Pov : Feri 2
Aku tak tahu kenapa ibu sering kali menguping pembicaraanku dengan Arina. Tak hanya sekali namun sudah berulang kali. Mungkin karena itu pula Arina menjadi lebih tertutup dan pendiam. Sering kutanya kenapa dia semakin berubah, namun dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Senyum yang begitu dipaksakan, menurutku.
"Kamu cekcok lagi sama ibu, Rin?" tanyaku lirih saat Arin terlihat begitu pusing. Dia masih terus memijit kening.
"Kamu pusing, Rin? Atau mau pijit karena kecapekan?" sambungku lagi.
Kulihat dia hanya menggeleng pelan. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, membuatku semakin bingung.
Berulang kali kutanyakan dia mau apa, jalan-jalan atau apa tapi tetap saja Arin hanya menggelengkan kepalanya. Tiap weekend kuajak jalan pun dia nggak mau.
"Kamu kenapa sih, Rin? Nggak pernah mau jalan-jalan atau sekadar makan di luar? Bukannya aku kasih duit sama kamu pas-pas an? Atau kamu sudah sering jajan, makanya nggak mau tiap kali kuajak ke luar?" tanyaku suatu hari karena geram. Penolakannya berulang kali membuatku semakin keheranan.
Tiap kali nanya ke ibu, jawabannya hanya satu. Sering ke luar, jajan kali. Ibu males nanya-nanya nanyi dibilang sok ngatur. Jawaban ibu makin membuatku penasaran.
"Apa benar kata ibu, kalau kamu sering ke luar rumah untuk jajan?"
Dia menoleh cepat ke arahku. Tanpa mengucap sepatah kata pun, hanya menjawab pertanyaanku dengan air matanya yang berlinang. Bahkan dia semakin memijit kening seperti kesakitan.
"Aku bingung ya, Rin. Kamu tiap ditanya selalu diam, sementara kalau nanya ke ibu jawabannya tak pernah mengenakkan. Sebenarnya apa yang terjadi diantara kalian kalau aku tinggal kerja seharian?" tanyaku sedikit emosi.
Bahu Arina terguncang karena tangis. Aku berusaha memeluk untuk menenangkannya, namun dia tepis begitu saja.
"Kamu kenapa, Arina?!" Bentakku kemudian.
Arin menatapku lekat beberapa saat lamanya lalu kembali menggelengkan kepala.
"Cerita, Rin. Kalau kamu nggak cerita mana aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiap weekend kulihat kamu dan ibu juga baik-baik saja. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan? Apa semua yang ibu katakan itu tak benar?" tanyaku lagi.
"Kalau aku bilang tak benar, apa kamu percaya, Mas? Kamu pasti nggak percaya omonganku, kan? Kamu selalu percaya apa yang ibu katakan," ucapnya lagi. Air matanya kembali berlinang.
"Bukannya gitu, Sayang. Tapi apa ibu berbohong?"
"Apa menurutmu aku juga berbohong, Mas?" tanyanya balik membuatku semakin pusing. Menghadapi dua perempuan dalam satu rumah memang memusingkan. Aku tak bertanya lagi, membiarkan semua berjalan seperti biasanya.
Melihat Arina semakin diam pun kupikir biasa saja. Tak terlalu kuambil pusing. Yang penting aku ingin menabung yang banyak agar bisa membeli rumah. Mungkin dengan itu akan membuatnya berubah, kembali tersenyum seperti biasanya.
"Nggak usah ngontrak ya, Sayang. Uangnya bisa kita tabung full, katanya kamu pengen punya rumah sendiri, kan?" tanyaku saat itu. Dia sedikit berbinar lalu tersenyum tipis.
"Iya, Mas. Kecil pun tak apa asalkan kita pindah dari sini. Aku ingin mandiri, Mas," ucapnya dengan nada bergetar bahagia. Aku pun mengangguk saja. Bagiku, kebahagiaan dua wanita penting dalam hidupku itu adalah yang utama.
Hari bergulir, sikap dingin dan diam Arin yang kupikir akan hilang seiring berjalannya waktu, justru semakin hari semakin bertambah.
"Istrimu itu jadi bahan gunjingan tetangga karena nggak pernah ikut arisan atau sekadar kumpul-kumpul," ucap ibu dengan nada kesal.
"Mungkin capek, Bu. Arina sibuk beberes, masak dan lainnya sendirian," ucapku santai sembari mengupas kacang tanah di atas meja.
"Yang lain juga sama. Begitu juga, memangnya mereka pada sewa pembantu? Nggak kan?" Ibu tak mau kalah.
"Arina dari dulu memang tak suka ngumpul-ngumpul begitu, Bu. Lebih baik di rumah atau tidur katanya daripada keseringan ngumpul biasanya ujung-ujungnya pada ngerumpi," ucapku lagi.
"Alasan saja dia itu. Lagian akhir-akhir ini dia memang sibuk terus sepertinya. Sibuk mainan ponsel," jawab ibu lagi.
"Biarin lah, Bu. Mungkin ngobrol sama temannya atau mainan game, yang penting pekerjaan rumah selesai semua, kan?" Ibu hanya diam saja.
Selama ini ibu memang sering menjelek-jelekkan Arina, namun aku berusaha meredam emosinya. Aku juga tak ingin tensi ibu makin naik kalau aku bantah terus menerus. Meski kadang aku berpikir, Arina tak mungkin seburuk itu. Tapi untuk membantah ucapan ibu pun aku tak ada bukti apa-apa.
"Ibu minta duit dua juta aja Fer. Duit ibu habis bulan ini," ucap ibu santai.
Aku mendadak kaget. Baru tengah bulan duit ibu habis? Buat apa? Satu setengah juta bukan uang sedikit karena itu sengaja aku kasih untuk jajan ibu, sementara jatah Arina untuk mencukupi kebutuhan bulanan yang hanya satu juta saja tak pernah kurang. Dia tak pernah meminta lagi.
"Buat apa uang sebanyak itu, Bu? Tiap bulan Feri kasih satu setengah juta khusus buat jajan atau arisan ibu. Masak baru tengah bulan sudah minta lagi? Arina saja--
"Nah, kan! Arina lagi. Kamu mau bandingin ibu dengan istrimu terus-terusan, iya? Kalau nggak boleh bilang saja, nggak usah membanding-bandingkan. Ibu nggak suka," ucap ibu lagi.
"Bukan begitu, Bu. Feri hanya heran kenapa duitnya cepat habis? Buat apa?" tanyaku lagi, mencoba meredam emosi.
"Kamu kan tahu Abangmu Sony kena PHK, sementara mereka punya anak dua yang masih kecil-kecil. Kemarin itu mereka minta uang ke ibu buat bayar kontrakan. Sudah telat tiga bulan, kalau nggak dibayar akan diusir. Kasihan, kan, Fer? Makanya ibu transfer semua uangnya, itu saja belum cukup karena kontrakan tiga bulan mereka dua juta seratus," ucap ibu dengan wajah lesu. Matanya berair dan aku paling nggak tega melihat ibu menangis.
"Oh ya, kapan kamu beli rumahnya? Nanti ibu ikut kamu saja ya, Fer? Rumah ini biar ditempati Mbakmu dan keluarga kecilnya. Daripada di ibukota nggak ada kerjaan bahkan bayar kontrakan saja nggak bisa, bukan kah lebih baik pulang kampung? Usaha apa gitu di rumah."
Deg. Kenapa ibu bilang begitu, padahal dulu ibu bersikukuh tak ingin meninggalkan rumah ini karena terlalu banyak kenangan bersama bapak. Lagipula sudah akrab sama tetangga bahkan seperti saudara, katanya.
Mana aku juga sudah bilang sama Arina untuk mandiri, pisah rumah agar dia tak selalu cekcok dengan ibu tapi kalau ibu tetap ikut bersama kami, itu artinya sama saja.
"Kenapa diam? Pasti karena istrimu nggak suka ibu ikut sama kamu, kan? Pasti dia minta agar ibu ikut dengan Mbakmu saja untuk tetap di rumah ini," tuduh ibu. Dia menatapku lekat.
"Bukannya begitu, Bu. Dulu ibu sendiri yang bilang tak ingin pergi dari rumah ini, kan? Kenapa sekarang berubah?"
Ibu menghembuskan napas panjang.
"Kamu sama Arina belum ada anak, masih santai sementara Mbak Vira ada anak dua masih kecil-kecil pula pasti repot. Mana sempat dia mengurus ibu, nanti yang ada ibu yang ikut membantu mengurus dua anaknya. Bisa kecapekan dan tensi naik tiap bulan. Lagipula ibu sudah tua, waktunya kamu dan Arina berbakti. Walau bagaimanapun ridhoNya tergantung ridho orang tua, terutama ibu," jawab ibu cukup serius.
Aku berpikir sejenak. Ucapan ibu memang benar, bukan kah ini kesempatanku dan Arina berbakti padanya? Karena umur manusia tiada yang tahu kecuali DIA. Aku pasti akan sangat menyesal nanti jika ibu pergi sebelum aku mampu berbakti padanya. Dia tetaplah kunci surgaku, yang wajib kubuat bahagia.
***
Pagi-pagi ibu sudah menelepon. Tumben sekali biasanya jam istirahat baru dia telepon. Itu pun hanya untuk laporan soal Arin. Entah begini entah begitu. Kadang aku juga kesal, hal sepele sering kali ibu besar-besarkan. Sudah capek di kantor, di rumah pun tak pernah dibuat nyaman. Ibu dan Arina jarang akurnya.
Tapi yang membuatku heran, hanya ibu yang menjelekkan Arin. Sementara istriku itu, tak lagi lapor apa pun soal ibu setelah ketahuan waktu itu. Dia hanya diam dan istighfar tiap kali ibu menyudutkan atau menyalahkannya.
"Istrimu itu benar-benar malu-maluin, Fer. Dia pinjam duit 300ribu sama Si Yasmin itu, entah mau buat apa. Mana banyak orang di warung Pak Bidin. Gimana? Makin lama makin ngelunjak kan dia?" Lapor ibu padaku.
Aku tak habis pikir, mau buat apa uang segitu. Tiap kali kutanya apa uangnya kurang, dia selalu diam bahkan sering menggelengkan kepala dan sekarang dia merendahkan martabat suami di depan banyak orang dengan meminjam duit yang nggak seberapa?
Astaghfirullah ... makin lama aku makin nggak paham dengan jalan pikiran Arin. Sulit ditebak dan selalu ditutup-tutupi.
"Kenapa, Fer? Ada masalah? Akhir-akhir ini kulihat kamu seperti menyimpan banyak beban," tanya Ogi-- teman kantorku. Dia memang biasa tempatku berkeluh kesah, namun akhir-akhir ini aku cukup malas untuk bercerita dengannya. Bukan malas tapi lebih tepatnya malu.
Aku yakin dia pasti akan meledekku kalau sampai tahu aku hanya memberi jatah bulanan satu juta untuk Arina, sementara gaji dia semua diserahkan ke istrinya. Dia hanya megang untuk uang bensin atau jajan saja yang tak seberapa.
"Soal istri?" tanyanya lagi.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Istri kenapa?" Dia menoleh ke arahku, sepertinya mulai fokus mendengarkan cerita yang ingin kusampaikan.
"Ketahuan ibu kalau dia mau pinjam duit temannya 300ribu. Mana pinjemnya di depan warung, ada banyak orang di sana. Malu-maluin, kan? Dikira aku nggak sanggup kasih dia nafkah." Kuusap wajah kasar.
Ogi berpikir sejenak lalu menatapku lekat.
"Memangnya kamu kasih berapa dia sebulan? Kok masih pinjam sama teman?"
Entah karena gugup atau apa reflek kujawab satu juta. Ogi mendadak menegakkan badannya yang tadinya menunduk menatapku.
"Astaghfirullah, itu sih kamu yang malu-maluin, Fer. Bukan dia! Padahal kamu cerita waktu itu kasih uang jajan ibumu satu setengah juta, kenapa sama istrimu justru lebih sedikit? Jangan dzalim sama istri sendiri, Feri!" ucapnya sembari geleng-geleng kepala.
Benar kah kata Ogi? Aku yang malu-maluin, bukan Arina?
***
Pov : Feri 3 "Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya. Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka. "Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan. Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu
Pov : Feri 4 Di Rumah Sakit "Kata Dokter, Arina kena radang lambung, Bu. Kemungkinan besar karena dia sering telat makan. Apa selama ini dia memang sering makan telat?" tanyaku pada ibu yang masih duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. "Apa, Fer? Arina terkena radang lambung karena sering telat makan?" tanya ibu kemudian. Aku mengangguk pelan, memandang wajah Arina yang tampak begitu tenang. "Iya, Bu. Dokter bilang begitu. Apa di rumah pekerjaannya terlalu banyak?" "Pekerjaan apa? Kalau sekadar beberes rumah, masak atau nyuci 'kan memang tugas seorang ibu rumah tangga. Harusnya dia bisa atur kapan waktunya makan dan kapan waktunya kerja," jawab ibu kemudian. "Kalau dia lupa makan, tolong ingatkan ya, Bu. Feri takut dia nanti kambuh lagi kalau telat makan terus." "Dia sudah tua, Fer. Ngapain juga sekhawatir itu. Harusnya dia tahu diri, kalau nggak mau sakit ya bisa jaga diri baik-baik. Akhir-akhir ini dia memang sering mainan ponsel berjam-jam di kamarnya. Mungkin karena
Pov : Arina "Rin, semoga kamu cepet sehat, ya?/Aku berangkat kerja dulu. Kalau buruh sesuatu atau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Kalau ibu nggak ada, kamu bisa tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan."Kamu mau makan apa? Atau kalau pengin sesuatu bilang aja, biar nanti aku bawakan sekalian setelah pulang kerja," ucap Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, ka
Pagi-pagi sekali ibu sudah ribut. Bunyi pisau dan nampan beradu, gelas, sendok dan piring serta perabot lainnya, seolah sengaja dia perkeras agar aku gegas ke luar kamar. Padahal aku masih cukup mengantuk karena semalam tidur terlalu larut. Meracik bahan-bahan untuk membuat nasi timlo dan sop ayam. Aku sudah bilang sekalian pagi saja sebelum subuh, tapi ibu tak pernah mau mendengar apa pun usulanku. Mau tak mau aku mengikuti arahannya. Aku tak ingin tensi ibu kembali naik seperti beberapa hari yang lalu, semakin memperlambat urusanku beberes rumah. "Biasakan bangun pagi sebelum subuh. Jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan matahari terbit baru bangun," ucap ibu ketus saat melihatku sudah sampai di pintu dapur. Gegas kubuka jendela, meski masih gelap gulita. Sengaja. "Kok malah dibuka? Kamu nggak lihat masih gelap? Dingin. Kamu sengaja ingin ibu masuk angin?" Bentak ibu kemudian. "Bukannya ibu bilang, jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan
Acara masak-memasak untuk arisan ibu mertua akhirnya kelar juga. Badan rasanya nano-nano. Pegel, linu, ngantuk campur menjadi satu, namun aku masih berusaha standby di dapur. Malas sekali rasanya mendengar teriakan-teriakan ibu lagi dan lagi di saat aku baru saja menyelonjorkan kaki. Segala masakan dan camilan sudah kuhidangkan. Lesehan alias melantai di atas tikar. Timlo, sayur sop, tempe & tahu bacem, telur puyuh goreng, sate ati ampela, kerupuk. Belum camilan lain agar-agar, brownies, bolu, kacang rebus, risol, pisang goreng, bala-bala, dan entah apalagi aku sampai mual rasanya melihat masakan segitu banyak. Kalau pesan sih nggak masalah, tapi kebanyakan aku yang memasaknya dibantu dengan dua tetangga lain. Sementara ibu, entah sibuk apa. Mondar-mandir nggak jelas dari pagi hingga sesore ini. "Minumannya mana, Rin? Buruan disiapkan keburu tamu datang semua," titah ibu lagi saat aku baru saja merebahkan badan."Badanku capek banget, Bu. Ibu gantian lah, tinggal mindahin ke ruang d
Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan. "Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak in
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk. Setelah pulang dari pasar membeli bumbu-bumbu, ayam dan ikan, aku buru-buru ke kebun belakang rumah. Banyak sayuran yang sengaja kupanen hari ini. Ada pare, sawi, kangkung dan terong. Rencananya aku akan memasak sayuran matang dan lauk dan kujual via whatsapp nanti. Modalnya untuk jualan nasi timlo dan membeli peralatan lainnya. "Sayang, Mbak Vina beneran chat begitu sama kamu? Kok kasar begitu ya bahasanya?" tanya Mas Feri tiba-tiba sembari membenarkan kancing kemejanya. Semalam dia lembur, mungkin kecapekan jadi tak sempat menanyakan soal pesan dari Mbak Vina padaku. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan darinya."Sejak kapan dia kasar begitu sama kamu?" tanyanya lagi. Kuhentikan jemari yang sibuk memetik kangkung. Menoleh ke arah Mas Feri dengan wajah penasarannya. "Sejak awal menikah denganmu, Mbak Vina memang selalu begitu kalau chat denganku, Mas. Aku juga pernah bilang sama kamu soal duit yang habis karena dia pinjam nggak pernah ba
Pertengahan bulan seperti saat ini memang nano-nano. Sejak kemarin ibu mulai menyindir soal duit dari Mas Feri, padahal sudah jelas aku pinjamkan ke Mbak Vina. Jatah pribadi satu juta itu pun akhirnya kutransferkan ke Mbak Vina untuk bayar kontrakan, katanya. Aku juga bukan seorang ipar yang jahat, yang tega membiarkan kakak iparnya diusir oleh pemilik kontrakan karena menunggak beberapa bulan. Tapi ibu tetap saja menyindir, padahal kemarin dia juga tahu kalau aku pergi ke Atm untuk transfer duit. Sekalian ke bank buat aktifin mobile banking. Hari ini, kelima kalinya aku jualan masakan matang. Badan rasanya benar-benar capek. Remuk redam tak karuan. Berulang kali ibu menyindir soal uang bulanan dari Mas Feri yang kurang, menyindir token listrik dan arisan, aku tak tak peduli. Namun saat melihatku sibuk dengan perdapuran, ibu justru pergi merumpi. Bahkan sekadar ikut menjaga penggorenganku agar tak gosong saat kutinggal sarapan pun tak mau. Bukan urusanku, katanya. Benar-benar menje