Share

Bab 8

Pov : Feri 3 

"Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya. 

Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka. 

"Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan. 

Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu dzalim padanya karena bisa jadi dia depresi dan tak bisa maksimal merawat buah hatimu nanti. 

Berlaku adil lah diantara keduanya, jangan berat sebelah. Gimana, Fer? Aku sudah cocok jadi seorang ustadz, kan?" tanya Ogi sembari tertawa lebar setelah memberikan nasehat panjangnya. Aku tak terlalu mempedulikan tawanya.

Perlahan aku berusaha mencerna apa yang dikatakan Ogi. Meski dia sering cengengesan, tapi dia memang cukup bijak setiap mengambil keputusan. Aku juga tahu dia sangat perhatian dan penuh kasih pada istri dan ibunya. Mungkin karena itu pula Ogi bilang jarang sekali menemukan sikap istrinya seperti Arina saat ini.  

"Ibuku tak pernah ikut campur masalah rumah tanggaku sih, Fer. Ya meski kami satu rumah, tiap kali aku cekcok sama bini, ibu pasti menyuruhku untuk membicarakan dengan kepala dingin bukan dengan emosi. Tiap kali ada masalah ibu justru menyalahkanku, mungkin karena itu pula bini merasa dihargai dan dibela oleh mertuanya sendiri. Awal-awal nikah doang minta ngontrak selang empat bulanan sudah betah kyaknya. Sampai sekarang nggak pernah bahas ngontrak rumah," ucap Feri kemudian, membuatku berpikir apa iya karena sikap ibu juga yang membuat Arina berubah sedrastis ini? 

"Pasang cctv kalau perlu, yang kecil aja, Fer. Jadi nggak kelihatan mencolok. Maaf-maaf aja nih, ya. Kalau rumah tangga anak selalu direcoki mertua, yakin emang selalu cekcok. Sesabar-sabarnya perempuan, ada juga titik lemah dan jenuhnya, Fer. Cepat bertindak daripada kamu menyesal nantinya, kehilangan Arina." 

Detik ini, aku mengikuti saran Ogi. Pulang lebih awal hanya sekadar ingin melihat apa yang dilakukan ibu dan Arina jika aku berangkat kerja. Tadi pagi aku memang sudah berencana untuk memakai ojek online saja dengan alasan motor mau dibengkelkan, Arina dan ibu pun tak menaruh curiga. Kini aku juga kembali naik ojek online untuk pulang ke rumah. 

Suasana rumah cukup sepi, entah ke mana ibu dan Arin. Kuucap salam namun tak ada jawaban. Gegas kumasuk ke dalam rumah, mempercepat langkah menuju kamar. Mungkin saat ini Arin ada di kamarnya. 

Benar saja. Dia tidur di pembaringan. Sepertinya terlalu nyenyak hingga aku datang pun dia tak bangun. 

"Rin ... kamu sakit?" tanyaku lirih sembari meletakkan tas kerja ke atas meja. Arin hanya diam saja. Tubuhnya membelakangiku dengan selimut sampai dada. 

"Rin ... Kamu-- 

Arina membalikkan badannya. Kulihat wajahnya begitu pucat, pipinya basah. Dia pasti menangis lagi tadi. Melihat kegugupanku, dia mencoba untuk tersenyum meski kutahu itu sangat dipaksakan. Aku tahu, dia sangat kaget saat tahu aku sudah ada di sampingnya. Kuusap keningnya cukup panas. 

"Kamu sakit, Rin. Badanmu panas banget ini." 

Aku membantunya yang mencoba untuk duduk namun tangannya masih gemetaran. 

"Kamu kok sudah pulang, Mas?" tanyanya lirih. 

"Iya, perasaanku nggak enak di kantor makanya aku pulang cepat," ucapku. 

"Ternyata benar, kan? Kamu sedang sakit. Ibu ke mana kok nggak ada? Kamu sudah makan?" tanyaku lagi. Kulihat tubuhnya sangat lemas. Arina menggeleng pelan.

"Belum makan dari pagi?" tanyaku lagi dengan gugup.

Lagi-lagi dia mengangguk.

"Kok bisa, Rin? Perasaan tadi pagi kamu belum sakit. Masih berusaha menyiapkan baju dan roti panggangku" 

Dia kembali terdiam. Apa sebenarnya dia memang sudah sakit sejak pagi atau bahkan dari kemarin, namun aku tak menyadari?

"Memangnya ibu ke mana, Rin?" 

Lagi-lagi dia menggeleng. Seperti biasanya dia pasti tak ingin banyak bicara. Memilih memendam semua rasa sendirian.

"Kamu tunggu di sini dulu, biar aku ambilkan makanan untukmu, ya? Habis itu kita ke dokter," ucapku lagi. Arin hanya memandangku tanpa mengucap sepatah kata. 

Buru-buru kumelangkah ke dapur, membuka meja makan. Tak ada apa-apa. Kalau Arin demam begitu harusnya ibu menggantikannya memasak, kan? Tapi kenapa tak ada makanan apa pun di atas meja bahkan sampai Arin kelaparan begitu? Kemana ibu sebenarnya? 

Saat aku ingin menggoreng telur, terdengar suara berisik dari luar rumah. Sepertinya ibu baru datang. Dia berjalan beriringan dengan Bu Salamah dengan menenteng tas belanja. 

"Fer! Feri? Kamu kok sudah pulang jam segini?" tanya ibu setengah berteriak saking kagetnya. 

"Kamu mau ngapain ke dapur segala? Arin mana? Kenapa dia nggak membuatkanmu kopi?" tanya ibu lagi.

"Ibu darimana? Belanja?" tanyaku singkat.

"Iya ibu belanja gamis sama Bu Salamah buat kondangan minggu depan." 

"Di saat Arina sakit, bahkan tak ada makanan apa pun yang masuk ke perutnya hingga sesiang ini, ibu justru asyik shopping?" 

"Maksudmu apa sih, Fer? Akhir-akhir ini istrimu itu emang betah di kamar. Nggak tahu ngapain, sibuk banget sama ponselnya. Mana ibu tahu kalau dia sakit," jawab ibu ketus. Kulihat dia mulai emosi. 

"Arina sakit, Bu. Dia demam tinggi, perutnya belum terisi sejak pagi. Dan ibu baru pulang sesiang ini?" tanyaku lagi. Bu Salamah berbisik ke arah ibu lalu pamit pergi, mungkin tak enak hati karena mendengar percekcokanku dengan ibu. 

"Manja banget istrimu itu. Biasanya dia juga sudah masak dan makan kenyang jam segini. Kenapa pas kamu pulang siang, dia berlagak nggak makan dari pagi? Dia sengaja begitu biar ibu terlihat dzalim, kan?" tuduh ibu sembari menaruh tas belanjanya dengan kasar ke atas sofa.

"Arin nggak tahu Feri pulang awal, Bu. Dia juga kaget kenapa jam segini Feri sudah pulang. Dan yang membuat Feri lebih kaget lagi, kenapa ibu justru meninggalkannya tanpa pamit, seolah membiarkan Arin sakit sendirian? Apa selama ini ibu terbiasa begini?" 

Ibu menoleh cepat sembari melotot lebar. 

"Kamu kemakan omongan istrimu, Fer? Apa dia juga terbiasa menjelekkan ibu di depanmu?" Ibu berkacak pinggang tak terima. Semua bisa runyam jika aku meladeni ibu. Biar lah aku yang mengalah. Lebih baik segera membawa Arina ke rumah sakit daripada terus berdebat dengan ibu yang tak pernah mau introspeksi atas sikapnya selama ini. 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status