Pov : Feri 1
"Aku yatim piatu, Mas. Tak punya apa-apa, pun tak punya sanak saudara. Kamu nggak malu menikah denganku? Secara kamu berpendidikan dan mapan, sementara aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang kerja serabutan asalkan halal," ucap perempuan sederhana itu dua tahun yang lalu, saat aku berencana untuk melamarnya tiga bulan setelah berkenalan dengannya.
Sebuah perkenalan tak disengaja. Mungkin memang begitulah cara Allah menyatukan hambaNya. Tak kenal, tak disengaja bertemu dan jatuh cinta.
"Kenapa ngomong begitu?" tanyaku singkat. Haruskah laki-laki yang berpendidikan dan mapan mencari istri yang selevel juga? Kupikir nggak begitu. Karena hati tak bisa dibohongi.
"Beberapa teman begitu. Orang tuanya tak ada yang setuju jika anak lelakinya dekat denganku. Karena itu pula mulai detik itu aku sadar diri. Siapa lah aku? Mas juga sama. Lebih baik mundur saja, daripada nanti hatiku patah di saat aku mulai ada rasa," ucapnya polos sembari memainkan ujung sedotan di gelasnya.
"Nggak. Aku tetap melangkah. Karena aku yakin, memang kamu lah perempuan baik itu. Aku tak pernah memilih seseorang berdasarkan pendidikan atau kemapanannya, karena aku yang akan mendidiknya. Aku yang akan membuatnya mapan dan nyaman," ucapku meyakinkannya saat itu. Dia tersenyum, senyum yang manis.
"Mungkin ibuku sama seperti ibu teman-teman lelakimu. Tapi kalau aku dan kamu yakin, kita pasti bisa meluluhkan hatinya. Batu akan rapuh juga bisa selalu ditetesi air, kan? Kupikir, hati ibu juga. Akan luluh jika kita memberinya cinta dan perhatian yang tulus setiap harinya," ucapku lagi.
Lagi-lagi perempuan manis itu tersenyum.
"Laki-laki sama saja, ya? Terlalu pintar mengolah kata dan bersandiwara," ucapku kemudian.
"Laki-laki labil mungkin iya, tapi aku bukan labil lagi, kan?" balasku.
"Bedanya apa labil atau bukan?"
"Kapan kamu siap kulamar? Labil mungkin saja baru ingin mengajakmu menjadi pacar, tapi aku akan mengajakmu menjadi istri."
"Istikharah dulu, ya, Mas. Nanti dikabari lagi," jawabnya saat itu begitu santai seolah tak ada minat sama sekali.
Satu, dua, tiga hari dia diam saja tak memberi kabar. Sampai dua minggu tak jua ada kabarnya padahal aku sudah menunggu.
|Besok, aku akan menjemputmu untuk bertemu ibu. Aku akan segera menghalalkanmu|
Kuberanikan diri untuk mengirimkan pesan padanya. Kupikir, dia akan marah atau menolak. Tak kusangka jika jawabannya terlalu singkat namun begitu membuatku berbunga.
|Oke|
Berulang kali kubaca pesan yang kukirimkan, berulang kali pula kubaca balasannya, dan aku pun lompat-lompat kegirangan benar-benar seperti anak labil yang baru diterima cintanya oleh gadis pujaannya.
Arina yang lembut, murah senyum dan penyayang. Entah mengapa setelah menikah denganku sikapnya berubah dingin dan lebih pendiam. Sia sering menangis sembari menatap luas hamparan kebun kosong di samping kamar. Kebun yang kini berubah menghijau karena rajinnya dia bercocok tanam.
Arina yang cantik dan lembut itu tak pernah kuijinkan untuk bekerja di luar, aku masih sanggup memenuhi kebutuhannya. Lagipula aku juga tahu, kodrat seorang istri ada di rumah sedangkan suami di luar rumah untjk mencari nafkah. Biar saja dia di rumah, membantu ibu, apalagi kupikir ibu cukup kesepian tiap kali kutinggal kerja.
Sebulan, dua bulan semua terlihat baik-baik saja. Sesekali masih kulihat Arina tersenyum meski kutahu dalam sorot matanya menyimpan banyak duka. Tiap kali aku tanyakan mengapa, dia selalu menggelengkan kepala. Hanya satu hal yang dia minta sejak dulu, mengontrak rumah saja atau membeli rumah kecil-kecilan untukku dan dia. Namun lagi-lagi aku memintanya bersabar.
"Sabar dulu, Sayang. Aku masih menabung untuk membeli rumah impian kita. Kalau kita mengontrak rumah, otomatis akan berkurang jatah tabungan kita tiap bulan. Kalau di rumah ibu, lumayan jatah mengontrak bisa ditabung, iya, kan?" jawabku mencoba untuk tetap tenang dan lembut menghadapinya.
Aku tahu beban hidupnya terlalu berat sejak dulu, karena itu pula aku berusaha untuk menghapus dukanya dengan menikahinya. Aku tak tega melihat dia selalu dihina dan diremehkan, aku ingin mengangkat sedikit derajatnya.
Tiap kali kutolak permintaan satu-satunya itu, dia hanya mengangguk namun air mata itu mengalir begitu saja di kedua pipinya. Aku tak paham mengapa bisa terjadi, tapi dia selalu pandai menutupi.
"Kamu sayang sama ibu, kan? Kasihan dia kalau di rumah sendiri," ucapku kemudian. Namun dia diam saja tak menjawab, hanya bahunya tetap terguncang karena isak.
"Kamu bilang sangat ingin dekat dengan ibu, kamu rindu kasih sayang ibu?"
Lagi-lagi dia semakin menangis. Kutenangkan dia dalam pelukan sembari mengusap pelan pucuk kepalanya.
"Tapi ibu sepertinya tak menginginkanku, Mas. Dia juga sering membandingkan aku dengan Delima. Siapa Delima, Mas? Sepertinya dia begitu spesial di hati ibu," ucapku lagi.
"Siapa?" tanyaku gugup saat itu.
"Delima, Mas," balasnya sembari menatap lekat kedua mataku.
Delima ... perempuan yang pernah aku lamar bahkan sudah kusematkan cincin pertunangan di jari manisnya namun dia memilih putus saat bekerja di luar negeri sebagai TKW. Bukan karena kesalahanku melainkan karena dia lebih memilih cinta yang lain dibandingkan cintaku.
Foto-fotonya dengan laki-laki lain tersebar di medsos saat masih menjadi tunanganku, karena itu pula aku iyakan saja keinginannya untuk putus meski ibu sempat protes. Ibu tak pernah tahu alasan putus ini karena Delima yang tak setia. Bukan karena aku yang tak lagi cinta.
"Delima ... mantan pacar kamu?" tanyanya lagi.
"Mantan tunangan. Rumahnya tak begitu jauh dari sini. Dia teman sekolah dulu, sebelum berangkat ke luar negeri sebagai TKW, aku melamar dan menyematkan cincin tunangan. Namun setelah setahun dia di sana, dia meminta putus karena sudah memiliki cinta yang baru. Ibu tak tahu soal ini, mungkin karena itulah ibu selalu menyalahkanku atas keputusan yang kupilih," ucapku kemudian.
Sepahit apa pun, aku berusaha untuk jujur padanya. Aku tak ingin ada yang ditutup-tutupi soal masa lalu, karena nanti hanya akan menjadi boomerang diri sendiri.
"Bahkan ibu menyalahkanmu karena sudah memilihku," ucapnya lirih di tengah isaknya.
"Kamu kenapa? Cekcok dengan ibu?"
Arina menatapku dalam, lalu mengangguk pelan.
"Bukan kah kamu pernah bilang, merawat orang tua memang butuh kesabaran yang luas, karena semakin lansia sikap mereka berubah seperti anak-anak kembali, yang banyak maunya dan manja?" tanyaku lagi, menirukan ucapannya beberapa hari setelah pernikahanku dengannya.
"Aku tahu, Mas. Tapi setahun ini aku sudah mencoba untuk sabar dan tulus namun ibu--
"Arina! Kamu mau menjelekkan ibu di depan suamimu?" Teriakan ibu dari balik jendela membuatku dan Arina terlonjak seketika. Entah mengapa ibu tiba-tiba ada di sana. Wajah Arina mendadak pias. Dia begitu ketakutan melihat wajah ibu yang merah padam menahan amarah.
***
Pov : Feri 2 Aku tak tahu kenapa ibu sering kali menguping pembicaraanku dengan Arina. Tak hanya sekali namun sudah berulang kali. Mungkin karena itu pula Arina menjadi lebih tertutup dan pendiam. Sering kutanya kenapa dia semakin berubah, namun dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Senyum yang begitu dipaksakan, menurutku. "Kamu cekcok lagi sama ibu, Rin?" tanyaku lirih saat Arin terlihat begitu pusing. Dia masih terus memijit kening. "Kamu pusing, Rin? Atau mau pijit karena kecapekan?" sambungku lagi. Kulihat dia hanya menggeleng pelan. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, membuatku semakin bingung. Berulang kali kutanyakan dia mau apa, jalan-jalan atau apa tapi tetap saja Arin hanya menggelengkan kepalanya. Tiap weekend kuajak jalan pun dia nggak mau. "Kamu kenapa sih, Rin? Nggak pernah mau jalan-jalan atau sekadar makan di luar? Bukannya aku kasih duit sama kamu pas-pas an? Atau kamu sudah sering jajan, makanya nggak mau tiap kali kuajak ke luar?" tanyaku su
Pov : Feri 3 "Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya. Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka. "Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan. Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu
Pov : Feri 4 Di Rumah Sakit "Kata Dokter, Arina kena radang lambung, Bu. Kemungkinan besar karena dia sering telat makan. Apa selama ini dia memang sering makan telat?" tanyaku pada ibu yang masih duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. "Apa, Fer? Arina terkena radang lambung karena sering telat makan?" tanya ibu kemudian. Aku mengangguk pelan, memandang wajah Arina yang tampak begitu tenang. "Iya, Bu. Dokter bilang begitu. Apa di rumah pekerjaannya terlalu banyak?" "Pekerjaan apa? Kalau sekadar beberes rumah, masak atau nyuci 'kan memang tugas seorang ibu rumah tangga. Harusnya dia bisa atur kapan waktunya makan dan kapan waktunya kerja," jawab ibu kemudian. "Kalau dia lupa makan, tolong ingatkan ya, Bu. Feri takut dia nanti kambuh lagi kalau telat makan terus." "Dia sudah tua, Fer. Ngapain juga sekhawatir itu. Harusnya dia tahu diri, kalau nggak mau sakit ya bisa jaga diri baik-baik. Akhir-akhir ini dia memang sering mainan ponsel berjam-jam di kamarnya. Mungkin karena
Pov : Arina "Rin, semoga kamu cepet sehat, ya?/Aku berangkat kerja dulu. Kalau buruh sesuatu atau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Kalau ibu nggak ada, kamu bisa tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan."Kamu mau makan apa? Atau kalau pengin sesuatu bilang aja, biar nanti aku bawakan sekalian setelah pulang kerja," ucap Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, ka
Pagi-pagi sekali ibu sudah ribut. Bunyi pisau dan nampan beradu, gelas, sendok dan piring serta perabot lainnya, seolah sengaja dia perkeras agar aku gegas ke luar kamar. Padahal aku masih cukup mengantuk karena semalam tidur terlalu larut. Meracik bahan-bahan untuk membuat nasi timlo dan sop ayam. Aku sudah bilang sekalian pagi saja sebelum subuh, tapi ibu tak pernah mau mendengar apa pun usulanku. Mau tak mau aku mengikuti arahannya. Aku tak ingin tensi ibu kembali naik seperti beberapa hari yang lalu, semakin memperlambat urusanku beberes rumah. "Biasakan bangun pagi sebelum subuh. Jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan matahari terbit baru bangun," ucap ibu ketus saat melihatku sudah sampai di pintu dapur. Gegas kubuka jendela, meski masih gelap gulita. Sengaja. "Kok malah dibuka? Kamu nggak lihat masih gelap? Dingin. Kamu sengaja ingin ibu masuk angin?" Bentak ibu kemudian. "Bukannya ibu bilang, jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan
Acara masak-memasak untuk arisan ibu mertua akhirnya kelar juga. Badan rasanya nano-nano. Pegel, linu, ngantuk campur menjadi satu, namun aku masih berusaha standby di dapur. Malas sekali rasanya mendengar teriakan-teriakan ibu lagi dan lagi di saat aku baru saja menyelonjorkan kaki. Segala masakan dan camilan sudah kuhidangkan. Lesehan alias melantai di atas tikar. Timlo, sayur sop, tempe & tahu bacem, telur puyuh goreng, sate ati ampela, kerupuk. Belum camilan lain agar-agar, brownies, bolu, kacang rebus, risol, pisang goreng, bala-bala, dan entah apalagi aku sampai mual rasanya melihat masakan segitu banyak. Kalau pesan sih nggak masalah, tapi kebanyakan aku yang memasaknya dibantu dengan dua tetangga lain. Sementara ibu, entah sibuk apa. Mondar-mandir nggak jelas dari pagi hingga sesore ini. "Minumannya mana, Rin? Buruan disiapkan keburu tamu datang semua," titah ibu lagi saat aku baru saja merebahkan badan."Badanku capek banget, Bu. Ibu gantian lah, tinggal mindahin ke ruang d
Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan. "Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak in
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk. Setelah pulang dari pasar membeli bumbu-bumbu, ayam dan ikan, aku buru-buru ke kebun belakang rumah. Banyak sayuran yang sengaja kupanen hari ini. Ada pare, sawi, kangkung dan terong. Rencananya aku akan memasak sayuran matang dan lauk dan kujual via whatsapp nanti. Modalnya untuk jualan nasi timlo dan membeli peralatan lainnya. "Sayang, Mbak Vina beneran chat begitu sama kamu? Kok kasar begitu ya bahasanya?" tanya Mas Feri tiba-tiba sembari membenarkan kancing kemejanya. Semalam dia lembur, mungkin kecapekan jadi tak sempat menanyakan soal pesan dari Mbak Vina padaku. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan darinya."Sejak kapan dia kasar begitu sama kamu?" tanyanya lagi. Kuhentikan jemari yang sibuk memetik kangkung. Menoleh ke arah Mas Feri dengan wajah penasarannya. "Sejak awal menikah denganmu, Mbak Vina memang selalu begitu kalau chat denganku, Mas. Aku juga pernah bilang sama kamu soal duit yang habis karena dia pinjam nggak pernah ba