Pov : Feri 3
"Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya.
Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka.
"Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan.
Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu dzalim padanya karena bisa jadi dia depresi dan tak bisa maksimal merawat buah hatimu nanti.
Berlaku adil lah diantara keduanya, jangan berat sebelah. Gimana, Fer? Aku sudah cocok jadi seorang ustadz, kan?" tanya Ogi sembari tertawa lebar setelah memberikan nasehat panjangnya. Aku tak terlalu mempedulikan tawanya.
Perlahan aku berusaha mencerna apa yang dikatakan Ogi. Meski dia sering cengengesan, tapi dia memang cukup bijak setiap mengambil keputusan. Aku juga tahu dia sangat perhatian dan penuh kasih pada istri dan ibunya. Mungkin karena itu pula Ogi bilang jarang sekali menemukan sikap istrinya seperti Arina saat ini.
"Ibuku tak pernah ikut campur masalah rumah tanggaku sih, Fer. Ya meski kami satu rumah, tiap kali aku cekcok sama bini, ibu pasti menyuruhku untuk membicarakan dengan kepala dingin bukan dengan emosi. Tiap kali ada masalah ibu justru menyalahkanku, mungkin karena itu pula bini merasa dihargai dan dibela oleh mertuanya sendiri. Awal-awal nikah doang minta ngontrak selang empat bulanan sudah betah kyaknya. Sampai sekarang nggak pernah bahas ngontrak rumah," ucap Feri kemudian, membuatku berpikir apa iya karena sikap ibu juga yang membuat Arina berubah sedrastis ini?
"Pasang cctv kalau perlu, yang kecil aja, Fer. Jadi nggak kelihatan mencolok. Maaf-maaf aja nih, ya. Kalau rumah tangga anak selalu direcoki mertua, yakin emang selalu cekcok. Sesabar-sabarnya perempuan, ada juga titik lemah dan jenuhnya, Fer. Cepat bertindak daripada kamu menyesal nantinya, kehilangan Arina."
Detik ini, aku mengikuti saran Ogi. Pulang lebih awal hanya sekadar ingin melihat apa yang dilakukan ibu dan Arina jika aku berangkat kerja. Tadi pagi aku memang sudah berencana untuk memakai ojek online saja dengan alasan motor mau dibengkelkan, Arina dan ibu pun tak menaruh curiga. Kini aku juga kembali naik ojek online untuk pulang ke rumah.
Suasana rumah cukup sepi, entah ke mana ibu dan Arin. Kuucap salam namun tak ada jawaban. Gegas kumasuk ke dalam rumah, mempercepat langkah menuju kamar. Mungkin saat ini Arin ada di kamarnya.
Benar saja. Dia tidur di pembaringan. Sepertinya terlalu nyenyak hingga aku datang pun dia tak bangun.
"Rin ... kamu sakit?" tanyaku lirih sembari meletakkan tas kerja ke atas meja. Arin hanya diam saja. Tubuhnya membelakangiku dengan selimut sampai dada.
"Rin ... Kamu--
Arina membalikkan badannya. Kulihat wajahnya begitu pucat, pipinya basah. Dia pasti menangis lagi tadi. Melihat kegugupanku, dia mencoba untuk tersenyum meski kutahu itu sangat dipaksakan. Aku tahu, dia sangat kaget saat tahu aku sudah ada di sampingnya. Kuusap keningnya cukup panas.
"Kamu sakit, Rin. Badanmu panas banget ini."
Aku membantunya yang mencoba untuk duduk namun tangannya masih gemetaran.
"Kamu kok sudah pulang, Mas?" tanyanya lirih.
"Iya, perasaanku nggak enak di kantor makanya aku pulang cepat," ucapku.
"Ternyata benar, kan? Kamu sedang sakit. Ibu ke mana kok nggak ada? Kamu sudah makan?" tanyaku lagi. Kulihat tubuhnya sangat lemas. Arina menggeleng pelan.
"Belum makan dari pagi?" tanyaku lagi dengan gugup.
Lagi-lagi dia mengangguk.
"Kok bisa, Rin? Perasaan tadi pagi kamu belum sakit. Masih berusaha menyiapkan baju dan roti panggangku"
Dia kembali terdiam. Apa sebenarnya dia memang sudah sakit sejak pagi atau bahkan dari kemarin, namun aku tak menyadari?
"Memangnya ibu ke mana, Rin?"
Lagi-lagi dia menggeleng. Seperti biasanya dia pasti tak ingin banyak bicara. Memilih memendam semua rasa sendirian.
"Kamu tunggu di sini dulu, biar aku ambilkan makanan untukmu, ya? Habis itu kita ke dokter," ucapku lagi. Arin hanya memandangku tanpa mengucap sepatah kata.
Buru-buru kumelangkah ke dapur, membuka meja makan. Tak ada apa-apa. Kalau Arin demam begitu harusnya ibu menggantikannya memasak, kan? Tapi kenapa tak ada makanan apa pun di atas meja bahkan sampai Arin kelaparan begitu? Kemana ibu sebenarnya?
Saat aku ingin menggoreng telur, terdengar suara berisik dari luar rumah. Sepertinya ibu baru datang. Dia berjalan beriringan dengan Bu Salamah dengan menenteng tas belanja.
"Fer! Feri? Kamu kok sudah pulang jam segini?" tanya ibu setengah berteriak saking kagetnya.
"Kamu mau ngapain ke dapur segala? Arin mana? Kenapa dia nggak membuatkanmu kopi?" tanya ibu lagi.
"Ibu darimana? Belanja?" tanyaku singkat.
"Iya ibu belanja gamis sama Bu Salamah buat kondangan minggu depan."
"Di saat Arina sakit, bahkan tak ada makanan apa pun yang masuk ke perutnya hingga sesiang ini, ibu justru asyik shopping?"
"Maksudmu apa sih, Fer? Akhir-akhir ini istrimu itu emang betah di kamar. Nggak tahu ngapain, sibuk banget sama ponselnya. Mana ibu tahu kalau dia sakit," jawab ibu ketus. Kulihat dia mulai emosi.
"Arina sakit, Bu. Dia demam tinggi, perutnya belum terisi sejak pagi. Dan ibu baru pulang sesiang ini?" tanyaku lagi. Bu Salamah berbisik ke arah ibu lalu pamit pergi, mungkin tak enak hati karena mendengar percekcokanku dengan ibu.
"Manja banget istrimu itu. Biasanya dia juga sudah masak dan makan kenyang jam segini. Kenapa pas kamu pulang siang, dia berlagak nggak makan dari pagi? Dia sengaja begitu biar ibu terlihat dzalim, kan?" tuduh ibu sembari menaruh tas belanjanya dengan kasar ke atas sofa.
"Arin nggak tahu Feri pulang awal, Bu. Dia juga kaget kenapa jam segini Feri sudah pulang. Dan yang membuat Feri lebih kaget lagi, kenapa ibu justru meninggalkannya tanpa pamit, seolah membiarkan Arin sakit sendirian? Apa selama ini ibu terbiasa begini?"
Ibu menoleh cepat sembari melotot lebar.
"Kamu kemakan omongan istrimu, Fer? Apa dia juga terbiasa menjelekkan ibu di depanmu?" Ibu berkacak pinggang tak terima. Semua bisa runyam jika aku meladeni ibu. Biar lah aku yang mengalah. Lebih baik segera membawa Arina ke rumah sakit daripada terus berdebat dengan ibu yang tak pernah mau introspeksi atas sikapnya selama ini.
***
Pov : Feri 4 Di Rumah Sakit "Kata Dokter, Arina kena radang lambung, Bu. Kemungkinan besar karena dia sering telat makan. Apa selama ini dia memang sering makan telat?" tanyaku pada ibu yang masih duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. "Apa, Fer? Arina terkena radang lambung karena sering telat makan?" tanya ibu kemudian. Aku mengangguk pelan, memandang wajah Arina yang tampak begitu tenang. "Iya, Bu. Dokter bilang begitu. Apa di rumah pekerjaannya terlalu banyak?" "Pekerjaan apa? Kalau sekadar beberes rumah, masak atau nyuci 'kan memang tugas seorang ibu rumah tangga. Harusnya dia bisa atur kapan waktunya makan dan kapan waktunya kerja," jawab ibu kemudian. "Kalau dia lupa makan, tolong ingatkan ya, Bu. Feri takut dia nanti kambuh lagi kalau telat makan terus." "Dia sudah tua, Fer. Ngapain juga sekhawatir itu. Harusnya dia tahu diri, kalau nggak mau sakit ya bisa jaga diri baik-baik. Akhir-akhir ini dia memang sering mainan ponsel berjam-jam di kamarnya. Mungkin karena
Pov : Arina "Rin, semoga kamu cepet sehat, ya?/Aku berangkat kerja dulu. Kalau buruh sesuatu atau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Kalau ibu nggak ada, kamu bisa tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan."Kamu mau makan apa? Atau kalau pengin sesuatu bilang aja, biar nanti aku bawakan sekalian setelah pulang kerja," ucap Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, ka
Pagi-pagi sekali ibu sudah ribut. Bunyi pisau dan nampan beradu, gelas, sendok dan piring serta perabot lainnya, seolah sengaja dia perkeras agar aku gegas ke luar kamar. Padahal aku masih cukup mengantuk karena semalam tidur terlalu larut. Meracik bahan-bahan untuk membuat nasi timlo dan sop ayam. Aku sudah bilang sekalian pagi saja sebelum subuh, tapi ibu tak pernah mau mendengar apa pun usulanku. Mau tak mau aku mengikuti arahannya. Aku tak ingin tensi ibu kembali naik seperti beberapa hari yang lalu, semakin memperlambat urusanku beberes rumah. "Biasakan bangun pagi sebelum subuh. Jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan matahari terbit baru bangun," ucap ibu ketus saat melihatku sudah sampai di pintu dapur. Gegas kubuka jendela, meski masih gelap gulita. Sengaja. "Kok malah dibuka? Kamu nggak lihat masih gelap? Dingin. Kamu sengaja ingin ibu masuk angin?" Bentak ibu kemudian. "Bukannya ibu bilang, jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan
Acara masak-memasak untuk arisan ibu mertua akhirnya kelar juga. Badan rasanya nano-nano. Pegel, linu, ngantuk campur menjadi satu, namun aku masih berusaha standby di dapur. Malas sekali rasanya mendengar teriakan-teriakan ibu lagi dan lagi di saat aku baru saja menyelonjorkan kaki. Segala masakan dan camilan sudah kuhidangkan. Lesehan alias melantai di atas tikar. Timlo, sayur sop, tempe & tahu bacem, telur puyuh goreng, sate ati ampela, kerupuk. Belum camilan lain agar-agar, brownies, bolu, kacang rebus, risol, pisang goreng, bala-bala, dan entah apalagi aku sampai mual rasanya melihat masakan segitu banyak. Kalau pesan sih nggak masalah, tapi kebanyakan aku yang memasaknya dibantu dengan dua tetangga lain. Sementara ibu, entah sibuk apa. Mondar-mandir nggak jelas dari pagi hingga sesore ini. "Minumannya mana, Rin? Buruan disiapkan keburu tamu datang semua," titah ibu lagi saat aku baru saja merebahkan badan."Badanku capek banget, Bu. Ibu gantian lah, tinggal mindahin ke ruang d
Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan. "Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak in
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk. Setelah pulang dari pasar membeli bumbu-bumbu, ayam dan ikan, aku buru-buru ke kebun belakang rumah. Banyak sayuran yang sengaja kupanen hari ini. Ada pare, sawi, kangkung dan terong. Rencananya aku akan memasak sayuran matang dan lauk dan kujual via whatsapp nanti. Modalnya untuk jualan nasi timlo dan membeli peralatan lainnya. "Sayang, Mbak Vina beneran chat begitu sama kamu? Kok kasar begitu ya bahasanya?" tanya Mas Feri tiba-tiba sembari membenarkan kancing kemejanya. Semalam dia lembur, mungkin kecapekan jadi tak sempat menanyakan soal pesan dari Mbak Vina padaku. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan darinya."Sejak kapan dia kasar begitu sama kamu?" tanyanya lagi. Kuhentikan jemari yang sibuk memetik kangkung. Menoleh ke arah Mas Feri dengan wajah penasarannya. "Sejak awal menikah denganmu, Mbak Vina memang selalu begitu kalau chat denganku, Mas. Aku juga pernah bilang sama kamu soal duit yang habis karena dia pinjam nggak pernah ba
Pertengahan bulan seperti saat ini memang nano-nano. Sejak kemarin ibu mulai menyindir soal duit dari Mas Feri, padahal sudah jelas aku pinjamkan ke Mbak Vina. Jatah pribadi satu juta itu pun akhirnya kutransferkan ke Mbak Vina untuk bayar kontrakan, katanya. Aku juga bukan seorang ipar yang jahat, yang tega membiarkan kakak iparnya diusir oleh pemilik kontrakan karena menunggak beberapa bulan. Tapi ibu tetap saja menyindir, padahal kemarin dia juga tahu kalau aku pergi ke Atm untuk transfer duit. Sekalian ke bank buat aktifin mobile banking. Hari ini, kelima kalinya aku jualan masakan matang. Badan rasanya benar-benar capek. Remuk redam tak karuan. Berulang kali ibu menyindir soal uang bulanan dari Mas Feri yang kurang, menyindir token listrik dan arisan, aku tak tak peduli. Namun saat melihatku sibuk dengan perdapuran, ibu justru pergi merumpi. Bahkan sekadar ikut menjaga penggorenganku agar tak gosong saat kutinggal sarapan pun tak mau. Bukan urusanku, katanya. Benar-benar menje
Sejak Mbak Vina tinggal di rumah ini dua hari lalu, pekerjaanku semakin banyak. Dia bilang besok akan pulang, Syukurlah. Kontrakan Mbak Vina ada daerah Sleman. Mungkin satu jam-an jika ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dari rumah ibu. "Sarapannya mana, Rin? Anak-anakku sudah lapar ini," ucapnya sembari mengajak dua anaknya Fian dan Fano menuju meja makan. "Maaf, Mbak. Aku belum bikin sarapan. Baru pulang dari pasar belanja buat jualan. Tadi aku kesiangan jadi jam segini baru pulang deh," ucapku buru-buru menyiapkan segala sesuatu. Pelanggan sudah menunggu masakanku bahkan ada beberapa yang request masakan untuk anak-anak mereka. "Gimana sih kamu, Rin. Masak ada ponakan di sini nggak dibikin sarapan dulu," ucap Mbak Vina kesal. Aku bergegas membalikkan badan, menatap Mbak Vina yang masih berdiri di samping kulkas sembari melipat kedua tangan di dada. Dia menyuruhku seperti seorang majikan menyuruh asisten rumah tangganya saja. "Mbak kan yang punya anak. Harusnya mbak yang me