Share

Bab 7

Pov : Feri 2 

Aku tak tahu kenapa ibu sering kali menguping pembicaraanku dengan Arina. Tak hanya sekali namun sudah berulang kali. Mungkin karena itu pula Arina menjadi lebih tertutup dan pendiam. Sering kutanya kenapa dia semakin berubah, namun dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Senyum yang begitu dipaksakan, menurutku. 

"Kamu cekcok lagi sama ibu, Rin?" tanyaku lirih saat Arin terlihat begitu pusing. Dia masih terus memijit kening. 

"Kamu pusing, Rin? Atau mau pijit karena kecapekan?" sambungku lagi.

Kulihat dia hanya menggeleng pelan. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, membuatku semakin bingung.  

Berulang kali kutanyakan dia mau apa, jalan-jalan atau apa tapi tetap saja Arin hanya menggelengkan kepalanya. Tiap weekend kuajak jalan pun dia nggak mau.  

"Kamu kenapa sih, Rin? Nggak pernah mau jalan-jalan atau sekadar makan di luar? Bukannya aku kasih duit sama kamu pas-pas an? Atau kamu sudah sering jajan, makanya nggak mau tiap kali kuajak ke luar?" tanyaku suatu hari karena geram. Penolakannya berulang kali membuatku semakin keheranan. 

Tiap kali nanya ke ibu, jawabannya hanya satu. Sering ke luar, jajan kali. Ibu males nanya-nanya nanyi dibilang sok ngatur. Jawaban ibu makin membuatku penasaran. 

"Apa benar kata ibu, kalau kamu sering ke luar rumah untuk jajan?" 

Dia menoleh cepat ke arahku. Tanpa mengucap sepatah kata pun, hanya menjawab pertanyaanku dengan air matanya yang berlinang. Bahkan dia semakin memijit kening seperti kesakitan. 

"Aku bingung ya, Rin. Kamu tiap ditanya selalu diam, sementara kalau nanya ke ibu jawabannya tak pernah mengenakkan. Sebenarnya apa yang terjadi diantara kalian kalau aku tinggal kerja seharian?" tanyaku sedikit emosi. 

Bahu Arina terguncang karena tangis. Aku berusaha memeluk untuk menenangkannya, namun dia tepis begitu saja. 

"Kamu kenapa, Arina?!" Bentakku kemudian.

Arin menatapku lekat beberapa saat lamanya lalu kembali menggelengkan kepala. 

"Cerita, Rin. Kalau kamu nggak cerita mana aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiap weekend kulihat kamu dan ibu juga baik-baik saja. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan? Apa semua yang ibu katakan itu tak benar?" tanyaku lagi. 

"Kalau aku bilang tak benar, apa kamu percaya, Mas? Kamu pasti nggak percaya omonganku, kan? Kamu selalu percaya apa yang ibu katakan," ucapnya lagi. Air matanya kembali berlinang. 

"Bukannya gitu, Sayang. Tapi apa ibu berbohong?" 

"Apa menurutmu aku juga berbohong, Mas?" tanyanya balik membuatku semakin pusing. Menghadapi dua perempuan dalam satu rumah memang memusingkan. Aku tak bertanya lagi, membiarkan semua berjalan seperti biasanya. 

Melihat Arina semakin diam pun kupikir biasa saja. Tak terlalu kuambil pusing. Yang penting aku ingin menabung yang banyak agar bisa membeli rumah. Mungkin dengan itu akan membuatnya berubah, kembali tersenyum seperti biasanya. 

"Nggak usah ngontrak ya, Sayang. Uangnya bisa kita tabung full, katanya kamu pengen punya rumah sendiri, kan?" tanyaku saat itu. Dia sedikit berbinar lalu tersenyum tipis.

"Iya, Mas. Kecil pun tak apa asalkan kita pindah dari sini. Aku ingin mandiri, Mas," ucapnya dengan nada bergetar bahagia. Aku pun mengangguk saja. Bagiku, kebahagiaan dua wanita penting dalam hidupku itu adalah yang utama. 

Hari bergulir, sikap dingin dan diam Arin yang kupikir akan hilang seiring berjalannya waktu, justru semakin hari semakin bertambah. 

"Istrimu itu jadi bahan gunjingan tetangga karena nggak pernah ikut arisan atau sekadar kumpul-kumpul," ucap ibu dengan nada kesal. 

"Mungkin capek, Bu. Arina sibuk beberes, masak dan lainnya sendirian," ucapku santai sembari mengupas kacang tanah di atas meja. 

"Yang lain juga sama. Begitu juga, memangnya mereka pada sewa pembantu? Nggak kan?" Ibu tak mau kalah. 

"Arina dari dulu memang tak suka ngumpul-ngumpul begitu, Bu. Lebih baik di rumah atau tidur katanya daripada keseringan ngumpul biasanya ujung-ujungnya pada ngerumpi," ucapku lagi.

"Alasan saja dia itu. Lagian akhir-akhir ini dia memang sibuk terus sepertinya. Sibuk mainan ponsel," jawab ibu lagi.

"Biarin lah, Bu. Mungkin ngobrol sama temannya atau mainan game, yang penting pekerjaan rumah selesai semua, kan?" Ibu hanya diam saja. 

Selama ini ibu memang sering menjelek-jelekkan Arina, namun aku berusaha meredam emosinya. Aku juga tak ingin tensi ibu makin naik kalau aku bantah terus menerus. Meski kadang aku berpikir, Arina tak mungkin seburuk itu. Tapi untuk membantah ucapan ibu pun aku tak ada bukti apa-apa.

"Ibu minta duit dua juta aja Fer. Duit ibu habis bulan ini," ucap ibu santai. 

Aku mendadak kaget. Baru tengah bulan duit ibu habis? Buat apa? Satu setengah juta bukan uang sedikit karena itu sengaja aku kasih untuk jajan ibu, sementara jatah Arina untuk mencukupi kebutuhan bulanan yang hanya satu juta saja tak pernah kurang. Dia tak pernah meminta lagi. 

"Buat apa uang sebanyak itu, Bu? Tiap bulan Feri kasih satu setengah juta khusus buat jajan atau arisan ibu. Masak baru tengah bulan sudah minta lagi? Arina saja-- 

"Nah, kan! Arina lagi. Kamu mau bandingin ibu dengan istrimu terus-terusan, iya? Kalau nggak boleh bilang saja, nggak usah membanding-bandingkan. Ibu nggak suka," ucap ibu lagi.

"Bukan begitu, Bu. Feri hanya heran kenapa duitnya cepat habis? Buat apa?" tanyaku lagi, mencoba meredam emosi. 

"Kamu kan tahu Abangmu Sony kena PHK, sementara mereka punya anak dua yang masih kecil-kecil. Kemarin itu mereka minta uang ke ibu buat bayar kontrakan. Sudah telat tiga bulan, kalau nggak dibayar akan diusir. Kasihan, kan, Fer? Makanya ibu transfer semua uangnya, itu saja belum cukup karena kontrakan tiga bulan mereka dua juta seratus," ucap ibu dengan wajah lesu. Matanya berair dan aku paling nggak tega melihat ibu menangis.

"Oh ya, kapan kamu beli rumahnya? Nanti ibu ikut kamu saja ya, Fer? Rumah ini biar ditempati Mbakmu dan keluarga kecilnya. Daripada di ibukota nggak ada kerjaan bahkan bayar kontrakan saja nggak bisa, bukan kah lebih baik pulang kampung? Usaha apa gitu di rumah." 

Deg. Kenapa ibu bilang begitu, padahal dulu ibu bersikukuh tak ingin meninggalkan rumah ini karena terlalu banyak kenangan bersama bapak. Lagipula sudah akrab sama tetangga bahkan seperti saudara, katanya. 

Mana aku juga sudah bilang sama Arina untuk mandiri, pisah rumah agar dia tak selalu cekcok dengan ibu tapi kalau ibu tetap ikut bersama kami, itu artinya sama saja. 

"Kenapa diam? Pasti karena istrimu nggak suka ibu ikut sama kamu, kan? Pasti dia minta agar ibu ikut dengan Mbakmu saja untuk tetap di rumah ini," tuduh ibu. Dia menatapku lekat. 

"Bukannya begitu, Bu. Dulu ibu sendiri yang bilang tak ingin pergi dari rumah ini, kan? Kenapa sekarang berubah?" 

Ibu menghembuskan napas panjang.

"Kamu sama Arina belum ada anak, masih santai sementara Mbak Vira ada anak dua masih kecil-kecil pula pasti repot. Mana sempat dia mengurus ibu, nanti yang ada ibu yang ikut membantu mengurus dua anaknya. Bisa kecapekan dan tensi naik tiap bulan. Lagipula ibu sudah tua, waktunya kamu dan Arina berbakti. Walau bagaimanapun ridhoNya tergantung ridho orang tua, terutama ibu," jawab ibu cukup serius.  

Aku berpikir sejenak. Ucapan ibu memang benar, bukan kah ini kesempatanku dan Arina berbakti padanya? Karena umur manusia tiada yang tahu kecuali DIA. Aku pasti akan sangat menyesal nanti jika ibu pergi sebelum aku mampu berbakti padanya. Dia tetaplah kunci surgaku, yang wajib kubuat bahagia. 

*** 

Pagi-pagi ibu sudah menelepon. Tumben sekali biasanya jam istirahat baru dia telepon. Itu pun hanya untuk laporan soal Arin. Entah begini entah begitu. Kadang aku juga kesal, hal sepele sering kali ibu besar-besarkan. Sudah capek di kantor, di rumah pun tak pernah dibuat nyaman. Ibu dan Arina jarang akurnya. 

Tapi yang membuatku heran, hanya ibu yang menjelekkan Arin. Sementara istriku itu, tak lagi lapor apa pun soal ibu setelah ketahuan waktu itu. Dia hanya diam dan istighfar tiap kali ibu menyudutkan atau menyalahkannya. 

"Istrimu itu benar-benar malu-maluin, Fer. Dia pinjam duit 300ribu sama Si Yasmin itu, entah mau buat apa. Mana banyak orang di warung Pak Bidin. Gimana? Makin lama makin ngelunjak kan dia?" Lapor ibu padaku. 

Aku tak habis pikir, mau buat apa uang segitu. Tiap kali kutanya apa uangnya kurang, dia selalu diam bahkan sering menggelengkan kepala dan sekarang dia merendahkan martabat suami di depan banyak orang dengan meminjam duit yang nggak seberapa? 

Astaghfirullah ... makin lama aku makin nggak paham dengan jalan pikiran Arin. Sulit ditebak dan selalu ditutup-tutupi. 

"Kenapa, Fer? Ada masalah? Akhir-akhir ini kulihat kamu seperti menyimpan banyak beban," tanya Ogi-- teman kantorku. Dia memang biasa tempatku berkeluh kesah, namun akhir-akhir ini aku cukup malas untuk bercerita dengannya. Bukan malas tapi lebih tepatnya malu. 

Aku yakin dia pasti akan meledekku kalau sampai tahu aku hanya memberi jatah bulanan satu juta untuk Arina, sementara gaji dia semua diserahkan ke istrinya. Dia hanya megang untuk uang bensin atau jajan saja yang tak seberapa. 

"Soal istri?" tanyanya lagi. 

Aku hanya mengangguk pelan. 

"Istri kenapa?" Dia menoleh ke arahku, sepertinya mulai fokus mendengarkan cerita yang ingin kusampaikan. 

"Ketahuan ibu kalau dia mau pinjam duit temannya 300ribu. Mana pinjemnya di depan warung, ada banyak orang di sana. Malu-maluin, kan? Dikira aku nggak sanggup kasih dia nafkah." Kuusap wajah kasar. 

Ogi berpikir sejenak lalu menatapku lekat. 

"Memangnya kamu kasih berapa dia sebulan? Kok masih pinjam sama teman?" 

Entah karena gugup atau apa reflek kujawab satu juta. Ogi mendadak menegakkan badannya yang tadinya menunduk menatapku. 

"Astaghfirullah, itu sih kamu yang malu-maluin, Fer. Bukan dia! Padahal kamu cerita waktu itu kasih uang jajan ibumu satu setengah juta, kenapa sama istrimu justru lebih sedikit? Jangan dzalim sama istri sendiri, Feri!" ucapnya sembari geleng-geleng kepala.  

Benar kah kata Ogi? Aku yang malu-maluin, bukan Arina?

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status