Share

Part 7 : Impressed

••

Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman.

Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa.

What's wrong with my mom?

Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya.

Almarhumah nenek orangnya keras dan galak. Aku pernah ditampar menggunakan sandal jepit hanya gara-gara menemani kakak sepupuku menemui cowok yang dia suka. Sampai-sampai kawanku tuh segan mau main ke rumah. Nah, ibuku jauh lebih saklek dari itu. Hanya saja, enggak pernah pakai kekerasan. Paling diceramahi panjang lebar, dikasih contoh cerita-cerita sinetron.

Aku saja yang bandel. Meski sudah dilarang, tetap nekat backstreet. Hingga saat kenal Reygan cs itu, ibu belum mengetahui perihal hubunganku dengan Hendra. Bahkan ketika Hendra datang ke rumah sebagai orang yang sedang mengunjungi kekasih LDR-nya pun, ibu enggak ngeh apa tujuan tuh cowok. Dikiranya ke Madiun hanya untuk mengantar bibinya daftar jadi TKW.

Andai tahu, entah jadi apa aku? Mungkin sudah dipenyet-penyet kayak ayam geprek, kali. Enggak sengaja menemukan surat cinta di tas sekolah saja udah kayak orang kerasukan. Padahal, di surat tersebut jelas-jelas pengirim menanyakan, kenapa aku cuek betul padanya? Kenapa surat-suratnya yang terdahulu enggak pernah dibalas? Harusnya sudah terlihat bukan, bahwa aku tidak merespons? Masih saja pidato panjang lebar.

Makanya, aku lega bukan kepalang ketika malam itu ibu no respons dan no comment akan kehadiran Reygan. Bagiku, sikap diamnya merupakan sinyal positif. Rupanya tak semudah itu, Ferguso!

Usai aku menunaikan salat isya, ibu sudah menunggu di tepi tempat tidur. Dengan santai aku banting badan ke kasur, menyusun bantal dan guling sedemikian rupa. Aku tidak bisa tidur jika tak ada guling dalam dekapan. Keberadaan ibu tak kuacuhkan sama sekali.

Hingga—

"Tadi itu teman baru yang kamu ceritakan kemarin ya, May?"

Aku menghentikan kesibukan, lalu beralih menatap wanita berwajah kalem di hadapanku. Pelan, kuanggukkan kepala.

"Sepertinya dia bukan anak orang biasa."

“Maksud ibu? Dia anak gaib, gitu?”

Ibu terkekeh lirih. “Orang tuanya pasti bukan orang sepele. Penampilan dia enggak seperti kebanyakan anak sini.”

"Iya, bapaknya jaksa."

“Jaksa!?” Ibu berseru, tampak sangat kaget. "Dia suka sama kamu?"

"Hah? Enggak, kok! Enggak!"

"Kamu suka sama dia?"

"Walah! Apalagi! Enggak, sama sekali!" Aku menggeleng panik. Pertanyaan ibu sangat menohok, tanpa tedeng aling-aling. Hadeeeh.

"Ibu lihat dia anaknya sopan. Kelihatannya baik, tapi kamu harus hati-hati." Ibu melanjutkan 'kultum'-nya, tanpa peduli pada sanggahan yang aku sampaikan. "Kita ini orang enggak punya, May. Ibu enggak mau kamu diremehkan. Apalagi dia anak pejabat."

Jujur, nasehat ibu lumayan mengganggu pikiran. Ada dua poin penting yang dapat aku tarik benang merahnya, yakni anak orang tak punya dan diremehkan. Dari situ, aku mengambil sebuah kesimpulan bahwasanya orang biasa—macam aku gini, jangan coba-coba bermimpi ketinggian untuk mendapatkan orang dengan level hidup yang jauh di atas. 

••

Keesokan hari, di Minggu pagi yang cerah, matahari tampak naik sepenggalah. Aku sedang menjemur cucian di halaman belakang saat terdengar suara gembok beradu dengan besi.

Sepertinya ada tamu. Tergopoh-gopoh aku berlari ke depan. Kupikir ada keluarga TKW dari luar kota, soalnya tumben hari Minggu ada orang datang. Kantor, kan tutup. Bapak pun tak di rumah. Sejak mengantar ibu tadi pagi, belum ada kembali.

Sebelum membuka pintu, kusempatkan untuk mengintip suasana luar melalui gorden jendela yang sedikit kusibak. Tampak seorang anak muda menyandang gitar, berdiri di depan pintu pagar. Mukanya ditutup topi yang bagian depan dibikin lebih rendah dari standar pemakaian, sehingga wajahnya tak terlihat. Dari tempatku mengintip, aku dapat melihat orang itu mengenakan kaos lengan panjang warna abu-abu tua, dan celana jeans belel yang robek di bagian lutut. Alih-alih terlihat lusuh, dia justru tampak keren meski kakinya beralaskan sandal swallow.

Jidatku mengeriting seketika. Ngapain orang ngamen nekat banget ketok-ketok pagar? Biasanya rumah yang tertutup begitu kan dilewati saja.

Belum sempat otakku mencerna hal yang barusan melintas dalam pikiran, orang di luar sana kembali membentur-benturkan gembok berbahan baja pada pagar. Kali ini lebih keras, disertai ucapan "Permisiii!"

Ah, Reygan! Aku hafal suaranya!

Dengan wajah berseri-seri, aku bergegas membuka pintu depan. Begitu melihat aku keluar, pemuda itu mengangkat topinya, dan menyunggingkan sebuah senyum semanis gulali.

"Permisi, Neng! Abang mau numpang ngamen!"

Aku terkekeh dan berjalan menuju pagar dengan segepok kunci dalam genggaman. "Maaf, Bang! Lewati saja," kelakarku seraya menunduk, memilih kunci yang cocok untuk gembok depan.

"Mau lewat, tapi enggak tau harus lewat mana!"

"Terserah Abang, deh, pengen lewat mana."

"Lewat hati Neng, boleh?"

“Ha-ha-ha ....” Tawa kami meledak, pas banget saat aku sudah mendapatkan kunci yang kucari. Buru-buru kubuka gembok dan pagar lebar-lebar.

"Kenapa tutup?" tanya Reygan kemudian sambil berjalan melewati pagar, lalu membantuku menutup kembali pagar tersebut.

"Apanya?" Aku menatapnya tak mengerti. "Eh, enggak usah dikunci, Mas. Paling bentar lagi bapak pulang," sergahku cepat ketika cowok itu hendak menancapkan kaitan gembok. Ia pun mengurungkan tindakannya.

"Kenapa pagarnya ditutup, sih?" Reygan mengulang pertanyaan yang belum aku jawab.

"Kan, hari Minggu."

"O ya?” Ekspresinya macam orang yang benar-benar tengah kaget. Bisa banget aktingnya. “Ini hari Minggu, ya?"

"Bukan!" jawabku sewot.

"Aku enggak kenal hari Minggu, siiih ...."

"Kenalnya?"

"Hari libur."

Tak kutanggapi lagi ucapannya.

••

Sepanjang hari Reygan menemaniku. Ia hanya pulang sebentar pada saat matahari tepat di atas kepala, untuk mengembalikan gitar dan menengok sang mama. Aku sempat ditawari untuk ikut, menemani dia jalan.

“Sekalian ketemu mama,” ujarnya.

Namun, aku menolak tawaran tersebut. “Kapan-kapan, lah. Sekarang, aku harus nungguin rumah, takut ada tamu. Bapak belum pulang,” dalihku.

Padahal, sebenarnya aku merasa aneh. Ya, aneh, untuk apa bertemu mamanya? Kami baru tiga hari kenal. Mungkin aku yang terlalu overthinking. Bisa jadi Reygan memang biasa mengenalkan kawan-kawannya kepada sang mama. Namun, bagiku itu bukan hal biasa. Kecuali ke sana rame-rame bersama teman lain, itu baru normal. Kalau hanya berdua? Untuk apa?

Selepas waktu zuhur, cowok itu kembali datang, dengan motor biru yang jadi ciri khasnya. Aku pun kaget saat dia kembali. Tadinya, aku pikir dia enggak akan balik. Untung aku nya belum berangkat tidur siang, masih asyik nulis cerpen yang akan diterbitkan di Mading sekolah keesokan harinya.

Berduaan dengan cowok lain pada hari di mana seyogianya kekasih yang menemani, menimbulkan sedikit rasa bersalah dalam hatiku. Segera kutepis itu semua dengan pembenaran, bahwa kami hanya sebatas teman, dan hubunganku dengan Hendra pun tidak jelas. Dalih untuk menutupi rasa berdosa, sebetulnya.

Kami ngobrol di sofa berhadapan yang dibatasi sebuah meja kaca. Lembaran tabloid ‘Gaul’—salah satu nama tabloid remaja tempo dulu—menutupi pangkuanku. Aku menemani cowok itu sembari membaca ulasan berita dan gosip artis, yang pada masa itu hanya bisa kita dapatkan melalui TV, koran, majalah atau tabloid. Belum ada sosial media.

Jangankan sosial media, handphone saja masih langka. Hanya orang dengan kondisi ekonomi menengah ke atas yang mampu membeli handphone. Tahun 2000, Krisis Moneter nyata-nyata baru saja menyapu Indonesia, bahkan sebagian besar negara di dunia.

Hebatnya, Reygan sudah memegang benda telekomunikasi tersebut. Anak SMA punya Hp, pada masa itu sudah paling top. Tipe handphone-nya pun yang terbaru. Mungkin ada yang ingat? Sony Ericcson T10, yang body-nya lipatan. Itu yang Reygan punya.

Aku juga baru tahu ketika benda dalam kantong celananya berbunyi. Benda yang kerap aku lihat dipegang oleh anak majikan ibu. Sebuah entitas yang masih asing dalam kehidupanku.

Reygan buru-buru melihat layar kecil yang menyala hijau kekuningan. Lantas tanpa mengucap apapun, dia beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan keluar. Aku hanya diam, memandanginya tanpa tahu harus bersikap apa. Rasanya seakan kembali ditampar kenyataan bahwa kami memang jauh sekali tersekat oleh taraf ekonomi yang senjang. Benar kata ibuku.

Tak berapa lama kemudian, pemuda pemilik bahu selebar angkasa raya itu kembali masuk. Wajahnya berhias senyum, seperti biasa. Ia menatapku lekat sembari mengenyakkan pantat pada dudukan sofa berwarna hijau tua, properti kantor.

"Kenapa, Mas?" Aku bertanya datar. Maksud aku sebetulnya adalah menanyakan, kenapa memandangiku sedemikian rupa? Akan tetapi, dia salah menangkap arti pertanyaanku.

"Papaaa ... nanyain keadaan mama. Hari ini harusnya papa pulang. Ternyata ada sidang. Jadi, enggak bisa memenuhi janji sama mama."

"Terus gimana?"

"Namanya juga kerja. Harus profesional."

"Mama ngerti aja, ‘kan?"

"Siang tadi papa tuh udah SMS, ngabarin aku soalnya telepon rumah lagi rusak. Makanya aku sempatkan pulang, kasih tau mama. Khawatir dia ke pikiran."

"Jadi?"

"Mama oke."

"Syukurlah." Aku menghela napas lega. Entah kenapa, ikut lega mendengar dia berkata demikian. "Terus ini di rumah sama siapa? Kok, malah ditinggal ke sini?"

"Ada bulek yang jagain," pungkas Reygan kemudian, kembali mengulaskan sebuah senyum. "Lagi pula dekat aja. Bisa, lah tengok-tengok sebentar."

Aku menatapnya takjub. Bibit-bibit kekaguman mulai tumbuh menghuni relung hati. Jarang ada anak lelaki seusia Reygan yang begitu peduli dan penuh tanggung jawab terhadap orang tuanya.

Umumnya, anak seusia dia itu asyik dengan dunianya sendiri, asyik memikirkan dirinya sendiri, dan kebanyakan menjauh dari lingkungan keluarga. Jangankan mau diribetin dengan keadaan mamanya yang menderita gangguan mental, cuci baju sendiri saja tidak mau. Apalagi anak orang kaya.

📎

"Reygan itu anaknya baik banget, Bu," ucapku mengawali sesi curhat di atas becak. Kami tengah dalam perjalanan pulang dari tempat kerja ibu. Rutinitas favoritku.

"Kayaknya memang baik," sahut ibu tanpa antusias sama sekali.

"Dia tuh tanggung jawab banget sama mamanya."

"Ya iya lah, mamanya," tukas ibu mulai kumat menyebalkan. "Memangnya tanggung jawab kenapa?"

"Mama dia sakit. Kasihan anak itu."

"Sakit apa?" Ibu mulai melunak.

"Depresi."

"Apa itu?"

"Stres yang parah, sampai mau bunuh diri, gitu."

"Itu namanya gila." Bapak menyela kata-kataku dengan komentar yang kurang sopan. Spontan aku menengok ke belakang dan melotot tajam pada orang tua lelakiku tersebut.

"Kamu itu loh, Pak!" Ibu membelaku. "Biar stres-stres juga, istrinya pejabat itu."

Aku ngakak. "Iya, bener, bener! Ibu juarak."

"Ibunya stres kenapa?"

"Gara-gara anak perempuannya meninggal dalam kecelakaan."

"Astagfirullah!"

"Kasihan, ya, Bu?"

"Iya. Itulah makanya kita harus bersyukur, Nduk. Hidup itu sawang-sinawang. Mereka tidak kekurangan harta, tapi diuji dengan cara lain."

"Iya."

"Kamu pacaran, ya, sama dia?" Ibu senyum-senyum usil. "Kata bapak, tadi seharian dia ke rumah."

"Ha-ha-ha.” Tawaku sumbang. “Mana ada? Teman aja, Bu. Dia loh sudah anggap Maya kayak adiknya sendiri."

"Adik ketemu gede!" Lagi-lagi bapak nimbrung.

"Ih, Bapak!" pekikku lirih. "Apaan sih? Su’uzon!"

Bapak tertawa lirih.

“Kami, loh ... kenal belum ada seminggu. Pacaran dari mana? Kilat betul!”

"Terus? Ngapain aja seharian?" Ibu melontarkan satu pertanyaan konyol yang menyebalkan.

"Enggak seharian juga kali, Bu. Bapak tuh lebay. Reygan bentar-bentar pulang. Kan, harus nengokin mamanya."

"Parah, ya? Stres-nya."

"Enggak, sih. Katanya. Maya juga enggak tau."

"Kok sebentar-sebentar ditengok, ngapain?"

"Mamanya tuh enggak boleh dibikin khawatir. Sementara kalau Reygan pergi agak lama dikit, dia tuh khawatir banget. Kayak trauma gitu, dengan kejadian anak perempuannya dulu."

"Oooh," pungkas ibu kemudian.

Aku melirik orang yang melahirkanku tersebut. Sepertinya ada sesuatu yang berubah. Biasanya paling tidak suka kalau aku cerita tentang cowok secara berlebihan. Saat itu terlihat lebih santai.

Ah, mungkin karena sudah pernah bertemu Reygan dan melihat Reygan memang betul-betul tipikal good boy. Eh, Hendra kurang sopan apa, pas di depan ibu? Nyatanya, restu tak kunjung keluar juga.

Sudah setahun lebih loh, kami dekat. Tiap kali aku bercerita tentang Hendra—sedikiiiit saja, ibu pasti langsung melengos dengan wajah enggan, lalu menghindar. Entah aku ditinggal pergikah, atau dia pura-pura sibuk dengan pekerjaan. Aku bisa membaca ada ketidaknyamanan di wajahnya waktu itu.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan, kenapa aku tidak sabar ingin mengakhiri saja LDR-an antara kami. Sepertinya bakalan sia-sia.

Bagiku, restu ibu sangat penting. Aku ingin dia bisa menerima seseorang yang aku sukai dengan ikhlas. Jika itu terjadi, aku janji tidak akan mempermainkan mereka lagi, tidak akan mendua di belakang, tidak akan menyakiti dan mencurangi mereka.

••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status