Pov : Arina "Rin, semoga kamu cepet sehat, ya?/Aku berangkat kerja dulu. Kalau buruh sesuatu atau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Kalau ibu nggak ada, kamu bisa tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan."Kamu mau makan apa? Atau kalau pengin sesuatu bilang aja, biar nanti aku bawakan sekalian setelah pulang kerja," ucap Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, ka
Pagi-pagi sekali ibu sudah ribut. Bunyi pisau dan nampan beradu, gelas, sendok dan piring serta perabot lainnya, seolah sengaja dia perkeras agar aku gegas ke luar kamar. Padahal aku masih cukup mengantuk karena semalam tidur terlalu larut. Meracik bahan-bahan untuk membuat nasi timlo dan sop ayam. Aku sudah bilang sekalian pagi saja sebelum subuh, tapi ibu tak pernah mau mendengar apa pun usulanku. Mau tak mau aku mengikuti arahannya. Aku tak ingin tensi ibu kembali naik seperti beberapa hari yang lalu, semakin memperlambat urusanku beberes rumah. "Biasakan bangun pagi sebelum subuh. Jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan matahari terbit baru bangun," ucap ibu ketus saat melihatku sudah sampai di pintu dapur. Gegas kubuka jendela, meski masih gelap gulita. Sengaja. "Kok malah dibuka? Kamu nggak lihat masih gelap? Dingin. Kamu sengaja ingin ibu masuk angin?" Bentak ibu kemudian. "Bukannya ibu bilang, jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan
Acara masak-memasak untuk arisan ibu mertua akhirnya kelar juga. Badan rasanya nano-nano. Pegel, linu, ngantuk campur menjadi satu, namun aku masih berusaha standby di dapur. Malas sekali rasanya mendengar teriakan-teriakan ibu lagi dan lagi di saat aku baru saja menyelonjorkan kaki. Segala masakan dan camilan sudah kuhidangkan. Lesehan alias melantai di atas tikar. Timlo, sayur sop, tempe & tahu bacem, telur puyuh goreng, sate ati ampela, kerupuk. Belum camilan lain agar-agar, brownies, bolu, kacang rebus, risol, pisang goreng, bala-bala, dan entah apalagi aku sampai mual rasanya melihat masakan segitu banyak. Kalau pesan sih nggak masalah, tapi kebanyakan aku yang memasaknya dibantu dengan dua tetangga lain. Sementara ibu, entah sibuk apa. Mondar-mandir nggak jelas dari pagi hingga sesore ini. "Minumannya mana, Rin? Buruan disiapkan keburu tamu datang semua," titah ibu lagi saat aku baru saja merebahkan badan."Badanku capek banget, Bu. Ibu gantian lah, tinggal mindahin ke ruang d
Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan. "Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak in
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk. Setelah pulang dari pasar membeli bumbu-bumbu, ayam dan ikan, aku buru-buru ke kebun belakang rumah. Banyak sayuran yang sengaja kupanen hari ini. Ada pare, sawi, kangkung dan terong. Rencananya aku akan memasak sayuran matang dan lauk dan kujual via whatsapp nanti. Modalnya untuk jualan nasi timlo dan membeli peralatan lainnya. "Sayang, Mbak Vina beneran chat begitu sama kamu? Kok kasar begitu ya bahasanya?" tanya Mas Feri tiba-tiba sembari membenarkan kancing kemejanya. Semalam dia lembur, mungkin kecapekan jadi tak sempat menanyakan soal pesan dari Mbak Vina padaku. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan darinya."Sejak kapan dia kasar begitu sama kamu?" tanyanya lagi. Kuhentikan jemari yang sibuk memetik kangkung. Menoleh ke arah Mas Feri dengan wajah penasarannya. "Sejak awal menikah denganmu, Mbak Vina memang selalu begitu kalau chat denganku, Mas. Aku juga pernah bilang sama kamu soal duit yang habis karena dia pinjam nggak pernah ba
Pertengahan bulan seperti saat ini memang nano-nano. Sejak kemarin ibu mulai menyindir soal duit dari Mas Feri, padahal sudah jelas aku pinjamkan ke Mbak Vina. Jatah pribadi satu juta itu pun akhirnya kutransferkan ke Mbak Vina untuk bayar kontrakan, katanya. Aku juga bukan seorang ipar yang jahat, yang tega membiarkan kakak iparnya diusir oleh pemilik kontrakan karena menunggak beberapa bulan. Tapi ibu tetap saja menyindir, padahal kemarin dia juga tahu kalau aku pergi ke Atm untuk transfer duit. Sekalian ke bank buat aktifin mobile banking. Hari ini, kelima kalinya aku jualan masakan matang. Badan rasanya benar-benar capek. Remuk redam tak karuan. Berulang kali ibu menyindir soal uang bulanan dari Mas Feri yang kurang, menyindir token listrik dan arisan, aku tak tak peduli. Namun saat melihatku sibuk dengan perdapuran, ibu justru pergi merumpi. Bahkan sekadar ikut menjaga penggorenganku agar tak gosong saat kutinggal sarapan pun tak mau. Bukan urusanku, katanya. Benar-benar menje
Sejak Mbak Vina tinggal di rumah ini dua hari lalu, pekerjaanku semakin banyak. Dia bilang besok akan pulang, Syukurlah. Kontrakan Mbak Vina ada daerah Sleman. Mungkin satu jam-an jika ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dari rumah ibu. "Sarapannya mana, Rin? Anak-anakku sudah lapar ini," ucapnya sembari mengajak dua anaknya Fian dan Fano menuju meja makan. "Maaf, Mbak. Aku belum bikin sarapan. Baru pulang dari pasar belanja buat jualan. Tadi aku kesiangan jadi jam segini baru pulang deh," ucapku buru-buru menyiapkan segala sesuatu. Pelanggan sudah menunggu masakanku bahkan ada beberapa yang request masakan untuk anak-anak mereka. "Gimana sih kamu, Rin. Masak ada ponakan di sini nggak dibikin sarapan dulu," ucap Mbak Vina kesal. Aku bergegas membalikkan badan, menatap Mbak Vina yang masih berdiri di samping kulkas sembari melipat kedua tangan di dada. Dia menyuruhku seperti seorang majikan menyuruh asisten rumah tangganya saja. "Mbak kan yang punya anak. Harusnya mbak yang me
Tiga hari Mbak Vina dan anaknya di rumah ini cukup membuatku pusing kepala. Tapi tak apa lah karena kemarin mereka sudah pulang. Setidaknya hidupku kembali normal. Berjalan seperti biasanya meski masih saja mendengar sindiran dan omelan ibu. Tapi kini tak terlalu memperburuk moodku. Aku muali bisa menghadapi omelannya dengan caraku sendiri."Mas, tabungan kamu sebenarnya sudah ada berapa? Kalau sudah cukup, buat beli rumah saja dulu. Makin tahun properti makin naik, Mas. Rumah kan termasuk kebutuhan primer, jadi sebisa mungkin harus punya," ucapku pada Mas Feri yang masih sibuk dengan gadgetnya. "InsyaAllah tiga bulanan lagi sudah cukup lah, Rin. Nanti aku juga ajak kamu buat lihat-lihat rumahnya kalau dana sudah cukup," balas Mas Feri lagi, tanpa mengalihkan pandangannya ke arahku. "Mbak Vina kemarin bilang ke ibu soal kontrakan loh, Mas. Katanya mereka sudah telat dan terancam diusir."Mas Feri menoleh ke arahku dengan pandangan tak yakin. Aku hanya mengacungkan dua jari untuk mey