Share

Jejak Maya
Jejak Maya
Penulis: Zenaida Asmaya

Part 1 : Siapa dia?

September, 2000.

"Srindit, kiri! Kiri!" seru kondektur seraya memukul kaca pada badan bus menggunakan uang koin. Aku yang hendak turun, berdiri di ambang pintu—dekat kondektur, menunggu sopir mengerem kendaraan dengan sempurna.

"Ck, hujan," keluhku lirih.

Sang kondektur rupanya membaca keresahanku. Memang hujan tengah turun deras. Madiun tampak muram di seluruh penjuru langit. Gelap pekat di mana-mana, hingga lampu kendaraan pun semua dinyalakan. Padahal, waktu baru menunjuk pukul 4 sore.

"Masuknya jauh?" Si kondektur menatapku lekat.

Aku menggeleng sembari mengedarkan pandangan ke luar bus.

“Enggak bawa payung?"

"Masa sekolah bawa payung!"

"Sedia payung sebelum hujan."

Kelakar si kondektur hanya kutanggapi dengan tawa kecil. Di waktu bersamaan, bus berhenti tepat di samping gapura masuk Jalan Srindit. Bergegas kulompatkan kaki hingga menjejak aspal dengan sempurna. Barulah si kondektur—yang sudah seperti teman karena hampir tiap hari aku naik busnya—melepaskan pegangan pada lenganku.

Tanpa menunggu hitungan detik, aku langsung melesat menuju emperan ruko. Setidaknya di sana aman dari guyuran air hujan.

••

Hampir lima menit berteduh, belum ada tanda-tanda hujan akan segera reda. Sepertinya justru bertambah deras. Aku pun celingukan didera rasa gelisah, berkali-kali menengok arloji warna hitam di pergelangan tangan.

Sebenarnya, rumahku tak terlalu jauh dari jalan raya. Letaknya di paling ujung, dekat gapura. Sekitar 150 meter jaraknya. Jika ditempuh dengan langkah lebar, enam kali melangkahkan kaki juga sudah sampai.

Kalau mau nekat, bisa saja berlari menembus derasnya air hujan. Akan tetapi, aku ingat hari itu adalah hari Rabu. Seragam prakerin—Praktek Kerja Industri—yang kupakai, masih harus dipakai lagi besok, tidak ada baju cadangan. Jadi, kuputuskan untuk bersabar dan menahan diri. Paling tidak hingga hujannya tinggal gerimis.

Saat itulah—saat sedang berdiri meringkel di pojokan emper, betul-betul sendirian, bahkan orang lewat pun tak ada—sekonyong-konyong aku mendengar suara gelak tawa di antara gemercik air hujan. Sebuah gelak tawa persahabatan yang membuatku sedikit iri. Aku ingat, terakhir kali memiliki tawa seperti itu adalah saat-saat terakhir menjelang lulus SMP. Lalu, semuanya hilang bersama perpisahan.

Ah ...!

Begitu mengangkat muka, pandanganku tertuju pada lima orang anak cowok—seusiaku—yang berjalan dalam hujan sambil bercanda. Gojegkan, kalau orang Jawa menyebutnya. Mereka saling menendang genangan air, berusaha membasahi satu sama lain. Kami biasa menyebutnya dengan permainan bejong-bejongan.

Ada salah satu di antara mereka yang sejak awal menarik perhatianku. Dia tampak paling tenang di antara kehebohan yang kawan-kawannya ciptakan. Aku ingat betul, cowok itu menenteng bola di samping pinggang. Badannya yang kerempeng terbalut kaos singlet metallica warna hitam, dan celana kolor warna abu-abu.

Keren banget! Pujiku dalam hati ketika melihat cowok pembawa bola tersebut. Saat itu, aku merasa selera mataku naik level. Jika kukatakan dia tampan, sungguh aku tak mengada-ada. Meskipun tubuhnya kurus, pemuda tanggung itu memiliki wajah yang kalau dilihat sekilas mirip Suradet Piniwat—aktor Thailand.

Sejenak, aku lupa pada Hendra—kekasihku yang jauh di Banten sana. Aku memang sering mengabaikan dia, bahkan kadang menyepelekan hubungan kami. Padahal, sebulan sebelumnya Hendra baru saja datang ke Madiun, mengantar bibinya yang hendak mendaftar kerja ke luar negeri. Dia juga rela kerja sampingan demi mendapatkan uang saku untuk mengunjungiku.

Ampuni aku, ya Allah! Kadang terbersit pikiran, dulu sikapku jahat banget ke Hendra. Kami sepakat untuk menjalin hubungan jarak jauh sejak aku masih kelas 3 SMP dan dia kelas 2 SMA, tapi aku berkali-kali dekat dengan cowok lain di belakangnya.

Ah, sudahlah!

Lima cowok tadi berlalu begitu saja, lewat di hadapanku tanpa menoleh, seakan aku ini makhluk tak kasat mata. Ya, aku sadar, sih. Siapa lah aku ini? Hanya seorang gadis kampung yang lusuh, dekil, dengan wajah pas-pasan, penampilan tomboi, sama sekali tak menarik.

Sementara mereka—jika dilihat dari fisik, sepertinya anak-anak kalangan menengah ke atas. Terlihat dari penampilan mereka, bersih dan terawat. Apalagi si pemegang bola yang sejak awal sudah menarik perhatianku. Wajah dia tidak seperti orang Jawa. Gantengnya enggak pakai akhlak—kayak blasteran surga. Tanpa sadar, mataku terus mengikuti gerak-geriknya.

Mereka terlihat asyik bermain bola di mulut gang—bawah gapura masuk Jalan Srindit. Di antara derasnya air yang tercurah dari langit, lima remaja tersebut tampak enjoy, seakan tak peduli apapun. Rambut basah, baju kuyup, kulit membiru kedinginan, tampaknya itu semua sangat mereka nikmati.

Khawatir cowok-cowok itu risi dengan keberadaanku, maka kupaksa sekuat tenaga supaya kepalaku berpaling ke arah lain. Walau sesekali masih mencuri pandang ke si Suradet Piniwat. Pesonanya bagai magnet, menyedot habis seluruh gengsi yang kumiliki.

“Ah, kapan ini hujan bakalan reda?” Aku bergumam sendiri. Bapak pasti cemas kalau anak semata wayangnya ini pulang lambat. Dan aku pun sedih kalau sampai membuat Bapak khawatir. “Cepet reda, dong!” gumamku lagi.

Sepertinya harapan tersebut harus kusimpan dalam-dalam. Kenyataan yang ada, hujan bukan reda, justru makin deras. Satu hal yang disambut gembira oleh kelima anak cowok tadi, sekaligus disambut kecewa olehku.

Saat tengah bengong memperhatikan gemercik air yang jatuh dari talang ruko—entah ruko milik siapa, tiba-tiba ....

Bug!

Kepalaku terhantam bola dari samping. Tentu saja lumayan keras. Aku sedikit terhuyung.

"Sorry ya! Kami nendang terlalu kenceng!"

Sembari mengusap kepala yang terasa berdenyut dan sedikit kesemutan, aku menoleh pada sumber suara. Sebuah senyum dan wajah ramah menyambut tatapanku. Kubalas dengan senyum serupa, diiringi anggukan tipis kepala. Ya sudah lah, ya. Mereka pasti tidak sengaja.

Melihat aku mengangguk dan tersenyum, di luar dugaan cowok itu berjalan mendekat.

"O iya ...." Tanpa ragu, dia mengulurkan tangan kanan. "Namaku Raga," katanya, mengenalkan diri.

Aku masih diam, memandangi tangan yang menggantung di udara tersebut dengan tatapan aneh. Jujur, aku ingin menyambutnya, menjabat tangan itu dengan hangat, lalu berkenalan dan berteman. Selayaknya remaja lain, aku pun ingin memiliki teman baru di kota asing itu. Namun, ucapan ibu yang mengingatkan supaya bersikap waspada terhadap anak-anak cowok di Madiun, terus terngiang di telinga. Banyak anak nakal, katanya. Entah, itu survei dari mana? Karena kenyataannya, cowok Madiun baik-baik.

"Woi, Pit! Sipit!" Seruan dari salah satu temannya membuat cowok di hadapanku menoleh. "Ayooo!" lanjut si teman seraya mengacungkan bola.

Raga melambaikan tangan ke mereka, lalu beralih menatapku. "Rumahnya mana?" tanyanya.

"Itu, yang pagar putih," jawabku seraya melongokkan kepala ke arah Jalan Srindit. Rumahku terletak paling ujung, jadi pagar depannya terlihat jelas dari jalan raya.

"Ooo, tadinya kupikir itu rumah kosong."

Aku tersenyum.

"Nama kamu Zenaida Asmaya, ya?" Cowok itu lagi-lagi bertanya, yang kali ini cukup mengagetkan.

Dari mana dia tahu namaku?

Di Madiun, aku belum punya teman. Dengan tetangga kanan-kiri saja belum kenal. Aku baru beberapa bulan pindah ke kota yang terkenal dengan makanan brem tersebut. Dan selama itu pula, nyaris tiap hari tak ada di rumah. Pagi-pagi, pukul 5 sudah berangkat sekolah. Pulang sekolah, sampai rumah pukul 4 sore, kadang lewat. Habis magrib, menyusul ibu ke tempat kerja dan pukul 9 malam baru pulang.

Tak ada waktu untuk mengenal orang-orang sekitar rumah. Lantas, dari mana tuh cowok tahu namaku? Aku bukan selebriti, bukan sosok yang layak untuk populer juga.

Jadi ...?

••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status