
Dia ... laki-laki yang kemarin kukejar untuk mengembalikan dompetnya. Dompet itu jatuh di parkiran toko, tepat saat aku akan pulang karena sudah ganti shift dengan yang lain.
Buru-buru kususul dia menggunakan motor seorang teman, lalu memberikan dompet itu padanya, tanpa membuka apa saja isi di dalamnya. Iya, dua tahun lalu. Aku masih sangat mengingatnya karena bagiku dia adalah malaikat tak bersayap yang dikirimkanNya untukku.
Saat itu, aku baru saja mendapatkan omelan Bu RT karena belum bisa mencicil hutang rumah ini kembali. Gajiku hanya cukup untuk sebulan karena aku sakit dan tak masuk beberapa hari, otomatis gajiku terpotong karenanya.
"Kurang berapa hutangnya?" tanya Mas Feri saat itu.
"Tiga juta dua ratus empat puluh ribu, Mas," jawab Bu RT cepat. Dia melirik ke arahku penuh tanya.
"Biar saya lunasi, sekalian minta kwitansinya, ya, Bu," ucapnya serius.
"Tapi, Mas --
Bu RT tampak tersenyum bahagia mendapatkan uang itu dari laki-laki di depannya lalu gegas pamit pulang.
"Lunas, Rin. Kamu beruntung memiliki pacar sepertinya," ucap Bu RT sebelum pergi, membuat wajahku memerah seketika.
"Terima kasih banyak atas bantuannya. Aku janji akan mencicilnya, Mas," ucapku lirih. Kuseka sudut mataku yang basah.
"Nggak perlu, Rin. Anggap saja itu bonus buat kamu, karena aku yang seharusnya berterima kasih padamu. Kamu sudah menemukan dan mengembalikan dompet kecil ini padaku. Dompet ini isinya beberapa lembar uang dan lima keping logam mulia yang akan aku titipkan ke bank, tak tahu kenapa terjatuh di parkiran. Kalau bukan kamu yang menemukan, mungkin malah hilang begitu saja. Rugi banyak aku," ucap Mas Feri sembari tersenyum.
Pertemuan pertama itu lah yang membuatku semakin dekat dengannya. Dia yang dewasa, baik dan perhatian. Dia juga sangat sopan dengan orang yang lebih tua. Tiga bulan setelahnya, dia menepati janjinya dengan datang melamar, hingga akhirnya aku benar-benar menikah dengannya.
Mas Feri membawaku meninggalkan rumah dan kota yang penuh kenangan di Semarang menuju Jogjakarta. Tempat di mana dia ditugaskan dari kantornya. Sementara rumah peninggalan bapak dan ibu sudah aku waqafkan untuk tempat mengaji. Biar lah amal jariyah itu terus mengalir untuk bapak dan ibu di alam sana.
"Istrimu makin hari makin kelewatan, Fer. Bikin malu keluarga apalagi suami!" Ucapan ibu yang cukup keras membuatku sedikit terlonjak. Aku terjaga dari lamunan. Ternyata aku masih duduk di lantai teras sedari tadi.
Suara televisi terdengar cukup berisik namun aku masih bisa mendengar suara ibu yang sedang menelepon seseorang, tak lain tak bukan adalah Mas Feri-- anak lelakinya. Ibu yang terbiasa menyalakan speaker saat menelepon, membuatku bisa mendengar suara Mas Feri cukup jelas meski tercampur dengan suara tivi.
"Bikin malu gimana sih, Bu? Kenapa lagi dengan Arina? Bosan rasanya tiap hari mendapat laporan ibu begini begitu. Capek, Bu," ucap Mas Feri, sepertinya cukup kesal mendapat laporan lagi dan lagi oleh ibu.
Ibu memang seperti itu, hampir tiap hari menelepon Mas Feri hanya untuk menjelekkanku. Entah apa maunya, kadang aku juga tak habis pikir kenapa ibu bisa sebenci itu padaku.
"Gimana nggak kesal? Ibu pulang dari warung ketoprak Bu Robiah ternyata istrimu nggak ada di rumah. Mbah Siyah bilang baru saja ke luar pakai motormu. Karena itu pula ibu minta ojek pangkalan untuk mencarinya. Kamu tahu dia di mana?"
Mas Feri tampak gugup menjawab pertanyaan ibunya.
"Memangnya Arin di mana, Bu?"
"Dia di warung Pak Bidin bertemu temannya," ucap ibu lagi.
"Biar saja, Bu. Mungkin Arin suntuk di rumah terus, kasihan juga dia tak punya teman yang diajak ngobrol. Yang penting urusan rumah sudah beres, kan?" tanya Mas Feri kemudian.
"Sudah. Tapi dia malu-maluin. Dia pinjam duit 300ribu sama Si Yasmin itu, entah mau buat apa. Mana banyak orang di warung Pak Bidin. Gimana? Makin lama makin ngelunjak kan dia?"
Kudengar Mas Feri beristighfar sembari menghembuskan napas panjang lalu menutup teleponnya.
Duh, Ya Allah. Entah apalagi yang akan terjadi setelah ini.
~
Pov : Feri 1 "Aku yatim piatu, Mas. Tak punya apa-apa, pun tak punya sanak saudara. Kamu nggak malu menikah denganku? Secara kamu berpendidikan dan mapan, sementara aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang kerja serabutan asalkan halal," ucap perempuan sederhana itu dua tahun yang lalu, saat aku berencana untuk melamarnya tiga bulan setelah berkenalan dengannya. Sebuah perkenalan tak disengaja. Mungkin memang begitulah cara Allah menyatukan hambaNya. Tak kenal, tak disengaja bertemu dan jatuh cinta. "Kenapa ngomong begitu?" tanyaku singkat. Haruskah laki-laki yang berpendidikan dan mapan mencari istri yang selevel juga? Kupikir nggak begitu. Karena hati tak bisa dibohongi. "Beberapa teman begitu. Orang tuanya tak ada yang setuju jika anak lelakinya dekat denganku. Karena itu pula mulai detik itu aku sadar diri. Siapa lah aku? Mas juga sama. Lebih baik mundur saja, daripada nanti hatiku patah di saat aku mulai ada rasa," ucapnya polos sembari memainkan ujung sedotan di gelasn
Pov : Feri 2 Aku tak tahu kenapa ibu sering kali menguping pembicaraanku dengan Arina. Tak hanya sekali namun sudah berulang kali. Mungkin karena itu pula Arina menjadi lebih tertutup dan pendiam. Sering kutanya kenapa dia semakin berubah, namun dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Senyum yang begitu dipaksakan, menurutku. "Kamu cekcok lagi sama ibu, Rin?" tanyaku lirih saat Arin terlihat begitu pusing. Dia masih terus memijit kening. "Kamu pusing, Rin? Atau mau pijit karena kecapekan?" sambungku lagi. Kulihat dia hanya menggeleng pelan. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, membuatku semakin bingung. Berulang kali kutanyakan dia mau apa, jalan-jalan atau apa tapi tetap saja Arin hanya menggelengkan kepalanya. Tiap weekend kuajak jalan pun dia nggak mau. "Kamu kenapa sih, Rin? Nggak pernah mau jalan-jalan atau sekadar makan di luar? Bukannya aku kasih duit sama kamu pas-pas an? Atau kamu sudah sering jajan, makanya nggak mau tiap kali kuajak ke luar?" tanyaku su
Pov : Feri 3 "Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya. Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka. "Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan. Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu
Pov : Feri 4 Di Rumah Sakit "Kata Dokter, Arina kena radang lambung, Bu. Kemungkinan besar karena dia sering telat makan. Apa selama ini dia memang sering makan telat?" tanyaku pada ibu yang masih duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. "Apa, Fer? Arina terkena radang lambung karena sering telat makan?" tanya ibu kemudian. Aku mengangguk pelan, memandang wajah Arina yang tampak begitu tenang. "Iya, Bu. Dokter bilang begitu. Apa di rumah pekerjaannya terlalu banyak?" "Pekerjaan apa? Kalau sekadar beberes rumah, masak atau nyuci 'kan memang tugas seorang ibu rumah tangga. Harusnya dia bisa atur kapan waktunya makan dan kapan waktunya kerja," jawab ibu kemudian. "Kalau dia lupa makan, tolong ingatkan ya, Bu. Feri takut dia nanti kambuh lagi kalau telat makan terus." "Dia sudah tua, Fer. Ngapain juga sekhawatir itu. Harusnya dia tahu diri, kalau nggak mau sakit ya bisa jaga diri baik-baik. Akhir-akhir ini dia memang sering mainan ponsel berjam-jam di kamarnya. Mungkin karena
Pov : Arina "Rin, semoga kamu cepet sehat, ya?/Aku berangkat kerja dulu. Kalau buruh sesuatu atau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Kalau ibu nggak ada, kamu bisa tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan."Kamu mau makan apa? Atau kalau pengin sesuatu bilang aja, biar nanti aku bawakan sekalian setelah pulang kerja," ucap Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, ka
Pagi-pagi sekali ibu sudah ribut. Bunyi pisau dan nampan beradu, gelas, sendok dan piring serta perabot lainnya, seolah sengaja dia perkeras agar aku gegas ke luar kamar. Padahal aku masih cukup mengantuk karena semalam tidur terlalu larut. Meracik bahan-bahan untuk membuat nasi timlo dan sop ayam. Aku sudah bilang sekalian pagi saja sebelum subuh, tapi ibu tak pernah mau mendengar apa pun usulanku. Mau tak mau aku mengikuti arahannya. Aku tak ingin tensi ibu kembali naik seperti beberapa hari yang lalu, semakin memperlambat urusanku beberes rumah. "Biasakan bangun pagi sebelum subuh. Jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan matahari terbit baru bangun," ucap ibu ketus saat melihatku sudah sampai di pintu dapur. Gegas kubuka jendela, meski masih gelap gulita. Sengaja. "Kok malah dibuka? Kamu nggak lihat masih gelap? Dingin. Kamu sengaja ingin ibu masuk angin?" Bentak ibu kemudian. "Bukannya ibu bilang, jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan
Acara masak-memasak untuk arisan ibu mertua akhirnya kelar juga. Badan rasanya nano-nano. Pegel, linu, ngantuk campur menjadi satu, namun aku masih berusaha standby di dapur. Malas sekali rasanya mendengar teriakan-teriakan ibu lagi dan lagi di saat aku baru saja menyelonjorkan kaki. Segala masakan dan camilan sudah kuhidangkan. Lesehan alias melantai di atas tikar. Timlo, sayur sop, tempe & tahu bacem, telur puyuh goreng, sate ati ampela, kerupuk. Belum camilan lain agar-agar, brownies, bolu, kacang rebus, risol, pisang goreng, bala-bala, dan entah apalagi aku sampai mual rasanya melihat masakan segitu banyak. Kalau pesan sih nggak masalah, tapi kebanyakan aku yang memasaknya dibantu dengan dua tetangga lain. Sementara ibu, entah sibuk apa. Mondar-mandir nggak jelas dari pagi hingga sesore ini. "Minumannya mana, Rin? Buruan disiapkan keburu tamu datang semua," titah ibu lagi saat aku baru saja merebahkan badan."Badanku capek banget, Bu. Ibu gantian lah, tinggal mindahin ke ruang d
Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan. "Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak in