Share

Syarat Mendapatkan Warisan

“Maaf, Papa harus lakukan ini. Kamu harus ikut Papa sekarang juga.” Papa Daniel harus menarik Arga untuk masuk ke dalam mobil. Malam itu banyak disaksikan oleh teman-teman Arga yang melihat langsung kejadian tersebut. Arga tidak bisa menahan diri sampai dia masuk ke dalam mobil. Teman-temannya hanya mengejek Arga saat itu juga.

“Haha, anak Papa dijemput lagi.” Teman-teman Arga mengejek Arga.

“Iya, takut diculik tante kalau tidak pulang mungkin. Haha!”

“Bisa jadi!” Sahut yang lain lagi.

Itulah yang mereka katakan satu sama lain. Sempat terdengar di telinga Arga dan ingin marah saat itu juga. Tapi papa tetap menarik Arga dengan paksa.

“Awas saja kalian!” Ancamnya dari balik kaca mobil.

“Arga, ayo. Ayo kita pulang!”

Tiga puluh menit perjalanan, Arga dan papa Daniel tiba di rumah. Tempat balap mobil Arga memang tidak jauh. Karena itulah Arga lebih memilih untuk mengikuti hobinya bersama teman-teman lainnya.

“Papa, apa yang salah? Main paksa saja. Di mana aku taruh wajahku ketika mereka semua mengejekku tadi?”

“Arga, kamu lebih malu jika teman-temanmu mengolok-olokmu. Apa kamu tidak berpikir, Papa sangat malu memiliki satu anak tetapi tidak pernah pulang. Apakah kamu sadar? Kamu hanya punya Papa. Jika Papa meninggal saat kamu balapan di luar, tidakkah kamu akan menyesalinya?”

“Papa!” Seru Arga hendak menantang papanya.

“Apa? Kamu ingin berdebat dengan Papa?”

“Ayo, Papa. Apa yang sebenarnya Papa inginkan? Aku tidak punya banyak waktu lagi.”

“Papa minta sekali ini saja, jangan keluar dulu. Papa mau cerita sesuatu sama kamu.”

“Hmm,” Arga tidak sepenuhnya menatap papanya. Arga bahkan asyik memainkan ponselnya sambil duduk di sofa.

“Papa ingin kamu menandatangani surat wasiat ini.” Papa menghentikan ucapannya sengaja menarik perhatian Arga. Lalu Arga semakin tertarik dengan tawaran Papa dan mulai menatap Papa dengan saksama.

“Tapi dengan satu syarat!” Ucapan Papa kali ini membuat nyali Arga menciut. Awalnya dia senang dan sangat mengharapkan warisan. Tapi langsung jatuh dengan syarat papa meski belum terucap.

“Kalau mau dapat warisan Papa sekarang, kamu harus siap menikah. Umur kamu sudah matang, Papa ingin cucu dari kamu.”

“Hmm, firasat aku benar. Papa pasti memintaku untuk menikah. Papa, aku masih muda. Aku masih ingin bebas pergi ke sana kemari tanpa ada batasan dan tanggung jawab. Lagi pula, aku tidak punya calon biarkan aku sendiri dulu.”

“Kebetulan Papa juga tidak mau kamu menikah dengan pilihanmu. Tapi Papa punya pilihan sendiri untukmu. Pasti kamu tidak akan menolak, dia anak sahabat Papa.”

“Apa? Jadi Papa mau menjebakku?”

“Iya, terus sampai kapan kamu akan sendirian seperti ini? Kamu juga pasti mengharapkan warisan ini ‘kan? Pokoknya Papa mau kamu setuju dengan syarat ini. Kalau tidak, warisan ini bukan untuk kamu.”

“Papa, aku tidak mau menikah. Aku anak tunggal Papa, kalau tidak di berikan kepadaku, lalu akan diberikan kepada siapa?”

“Banyak kok yang lebih butuh dari kamu.”

“Oke, kalau begitu izinkan aku menikah dengan wanita pilihan aku.” Ucap Arga ketika mengingat baru kemarin dia menjalin hubungan dengan Gea.

“Tidak, Papa tidak mau. Pokoknya kamu harus menikah dengan pilihan Papa. Kalau tidak, tetap saja warisan ini bukan milik kamu. Kalau kamu tidak mau ya sudah!”

“Tidak bisa seperti itu. Aku juga punya hak, Pa.”

“Jika kamu merasa berhak, kamu penuhi syarat itu. Jika tidak, kamu sendiri yang akan tahu konsekuensinya.”

“Aduh, Papa sekarang begini ya! Secantik apa sih anak teman Papa, sampai mau menjodohkanku dengan wanita itu. Ah sudah lah!” Arga berdiri dan berjalan ke kamar.

“Lalu kenapa kau masuk ke kamar? Papa belum selesai bicara.”

“Mau tidur.”

“Tumben tidur di rumah, biasanya juga tidur di jalanan.”

Sesaat Arga masuk ke kamar, hitungan detik Arga keluar lagi.

“Loh, kenapa keluar lagi?” Tanya Papa.

“Mau tidur di jalan!” katanya kesal. Papa hanya tersenyum melihat anaknya yang sudah dewasa. Menyebalkan, namun papa tetap sayang Arga meski menjadi anak yang nakal.

“Arga, kapan kamu akan sadar? Apakah kamu tidak merasa kasihan pada Papa sendirian di rumah sepanjang waktu?”

“Ada pembantu, sopir, satpam, Papa tidak sendirian.”

“Ya, tapi kamu anak satu-satunya Papa.”

“Ah tidak apa-apa.” Arga pergi dan tidak peduli lagi.

“Arga, Arga, dia benar-benar berubah sejak ibunya meninggal. Seharusnya anak seusianya sudah menikah, tapi malah asyik menjadi berandalan. Nah, yang penting aku sudah mengatakan apa yang aku mau. Ke depan, aku sudah untuk menemukan cara agar Arga menyetujui persyaratan tersebut. Aku tidak sabar untuk menjadi besan Rajendra.” Dia berkata dengan sedikit senyum di bibirnya.

***

“Di sisi lain, aku masih menyukai Leon. Tapi dia lebih memilih wanita itu. Awas saja nanti, aku akan balas perlakuan kamu ini, Audrey.”

Di dalam bilik, tidak ada lampu. Hanya ada sedikit cahaya dari luar rumah yang menerangi kamar Elissa. Sudah jam 11 malam, tapi dia belum bisa memejamkan mata. Dalam benaknya, yang ada hanya wajah tampan Leon, pria idaman, namun Leon diambil oleh sahabatnya sendiri. Lebih tepatnya, sekarang bukan teman. Tapi musuh dalam selimut. Selama ini berteman dengan Elissa, hanya karena Elissa kaya. Namun setelah mengetahui keluarga Elissa bangkrut, Audrey tidak mau berteman lagi. Bahkan banyak siswa dan siswi lain yang ikut mencemooh Elissa.

“Uh iya ngomong-ngomong soal perjodohan, aku belum tahu orang itu kayak apa! Lebih baik aku mencari tahu sendiri pria seperti apa putra Paman Daniel itu.”

Elissa tidak berhenti mengoceh sendiri di kamarnya sampai dia tertidur. Sementara itu, Arga kembali ke tempat nongkrongnya seperti biasa dengan yang lain. Saat itulah, puncak di mana pemuda berkeliaran dengan bebas. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk balapan liar di malam hari untuk menghibur diri. Namun ada juga yang melakukannya untuk bertaruh. Termasuk Arga yang selalu ikut dalam pertandingan.

“Woi, anak Papa akhirnya kembali. Tadinya aku pikir, kamu akan tidur di ketiak Papa. Ha ha!” Kata teman yang selalu mengolok-oloknya sejak tadi.

Buk!!

Satu kali pukulan keras mendarat di bibir temannya. Setelah puas melakukannya, Arga kembali bersama yang lain untuk segera melakukan balapan.

“Wah, itu orang gila kali ya? Apa-apaan ini bibirku, main tinju saja. Katanya sambil mengusap bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah.

“Makanya jangan memulai masalah dengan Arga. Kayak tidak kenal Arga saja! Masih membuat masalah.” Balas yang lain.

“Loh, memang benar dia anak papa ‘kan?”

“Terserah deh!”

Saat itu, permainan akan segera dimulai. Sementara Arga bersiap-siap di dalam mobilnya. Ia berderet di antara jajaran mobil mewah lainnya yang semuanya adalah anak orang kaya.

“Baik, apakah kamu siap? Ayo mulai! Satu dua tiga!”

Setiap mobil melesat cepat di jalan. Mobil-mobil tersebut saling berkejaran untuk mendapatkan posisi pertama guna memenangkan perlombaan. Arga saat ini berada di posisi kedua. Masih ada yang jauh lebih cepat dari dia di depan sana.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status