Novel Lanjutan : PEREMPUAN LAIN DI HATI SUAMIKU
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Kamu sih enak, punya menantu sudah pinter masak, pinter cari duit pula. Nggak kayak aku ini, nasib punya menantu perempuan cuma satu tapi nggak ada kerjaan, bisanya cuma nodong gaji suami. Nggak ada inisiatif untuk cari tambahan sendiri," ucap ibu di depan para tetangga yang memang sering kali ngumpul di depan rumah. Suaranya terdengar cukup keras hingga aku yang ada di kebun belakang pun mendengarnya. Sepertinya ibu memang sengaja menaikkan volume suaranya agar aku tahu perbincangan mereka. Aku tertegun sejenak, memandangi kebun yang dulu kosong kini tumbuh dengan aneka sayuran. Ada bayam, kangkung, sawi, cabai, tomat, pare dan lainnya. Kalau hanya sekadar untuk masak sendiri sudah lebih dari cukup, bahkan sering kali ibu menjualnya ke pasar. Aku jarang sekali beli sayuran, ke pasar hanya sering beli ikan, ayam atau bumbu dapur atau sabun yang kebetulan habis. Mungkin ini bukan dari 'bekerja' menurut ibu. Membereskan rumah, mencuci pakaian, memasak dan lainnya bukan pula bagian dar
Aku kembali menatap wajah Mas Feri beberapa saat lamanya, berusaha mengeja apa yang sebenarnya terjadi. Namun tetap saja tak mengerti. Bahkan Mas Feri pun tak ada keberanian untuk menatapku balik. Percuma menunggunya bicara di sini. Lebih baik aku pergi. Gegas melangkah menuju kamar lalu mendekati jendela yang mengarah ke kebun sayuran yang kutanam beberapa bulan terakhir. Kebun yang menghijau, cukup sejuk dan menenangkan. Pintu kamar terbuka. Aku tak menoleh. Tetap bergeming sebab aku sudah bisa menebak jika Mas Feri akan menyusulku ke sini. Kedua mataku masih fokus memandang hamparan sayur-sayuran yang menghijau di sana. Ada rasa bahagia tiap kali aku memandang dan memetik tiap helai daunnya. Teringat saat aku belajar dari nol lewat video youtube demi menghasilkan tanaman yang subur. Setidaknya agar ibu tak kembali mengejek dan mengatakanku boros dengan menghamburkan uang untuk membeli benih dan pupuk, namun tak ada hasilnya. "Kamu marah karena aku kasih jatah ibu lebih banyak dar
Malam semakin larut, namun aku belum juga bisa memejamkan mata. Omelan ibu dan ucapan Mas Feri kembali terngiang di benak. Ada banyak hal yang lalu-lalang di depan mata. Aku tak bisa terus menerus bergantung pada gaji satu juta dari Mas Feri itu. Mungkin memang sebaiknya aku mencari pekerjaan. Setidaknya yang bisa dibawa pulang agar Mas Feri tak kembali komplen. Apa aku jualan online saja? Tapi modalnya? Jatah dari Mas Feri untukku bulan ini hanya tersisa dua ratus ribu saja. Itu pun buat jatah beli token listrik dan lauk minggu ini. Aku nggak mungkin memakainya untuk modal usaha yang belum tentu langsung bisa mendapatkan laba. Mungkin besok aku cerita ke Mas Feri saja tentang rencanaku ini. Barang kali aku bisa pinjam tabungannya lebih dulu atau bisa saja dia justri mendukungku untuk berwirausaha dan memberiku modal cuma-cuma untuk membeli barang-barang yang kebutuhkan. Iya, kan? "Kenapa belum tidur? Gelisah dari tadi membuatku tak bisa tidur juga," ucap lelaki di sampingku. Kupiki
|Yas, kamu ada uang 300ribu? Kalau ada aku mau pinjam dulu. Aku ingin jualan cimol atau gorengan gitu, Yas. Aku ingin seperti kamu yang mandiri, bisa menghasilkan duit sendiri.|Kukirimkan pesan itu pada Yasmin, teman f******k yang ternyata rumahnya tak terlalu jauh dari desaku. Dia berjualan online, pakaian, akesoris dan perabotan. Sering kali kirim-kirim paket ke dalam maupun luar negeri. Kulihat nyaman sekali hidupnya. Dia bilang, gaji bulanan dari suaminya semua ditabung karena hasil online yang dia dapat sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanannya. MasyaAllah."Jualan saja, Rin. Istri yang nggak punya penghasilan sendiri terkadang memang diremehkan mertua. Tapi kalau suaminya juga dzalim, dia juga sama saja tak menganggap kita ada. Bekerja versi mereka ya yang menghasilkan rupiah, kalau sekadar cuci baju, masak, berkebun, beres-beres rumah dan lainnya, itu bukan definisi kerja menurut mereka. Lucu memang, tapi begitu lah yang diamini masyarakat. Kita bisa apa?" Be
Dari dulu, aku memang terbiasa hidup sengsara. Sebagai yatim piatu, aku sudah melewati banyak hal dan ujian. Mulai dikucilkan teman-teman karena tak bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau sekadar makan bakso di kantin sekolah. Sering juga dihina karena tas bertahun-tahun belum ganti juga. Caci maki seolah menjadi makanan sehari-hari. Mereka membenciku atas kemiskinan ini. Aku seolah sudah kebal mendengar cacian mereka, karena sering hutang di warung tetangga saat kehabisan duit. Aku juga seakan sudah mati rasa, saat para tetangga justru asyik menontonku dari halaman rumah mereka, saat aku ditagih ibu RT karena dia butuh duit untuk membayar kuliah anaknya. Iya, dia menagihku karena ternyata rumah peninggalan bapak ini memang sudah digadaikan padanya. Entah buat apa, aku pun tak tahu. Bahkan ibu juga sempat shock saat ibu RT membeberkan bukti gadainya. Sepuluh juta bukan uang yang sedikit buat kami saat itu, karena itulah ibu mencicilnya tiap bulan demi rumah ini kembali jatuh ke
Pov : Feri 1 "Aku yatim piatu, Mas. Tak punya apa-apa, pun tak punya sanak saudara. Kamu nggak malu menikah denganku? Secara kamu berpendidikan dan mapan, sementara aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang kerja serabutan asalkan halal," ucap perempuan sederhana itu dua tahun yang lalu, saat aku berencana untuk melamarnya tiga bulan setelah berkenalan dengannya. Sebuah perkenalan tak disengaja. Mungkin memang begitulah cara Allah menyatukan hambaNya. Tak kenal, tak disengaja bertemu dan jatuh cinta. "Kenapa ngomong begitu?" tanyaku singkat. Haruskah laki-laki yang berpendidikan dan mapan mencari istri yang selevel juga? Kupikir nggak begitu. Karena hati tak bisa dibohongi. "Beberapa teman begitu. Orang tuanya tak ada yang setuju jika anak lelakinya dekat denganku. Karena itu pula mulai detik itu aku sadar diri. Siapa lah aku? Mas juga sama. Lebih baik mundur saja, daripada nanti hatiku patah di saat aku mulai ada rasa," ucapnya polos sembari memainkan ujung sedotan di gelasn
Pov : Feri 2 Aku tak tahu kenapa ibu sering kali menguping pembicaraanku dengan Arina. Tak hanya sekali namun sudah berulang kali. Mungkin karena itu pula Arina menjadi lebih tertutup dan pendiam. Sering kutanya kenapa dia semakin berubah, namun dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Senyum yang begitu dipaksakan, menurutku. "Kamu cekcok lagi sama ibu, Rin?" tanyaku lirih saat Arin terlihat begitu pusing. Dia masih terus memijit kening. "Kamu pusing, Rin? Atau mau pijit karena kecapekan?" sambungku lagi. Kulihat dia hanya menggeleng pelan. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, membuatku semakin bingung. Berulang kali kutanyakan dia mau apa, jalan-jalan atau apa tapi tetap saja Arin hanya menggelengkan kepalanya. Tiap weekend kuajak jalan pun dia nggak mau. "Kamu kenapa sih, Rin? Nggak pernah mau jalan-jalan atau sekadar makan di luar? Bukannya aku kasih duit sama kamu pas-pas an? Atau kamu sudah sering jajan, makanya nggak mau tiap kali kuajak ke luar?" tanyaku su