Rambut lurus dan lembut terurai rapi diatas bantal yang empuk, kulit putih bersinar seperti cahaya rembulan. Mata masih terpejam dalam buaian, bulu mata yang indah, bentuk bibir yang seksi dan menawan. Ya! Milik siapa lagi kalau bukan milik Elissa, wanita berusia 23 tahun dan paling cantik. Di saat tidurnya pun, semua pelayan melayani dirinya. Mata yang enggan membuka, tetap terpejam dengan indah dan tenang. Dalam keadaan terpejam, beberapa pelayan memandikan tubuh Elissa hingga selesai dan memakai pakaian indah untuk menghadiri perayaan pesta pernikahan saudaranya saat itu. Hal itu sudah biasa dilakukan karena tidak ingin mengganggu tidurnya sang putri Elissa layaknya seperti putri tidur. Elissa juga sudah terbiasa di perlakukan seperti itu. Kemewahan dan kekayaan yang di miliki orangtuanya dia manfaatkan dengan keangkuhan.
Kring! Kring! Alarm pagi itu berdering kencang. Sehingga membangunkan Elissa dari tidurnya.“Huam!” Menguap, lalu membuka matanya perlahan.“Elissa, apakah kamu sudah bangun?” Teriak Mama Belinda dari luar kamar Elissa.“Apa ini? Masih pagi, kenapa Mama teriak. Memangnya ada jadwal apa pagi ini?” Tanya Elissa kepada pelayan dengan mengerutkan keningnya. Jadwal biasa tertulis rapi di sebuah buku khusus untuk Elissa yang sengaja di tulis oleh pelayan setianya.“Maaf, Nona. Pagi ini ada jadwal pergi ke acara pernikahan saudara Nona.” Jelas pelayan tersebut.“Oh iya, aku lupa. Akan tetapi, untuk apa aku datang ke sana. Tidak ada gunanya.” Ucapnya lalu merebahkan tubuhnya kembali. Namun saat Elissa ingat ada sosok pria yang Elissa suka di sana, Elissa langsung beranjak dari tempat tidur.‘Oh iya, Frans pasti di sana!’ Gumamnya dengan membelalakkan mata dan senyum yang lebar.“Mama!” Pekik Elissa, lalu beranjak dari ranjang tidurnya.Elissa membuka pintu kamar, dan mendapatkan mama Belinda saat itu tengah bersiap untuk pergi bersama papa.“Ma, aku ikut!”“Kamu pergi naik mobil sendiri. Mama dan papa juga akan pergi dengan mobil yang berbeda.” Jelas Mama.“Baiklah.” Balas Elissa tampak bersemangat. Kemudian, mereka pun pergi ke tempat di mana pernikahan itu berlangsung. Meski bukan pernikahan Elissa, namun acara tersebut sangat di nanti oleh Elissa supaya bisa bertemu dengan saudara jauh yang dia tunggu. Yaitu Frans, pria idaman Elissa sejak dulu.“Semoga Frans hari ini hadir.” Ucap Elissa dengan melajukan mobil Lamborghini kebanggaannya.Beberapa saat kemudian, Elissa sampai di sebuah gedung pernikahan saudaranya itu. Kaki melangkah masuk dan membiarkan banyak pasang mata menatap dirinya dengan berdecak kagum. Elissa dengan bangga dan percaya diri berjalan di tengah-tengah untuk menuju pelaminan langsung.“Hai, selamat ya!” Elissa memberikan ucapan kepada kedua mempelai serta salaman yang hangat. Hal itu di balas dengan sebuah senyuman.“Terima kasih, Elissa. Kamu sendiri kapan menikah? Sayang banget, cantik dan kaya akan tetapi tidak laku. Haha!” Tawa Diana saat itu mengejek Elissa. Beberapa orang yang mendengar juga ikut tertawa karena Elissa. Kebetulan saat itu Frans datang memberikan selamat juga kepada Diana dan suami. Elissa langsung menarik tangan Frans dan menggandeng. Tanpa berpikir panjang lagi, Elissa memperkenalkan Frans adalah calon tunangan.“Siapa bilang aku tidak laku, Frans adalah tunangan aku. Cepat atau lambat, aku pasti akan menikah dengan Frans. Bukan seperti itu, Frans?” Dengan percaya diri, Elissa memperkenalkan Frans tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Frans untuk menyetujui ucapan itu.‘Aku yakin, Frans tidak akan menolak. Lagi pula, siapa pria yang berani menolak aku?’ Gumam Elissa dengan percaya diri. Namun perlahan, Frans merenggangkan tangannya untuk menghindari Elissa.“Maaf!” Ucap Frans singkat, lalu pergi meninggalkan Elissa. Semua yang melihat malah tertawa karena Elissa. Elissa mengejar Frans saat itu juga dan menahan malu.‘Ah, sial!’ Gumam Elissa dan berlarian kecil menyusul Frans.Frans mengambil minuman, lalu meneguknya. Sifat tenang, dan tidak banyak bicara itu yang membuat Elissa tertarik kepadanya. Namun sejak dahulu, Elissa tidak pernah bisa mendapatkan hati Frans. Padahal, kurang apa lagi seorang putri bangsawan secantik dan sekaya Elissa.“Frans, kamu marah ya? Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk katakan itu semua tadi di depan mereka. Aku hanya tidak ingin Diana menghina aku di depan saudara yang lain. Aku harap, kamu mengerti.” Ungkap Elissa, namun Frans tetap diam tanpa merespons sedikit saja ucapan Elissa. Frans masih meneguk minumnya dengan santai.“Frans, kamu marah?”Beberapa detik kemudian, ucapan Elissa baru mendapatkan respons dari Frans.“Elissa, kamu itu cantik, kaya, kenapa kamu tidak cari pria lain yang lebih baik dari aku saja.”“Frans, aku sudah lama suka sama kamu. Kenapa kamu tidak mau terima aku? Apa ada yang kurang dari aku?”“Kamu terlalu sempurna untuk aku, Elissa. Lagi pula, kita masih ada ikatan saudara.”“Kalau hanya alasan ikatan saudara, kita masih saudara jauh. Masih bisa untuk bersama bukan?”“Tetapi tidak untuk aku, Elissa. Aku tidak bisa, maafkan aku. Menjauhlah!” Frans berdiri dan meninggalkan Elissa sendiri di tengah keramaian. Untuk ke sekian kalinya Elissa merasa di acuhkan dan di tolak mentah-mentah oleh Frans.“Frans!”“Sudahlah, Elissa. Terima saja keputusan Frans. Setahu aku, Frans seperti itu karena sudah memilih wanita lain. Lebih baik kamu lupakan Frans.” Tambah Audrey sahabat Elissa yang tiba-tiba di samping dan ikut menyaksikan hal tersebut. Elissa tidak peduli dan keluar dari gedung pernikahan, Elissa terus berlari dengan berteriak kencang. Bahkan dia tidak peduli dengan orang-orang yang melihat dirinya saat itu.“Aaaaaaaaaaa!” Teriaknya dengan kencang. Hujan tiba-tiba mengguyur kota tersebut dan membasahi gaun cantik milik Elissa. Seakan mengiringi kesedihan Elissa. Masih dalam tangis, Elissa meratapi cinta yang tidak di balas. Rasa cintanya kepada Frans begitu dalam. Sehingga luka itu tidak mudah hilang begitu saja.“Kenapa aku mencintaimu, Frans. Kenapa? Kenapa kamu tidak pernah tahu perasaan aku yang sebenarnya?” Tangis di antara bulir air hujan itu, tidak terlihat. Namun begitu sakit di rasa.Ya! Seorang putri cantik, kaya raya. Ternyata, bisa patah hati juga karena cinta. Entah cinta mana yang akan meluluhkan hati Elissa nanti.Elissa terus berjalan di pinggir jalanan di antara derasnya hujan. Elissa tidak peduli dengan kendaraan lalu lalang di jalan itu. Sehingga tanpa di sadari, dua orang merampas tas kecilnya yang saat itu dia pegang. Kemudian dua orang yang naik motor itu pun melesat pergi meninggalkan tempat itu. Elissa hanya diam dan bengong. Sedangkan seorang pria yang berteduh dan menyadari tindakan kejahatan dua orang tadi langsung mengejarnya sebelum jauh. Namun sayang, pria itu juga tidak dapat menyelamatkan tas Elissa. Entah apa yang di pikirkan Elissa saat ini.“Nona? Apa kamu tidak apa-apa?” Tanya pria itu yang rela membasahi tubuhnya dengan derasnya hujan. Elissa hanya menggelengkan kepalanya tanpa melihat pria itu.“Maafkan aku, aku tidak dapat menyelamatkan tas kamu dari penjahat itu.” Ungkap Arga. Elissa tetap berdiri diam dan menunduk. Namun suara Arga membuat Elissa sadar akan suatu hal.‘Suaranya kayak tidak asing.’ Gumam Elissa, lalu dengan cepat mendongak ke arah sumber suara pria yang menolongnya tadi.“Kamu?” Ucap Arga setelah sadar dia tengah bicara dengan siapa saat itu. Elissa adalah wanita yang tidak dia suka, begitu juga Elissa.“Arga!” Tampaknya, Elissa lebih membenci Arga. Dia langsung berjalan meninggalkan Arga saat itu tanpa peduli hujan turun lebat.Entah apa yang membuat mereka saling membenci kala itu.“Sial, tahu begitu aku tidak akan bantu dia tadi. Dasar wanita sombong, ada masanya kamu akan berada di bawah.”Jedarrrr! Tiba-tiba suara petir sangat kuat dan kilat saling menyambar.Beberapa saat kemudian, Elissa samp
“Maafkan aku, Nona. Kalau nanti aku tidak kerja, mau makan apa anak aku di rumah.” Bujuk Evita dengan wajah memelas pada Elissa sang majikan.“Itu bukan urusan aku, kamu bisa cari pekerjaan lain di luar sana. Masih banyak yang mau terima kamu. Akan tetapi, kamu harus tahu. Kalau kerja itu yang di jaga kepercayaan, bukan asal bicara.” Jelas Elissa.“Ada apa lagi ini, Elissa?” Mama datang melihat keributan di dapur saat itu.“Ma, Evita aku pecat.”“Kenapa kamu pecat?” Tanya Mama lagi.“Ma, Evita tidak perlu kerja di sini lagi. Lihatlah, ucapan saja tidak bisa di jaga, bagaimana dengan pekerja lain.”“Maksud kamu apa? Mama tidak mengerti.”“Ma, Evita sudah bicara buruk tentang aku. Makanya aku tidak suka dia tetap di sini.”“Semua bisa di bicarakan baik-baik, Elissa. Jangan pakai emosi lagi ya.”“Ah, sudahlah. Pokoknya aku tidak mau tahu, hari ini juga Elisa harus angkat kaki dari tempat ini.”“Ya sudah, terserah kamu saja.” Ucap Mama tidak ingin banyak perdebatan dengan anak semata waya
“Papa, apa ini? Ma, apa yang terjadi?” Suara parau dan bergetar ketika melihat kedua orang tuanya bersimpuh di atas lantai sore itu. Elissa tidak bisa lagi menahan begitu banyak pertanyaan di benaknya ketika dia melihat Mama dan papanya duduk berlutut di tanah. Menatap pintu rumah yang sudah tertutup rapat oleh dua orang dan juga sosok lelaki tua yang sudah sering datang ke rumah Elissa selama ini. Saat itu, Elissa baru saja pulang dari kampus dan dikejutkan dengan pemandangan tak wajar di hadapannya. Beberapa koper berisi pakaian juga sudah disiapkan untuk dibawa pergi. Namun, Elissa tidak mengerti apa yang telah terjadi.“Ma, Papa, jawab aku! Ada apa ini? Kenapa kalian ada di sini, dan orang-orang ini?” Elissa duduk dan menatap mata Mama dan papanya.“Elissa, sayang. Ini bukan rumah kita lagi. Rumahnya sudah di sita.” Mama menjelaskan dengan air mata berlinang.“Ya, tapi kenapa? Kenapa, Ma? Apa kita tidak bisa melakukan sesuatu? Lalu, kenapa rumah kita di sita? Apa salah kita?” T
“Tunggu, maksudmu anakmu suka balap liar?” Tanya Papa Rajendra dengan mengerutkan keningnya diiringi alis yang melengkung dengan berbagai macam belokan.“Hahaha, maaf. Hobinya di luar. Makanya di usianya yang sekarang, dan kebiasaannya, aku ingin menikahkannya saja dan sepertinya dia cocok untuk anakmu.” Kata Daniel.“Ya, makanya dengan menikahkan anak kita, kamu tidak perlu menyewa rumah ini. Tapi itu akan menjadi milikmu!” Daniel menjelaskan lagi.“Jadi sama saja, Paman sudah membeli aku ‘kan? Atau Papa sudah menjualku untuk menikahi anak Paman Daniel.” Ungkap pendapat Elissa. Sementara itu, mama Belinda diam saja. Berbeda dengan papa Raja, bahkan dia merasa itu adalah hal yang benar.“Bukan, bukan, bukan itu maksud Paman. Paman percaya saja padamu, kalau nanti kamu pasti bisa mengubah sikap anak Paman.” Bujuk Daniel. Elissa hanya menatap dengan curiga dan menyipitkan sebelah matanya ke arah Daniel. Entah kenapa Daniel begitu mudah menjodohkan Elissa dan anaknya.“Aneh!” Elissa menj
Setelah tidak sengaja menyenggol Adel hingga jatuh, Elissa tidak peduli dan segera menuju kursi. Di sana dia menumpahkan tangisnya yang sudah tidak terbendung lagi.“El, apa yang kamu lakukan?” Adel mendekati Elissa yang menangis di meja belajarnya. Adel memberi Elissa sebuah tisu yang dia miliki.“Kenapa kamu dekat-dekat! Aku miskin, aku sudah sering mengganggumu,” katanya dengan nada keras.“Bukankah teman menemani teman saat susah, meski dia tidak pernah dianggap teman?” Kata-kata itu membuat Elissa menghentikan amarahnya dan menatap wajah Adel yang saat ini berada di sampingnya.“Kamu serius? Jadi selama ini aku banyak merepotkanmu, tapi kamu masih menganggapku teman? Kamu tidak malu berteman denganku yang malang ini?”“Elissa, bagiku sahabat yang saling mengerti. Selama ini aku berusaha baik sama kamu, tapi apa kamu tidak mengerti aku? Aku butuh teman, dan tidak ada yang menemaniku. Apa salahku? Dan apa salahnya jika Aku baik padamu? Kita berteman 'kan?” Adel membuka kesempatan u
“Maaf, Papa harus lakukan ini. Kamu harus ikut Papa sekarang juga.” Papa Daniel harus menarik Arga untuk masuk ke dalam mobil. Malam itu banyak disaksikan oleh teman-teman Arga yang melihat langsung kejadian tersebut. Arga tidak bisa menahan diri sampai dia masuk ke dalam mobil. Teman-temannya hanya mengejek Arga saat itu juga.“Haha, anak Papa dijemput lagi.” Teman-teman Arga mengejek Arga.“Iya, takut diculik tante kalau tidak pulang mungkin. Haha!”“Bisa jadi!” Sahut yang lain lagi.Itulah yang mereka katakan satu sama lain. Sempat terdengar di telinga Arga dan ingin marah saat itu juga. Tapi papa tetap menarik Arga dengan paksa.“Awas saja kalian!” Ancamnya dari balik kaca mobil.“Arga, ayo. Ayo kita pulang!”Tiga puluh menit perjalanan, Arga dan papa Daniel tiba di rumah. Tempat balap mobil Arga memang tidak jauh. Karena itulah Arga lebih memilih untuk mengikuti hobinya bersama teman-teman lainnya.“Papa, apa yang salah? Main paksa saja. Di mana aku taruh wajahku ketika mereka se
Arga terus berusaha mengejar lawannya. Sedangkan di urutan ketiga adalah temannya yang akrab disapa Boy, yaitu teman dekat Arga.Beberapa menit berlalu, Arga hampir bisa menyalip mobil yang kini berada di posisi nomor satu itu. Tapi pemandangan di belakang sepertinya ada sesuatu yang terjadi.Brak! Tabrakan keras dari mobil belakang Arga yang lepas kendali menghantam mobil Arga yang ada di depannya. Hal ini mengakibatkan tabrakan fatal yang membuat setiap mobil terlempar hingga rusak parah. Keadaan mobil Boy saat itu juga terpental jauh. Namun beruntungnya Boy berhasil keluar sebelum mobilnya hancur menabrak bangunan, sehingga dia selamat dari kecelakaan maut terserah. Sementara itu, mobil Arga melaju di luar kendali dan menabrak pohon besar di jalan. Sehingga kaca mobil pecah dan wajah Arga terbentur keras oleh gagang setir mobil. Saat itu, wajah Arga terluka parah. Kemudian, setiap orang yang mengalami kecelakaan langsung dibawa ke rumah sakit.Salah satu teman Arga menghubungi papa
“Pa, aku tidak mau dijodohkan! Batalkan perjodohan ini segera.” Elissa tampak sangat marah dengan wajah yang sudah mulai merah merona. Sepertinya masalah itu sangat serius baginya. Tas ransel kesayangan yang selalu dibawa Elissa ke kampus di banting ke kursi tamu. Saat itu, Papa sedang bersantai membaca koran di kursinya. Kemudian papa Rajendra terkejut dengan sikap dan perkataan Elissa, yang tiba-tiba berbicara dengan nada tinggi dan melampiaskan amarahnya saat itu. “Apa maksudmu, Elissa! Tidak bisakah kamu sedikit turunkan nada bicaramu itu?" Ucap papa masih dengan nada rendah dan mencoba meredam amarah Elissa. Sembari sesekali meneguk kopinya.“Pa, pokoknya aku tidak mau dijodohkan. Titik!”“Kenapa? Bukannya kamu juga sudah setuju?” Papa masih bersikap tenang dan mulai meletakkan koran yang dipegangnya. Sambil sesekali menyeruput kopi yang sudah dingin di atas mejanya lagi. “Kapan aku bilang setuju? Aku tidak pernah menyetujui perjodohan ini. Aku bukan siti Nurbaya. Dijodohkan be