Share

Bab 4

|Yas, kamu ada uang 300ribu? Kalau ada aku mau pinjam dulu. Aku ingin jualan cimol atau gorengan gitu, Yas. Aku ingin seperti kamu yang mandiri, bisa menghasilkan duit sendiri.|

Kukirimkan pesan itu pada Yasmin, teman f******k yang ternyata rumahnya tak terlalu jauh dari desaku. Dia berjualan online, pakaian, akesoris dan perabotan. Sering kali kirim-kirim paket ke dalam maupun luar negeri.

Kulihat nyaman sekali hidupnya. Dia bilang, gaji bulanan dari suaminya semua ditabung karena hasil online yang dia dapat sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanannya. MasyaAllah.

"Jualan saja, Rin. Istri yang nggak punya penghasilan sendiri terkadang memang diremehkan mertua. Tapi kalau suaminya juga dzalim, dia juga sama saja tak menganggap kita ada. Bekerja versi mereka ya yang menghasilkan rupiah, kalau sekadar cuci baju, masak, berkebun, beres-beres rumah dan lainnya, itu bukan definisi kerja menurut mereka. Lucu memang, tapi begitu lah yang diamini masyarakat. Kita bisa apa?" 

Benar. Yasmin memang benar. Buktinya rasa lelah karena kerjaan harian yang tak kelar-kelar ini pun hanya dipandang sebelah mata karena aku tak memiliki gaji harian bahkan bulanan pun tak ada. 

Jadi percuma lelah hati dan fisik di rumah, ibu atau mungkin Mas Feri juga menganggapku tak bekerja bahkan ibu selalu bilang aku terlalu nyaman, tak perlu capek kerja dan tinggal nodong gaji bulanan.

Cukup lama aku menunggu balasan dari Yasmin, mungkin dia masih sibuk catat orderan atau packing. Biasanya bakda maghrib kurir datang untuk mengambil paket-paketnya, begitu dia bilang padaku. 

|Ada, Rin. Kamu mau pinjam 300ribu, ya? Aku transfer atau ketemuan saja?|

Balasan dari Yasmin baru saja masuk. Gegas kubalas mumpung dia masih online.

|Terima kasih banyak sebelumnya, Yas. Maaf sudah merepotkan. Nanti kalau sudah ada dana, InsyaAllah segera kukembalikan. Besok pagi kita ketemu di warung sembako Pak Bidin saja gimana, Yas? Aku nggak punya nomor rekening. Pakai punya Mas Feri pasti kena omel nanti.|

Terkirim. Ceklis biru dua. Semoga saja Yasmin segera membalas pesanku dan besok aku bisa mengambil uangnya, jadi bisa sekalian belanja bahan. Aku akan jual keliling pakai motor matic Mas Feri. 

Kalau dia melarang karena malu-maluin keliling jual cilok, aku coba jual online di grup RT atau grup f******k daerah sini saja. Siapa yang pesan baru kukirimkan.

|Nggak apa-apa, Rin. Selama aku ada dan bisa InsyaAllah ikhlas membantu kamu. Besok jam sembilan kita ketemu di sana, ya?| 

Aku membalas pesan Yasmin dengan suka cita. Berharap pagi segera tiba dan aku mulai hari dengan semangat yang baru.

*** 

Sebelum subuh aku sudah bangun, mencuci pakaian sembari memasak. Sebelum Mas Feri berangkat kerja, dia sudah bisa sarapan di rumah. 

Sembari menunggu waktu jam sembilan aku menyapu dan mengepel rumah lalu menyapu halaman belakang rumah yang cukup luas. Tanah lapang yang kupakai untuk berkebun. Ponselku bergetar, mungkin pesan dari Yasmin. 

Kuambil ponsel di saku gamis lalu mengusap layarnya. Ini adalah ponsel lama Mas Feri, karena bulan lalu dia sudah membeli ponsel baru. Benar saja, Yasmin sudah berangkat ke warung sembako Pak Bidin.

|Rin, aku berangkat sekarang sekalian mau kirim paket soalnya| 

Senyumku mulai mengembang. Gegas membersihkan badan lalu pamit pada ibu. Biasanya dia masih duduk santai di teras sambil menunggu abang bubur kacang hijau langganannya lewat. 

Kupanggil berulang kali namun ibu tak ada. Tak juga pamit, entah ke mana dia. Ah sudah lah. Kukunci pintu saja gegas memacu motor matic Mas Feri untuk ke warung sembako Pak Bidin. 

Aku tak ingin Yasmin menunggu terlalu lama di sana. Jarak rumah dengan warung Pak Bidin tak terlalu jauh, hanya 10 menitan memakai sepeda motor.

Dari kejauhan kulihat Yasmin sudah duduk santai di motornya dengan anak perempuannya, tepat di samping warung Pak Bidin. Aku bersyukur sekali memiliki teman sepertinya. Hanya dia yang mau berteman denganku, lebih tepatnya mau mengerti keadaanku. 

Mungkin karena dia juga sama sepertiku, yatim piatu. Namun mungkin hidupnya jauh lebih beruntung dariku, dia berkecukupan. Memiliki suami yang tanggungjawab, anak yang shalehah dan mertua yang tak merecoki rumah tangganya. 

Bahkan dia bilang, ibu mertuanya sangat sayang dan baik, sering kali datang dengan membawa berbagai makanan dan mainan untuk cucunya saat dia punya uang pasca panen. Ternyata tak semua mertua itu jahat dan menyebalkan, ada pula yang baik hati dan pengertian.  

"Assalamu'alaikum, Yas. Maaf menunggu lama," ucapku sembari tersenyum saat sampai di sebelahnya. Kulirik warung Pak Bidin tak terlalu ramai, ada beberapa tetanggaku di sana. Memang warung ini jauh lebih murah dibandingkan warung yang lain karena memang grosiran. Mungkin karena itu pula pelanggan Pak Bidin cukup banyak dari beberapa desa sekitar. 

"W*'alaikumsalam, Rin. Belum terlalu lama kok. Iya, kan, Dek? Salim dulu sama tante Arina," ucap Yasmin pada anak perempuannya-- Renata.

Gadis berusia tujuh tahun itu mencium punggung tanganku. 

"Belum lama, tante. Tapi Rena sudah mau habis es krim satu," ucapnya polos. 

"Wah sudah agak lama dong berarti. Maafkan tante ya sudah buat Rena menunggu lama," balasku sembari mengusap pelan pipinya yang lembut. 

"Ini uangnya, Rin. Kembalikan sesukamu, pokoknya kalau kamu pas sudah senggang nggak masal-- 

"Arin! Jadi kamu pagi-pagi ke sini mau pinjam duit? Malu-maluin suami saja kamu ini. Ayo pulang!" Suara ibu tiba-tiba terdengar cukup lantang dari belakang.

Wajah Yasmin menengang, mungkin terlalu kaget mendengar dan melihat sendiri bagaimana sikap ibu mertua padaku. Dia mengusap lenganku pelan.

"Rin ... kamu hebat. Sabar, ya," ucapnya lirih. Matanya berkaca-kaca. 

Pengunjung di warung Pak Bidin seketika menoleh ke arah kami bahkan ada beberapa yang keluar warung karena teriakan ibu cukup keras terdengar. 

Malu sekali rasanya, apalagi saat kulihat para ibu di sana saling berbisik. Aku yakin mereka sedang membicarakanku dan ibu atau mungkin Mas Feri. Astaghfirullah. 

"Pulang, Arin. Gaji bulanan suamimu memangnya masih kurang? Makanya jangan boros jadi perempuan!" 

"Uang sejuta nggak cukup sebulan, Bu," ucapku seketika. Baru kali ini aku berani menjawab omelan ibu, rasanya tak kuat selalu dibilang istri pemboros olehnya. 

Para ibu semakin berbisik, membuat wajah ibu semakin merah padam. 

"Sudah boros, rupanya kamu memang tak bisa menghargai suamimu sendiri ya, Rin. Gaji bulanan Feri lima juta belum bonusnya, jangan malu-maluin. Ibu akan laporkan masalah ini sama suamimu!" Bentaknya lagi. Kulihat ibu pergi begitu saja menggunakan ojek yang biasa mangkal tak jauh dari rumah. 

"Rin ... kamu sabar banget. Uangnya nggak usah pinjam, buat kamu saja ya, Rin," bisik Yasmin dengan mata berkaca-kaca. Dia memberikan amplop putih itu padaku namun kutolak. 

"Terima kasih banyak, Yas. Cuma kamu yang peduli padaku. Tapi biar lah, uang ini buat jajan Renata saja, aku tak jadi meminjam. Nanti aku cari alternatif lain untuk modal usaha. Aku tak ingin memperburuk keadaan. Kamu tak perlu khawatir, aku sudah terbiasa," ucapku mengakhiri pembicaraan. Aku pamit pulang. Kulihat air mata itu menitik di kedua pipinya. Dia pasti ikut merasakan sakit yang kini kurasa. Perih.

*** 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Meyidson Hutagalung
memang menantu perempuan sama mertuanya selalu begitu ya.........
goodnovel comment avatar
Retno Widahningsih
ibu hanya didunia novel didunia nyatapun kalau istri gk kerja udah pasti dibanding"in biar bisa bantu suami biar bisa cukup sapa si yg gk pengin cukup,sapa si yg pengen punya rmah sendiri,rejeki sdah diatur nyesek rasanya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status