Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk. Setelah pulang dari pasar membeli bumbu-bumbu, ayam dan ikan, aku buru-buru ke kebun belakang rumah. Banyak sayuran yang sengaja kupanen hari ini. Ada pare, sawi, kangkung dan terong. Rencananya aku akan memasak sayuran matang dan lauk dan kujual via whatsapp nanti. Modalnya untuk jualan nasi timlo dan membeli peralatan lainnya. "Sayang, Mbak Vina beneran chat begitu sama kamu? Kok kasar begitu ya bahasanya?" tanya Mas Feri tiba-tiba sembari membenarkan kancing kemejanya. Semalam dia lembur, mungkin kecapekan jadi tak sempat menanyakan soal pesan dari Mbak Vina padaku. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan darinya."Sejak kapan dia kasar begitu sama kamu?" tanyanya lagi. Kuhentikan jemari yang sibuk memetik kangkung. Menoleh ke arah Mas Feri dengan wajah penasarannya. "Sejak awal menikah denganmu, Mbak Vina memang selalu begitu kalau chat denganku, Mas. Aku juga pernah bilang sama kamu soal duit yang habis karena dia pinjam nggak pernah ba
Pertengahan bulan seperti saat ini memang nano-nano. Sejak kemarin ibu mulai menyindir soal duit dari Mas Feri, padahal sudah jelas aku pinjamkan ke Mbak Vina. Jatah pribadi satu juta itu pun akhirnya kutransferkan ke Mbak Vina untuk bayar kontrakan, katanya. Aku juga bukan seorang ipar yang jahat, yang tega membiarkan kakak iparnya diusir oleh pemilik kontrakan karena menunggak beberapa bulan. Tapi ibu tetap saja menyindir, padahal kemarin dia juga tahu kalau aku pergi ke Atm untuk transfer duit. Sekalian ke bank buat aktifin mobile banking. Hari ini, kelima kalinya aku jualan masakan matang. Badan rasanya benar-benar capek. Remuk redam tak karuan. Berulang kali ibu menyindir soal uang bulanan dari Mas Feri yang kurang, menyindir token listrik dan arisan, aku tak tak peduli. Namun saat melihatku sibuk dengan perdapuran, ibu justru pergi merumpi. Bahkan sekadar ikut menjaga penggorenganku agar tak gosong saat kutinggal sarapan pun tak mau. Bukan urusanku, katanya. Benar-benar menje
Sejak Mbak Vina tinggal di rumah ini dua hari lalu, pekerjaanku semakin banyak. Dia bilang besok akan pulang, Syukurlah. Kontrakan Mbak Vina ada daerah Sleman. Mungkin satu jam-an jika ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dari rumah ibu. "Sarapannya mana, Rin? Anak-anakku sudah lapar ini," ucapnya sembari mengajak dua anaknya Fian dan Fano menuju meja makan. "Maaf, Mbak. Aku belum bikin sarapan. Baru pulang dari pasar belanja buat jualan. Tadi aku kesiangan jadi jam segini baru pulang deh," ucapku buru-buru menyiapkan segala sesuatu. Pelanggan sudah menunggu masakanku bahkan ada beberapa yang request masakan untuk anak-anak mereka. "Gimana sih kamu, Rin. Masak ada ponakan di sini nggak dibikin sarapan dulu," ucap Mbak Vina kesal. Aku bergegas membalikkan badan, menatap Mbak Vina yang masih berdiri di samping kulkas sembari melipat kedua tangan di dada. Dia menyuruhku seperti seorang majikan menyuruh asisten rumah tangganya saja. "Mbak kan yang punya anak. Harusnya mbak yang me
Tiga hari Mbak Vina dan anaknya di rumah ini cukup membuatku pusing kepala. Tapi tak apa lah karena kemarin mereka sudah pulang. Setidaknya hidupku kembali normal. Berjalan seperti biasanya meski masih saja mendengar sindiran dan omelan ibu. Tapi kini tak terlalu memperburuk moodku. Aku muali bisa menghadapi omelannya dengan caraku sendiri."Mas, tabungan kamu sebenarnya sudah ada berapa? Kalau sudah cukup, buat beli rumah saja dulu. Makin tahun properti makin naik, Mas. Rumah kan termasuk kebutuhan primer, jadi sebisa mungkin harus punya," ucapku pada Mas Feri yang masih sibuk dengan gadgetnya. "InsyaAllah tiga bulanan lagi sudah cukup lah, Rin. Nanti aku juga ajak kamu buat lihat-lihat rumahnya kalau dana sudah cukup," balas Mas Feri lagi, tanpa mengalihkan pandangannya ke arahku. "Mbak Vina kemarin bilang ke ibu soal kontrakan loh, Mas. Katanya mereka sudah telat dan terancam diusir."Mas Feri menoleh ke arahku dengan pandangan tak yakin. Aku hanya mengacungkan dua jari untuk mey
Makan malam saat ini cukup berbeda, karena keluarga ini sangat lengkap. Bahkan aku harus pindah ke ruang keluarga karena kehabisan kursi di ruang makan. Setelah selesai, piring berserakan begitu saja di atas meja. Mbak Vina tak ada inisiatif untuk membantuku mencuci piring padahal dia juga tahu kalau sore tadi aku sudah capek memasak menu untuk makan malam ini."Maaf ya, Mbak. Berhubung di rumah ini nggak ada pembantu, tiap makan tolong dicuci sekalian. Kalau misal nggak mau nyuci piring, mungkin baiknya beli daun pisang atau bungkus nasi saja deh," ucapku terang-terangan di depan ibu dan Mas Sony.Aku tak peduli lagi, sejak dulu selalu mengalah dan diam membuat Mbak Vina makin semena-mena bahkan seolah menganggapku sebagai babunya. "Apaan sih kamu, Rin. Tinggal nyuci piring aja pakai perhitungan segala," ucap Mbak Vina sewot. Dia mencibirkan bibirnya ke arahku. Tatapannya sinis, tak bersahabat sama sekali."Iya, Mbak. Bantuin Arin lah, kasihan dia udah capek seharian. Masak juga se
Adzan subuh telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Rintik hujan mulai menyapa, membasahi bumi yang kerontang beberapa hari belakangan. Suasana masih cukup sunyi. Tak ada yang bangun kecuali aku di rumah ini. Mas Feri pun kembali merebahkan badannya di sofa ruang keluarga setelah pulang dari masjid. Hari ini aku tak berjualan di depan rumah, karena mendapatkan pesanan spesial dari Bu RT membuatkan timlo dan aneka gorengannya untuk arisan keluarga. Dengan semangat 45 aku pun mengiyakan. Aku sudah belanja ayam kampung, bihun, jamur kuping, wortel, telur dan lainnya untuk melengkapi isian timlo. Pagi ini tinggal eksekusi karena Bu RT akan mengambil jam delapan pagi. Selain membuat timlo, aku juga sekalian menggoreng risol, tempe mendoan, bakwan dan tahu isi sebagai camilan pendamping. Capek, itu pasti namun aku begitu menikmati dan mensyukuri apalagi tadi Mas Feri bilang akan membantu menggoreng jika semua sudah siap. Alhamdulillah dia sedikit mulai berubah, setidaknya tak lagi s
Hari yang melelahkan. Pasca salat dzuhur tadi aku memang langsung masuk kamar. Tak peduli ocehan Mbak Vina karena lauk di atas meja sudah dihabiskan kedua anaknya. Biar saja dia masak sendiri, aku sudah angkat tangan sejak kemarin. Terkadang, cuek dan masa bodoh itu memang diperlukan. Supaya hidup lebih damai dan tenang, tak terlalu banyak beban pikiran. "Vina! Goreng telur dong, ayam gorengnya abis sama Fano dan Fian. Nanti kalau Bang Sony mau makan nggak ada lauk apa-apa. Aku sama ibu masih sibuk ini!" teriak Mbak Vina tadi sebelum aku masuk kamar. Aku tak menjawab. Gegas kulihat ke kamar ibu, mereka masih asyik nonton drama Korea. Enak saja, aku yang disuruh nyiapin makan siang untuk Bang Sony sedangkan Mbak Vina malah enak-enakan tiduran. Memangnya aku istrinya? Kutinggalkan kamar ibu, buru-buru masuk ke kamarku dan mengunci pintu. Sempat kudengar lirih Mbak Vina ngedumel di dapur, karena aku tak mengerjakan apa yang dia perintahkan. "Dasar adik ipar perhitungan. Disuruh gore
"Arina! Ngapain kamu masuk kamarku, ha!" Mbak Vina terlihat begitu emosi. Dia mendorongku sangat kasar hingga terbentur tembok. "Kamu mau selingkuh dengan kakak iparmu sendiri? Dasar perempuan munafik, kelihatannya saja alim padahal murahan!" sentaknya lagi membuatku semakin nyeri.Hatiku meradang mendengar umpatan Mbak Vina. Sudah terlalu sering aku mendengar caciannya tapi nggak sesadis ini. Kudorong balik bahunya hingga terjengkang. Tak peduli kedua matanya mendelik menatapku bahkan ibu berteriak histeris saat melihatku berani melawan. "Kamu yang tak tahu diri. Sudah menyuruhku menjaga dua anakmu di rumah ini sedangkan kamu enak-enakan selfie, bikin status alay di whats*pp dan shopping entah ke mana eh sekarang malah nyebut aku mur4h4n, Mbak? Siapa yang kurang 4j4r? Aku atau kamu!" bentakku kemudian. Dari dulu aku memang tak tinggal diam jika ada yang menyebutku murahan. Almarhum ibu selalu mengajariku tentang norma dan agama, aku pun berusaha mematuhinya. Menutup rapat tubuh i