Share

Bab 5

Dari dulu, aku memang terbiasa hidup sengsara. Sebagai yatim piatu, aku sudah melewati banyak hal dan ujian. Mulai dikucilkan teman-teman karena tak bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau sekadar makan bakso di kantin sekolah. Sering juga dihina karena tas bertahun-tahun belum ganti juga.

Caci maki seolah menjadi makanan sehari-hari. Mereka membenciku atas kemiskinan ini. Aku seolah sudah kebal mendengar cacian mereka, karena sering hutang di warung tetangga saat kehabisan duit.

Aku juga seakan sudah mati rasa, saat para tetangga justru asyik menontonku dari halaman rumah mereka, saat aku ditagih ibu RT karena dia butuh duit untuk membayar kuliah anaknya. Iya, dia menagihku karena ternyata rumah peninggalan bapak ini memang sudah digadaikan padanya. 

Entah buat apa, aku pun tak tahu. Bahkan ibu juga sempat shock saat ibu RT membeberkan bukti gadainya. 

Sepuluh juta bukan uang yang sedikit buat kami saat itu, karena itulah ibu mencicilnya tiap bulan demi rumah ini kembali jatuh ke tangan kami. Namun hingga ibu tiada, hutang gadai itu masih tersisa tujuh juta empat ratus rupiah. 

Aku terbiasa mendapat panggilan si miskin, kere atau sejenisnya. Tak peduli, asalkan aku tak minta makan pada mereka. Pulang sekolah aku sibuk dengan jualan nasi pecel keliling, bukan aku yang memasak melainkan Mbah Painah. Aku sekadar menjualkan dengan upah di setiap bungkus yang terjual. Pulang dan habis jam lima sore itu sebuah keberuntungan, karena lebih sering sebelum isya baru habis tak bersisa. 

Saat teman-teman asyik bermain dengan gadgetnya, aku sudah sibuk di jalanan untuk mengais rejeki. Saat teman asyik menceritakan film terbaru di bioskop, aku sibuk menghitung recehan yang sering diberikan cuma-cuma Mbah Painah untukku jajan cilok, katanya. 

Begitulah hidupku yang berliku. Sungguh, yatim piatu sejak remaja itu tak mudah. Bapak pergi saat aku baru menginjak kelas lima sekolah dasar. Saat aku masih merasa belum puas mendapat pelukan dan kasih sayangnya. Sementara ibu pergi saat aku menginjak kelas dua bangku menengah pertama. Bayangkan saja bagaimana kacaunya hidupku saat itu, sedangkan sanak saudara aku tak punya. Mbah Painah lah yang sering membantu saat aku kelaparan dan benar-benar kehabisan stok makanan.

Kepergian bapak, tentu saja membuat roda ekonomi dalam keluarga kecilku berubah bahkan 180 derajat. Dulu aku memang bukan orang kaya, namun kecukupan. Bapak bekerja sebagai sopir pribadi pemilik sebuah pabrik oleh-oleh cukup ternama di kotaku, Semarang. 

Pak Hermawan, namanya. Seorang pengusaha sukses yang begitu humble, merangkul, ramah pada semua orang apalagi karyawannya sendiri. Istrinya meninggal saat melahirkan anak ketiganya. Namun dia tak memiliki keinginan untuk menikah. Fokus membesarkan ketiga anaknya biar jadi orang sukses, katanya. Mbak Sania, Mas Hengky dan Mas Davin. 

Pak Hermawan lah yang membiayai seluruh pengobatan bapak, saat dia kecelakaan dulu hingga bapak menghembuskan napas terakhirnya. Kepergian bapak otomatis membuat ibu beralih tugas menjadi tulang punggung keluarga. Dia bekerja sebagai tukang cuci setrika di tempat tetangga yang baru saja mendirikan usaha laundry-nya. 

Tiga bulan setelah kepergian bapak, kudengar Pak Hermawan juga pamit pada ibu untuk pindah ke Jerman demi mengembangkan bisnisnya. Aku tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Pak Hermawan menghilang begitu saja tanpa kabar, hingga ibu pergi bahkan sampai saat ini. 

"Arin, kamu gadis yang baik dan pintar. Bahkan di saat kamu membutuhkan uang untuk membayar hutang, kamu tak mengambil selembar pun uang yang kamu temukan," ucap Mas Feri tiba-tiba. 

Dia ... laki-laki yang kemarin kukejar untuk mengembalikan dompetnya. Dompet itu jatuh di parkiran toko, tepat saat aku akan pulang karena sudah ganti shift dengan yang lain. 

Buru-buru kususul dia menggunakan motor seorang teman, lalu memberikan dompet itu padanya, tanpa membuka apa saja isi di dalamnya. Iya, dua tahun lalu. Aku masih sangat mengingatnya karena bagiku dia adalah malaikat tak bersayap yang dikirimkanNya untukku.

Saat itu, aku baru saja mendapatkan omelan Bu RT karena belum bisa mencicil hutang rumah ini kembali. Gajiku hanya cukup untuk sebulan karena aku sakit dan tak masuk beberapa hari, otomatis gajiku terpotong karenanya.  

"Kurang berapa hutangnya?" tanya Mas Feri saat itu. 

"Tiga juta dua ratus empat puluh ribu, Mas," jawab Bu RT cepat. Dia melirik ke arahku penuh tanya.

"Biar saya lunasi, sekalian minta kwitansinya, ya, Bu," ucapnya serius.

"Tapi, Mas -- 

Bu RT tampak tersenyum bahagia mendapatkan uang itu dari laki-laki di depannya lalu gegas pamit pulang.

"Lunas, Rin. Kamu beruntung memiliki pacar sepertinya," ucap Bu RT sebelum pergi, membuat wajahku memerah seketika. 

"Terima kasih banyak atas bantuannya. Aku janji akan mencicilnya, Mas," ucapku lirih. Kuseka sudut mataku yang basah. 

"Nggak perlu, Rin. Anggap saja itu bonus buat kamu, karena aku yang seharusnya berterima kasih padamu. Kamu sudah menemukan dan mengembalikan dompet kecil ini padaku. Dompet ini isinya beberapa lembar uang dan lima keping logam mulia yang akan aku titipkan ke bank, tak tahu kenapa terjatuh di parkiran. Kalau bukan kamu yang menemukan, mungkin malah hilang begitu saja. Rugi banyak aku," ucap Mas Feri sembari tersenyum.

Pertemuan pertama itu lah yang membuatku semakin dekat dengannya. Dia yang dewasa, baik dan perhatian. Dia juga sangat sopan dengan orang yang lebih tua. Tiga bulan setelahnya, dia menepati janjinya dengan datang melamar, hingga akhirnya aku benar-benar menikah dengannya. 

Mas Feri membawaku meninggalkan rumah dan kota yang penuh kenangan di Semarang menuju Jogjakarta. Tempat di mana dia ditugaskan dari kantornya. Sementara rumah peninggalan bapak dan ibu sudah aku waqafkan untuk tempat mengaji. Biar lah amal jariyah itu terus mengalir untuk bapak dan ibu di alam sana. 

"Istrimu makin hari makin kelewatan, Fer. Bikin malu keluarga apalagi suami!" Ucapan ibu yang cukup keras membuatku sedikit terlonjak. Aku terjaga dari lamunan. Ternyata aku masih duduk di lantai teras sedari tadi.

Suara televisi terdengar cukup berisik namun aku masih bisa mendengar suara ibu yang sedang menelepon seseorang, tak lain tak bukan adalah Mas Feri-- anak lelakinya. Ibu yang terbiasa menyalakan speaker saat menelepon, membuatku bisa mendengar suara Mas Feri cukup jelas meski tercampur dengan suara tivi. 

"Bikin malu gimana sih, Bu? Kenapa lagi dengan Arina? Bosan rasanya tiap hari mendapat laporan ibu begini begitu. Capek, Bu," ucap Mas Feri, sepertinya cukup kesal mendapat laporan lagi dan lagi oleh ibu. 

Ibu memang seperti itu, hampir tiap hari menelepon Mas Feri hanya untuk menjelekkanku. Entah apa maunya, kadang aku juga tak habis pikir kenapa ibu bisa sebenci itu padaku.

"Gimana nggak kesal? Ibu pulang dari warung ketoprak Bu Robiah ternyata istrimu nggak ada di rumah. Mbah Siyah bilang baru saja ke luar pakai motormu. Karena itu pula ibu minta ojek pangkalan untuk mencarinya. Kamu tahu dia di mana?" 

Mas Feri tampak gugup menjawab pertanyaan ibunya.

"Memangnya Arin di mana, Bu?" 

"Dia di warung Pak Bidin bertemu temannya," ucap ibu lagi. 

"Biar saja, Bu. Mungkin Arin suntuk di rumah terus, kasihan juga dia tak punya teman yang diajak ngobrol. Yang penting urusan rumah sudah beres, kan?" tanya Mas Feri kemudian. 

"Sudah. Tapi dia malu-maluin. Dia pinjam duit 300ribu sama Si Yasmin itu, entah mau buat apa. Mana banyak orang di warung Pak Bidin. Gimana? Makin lama makin ngelunjak kan dia?" 

Kudengar Mas Feri beristighfar sembari menghembuskan napas panjang lalu menutup teleponnya. 

Duh, Ya Allah. Entah apalagi yang akan terjadi setelah ini. 

~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
ketika koin habis mngkanya ini terjdi dan apa pun itu akan d pwrjuangkan ketika koin hbis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status