Share

Part 5 : Yang Tidak Terduga

Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.

“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”

Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.

Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”

Gubrakkkkk!!!

Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku teringat perlakuanku kepadanya sehari sebelum hari itu. Berani-beraninya aku membentak anak jaksa dengan sikap angkuh. Ya Tuhan!

Tanpa menanggapi ucapan cowok itu, aku bergegas menandaskan isi gelas yang kupegang. Kulit wajahku rasanya seperti terpanggang.

••

Begitu es gudir di gelas kami masing-masing habis, dan bapakku sudah menyerahkan kembali gelas dalam keadaan kosong, Reygan bergegas membayarnya. Gelas di tanganku diambil untuk dia bawa serta bersama gelasnya. Anak jaksa itu bersikap melayaniku, membuatku merasa tak enak hati.

“Biar aku saja. Kamu, kan tamu,” sergahku yang tak digubris. Dia hanya tersenyum, lalu dengan cekatan mengambil gelas dari tanganku.

Tak berapa lama kemudian, dia kembali. Aku pun memberanikan diri untuk protes, “kenapa kamu bersikap seperti ini?”

“Ada yang salah dengan sikapku?” Dia balik tanya seraya menatapku dalam-dalam.

“Kamu, kan bertamu. Seharusnya kami yang melayani, bukan sebaliknya.”

Sejenak, dia menghela napas. Lalu, tatapannya berpaling seiring dengan perpindahan posisi duduk. Yang tadinya agak serong ke arahku, berpindah lurus ke arah jalanan. Kami duduk bersampingan dalam jarak satu hasta.

"Sejak pertama melihat kamu, aku ingat teteh," tuturnya kemudian dengan ekspresi sedih. Tatapannya sayu dan kosong. Yang dia sebut ‘teteh’ adalah kakak perempuannya. Teteh merupakan panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda. "Wajah kalian sangat mirip. Mulai dari model rambut, tatapan mata, senyum, tawa, bahkan suara. Sama persis."

Perasaanku mulai tak nyaman. "Masa, sih?" Aku berusaha menyangkal.

"Serius," sambungnya dengan nada meyakinkan. "Kapan-kapan aku ajak ke rumah, biar tau teteh-ku kayak apa. Pasti kamu juga kaget."

"Lalu? Apa hubungannya dengan sikap begitu tadi? Apa kamu anggap aku sebagai kakak juga?"

Reygan tergelak. Mendung yang menyelimuti parasnya, sedikit memudar.

"Enggak, lah. Kamu, mah pantasnya jadi adikku."

"Lalu?"

"Boleh aku cerita tentang teteh?"

"Boleh, lah."

"Mau dengerin ceritaku?"

Aku mengangguk sambil memperhatikannya dalam-dalam. Wajah tampan itu kembali sendu. 

"Aku dan teteh dua bersaudara. Usia kami selisih 3 tahun. Pas aku kelas 2 SMP, dia SMA kelas 2.” Reygan menghentikan ucapannya, menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Ia seolah mencoba untuk membuang beban dalam dada. Aku masih anteng menyimak, hingga dia melanjutkan penuturannya. “Teteh itu anak kesayangan mama. Suatu hari, kemalangan menimpanya. Sepulang sekolah, dia mengalami kecelakaan, dan ... meninggal."

"Inna lillahi," ucapku refleks seraya menutup mulut dengan kedua tangan.

"Kepergian teteh membuat mama sangat terpukul. Tiap melewati lokasi kecelakaan teteh, mama selalu nangis meraung-raung, persis anak kecil. Akhirnya, papa memutuskan untuk kami semua pergi dari Bandung, sebab khawatir dengan mental mama yang mulai bersikap seperti orang depresi. Dulu, untuk bisa tidur nyenyak saja, mama harus dibantu obat."

"Ya Allah!" seruku lirih dengan mata mulai berkaca-kaca. "Sekarang, gimana kondisi mama kamu?"

Reygan menatapku, mengulaskan senyuman tipis di wajahnya yang kalem. "Alhamdulillah, mulai membaik. Semenjak di sini, tidak pernah bertingkah mengkhawatirkan lagi. Hanya saja, belum bisa keluar rumah. Kalau lihat truk di jalan, dia akan langsung histeris."

Air mataku betul-betul menetes. Reygan, yang tadinya aku pikir memiliki kehidupan sempurna, ternyata menyimpan masalah besar dalam hidupnya. Diam-diam, aku bersyukur dalam hati. Meski orang tuaku bukan orang berada, mereka berdua selalu ada untukku dalam keadaan sehat. Bersyukur masih diberikan keluarga yang lengkap hingga hari ini.

"Kapan-kapan kita ketemu mama, ya? Kayaknya mama bakalan seneng banget kalau ketemu kamu."

"Ih, aku malu," tukasku seraya menyusut ujung mata dan tersenyum sipu.

"Malu kenapa?"

Aku terdiam, tidak dapat memberikan alasan akan apa yang kurasakan. Aku sendiri juga bingung, kenapa harus malu? Malu karena miskin? Malu karena tidak cantik? Untuk apa? Kan, Reygan hanya bermaksud ngajak main sebagai teman.

"Eh, kamu kelas satu, ya?" tanya Reygan kemudian ketika jawaban dariku tak kunjung keluar.

"Iya."

"Berarti adik kelasku."

"Memangnya kamu kelas berapa?"

"Jangan panggil kamu. Enggak sopan."

"Hah?" Aku ternganga dengan mata terbuka lebar.

"Kan, aku lebih tua. Harusnya kamu panggil aku dengan sebutan Mas. Jangan 'kamu' gitu. Itu enggak sopan."

"Enggak ngerti," ujarku seraya menggaruk kening.

"Gini aja. Mulai hari ini, aku panggil kamu 'adek' dan kamu panggil aku 'mas'. Gimana?"

Aku masih diam.

"Jadi, Adek enggak perlu bingung lagi, gimana panggil aku. Aku perhatikan sejak tadi, sepertinya Adek kagok mau panggil apa."

"He he he, bener! Iya, sih.” Aku meringis, malu karena merasa dia menebak dengan tepat isi hatiku. “Kok tau?"

"Makanya, sekarang enggak perlu bingung lagi. Mulai hari ini, kita jadi kakak adek. Mau, enggak?"

Entah harus menjawab apa. Pakai ditanya, mau, enggak? Ya, jelas mau, lah. Siapa yang menolak dianggap adik oleh cowok sekeren dia? Cowok yang memiliki sahabat setampan Devan. Siapa tahu, nanti jadi bisa dekat dengan Devan, ha ha ha ... ini mimpi terkonyolku di siang bolong.

Sumpah, aku berusaha keras menyingkirkan Hendra sejak hari itu. Dia yang biasanya aku mesrai lewat rangkaian kata—melalui selembar surat, perlahan mulai kuabaikan. Aku jarang mengabarinya, bahkan surat-surat darinya kerap kubiarkan begitu saja dalam tas sekolah. Gairahku untuk membaca kabar dan rayuan gombal cowok itu, hilang entah ke mana. Hendra rutin mengirimiku surat ke alamat sekolah, seminggu sekali. Biasanya kami saling berbalas.

Namun, sejak kenal dengan Reygan dan kawan-kawannya, intensitas balasan suratku makin berkurang.

📎

Kami—aku dan Reygan—membicarakan banyak hal hari itu. Tentang aku dan alasan kenapa bersikukuh untuk melanjutkan sekolah di Ponorogo, sekalipun sudah pindah tempat tinggal. Padahal, jarak dari Madiun ke Ponorogo lumayan jauh. Aku harus rela berangkat pukul 5 pagi, demi tidak terlambat sampai Sekolah.

Hampir sama dengan sikap Reygan yang awalnya tidak menyukai keputusan papanya untuk pindah dari Bandung, aku pun demikian. Sebetulnya, berat bagiku meninggalkan kampung halaman, tempat aku lahir dan dibesarkan oleh almarhumah nenek. Namun, mau tak mau aku harus mengikuti orang tua, sebab nenek—orang yang mengurusiku sejak bayi—sudah meninggal dunia saat aku kelas 2 SMP.

Di Ponorogo, aku tidak memiliki siapa pun yang dapat dijadikan sandaran. Dulu, ibu berencana membawaku pindah ketika nenek meninggal. Untung ada bibi yang menahannya, sebab tidak tega melihat aku nangis kejer. Akhirnya, aku dititipkan di rumah bibiku, hingga lulus SMP.

"Aku tidak suka berada dalam suasana baru," pungkasku mengakhiri cerita.

"Tapi, itu suatu keniscayaan, Dek. Setiap orang, pada akhirnya memang akan selalu dihadapkan dengan perubahan situasi. Kita enggak bisa terus bertahan dalam zona nyaman."

"Itu dia. Aku tipe orang yang tidak suka jika harus beradaptasi dengan hal baru. Ketika sudah nyaman dengan sesuatu ... ya, enggak pengen ninggalin."

Reygan terkekeh lirih. "Mudah-mudahan aku menjadi salah satu hal yang bisa membuat Adek nyaman," kilahnya kemudian.

"Kenapa begitu?"

"Biar enggak ditinggal."

Tawaku meledak seiring rona hangat yang menjalar di pipi.

Jujur, saat itu aku baper dengan sikapnya. Namun, tidak mau mengakui. Entah munafik, atau karena pesona Devan menutup mata hatiku, aku tidak tahu. Ataukah karena keberadaan Hendra nun jauh di sana—yang meski tak kuakui, tapi hati kecilku tetap menyimpannya. Kadang, aku merasa bersalah sekali pada mereka.

Hendra, cowok yang usianya empat tahun lebih tua dariku. Dia merupakan saudara dekat tetanggaku di kampung. Kami bertemu ketika dia berkunjung ke rumah saudaranya. Dan kesepakatan tanpa paksaan pun terjadi, untuk menjalin hubungan jarak jauh.

Sayangnya, aku culas. Di belakang Hendra, berkali-kali menjalin kedekatan dengan cowok lain. Memang bukan sebagai kekasih, tapi aku mempermainkan mereka.

Sebelum mengenal Reygan, ada beberapa orang lain yang aku jadikan selingan. Modusnya pun nyaris sama. Mereka mendekat, aku beri respons positif. Dan ketika mendapat gelagat yang mengarah pada keseriusan, kutinggalkan begitu saja tanpa rasa bersalah.

Yang paling parah adalah korban terbaru—sebelum Reygan. Namanya Temmy, salah satu siswa STM di Ponorogo—tempat kekasihnya kakak sepupuku mengajar. Aku mengenal dia ketika mbak Kinan mengajakku ikut ke pantai Teleng, Pacitan. Cowok itu yang rupanya adalah murid kesayangan Mas Yasin—kekasih Mbak Kinan, dibawa serta oleh Mas Yasin. Di situlah kami jadi kenal, dan lama-lama akrab.

Bulan Agustus, 2000—

Mbak Kinan mau berangkat ke Balai Latihan Kerja. Rencananya akan ikut seleksi sebagai TKW Hongkong. Temmy datang ke rumahku. Sebenarnya, dia datang sebab kami yang mengundangnya. Aku dan Mbak Kinan mendatangi tempat dia PKL—Praktik Kerja Lapangan—di Kertobanyon, kawasan selatan Kota Madiun. Kami memintanya untuk datang hari itu.

Parahnya, aku tidak memperhitungkan situasi dengan tepat. Aku lupa bahwa Hendra tengah berada di Ponorogo dan akan ke rumah Madiun di hari yang sama. Dia mengantar bibinya, yang juga ikut seleksi sebagai TKW. Alhasil, keduanya pun datang berbarengan. Aku jadi kelabakan. Mbak Kinan yang ngomel panjang lebar.

"Temmy itu suka sama kamu," ujarnya dengan nada penuh tekanan.

"Ya, aku, kan enggak tau, Mbak. Aku pikir, dia cuma menganggap aku teman biasa, sama kayak yang lain," kilahku berusaha membela diri.

"Ngawur!" Suara Mbak Kinan naik setengah oktaf. Aku nyengir. "Dia suka ke kamu, pernah bilang sama Mas Yasin. Kamu enggak lihat wajahnya tadi? Kelihatan kecewa banget waktu tau kamu sudah punya pacar."

"Maaf, Mbak," tukasku lirih. "Aku lupa kalo Hendra bakalan datang hari ini."

"Bener-bener, ya, kamu ini!"

Dan masih banyak lagi omelan Mbak Kinan, yang bahkan aku lupa apa saja yang dia ucapkan. Aku akui, dia benar. Hari itu, kasihan sekali Temmy. Hendra sih, tidak ada masalah. Dia enggak tahu siapa Temmy dan apa tujuan tuh cowok datang. Dipikirnya, kan datang untuk menemui Mbak Kinan.

Padahal, si Temmy ini sudah lumayan lama ngasih kode PDKT. Akunya aja yang pura-pura tidak peka. Dia datang ke rumah Ponorogo hanya untuk nganter kado waktu aku ulang tahun. Dia juga sering titip salam melalui ponakan mas Yasin yang kebetulan adalah kakak kelasku di SMEA. Dan ponakan mas Yasin terang-terangan mengatakan kalau Temmy suka sama aku, sering membicarakan tentangku. Hanya saja, aku terus-terusan melakukan denial. 

••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status