Share

Bab 2

Aku kembali menatap wajah Mas Feri beberapa saat lamanya, berusaha mengeja apa yang sebenarnya terjadi. Namun tetap saja tak mengerti. Bahkan Mas Feri pun tak ada keberanian untuk menatapku balik. Percuma menunggunya bicara di sini. Lebih baik aku pergi. Gegas melangkah menuju kamar lalu mendekati jendela yang mengarah ke kebun sayuran yang kutanam beberapa bulan terakhir. Kebun yang menghijau, cukup sejuk dan menenangkan. 

Pintu kamar terbuka. Aku tak menoleh. Tetap bergeming sebab aku sudah bisa menebak jika Mas Feri akan menyusulku ke sini. Kedua mataku masih fokus memandang hamparan sayur-sayuran yang menghijau di sana. Ada rasa bahagia tiap kali aku memandang dan memetik tiap helai daunnya. Teringat saat aku belajar dari nol lewat video youtube demi menghasilkan tanaman yang subur. Setidaknya agar ibu tak kembali mengejek dan mengatakanku boros dengan menghamburkan uang untuk membeli benih dan pupuk, namun tak ada hasilnya.

"Kamu marah karena aku kasih jatah ibu lebih banyak daripada kamu, Rin?" tanya Mas Feri tiba-tiba. Sepertinya dia berdiri di belakangku namun lagi-lagi aku tetap malas untuk menengok ke arahnya. Entahlah.

Aku sendiri tak tahu apakah pantas marah padanya. Dia suamiku sekaligus kepala keluarga dan tulang punggung di rumah ini. Dia yang memang berhak memutuskan apapun bahkan mungkin tanpa sepengetahuanku. Aku tahu itu. Aku yang mungkin harus bisa legowo, menghormati dan menerima segala keputusannya apapun itu. Namun aku juga tak bisa bersandiwara untuk baik-baik saja.

"Marah? Apa hakku buat marah, Mas?" tanyaku singkat. Kuseka kedua sudut mata yang basah. Sesak di dada tak bisa lagi kujelaskan bagaimana rasanya. 

"Kamu kan tahu kalau-- 

"Kalau anak laki-laki tetap milik ibunya meski dia sudah berumah tangga. Kalau kemapananmu saat ini berkat jerih payah dan doa-doa ibu yang tak pernah lelah di setiap sujudnya. Kalau ibu bahkan rela banting tulang untuk menyekolahkanmu hingga sarjana. Iya, kan, Mas?" Aku membalikkan badan, sedikit tersenyum meski hambar.

Mas Feri hanya diam saja menatapku lekat. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya detik ini.

"Bahkan aku sampai hafal kalimat apa yang akan kamu katakan. Hebatnya aku, ya? Bisa tahu isi hatimu," balasku lagi. Air bening meluncur begitu saja ke pipi. Mas Feri berusaha menyeka kedua sudut mataku namun buru-buru kutepis. 

"Benar kata ibu, aku terlalu beruntung mendapatkanmu. Kamu yang sudah mapan saat datang melamarku. Aku yang tak punya apa-apa dan hanya seorang yatim piatu. Benar kata ibu, aku tak ada hak menuntut lebih padamu karena dipersunting seorang Feri adalah sebuah keberuntungan yang harus sangat kusyukuri." 

"Maksud kamu apa sih, Rin? Makin lama makin ngelunjak kamu itu. Kamu mau menjelekkan ibu di depanku, begitu?" Suara Mas Feri mulai tak enak terdengar. Aku kembali menatap hamparan dedaunan yang menghijau.

"Izinkan aku kerja, biar aku tak hanya menodong gaji suami," ucapku lirih.

"Sudah kubilang, tugas seorang istri di rumah melayani suami. Aku masih mampu cari nafkah untuk menghidupi istri," jawab Mas Feri lagi. 

"Kalau memang nggak boleh kerja, aku minta kita mengontrak rumah saja, Mas. Kecil pun tak apa. Bukankah dalam agama kita juga mengajarkan mandiri setelah menikah? Karena menyatukan dua perempuan dalam satu rumah tidak lah mudah, demi menghindari konflik dan sakit hati," ucapku lagi. 

"Maksudmu apa, Rin? Kamu ingin kita pergi dari rumah ini, begitu?" 

Aku tak menjawab. Aku yakin setelah ini ada ceramah panjang dari Mas Feri untukku, mau tak mau aku harus mendengarkannya. Entah sudah berapa kali aku meminta dia untuk mengontrak namun hasilnya sia-sia. Selalu ada alasan yang dia berikan, tak lain tentang ibunya.

"Kamu kenapa? Minta ngontrak lagi? Ingin mandiri atau memang nggak mau merawat ibu? Katakan saja yang jujur, jangan berbelit-belit," ucap Mas Feri ketus. 

"Aku tak pernah berpikiran seperti itu, Mas. Tak mau merawat ibu? Harusnya kamu tahu sejak kecil aku hidup di sendiri setelah kepergian orang tuaku, tak pernah merasakan kasih sayang bapak dan ibu. Kehadiran ibumu dalam hidupku begitu berarti. Namun sepertinya pandanganku ini berbeda dengan pandangan ibu padaku." 

"Kamu mau bilang kalau ibu tak menyukaimu? Bukan kah dari awal kamu sudah merasa begitu, namun selalu bilang bahwa ketulusan cintamu akan meluluhkan hatinya? Mana bukti ucapanmu? Kenapa sekarang seolah kamu menyalahkanku atas ketidak harmonisanmu dengan ibu?" 

Astaghfirullah ... kuucap istighfar dalam hati.

"Lantas aku harus bagaimana, Mas? Mau kerja, kamu larang. Minta mengontrak rumah, kamu enggan. Apa aku harus begini terus-terusan?" 

"Ibu sudah tua, Rin. Harusnya kamu juga paham, ini waktunya kita berbakti pada ibu. Ingat Rin, ridhoNya tergantung dengan ridho orang tua terutama ibu." 

"Aku tahu, Mas tapi-- 

"Tapi apalagi? Kamu tetap bersikukuh ingin pergi dari rumah ini?" 

Hening beberapa saat. Aku menatap langit yang mulai gelap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Semilir angin menerpa wajahku. Dingin dan menenangkan.

"Kalau kamu tetap ingin pergi, aku tak bisa, Rin. Aku ingin berbakti pada ibu, walau bagaimanapun dia lah kunci surgaku. Harusnya kamu bisa mengerti dan mau bersabar untuk ikut merawatnya. Karena mematuhi permintaan suami juga bagian dari surgamu." 

Kulihat punggung Mas Feri keluar kamar lalu menutup pintu cukup kencang. Seperti biasa, hanya sebuah pertengkaran yang kudapatkan tiap kali membahas masalah yang sama. 

Capek hati, capek tenaga dan capek pikiran. Namun harus bertahan. Teringat kembali nasehat ibu saat kecil dulu, untuk tetap bersabar dalam menghadapi ujianNya. Karena Dia tak akan menguji seorang hamba diatas batas kemampuan hambaNya.

Bersabar? Mungkinkah aku harus tetap bersabar menghadapi ini setiap hari? Sementara aku terus digerogoti sakit hati? Menahan semua sesak dan luka sendiri, tanpa ada yang mau mengerti. 

"Arin! Jangan racuni pikiran anakku! Sampai kapan pun kamu tak akan pernah bisa mengambil Feri dari ibu. Karena dia memang anak yang berbakti. Harusnya kamu bangga pada suamimu karena dia sudah berbakti pada ibunya. Harusnya kamu bersyukur karena Feri masih setia sama kamu, padahal hampir dua tahun menikah kamu belum juga memberinya keturunan. Apa kamu nggak sadar? Jangan ngelunjak kamu, Rin! Sudah dikasih hati minta jantungnya sekalian!" 

Entah mengapa ibu tiba-tiba muncul dari balik jendela. Apa sejak tadi dia sengaja menguping pembicaraanku dengan anak lelakinya? Selalu begitu, seolah tak pernah memberiku waktu untuk bicara empat mata saja dengan anak laki-lakinya. 

Ibu selalu merecoki dan menguping apa pun yang kami bicarakan. Tak hanya sekali dua kali namun hampir setiap hari. Mungkin memang untuk bahan bergosip setiap pagi. Entah lah! 

~

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
itut ahahahahha
goodnovel comment avatar
Key Pogo
katanya meninggal 2 bulan sebelum di pinang... koq malah jadi yatim piatu dari kecil? yg bener yg mana nih thor? ibu angkat atau ibu di asuh ya maksudnya itu?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status