Share

Part 4 : Reygan Sebenarnya

Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang.

“Baru jam setengah lima,” cegahnya.

Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?”

“Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata  innocent menatapku lekat.

“Sudah sore!”

“Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.”

“Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.”

Tak kusangka, dia menyepakati usulanku. “Oke, besok aku datang.” Seraya tersenyum ramah, seolah mengabaikan sikap judesku barusan.

Terus terang, aku malu jika ingat kejadian itu. Kami baru kenal—belum tahu pribadi masing-masing. Dengan gegabah, aku sudah meremehkannya, memperlakukannya secara buruk. Memang aku ini tipikal gadis yang payah. Tidak suka didekati cowok dengan cara frontal. Walau awalnya respect, pasti langsung ilfil kalau ketemu yang model begitu.

Namun, adalah sebuah hal yang sangat memalukan ketika bersikap demikian dan akhirnya tahu ternyata tuh cowok bukan orang yang pantas dianggap remeh. Tepat seperti dugaanku waktu pertama melihat rombongan 'boygroup' tersebut, Reygan memang berasal dari keluarga berkelas. Setidaknya, jika dibandingkan denganku, ibarat bumi dan Pluto. Papanya seorang jaksa yang jam tayangnya tak perlu diragukan.

Aku mengetahui kenyataan tersebut pada hari ketiga dari waktu perkenalan kami.

••

Hari itu hari Jumat. Aku pulang sekolah lebih awal. Pukul 1 sudah sampai rumah. Begitu turun dari bus, mataku berkeliling mencari seseorang yang kemarin janji akan menemuiku di tempat biasa, yaitu gapura sebelah rumah.

Ternyata zonk!

Tak ada siapa pun di sana, kecuali Pak Tardi—teman Bapak—yang duduk di atas becaknya. Lelaki setengah baya itu menyapaku seperti biasa.

"Tumben sudah pulang, May?"

"Iya, Pak. Hari Jumat."

"O iya."

"Monggo."

"Iya, iya ...."

Akupun berjalan menuju rumah dengan lesu. Reygan ingkar janji, gerutuku dalam hati. Kemarin dia mengatakan akan menemuiku hari ini, sebab ingin main ke rumah. Nyatanya?

Entah kenapa, aku kecewa. Padahal, jelas-jelas hari sebelumnya aku muak dengan sikap agresif cowok itu.

Sesampainya di rumah, aku mandi, salat zuhur, lalu rebahan di kamar sembari baca majalah remaja terbaru—barusan aku beli di agen buku langganan. Bapak stand by di ruang tamu, jaga kantor. Kadang ada keluarga TKW yang datang, atau bahkan calon TKW yang hendak cari informasi pendaftaran. Tugas bapak menunggu mereka-mereka itu, untuk kemudian diantar ke Toko, menemui bos ibu.

Tak lama kemudian, aku mendengar sayup-sayup bapak berbincang dengan seseorang di luar. Ah, mungkin tamunya bos, tepisku dalam hati. Aku lanjut baca majalah, seolah tak memiliki urusan apapun dengan mereka yang berada di luar kamar. Ya, memang biasa seperti itu.

Sampai akhirnya, bapak membuka pintu kamar, pelaaan sekali. Mungkin dipikirnya aku belum selesai salat.

"Apa, Pak?" tanyaku lirih.

"Ada teman kamu."

Dahiku mengernyit. "Teman?"

"Iya, ada yang nyari kamu. Katanya temanmu."

"Siapa?"

"Enggak tau. Rumahnya Cendrawasih."

Kerutan di keningku semakin keriting. Temanku, rumahnya Cendrawasih? Siapa pula? Jalan Cendrawasih itu lumayan jauh dari rumah. Sedang tetangga sebelah saja—yang temboknya nempel kayak perumahan model couple, enggak kenal. Apalagi yang rumahnya Cendrawasih.

Setelah sejenak berpikir tanpa ketemu jawaban, akhirnya aku beranjak bangun. Kutinggal bacaanku di atas kasur. Tanpa merapikan diri, aku bergegas keluar.

Begitu keluar kamar, aku mendapati sesosok anak lelaki tengah berdiri membelakangiku. Ia sedang melihat-lihat bagan yang terpasang di dinding, dekat meja kantor. Memang ruang tamu kami itu luas. Dan ruang tersebut dibagi menjadi dua bagian. Sebelah untuk menaruh sofa, sebelahnya lagi untuk menaruh properti kantor.

"Hai," ucapku pelan, menyapa sosok yang mengenakan jaket warna hijau botol dan masih berseragam pramuka tersebut.

Ketika dia menoleh, o my God! Reygan.

Cowok itu menatapku dengan sorot teduh sembari memamerkan deretan gigi yang dihiasi satu gingsul pada pojok sebelah kiri. Dia tuh ya, benar-benar loh ... sepertinya layak diangkat menjadi duta senyum. Bahkan wajahnya, biarpun tidak sedang tersenyum, selalu tampak seperti orang tengah tersenyum. Tidak salah aku menjulukinya si smiley.

"Sudah selesai?" tanyanya.

"Apanya?" Aku balik tanya.

"Salat."

"Assstagaaa," ujarku seraya tersenyum lebar. "Dari tadi."

"Bapakmu bilang, kamu masih ...."

"Iya, bapak enggak tau kalo udah kelar."

"Oooh," pungkasnya kemudian.

"Duduk!" perintahku dengan nada kaku. Waktu itu, aku belum tahu, harus bagaimana memanggil dia.

"Di luar aja, yuk!" usulnya.

"Di sini juga g-p-p," kilahku. G-p-p itu maksudnya tidak apa-apa—bahasa slang remaja 2000-an.

"Jangan, ini kan kantor. Takut dimarahi bapakmu."

“Enggaaaak, tenang aja. Kalau ada temanku main, juga biasanya ngobrol di sofa situ.”

Reygan melirik sekilas ke arah ruang dalam yang hanya dibatasi pintu kaca. Sepertinya dia mencari keberadaan bapak, yang sebelumnya memang sempat terlihat masuk ke sana.

“Aku takut sama bapak kamu,” bisik cowok itu kemudian.

Sontak aku menertawakannya. Setiap teman cowok bertemu bapakku pertama kali, entah kenapa selalu takut. Mungkin di mata mereka, wajah bapak terlihat angker. Andai mereka tahu, bapak itu orangnya super family man. Hingga aku setua ini, belum pernah satu kali pun dimarahi olehnya.

"Ngobrol di teras, boleh, ‘kan?" lanjut Reygan kemudian.

Akhirnya aku turuti. Daripada dia merasa tidak nyaman. Kami berdua duduk-duduk di teras, dan ngobrol santai di sana. Hari itu lah awal mula terjalinnya keakraban kami.

Reygan menceritakan tentang dirinya yang—rupanya sama sepertiku—pindahan dari kota lain. Dulu, dia tinggal di Bandung bersama mama dan kakak perempuannya. Sementara papanya dinas di salah satu kota besar di Jawa Tengah. Papanya asli Madiun, mamanya orang Garut.

"Lulus SMP aku dibawa ke sini. Dipaksa untuk masuk ke sekolah yang bahkan aku masih asing. Awalnya jengkel juga. Aku benci papa, karena merasa berat meninggalkan Bandung dan teman-teman yang di sana," tuturnya dengan wajah muram. Tatapan matanya menerawang jauh hampa ke depan. "Tapi, perlahan aku bisa menerima keadaan. Apalagi sejak akrab dengan Taufik, Ronald, Amar, Devan, aku seperti menemukan kembali kehidupan lamaku."

"Kalian satu sekolah?"

"Iya. Sama-sama di STM 1."

"Masa? Tetangga sebelah rumah ini, katanya guru di STM 1 loh." Aku berbisik lirih. "Kata bapak, sih."

"Memang. Kepala Sekolah kami."

"Ooo ....” Mulutku membulat sempurna. “Kepsek, ya? Bapak bilang guru."

Reygan tersenyum.

"O iya, terus mama kamu sekarang tinggal di mana?"

"Di sini."

"Kakak kamu juga?"

Reygan tiba-tiba diam. Air mukanya berubah sendu. Aku yang belum paham ada apa sebenarnya, memandangi cowok itu keheranan. Di waktu bersamaan, ada penjual es gudir keliling lewat.

Kalian tahu apa itu es gudir? Atau ada juga yang menyebutnya es godir. Katanya, sih ... es ini merupakan minuman khas yang berasal dari Jawa Timur. Tepatnya daerah mana, kurang tahu.

Es gudir adalah sejenis es dawet yang cendolnya bukan terbuat dari tepung, melainkan puding atau agar-agar rumput laut. Rasanya enak banget. Santan yang gurih, dipadukan dengan manisnya gula jawa dan agar-agar plain atau tanpa rasa. Di situlah tercipta sebuah harmoni yang pas di lidah.

Pada tahun 2000, es tersebut sedang booming. Viral, kalau anak zaman now menyebutnya. Kita bisa menemukan orang berjualan es gudir di berbagai tempat. Bahkan dalam sehari, bisa empat hingga lima orang penjual keliling yang lewat di depan rumah. Mereka biasanya berjalan kaki sambil mendorong gerobak.

Entah, sekarang masih ada atau tidak orang jualan es gudir. Aku jarang menemukannya.

Reygan memanggil bapak penjual es tersebut.

"Bisa minum es, ‘kan?" tanyanya seraya menoleh ke arahku, persis seorang kakak menanyai adiknya. Mendapat perlakuan demikian, beberapa saat aku melongo. Hei, ini gadis SMA, loh. Kenapa diperlakukan macam anak balita yang khawatir batuk atau pilek jika minum es? Sikapnya tersebut tak ayal membuatku tertawa geli. 

Aku belum sempat memberikan jawaban, Reygan sudah beranjak menghampiri si bapak penjual es. Ia memesan tiga gelas.

"Kok tiga?" protesku seraya berjalan menghampirinya.

"Memangnya bapak kamu enggak dihitung?"

"Eh, Bapak enggak usah," tolakku. Maksud hati, aku tuh sungkan. Sudah ditraktir sama tamu, masa enggak tahu diri.

"Enggak usah gimana? Itu bapak kamu, loh. Dosa tau, kalo makan, orang tua enggak dikasih."

Aku pun nyengir.

Mendengar perdebatan kami, bapak penjual es menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh. “Jadi berapa ini? Dua atau tiga?”

“Tiga, Pak!” jawab Reygan, buru-buru.

“Dua aja,” bantahku.

Si bapak makin kebingungan. Saat itu, dia sudah selesai membuatkan dua gelas es. Ditatapnya kami berdua secara saksama. Aku membalas tatapan itu takut-takut, sebab si bapak sepertinya kesal sekali kepadaku.

“Buatkan satu lagi, Pak!” tegas Reygan kemudian. Kali ini tanpa mendapat tentangan dariku lagi.

Aku menyerah dan memilih untuk ngeloyor pergi lebih dulu, membawa satu gelas es yang langsung kuberikan kepada bapak. Perasaanku campur aduk saat itu. Antara sungkan, malu, merasa bersalah, dan juga merasa bodoh.

••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status