Share

Bab 6

Pov : Feri 1

"Aku yatim piatu, Mas. Tak punya apa-apa, pun tak punya sanak saudara. Kamu nggak malu menikah denganku? Secara kamu berpendidikan dan mapan, sementara aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang kerja serabutan asalkan halal," ucap perempuan sederhana itu dua tahun yang lalu, saat aku berencana untuk melamarnya tiga bulan setelah berkenalan dengannya. 

Sebuah perkenalan tak disengaja. Mungkin memang begitulah cara Allah menyatukan hambaNya. Tak kenal, tak disengaja bertemu dan jatuh cinta. 

"Kenapa ngomong begitu?" tanyaku singkat. Haruskah laki-laki yang berpendidikan dan mapan mencari istri yang selevel juga? Kupikir nggak begitu. Karena hati tak bisa dibohongi. 

"Beberapa teman begitu. Orang tuanya tak ada yang setuju jika anak lelakinya dekat denganku. Karena itu pula mulai detik itu aku sadar diri. Siapa lah aku? Mas juga sama. Lebih baik mundur saja, daripada nanti hatiku patah di saat aku mulai ada rasa," ucapnya polos sembari memainkan ujung sedotan di gelasnya. 

"Nggak. Aku tetap melangkah. Karena aku yakin, memang kamu lah perempuan baik itu. Aku tak pernah memilih seseorang berdasarkan pendidikan atau kemapanannya, karena aku yang akan mendidiknya. Aku yang akan membuatnya mapan dan nyaman," ucapku meyakinkannya saat itu. Dia tersenyum, senyum yang manis.

"Mungkin ibuku sama seperti ibu teman-teman lelakimu. Tapi kalau aku dan kamu yakin, kita pasti bisa meluluhkan hatinya. Batu akan rapuh juga bisa selalu ditetesi air, kan? Kupikir, hati ibu juga. Akan luluh jika kita memberinya cinta dan perhatian yang tulus setiap harinya," ucapku lagi. 

Lagi-lagi perempuan manis itu tersenyum. 

"Laki-laki sama saja, ya? Terlalu pintar mengolah kata dan bersandiwara," ucapku kemudian. 

"Laki-laki labil mungkin iya, tapi aku bukan labil lagi, kan?" balasku. 

"Bedanya apa labil atau bukan?" 

"Kapan kamu siap kulamar? Labil mungkin saja baru ingin mengajakmu menjadi pacar, tapi aku akan mengajakmu menjadi istri." 

"Istikharah dulu, ya, Mas. Nanti dikabari lagi," jawabnya saat itu begitu santai seolah tak ada minat sama sekali. 

Satu, dua, tiga hari dia diam saja tak memberi kabar. Sampai dua minggu tak jua ada kabarnya padahal aku sudah menunggu. 

|Besok, aku akan menjemputmu untuk bertemu ibu. Aku akan segera menghalalkanmu| 

Kuberanikan diri untuk mengirimkan pesan padanya. Kupikir, dia akan marah atau menolak. Tak kusangka jika jawabannya terlalu singkat namun begitu membuatku berbunga.

|Oke| 

Berulang kali kubaca pesan yang kukirimkan, berulang kali pula kubaca balasannya, dan aku pun lompat-lompat kegirangan benar-benar seperti anak labil yang baru diterima cintanya oleh gadis pujaannya. 

Arina yang lembut, murah senyum dan penyayang. Entah mengapa setelah menikah denganku sikapnya berubah dingin dan lebih pendiam. Sia sering menangis sembari menatap luas hamparan kebun kosong di samping kamar. Kebun yang kini berubah menghijau karena rajinnya dia bercocok tanam.

Arina yang cantik dan lembut itu tak pernah kuijinkan untuk bekerja di luar, aku masih sanggup memenuhi kebutuhannya. Lagipula aku juga tahu, kodrat seorang istri ada di rumah sedangkan suami di luar rumah untjk mencari nafkah. Biar saja dia di rumah, membantu ibu, apalagi kupikir ibu cukup kesepian tiap kali kutinggal kerja. 

Sebulan, dua bulan semua terlihat baik-baik saja. Sesekali masih kulihat Arina tersenyum meski kutahu dalam sorot matanya menyimpan banyak duka. Tiap kali aku tanyakan mengapa, dia selalu menggelengkan kepala. Hanya satu hal yang dia minta sejak dulu, mengontrak rumah saja atau membeli rumah kecil-kecilan untukku dan dia. Namun lagi-lagi aku memintanya bersabar. 

"Sabar dulu, Sayang. Aku masih menabung untuk membeli rumah impian kita. Kalau kita mengontrak rumah, otomatis akan berkurang jatah tabungan kita tiap bulan. Kalau di rumah ibu, lumayan jatah mengontrak bisa ditabung, iya, kan?" jawabku mencoba untuk tetap tenang dan lembut menghadapinya. 

Aku tahu beban hidupnya terlalu berat sejak dulu, karena itu pula aku berusaha untuk menghapus dukanya dengan menikahinya. Aku tak tega melihat dia selalu dihina dan diremehkan, aku ingin mengangkat sedikit derajatnya. 

Tiap kali kutolak permintaan satu-satunya itu, dia hanya mengangguk namun air mata itu mengalir begitu saja di kedua pipinya. Aku tak paham mengapa bisa terjadi, tapi dia selalu pandai menutupi. 

"Kamu sayang sama ibu, kan? Kasihan dia kalau di rumah sendiri," ucapku kemudian. Namun dia diam saja tak menjawab, hanya bahunya tetap terguncang karena isak.

"Kamu bilang sangat ingin dekat dengan ibu, kamu rindu kasih sayang ibu?" 

Lagi-lagi dia semakin menangis. Kutenangkan dia dalam pelukan sembari mengusap pelan pucuk kepalanya. 

"Tapi ibu sepertinya tak menginginkanku, Mas. Dia juga sering membandingkan aku dengan Delima. Siapa Delima, Mas? Sepertinya dia begitu spesial di hati ibu," ucapku lagi. 

"Siapa?" tanyaku gugup saat itu.

"Delima, Mas," balasnya sembari menatap lekat kedua mataku. 

Delima ... perempuan yang pernah aku lamar bahkan sudah kusematkan cincin pertunangan di jari manisnya namun dia memilih putus saat bekerja di luar negeri sebagai TKW. Bukan karena kesalahanku melainkan karena dia lebih memilih cinta yang lain dibandingkan cintaku. 

Foto-fotonya dengan laki-laki lain tersebar di medsos saat masih menjadi tunanganku, karena itu pula aku iyakan saja keinginannya untuk putus meski ibu sempat protes. Ibu tak pernah tahu alasan putus ini karena Delima yang tak setia. Bukan karena aku yang tak lagi cinta. 

"Delima ... mantan pacar kamu?" tanyanya lagi. 

"Mantan tunangan. Rumahnya tak begitu jauh dari sini. Dia teman sekolah dulu, sebelum berangkat ke luar negeri sebagai TKW, aku melamar dan menyematkan cincin tunangan. Namun setelah setahun dia di sana, dia meminta putus karena sudah memiliki cinta yang baru. Ibu tak tahu soal ini, mungkin karena itulah ibu selalu menyalahkanku atas keputusan yang kupilih," ucapku kemudian. 

Sepahit apa pun, aku berusaha untuk jujur padanya. Aku tak ingin ada yang ditutup-tutupi soal masa lalu, karena nanti hanya akan menjadi boomerang diri sendiri. 

"Bahkan ibu menyalahkanmu karena sudah memilihku," ucapnya lirih di tengah isaknya. 

"Kamu kenapa? Cekcok dengan ibu?" 

Arina menatapku dalam, lalu mengangguk pelan. 

"Bukan kah kamu pernah bilang, merawat orang tua memang butuh kesabaran yang luas, karena semakin lansia sikap mereka berubah seperti anak-anak kembali, yang banyak maunya dan manja?" tanyaku lagi, menirukan ucapannya beberapa hari setelah pernikahanku dengannya. 

"Aku tahu, Mas. Tapi setahun ini aku sudah mencoba untuk sabar dan tulus namun ibu-- 

"Arina! Kamu mau menjelekkan ibu di depan suamimu?" Teriakan ibu dari balik jendela membuatku dan Arina terlonjak seketika. Entah mengapa ibu tiba-tiba ada di sana. Wajah Arina mendadak pias. Dia begitu ketakutan melihat wajah ibu yang merah padam menahan amarah. 

*** 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Teten Devans
semangat bc n mles setlh ada acra pke pov2 segala.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status